Thursday, December 06, 2018

Tentang Reuni Akbar 212


Sekarang tanggal 6 Desember 2018, empat hari paska Reuni Akbar 212 yang menghebohkan itu. Benar kata senior saya, Lita Mucharom, bahwa "masih belum bisa move on". Reuni Akbar 212 di Monas Jakarta lalu memang terbukti dahsyat. Dari sisi peserta, saya tidak perlu menyebut angka, karena memang hanya perkiraan di kisaran sepuluh atau belasan juta orang. Dan angka ini selalu didebat kusir oleh mereka yang merasa dirugikan. Kok bisa sebanyak itu ? Yang membuat peserta membludak ada beberapa hal. Salah satunya adalah diksi "REUNI", bukan "AKSI". Ketika diberi judul "aksi", maka hanya orang bernyali yang ikut turun gunung. Namun ketika diberi label "REUNI", maka anak istri juga turun ikutan merayakan hal ini. Pada Aksi 212 tahun 2016, yang ke Monas hanya Bapaknya, kali ini --Reuni-- yang datang Bapak beserta istri dan dua anak. Logika ini menjadikan peserta naik empat kali lipat. Sebab kedua adalah 212 merupakan judul bermagnet tinggi. Mereka yang belum sempat merasakan kedahsyatan Aksi Bela Islam 212 tahun 2016, tentu ingin ikutan di tahun 2018. Jadi lucu juga, yang wisuda lima juta, yang reuni sepuluh juta. Sebab ketiga yang membuat peserta jadi berlipat adalah tempo masa. Setidaknya ada dua kloter besar, kloter pertama hadir jam satu dini hari, trus tahajjud hingga subuhan, dan mungkin pulang. Kloter kedua datang pas waktu dhuha hingga bada dzuhur. Saya termasuk kategori kloter dua. Jadi ada aliran masa datang dan pergi. Ini jelas mempengaruhi kepadatan. Andai mereka semua hadir disaat yang bersamaan, pasti sudah membludag sampai kemana - mana dan bikin stag.

Reuni itu gak perlu malu - malu. Kadang kita malas datang reuni gegara merasa jangan - jangan tidak ada yang kenal. Singkirkan jauh - jauh pikiran itu. Contohlah saya. Saya berangkat sendiri --istri saya tidak bisa berangkat karena sibuk mempersiapkan ujian anak - anak-- dari rumah pukul enam pagi naik ojek, ngobrol dengan tukang ojek, tukang ojek-nya malah pengen ikutan, tapi dia belum pamit istrinya. Sampai stasiun kereta Cilebut, masyaa Allah, satu stasiun isinya peserta 212 nyaris semua tumplek blek. Kebetulan saya tidak lama menunggu kereta, tidak sampai satu menit saya sudah bisa masuk ke KRL. Dan lagi - lagi, gerbong yang saya naiki, almost semua menuju Monas. Ya langsung ngobrol lepas saja kami di gerbong tersebut. Pertanyaan pertama yang sering terlontar bukan "Mau ke Monas, ya ?", tapi malah "Dari kafilah mana ?". Artinya, kami semua sudah sepakat tidak perlu bertanya tujuan, karena diantara kami sudah saling faham bahwa kami semua memang hendak reuni ke Monas. Melewati stasiun demi stasiun, nyaris semua peron dipenihi calon peserta reuni 212. Nyaris semua yang naik adalah bertujuan sama, Reuni Akbar 212 di Monas.

Sekitar pukul 7.30, KRL telah melewati stasiun Manggarai. Nampak peserta yang hendak menuju Monas masih saja berjibun di peron Manggarai. Peserta yang dari KRL melontarkan takbir, yang dari peron mengucapkan salam. Indah sekali. Lolos dari Manggarai, KRL lantas merayap untuk meluncur naik rel flyover. Urutannya adalah stasiun Gondangdia, lantas Gambir, lantas Juanda. Saya sengaja hendak turun di stasiun Juanda, dengan tujuan menghindari keriuhan. Maklum nyaris semua penumpang yang peserta 212 ini ternyata hendak turun di stasiun Gondangdia. Benar juga, betapa sesak penuh padat-nya stasiun Gondangdia. Dan lagi, bila turun di Juanda, saya punya kesempatan bisa melihat situasi Monas dari atas, yakni dari jalur stasiun Gambir. Dan ini terwujud, dari stasiun Gambir terlihat jelas menjelang pukul 8 pagi, betapa padatnya Monas dan sekitarnya. Tidak hanya Monas, sudah meluber kemana - mana. Memutih.

Tiba di stasiun Juanda, ternyata nyaris tidak berbeda dengan stasiun Gondangdia. Sama penuhnya. Turun dari KRL disambut shalawatan. Ternyata antrian tapping tiket KRL di lantai dasar telah mencapai peron lantai atas. Mereka semua --nyaris semua-- hendak menuju Monas. Antri sambil bershalawat. Sungguh membuat hati bergetar hebat. Saya lebur dalam antrian tersebut. Satu jam mengantri tapping tiket KRL, saya bisa keluar dari stasiun Juanda. Bayangkan, antri turun tapping saja sekitar satu jam. Berapa banyak antriannya ? Hitung saja sendiri berdasar kapasitas siklus proses tapping dan ada berapa pintu tapping yang dibuka saat itu. Jelas ribuan. Di lantai dasar stasiun Juanda, tidak sepadat antrian tapping, para peserta masih lantang ber-shalawat sambil mulai mengibarkan bendera tauhid dimana - mana. Dimana - mana ! Tidak mungkin ada yang berani melarang pengibaran bendera ini. Subhanallah. Pria wanita tua muda dewasa anak, semua tumpah ruah memuliakan acara akbar ini. Inilah yang membuat peserta reuni ini menjadi membludak. Pesertanya lebih banyak dari pas Aksi 212 tahun 2016 lalu. Saya yakin itu.

Berjalan beriringan dari stasiun Juanda ke Monas, menempuh sekitar 2 kilometer jalan kaki memakan waktu sekitar 20 - 30 menit. Kibaran bendera tauhid di mana - mana. Jadi, bila tidak silap, pada pukul 9.30 arus massa membawa saya mulai memasuki area Monas. Penuh sesak peserta reuni, walau beberapa spot banyak juga pedagang yang menawarkan makanan dan pernak - pernik 212. Nah, disinilah mulai rapat bin padat sekali barisan peserta Reuni Akbar 212. Serapat antrian tapping di stasiun Juanda. Hanya sejengkal jarak antar peserta. Mungkin membutuhkan waktu satu jam untuk bisa masuk area dalam Monas. Dan ini berupa antrian aliran arus manusia. Saya terbawa masuk, dan di dalam area dalam Monas sempat sekitar satu jam, namun gerakan arus manusia yang sedemikian besar ini tidak membawa saya menuju depan panggung, malah membawa saya ke arus pintu keluar berikutnya. Cukup membuat hati kecewa, namun biarlah, saya memang kesiangan datang ke Monas, wajar bila tidak bisa merapat ke depan panggung utama. Di area Monas, saya malah terbawa arus keluar. Ternyata, beberapa jamaah reuni yang datang malam, mengikuti kegiatan tahajud hingga subuh, sebagian mulai pulang pada pukul 8-10 siang. Dan saya terbawa arus ini. Arus masa ini membawa saya hingga stasiun Gondangdia. Yaelah. Saya terbawa arus pulang ! Arus masa ini beriringan memenuhi jalanan Jakarta. Di depan Gambir saya sempat bersua dengan rombongan dari Malang. Mereka baru masuk. Edun ini. Tiba - tiba saja saya disalami oleh rombongan yang berpapasan. "Assalamualaikum... kami dari kota Malang... baru tiba...". Saya kontan menjawab,"Waalaikumsalaam... saya juga asli malang Mas...". Percakapan tentu tidaklah bisa lama, karena saya terbawa arus keluar, dia terbawa arus masuk, saya tetap mengikuti barisan semula. Entah ke mana saya ikut saja, yang jelas orientasinya adalah stasiun KRL, karena itulah jalan pulang. Kira - kira sekitar satu jam sampailah di spot stasiun Gondangdia, lantas mengantri lagi untuk tapping masuk stasiun KRL Gondangdia, kira - kira menjelang pukul sebelas siang. Balik ke arah Bogor.

Reuni Akbar 212 ini acara spektakuler. Dan penuh keikhlasan. Sungguh mengherankan apabila ada fitnah yang dilayangkan bahwa para peserta Reuni Akbar 212 ini sebagai peserta bayaran. Dibayar seratus ribuan. Tercatat caleg PDIP Kapitra Ampera melontarkan fitnah itu. Harusnya Kapitra bisa belajar dari demo - demo atau aksi yang lain. Lihat saja demo Pecinta Binatang. Monyet saja dibela dalam sebuah aksi, kenapa kalimat Tauhid tidak ? Bukannya sudah seharusnya kalimat Tauhid dibela ? Belajarlah pak Kapitra, agar anda tak lantang jualan fitnah. Tak hanya soal peserta reuni yang di fitnah. Format acara-pun dinyinyir dengan muatan politik. Yaelah. Semenjak peristiwa reformasi 1998 yang dipimpin oleh Prof Amien Rais, pintu politik dan demokrasi dibuka lebar - lebar. Apalagi yang melibatkan banyak peserta. Banyaknya peserta tentu ekuivalen dengan banyaknya kepentingan. Tentu ini tidak salah. Maka, tidak salah juga bila ada peserta yang menyusupkan topik politik. Tak salah pula bila ada panitia yang bersumpah bahwa dia tidak bermuatan politik. Ini beragam. Adakah larangannya bahwa reuni tidak boleh bermuatan politik ? Tentu tidak ada. Peresmian mobil Esemka saja bermuatan politik, bahkan menjadi kendaraan politik untuk kepentingan pilkada DKI dan pilpres 2014. Ini mobil ya. Bisa bermuatan politik. Kenapa yang reunian harus steril dari muatan politik ? Ini namanya gak adil. Apakah semua kegiatan penguasa lantas boleh bermuatan politik ? Sementara oposisi selalu dilarang sana sini ?

Selama beberapa hari paska reuni, media sosial diramaikan dengan euforia reuni Akbar 212. Ada yang positif dan ada yang nyinyir. Kenyinyiran ditunjukkan oleh pengikut loyal penguasa dengan merendah - rendahkan jumlah peserta reuni, salah satunya dinyatakan oleh pejabat humas kepolisian bernama Dedi Prasetyo dan politisi PSI bernama Guntur Romli. Dalam lintas posting di media sosial mereka berdua seakan bersepakat menyebut jumlah peserta reuni sebanyak empat puluh ribu orang. Belum lagi imbuhan bahwa kelancaran dan damainya aksi adalah berkat peran dari kepolisian. Ini yang membuat kepolisian jadi bahan tertawaan. Guntur Romli sendiri mengalami serbuan bully di akun medsos-nya. Hancur lebur si Guntur Romli. Dia masif merendahkan peserta reuni, padahal dia tidak ada kepentingan sama sekali kecuali ketakutan politisnya. Ketakutan ini membuat analisanya ngawur, salah besar, namun ngotot. Ya sudah, biarkan saja, namanya juga politisi gurem lagi cari makan.

Satu lagi keanehan yang muncul. Yakni peliputan media. Hampir tidak ada media yang meliput acara akbar ini. Hanya tercatat TV One dan beberapa media yang saya tidak hafal. namun kebanyakan media mainstream tidaklah menurunkan berita atau meliput hal ini. Memang jamak difahami bahwa media - media mainstream sudah berada di pihak penguasa. Sementara acara reuni ini ter-label sebagai acara oposisi. Mangkanya media arus utama tidak meliput. Tidak meliput atau dilarang meliput ? Apapun alasannya, menurut saya media yang tidak meliput bisa jadi telah kehilangan idealisme jurnalistiknya. Bahkan mungkin sudah tergadai. Tapi itu urusan mereka dengan kebingungan antara idealisme dan kebutuhan perut mereka.
Posisi sulit sepertinya dirasakan oleh Harian Republika. Pembacanya kebanyakan adalah simpatisan 212, namun salah satu pimpinan Republika adalah ketua tim sukses dari calon presiden Jokowi, pemegang kekuasaan sekarang. Apa yang dilakukan Republika pada pemuatan berita edisi hari Senin 3 Desember 2018 menunjukkan pemilihan nilai tengah keadaan tersebut. Masih mendinganlah daripada media - media mainstream yang bungkam --mungkin karena tidak berani-- memberitakan hal ini. Pangamat politik Hersubeno Arief menilai kelalaian media tidak memuat peristiwa besar ini sebagai langkah bunuh diri massal pers Indonesia. Sementara cendekiawan Rocky Gerung menganggap hal ini sebagai peran media dalam menyembunyikan suatu sejarah. Gerung juga menyatakan bahwa media yang tidak menyiarkan acara tersebut hanyalah sebagai brosur pemerintah. Kartunis Mice Misrad juga heran dengan peran media. Dalam harian Merdeka tanggal 4 Desember, Mice menyindir dalam karikatur buatannya, bahwa pers lokal tertidur sementara pers luar negeri sibuk melakukan liputan. Menurut saya, apa yang dikatakan Hersubeno Arief, Rocky Gerung, dan Mice Misrad benar semata. Namun, menurut kubu penguasa tentu berbalikan. Gakpapa. [] haris fauzi, 6 Desember 2018.

Friday, October 26, 2018

Dua Kali Adzan

Masjid ini terbilang modern dalam sisi bangunan. Dinding dan plafon sangat menunjukkan kelasnya. Sound system-nya cukup jelas. Walau jendelanya cenderung tertutup. Mengandalkan kipas angin.

Masjid bernama Syarif Hidayatullah yang berada di kawasan jalan Tegar Beriman Cibinong ini, dalam rangka sholat Jum'at, mengumandangkan adzan dua kali. Dalam sebuah hikayat dikisahkan bahwa ada malaikat khusus yang bertugas mencatat jamaah sholat jum'at yang sudah hadir di masjid sebelum adzan berkumandang. Kalo dalam istilah populer mereka ini disebut "early bird", jamaah yang datang awal. Sementara yang dimaksud adzan disini tentu saja adalah "adzan beneran", yakni adzan setelah Sang Imam naik mimbar. Mereka --para early birds ini-- yang namanya dicatat karena datang awal, akan mendapat pahala khusus. Itulah kenapa beberapa orang memandang perlunya para jamaah di panggil sebelum pencatatan Sang Malaikat dimulai. Dipanggil menggunakan apa ? Bisa dengan apa saja, dengan toa, dengan bedug, woro - woro, atau apapun .... termasuk dipanggil menggunakan adzan. Adzan itu fungsinya dua. Yakni sebagai penanda masuknya waktu sholat, dan juga sebagai pemanggil jamaah.

Insya Allah pelaksanaan adzan dua kali itu fungsinya adalah untuk itu. Adzan pertama berfungsi memanggil jamaah agar bersegera hadir di masjid sebelum imam naik mimbar. Dengan "panggilan awal" ini, maka akan lebih banyak jamaah yang mendapat pahala khusus karena datang sebelum adanya adzan kedua. Wallahu'alam.

Thursday, August 23, 2018

Antara Turki, Amerika, China, dan Sebuah Negara


Turki sedang dilanda krisis, bulan lalu. Kenapa Turki bisa krisis ? Ringkas ceritera, negara Turki sedang perang ekonomi dengan Amerika. Siapa yang ribut duluan ? Kalo menurut hatta al kisah, Amerika ingin menundukkan Turki, namun Turki ogah. Turki melawan. Akhirnya terjadi saling embargo antara presiden Erdogan melawan presiden Trump. Hal ini yang menyebabkan Turki mengalami krisis ekonomi. Trump ingin menguasai Turki, Amerika ingin meng-kooptasi Turki, namun karena Turki melawan, maka Amerika mengancam dengan hukuman embargo.  Lira, mata uang Turki anjlok jeblog gara - gara embargo Amerika. Embargo ini bertujuan agar Turki kapok. Namun ternyata tidak begitu. Dengan heroik Presiden Erdogan memimpin rakyat Turki untuk melancarkan perlawanan terhadap embargo ini.

Lantas, apa yang dilakukan oleh Erdogan ? Selain mempimpin rakyatnya untuk mengobarkan anti - Amerika, Erdogan juga melakukan kontak dengan China. Kita semua tau, China juga sedang berperang ekonomi melawan Amerika. Sama - sama adu pajak impor, sama - sama bermain truf embargo. Harapan Erdogan, sebagai sesama negara yang menjalin permusuhan dengan Amerika, Erdogan sepertinya berharap bisa tercipta sekutu perang ekonomi Turki dan China, berperang melawan raksasa Amerika. Begitu ringkas ceritera. Jelas, bahwa Turki menggandeng China bertujuan untuk melawan Amerika. Bila Erdogan kalah dalam perang kali ini, Turki bakal dicaplok Amerika. Bila Turki menang, bisa jadi malah dicaplok China. Itu resikonya bila Erdogan tidak pintar bermain perang. Kalah tau menang punya resiko masing - masing.

Disisi lain dunia, ada sebuah negara antah - berantah, dimana negara China mulai mencaplok satu persatu potensi negara tersebut. Dari segala sisi. Mengintip hal ini, sebagian rakyat negara antah - berantah ini sering berisik memperingatkan penguasa. Berisik melulu, memaksa pemerintah negara antah - berantah agar mau melawan dari pencaplokan China tersebut. Rakyat yang berisik ini, mengangkat Presiden Erdogan sebagai tauladan karena ketangguhannya melawan penjajah yang hendak mencaplok Turki. Seperti kita semua tau, pada sebuah negara ini, Amerika telah menjajah dalam bidang pertambangan, dan China telah menguasai secara dagang dan hutang proyek, dan termasuk proyek reklamasi. Tapi, ada baiknya tidak perlu disebutkan satu - persatu. Malah bikin puyeng.

Tentu kondisi sebuah negara antah - berantah ini berbeda dengan Turki. Turki menolak penjajahan Amerika, walau cara Turki melawan Amerika adalah dengan menggandeng negara lain, yakni China, yang notabene juga pencaplok. Karena ini koalisi perang ekonomi. Toh China juga sedang berperang melawan Amerika.

Berbeda dengan sebuah negara antah - berantah, --silakan tebak, bisa negara mana saja, silakan,--  yang mana posisinya sudah dicengkeram Amerika, dicaplok pula oleh China. Ya sudah selayaknya bila ada rakyat yang berisik memperingatkan agar penguasanya segera mencari solusi untuk menolak kelanjutan penjajahan berganda ini. Daripada kekayaan negara tersebut jadi bancakan para penjajah. Faham ? [] haris fauzi, 11 Dzulhijjah 1439H

Tuesday, August 21, 2018

Puasa Arafah

Mari kita ingat - ingat. Saat penetapan hari raya Iedul Fitri, --yakni tanggal 1 syawwal,-- beberapa kali terjadi perbedaan selisih satu hari, baik antar daerah ataupun antar metode penetapan penanggalan. Kini, tahun 2018, terjadi perbedaan pula terhadap penetapan penanggalan namun bukan 1 syawwal, melainkan tanggal 1 Dzulhijjah 1439 Hijriyah. Sebetulnya, perbedaan tanggal dalam penetapan awal bulan Dzulhijjah bisa lebih heboh daripada perbedaan saat penetapan 1 syawwal. Hal ini dikarenakan penetapan awal Dzulhijjah bisa menimbulkan multi persepsi. Dan itulah yang terjadi kini. Indonesia, dimana lokasinya lebih timur daripada Arab Saudi, ternyata hilal bulan Dzulhijjah muncul lebih lambat 1 hari dibandingkan dengan penetapan di Arab Saudi. Jadi, Indonesia dimana waktu internasionalnya lebih dahulu sekitar 4 jam dari Arab Saudi, ternyata penanggalan Dzulhijjahnya tertinggal 1 hari. Ketika Arab Saudi sudah bertanggal 1 Dzulhijjah, di hari yang sama di Indonesia ternyata belum masuk Dzulhijjah.

Apa dampaknya ? Dampaknya adalah pada pelaksanaan salah satu ibadah haji, yakni Wukuf di padang Arafah. Tanggal 9 Dzulhijjah versi Arab, jatuh hari senin 20 Agustus 2018. Nah, di Indonesia, pada tanggal 20 Agustus, masih tanggal 8 Dzulhijjah. Telat sehari. Masalahnya tidak disitu, karena pelaksanaan Wukuf di lokal Arab Saudi, jadi ya pasti mengikuti penanggalan versi Arab Saudi. Masalahnya adalah pada penetapan waktu untuk pelaksanaan puasa Arafah. Walhasil dengan ini, umat Islam di Indonesia ada kebingungan ihwal pelaksanaan puasa Arafah yang harusnya dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah. Secara teori ideal, baik wukufnya maupun puasanya, seharusnya dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Bagi yang sedang menunaikan ibadah haji, tentunya hal ini tidak bermasalah, karena pemerintah Arab Saudi telah memutuskan bahwa pada 20 Agustus 2018 adalah tanggal 9 Dzulhijjah, yang berarti dilaksanakan ibadah wukuf di padang Arafah. Bagi yang sedang di Arab Saudi namun tidak sedang berhaji, tentunya dengan mudah menetapkan kapan dia akan melaksanakan puasa Arafah. Tidak masalah juga.

Yang masalah itu di sini, di Indonesia. Kan --ternyata-- di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah ? Bolehkah kita yang masih bertanggal 8 Dzulhijjah di lokal Indonesia berpuasa Arafah seiring pelaksanaan ibadah wukuf ? Atau harus menunggu besok walau notabene acara ibadah wukuf sudah kelar ? Baiklah, kita tengok dulu salah satu dalil puasa Arafah.


Dalam dalil tersebut ditekankan ihwal puasa Arafah, karena saat itu jamaah haji sedang menunaikan wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah (waktu Arab Saudi), dimana berarti jatuh pada tanggal 20 Agustus, bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah waktu Indonesia, merujuk kepada perbedaan penetapan kalender. Bila kejadiannya seperti demikian, maka bagi umat Islam di Indonesia --yangmana pada saat ini mengalami takdir berbeda kalender,-- dapat melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah waktu Indonesia dengan --setidaknya-- dua alasan. Alasan pertama --jelas sangat kuat-- adalah berpuasa Arafah karena merujuk kepada pelaksanaan wukuf di padang Arafah. Entah tanggal berapapun, yang penting ketika ada ritual ibadah wukuf di Arafah, maka itulah saatnya untuk berpuasa Arafah. Beres.

Alasan kedua adalah meyakini bahwa kita bertanggal 9 Dzulhijjah, walaupun sebetulnya organisasi Islam mayoritas disini menyatakan bahwa di Indonesia adalah tanggal 8 Dzulhijjah. Bagi umat Islam Indonesia yang meyakini alasan kedua, maka sehari setelah puasa Arafah, dia berlebaran Iedul Adha dan melaksanakan sholat Ied karena setelah puasa Arafah 9 Dzulhijjah adalah tanggal 10. Artinya, sholat Ied dilaksanakan satu hari lebih cepat daripada penetapan pemerintah, tetapi bebarengan dengan penetapan Arab Saudi. Dan itu memang ada, salah satunya organisasi HASMI, yang bersholat Ied pada 21 Agustus. Walau ihwal sholat Ied ini, ternyata sebagian besar masjid menyelenggarakan sholat Iedul Adha 10 Dzulhijjah pada 22 Agustus 2018. Ini artinya adalah tanggal 11 Dzulhijjah versi penanggalan Arab Saudi.

Lho ? Sekarang prtanyaannya adalah bolehkan sholat Ied di hari raya kedua, yakni 11 Dzulhijjah ? Untuk hal ini, saya baru menemukan justifikasi untuk sholat Iedul Fitri. Yakni ketika Rasulullah SAW pada suatu siang menyatakan perintah membatalkan puasa karena hari tersebut ternyata sudah masuk Syawwal. Hari itu --ternyata-- sudah 1 syawwal. Dan Rasulullah memerintahkan sholat Ied keesokan harinya, tanggal 2 Syawwal. Untuk pelaksanaan sholat Iedul Adha pada 11 Dzulhijjah, saya belum menemukan referensinya.

Berarti bolehkan berpuasa Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah ? Tentu saja boleh bila merujuk kepada alasan pertama. Ini malah pada posisi aman. Puasa pada 8 Dzulhijjah WIB bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, yakni tanggal 20 Agustus 2018. Trus pada 9 Dzulhijjah - 21 Agustus boleh berpuasa, boleh pula tidak. Tidak berpuasa dengan asumsi bahwa tidak ada kejadian wukuf di hari itu. Boleh pula berpuasa dengan asumsi saat itu adalah tanggal 9 Dzulhijjah versi penanggalan hilal lokal Indonesia, walau tidak ada pelaksanaan ritual wukuf saat itu. Dan baru keesokan harinya, 21 Agustus 2018 melaksanakan Sholat Iedul Adha bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah waktu lokal Indonesia.

Jadi, hal perbedaan tanggal demikian sangat mungkin terjadi. Yang perlu kita berhati - hati adalah adanya kemungkinan pihak - pihak yang sengaja menggesek-besarkan perbedaan ini sehingga menodai persatuan dan ukhuwwah umat Islam. Ini tidak main - main. [] haris fauzi - 21 agustus 2018

Friday, August 10, 2018

Islam sebagai Solusi dalam Pilpres

Dari dua pasang Capres-Cawapres, umat Islam Indonesia mengalami kemajuan pesat. Pada kubu Capres Jokowi, posisi umat Islam terwakili dimana ada Cawapres tokoh NU KH Maruf Amin, salah satu tokoh gerakan Aksi Bela Islam 212, GNPF MUI. Jadi ada gerbong MUI dan ustadz NU disitu. Banyak ulama di gerbong tersebut.
Untuk Capres Pak Prabowo, sudah jamak didukung banyak partai Islam, yang juga berisi banyak ulama dan ustadz. Calon Wapres-nya, Sandiaga Uno sendiri berasal dari keluarga relijius, namun tidak banyak diketahui. Khalayak lebih faham Sandiaga sebagai bisnisman muda yang berhasil. Padahal sejatinya Bang Sandi itu nyantri, ibadah ritual dan sedekahnya sulit dikalahkan.
Jadi, baik Jokowi atau Prabowo, insyaa Allah umat Islam Indonesia memiliki tokoh - tokohnya yang akan berkiprah membangun bangsa dan negara. Apa ini bukan kabar bagus ?
Nikmat apa lagi yang kau dustakan ?
Ini kemajuan yang masif. Paska Aksi Bela Islam 212, pertimbangan kaidah Islam sebagai solusi bangsa memang menguat. Ini tren bagus. Alhamdulillah. Bursa pilkada dan pilpres mau nggak mau ikut menyorot ketokohan ulama dan ustadz. Tentunya berikut da'wah dan syariah-nya. Lihat saja. Dalam merekrut Cawapresnya, Jokowi harus rela meminggirkan tokoh nasionalis jumawa yang bertaburan di sekelilingnya dan mau nggak mau menggandeng ulama. Massa 212 juga harus rela KH Maruf Amin digandeng Jokowi. Seperti kita faham, massa 212-lah yang beberapa tahun silam memenjarakan Ahok, karib dekat Jokowi, yang terindikasi melecehkan al Qur'an. Di belakang aksi 212 yang sungguh sungguh luar biasa ini, ada KH Maruf Amin sebagai salah satu penggeraknya. Jokowi berubah haluan ? Bisa jadi. Saya harap demikian. Bersalamannya Jokowi kepada KH Maruf Amin adalah rupa jalan tengah. Jalan tengah demi kebaikan bersama.

Bagaimana dengan pasangan Prabowo - Sandiaga ? Berjuta ulama dan partai Islam berada di kubu Prabowo. Meng-"hijau", demikian istilah politiknya. Di belakang kedua calon ini sudah sejak lama berdiri kokoh para ulama dan politisi alim. Mereka semua berdiri tegar demi kebenaran, demi Islam. Walaupun Prabowo dan Sandi tidak bergelar Kiyai Haji, namun keyakinan tinggi mereka akan dan selalu mendengarkan nasehat ulama dan suara partai Islam. Ulama dan umat Islam banyak berharap kepada pasangan Prabowo - Sandiaga.

Memang banyak pertanyaan yang akan muncul terhadap kedua pasangan. Baik pasangan Jokowi-Maruf atau Prabowo-Sandi. Tapi itu bukan kendala besar. Selama kaidah Islam ditaati, insyaa Allah dimudahkan.
Yang tak kalah penting berikutnya adalah bagaimana langkah selanjutnya apabila salah satu dari capres tersebut menang dalam pemilihan umum preaiden 2019. Bagaimana mengawal pemerintahannya supaya tidak terjadi penistaan agama islam lagi, misalnya.
Dengan metodologi seperti ini, insyaa Allah solutif. Walau saya yakin ini tidak bakal bisa memuaskan semua orang. Lha kok semua orang, kalo merujuk kepada kesempurnaan, bagi saya pribadi kedua pasang calon tersebut masih jauh dari sempurna. Namun ini realitas. Mudah saja. Begitu menurut saya. Dipikir gampangnya saja. Wallahualam. [] haris fauzi



foto : netralnews.com



Saturday, July 21, 2018

Habibie, Presiden Tanpa Ambisi

Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan sosok yang begitu istimewa. Bisa jadi lantaran Pak Habibie adalah seorang insinyur. Namun, bagi saya tidak hanya itu. Bila ada survey ihwal presiden idola, mungkin nyaris sebagian besar rakyat Indonesia mengidolakan proklamator sekaligus Presiden pertama RI, Bapak Ir. Soekarno. Bisa saja rakyat Indonesia kini mengidolakan presiden petahana, bapak Joko Widodo. Namun, bila disuruh minta memilih salah satu, maka Habibie-lah idola bagi saya.

Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden RI pada bulan Maret tahun 1998, menjadi wakil dari Presiden Soeharto. Dan tak lama kemudian pada bulan Mei 1998 terjadilah gerakan massa di bawah komando Amien Rais menentang pemerintah yang disebut dengan gerakan reformasi. Gerakan ini memaksa Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama lebih 32 tahun. Gerakan massa yang masif tersebut anehnya hanya melengserkan Presiden Soeharto, tidak melengserkan Wakil Presiden yang kala itu dijabat Bapak Habibie. Bahkan setelah Pak Harto turun dari jabatan Presiden, maka tampillah Pak Habibie menjadi presiden menggantikan Pak Harto. Bila orang suudzon, bisa jadi menuduh Pak Habibie melakukan kudeta. Karena, impak dari reformasi malah membuatnya menjadi seorang presiden.

Baiklah. Salah satu hasil gerakan reformasi adalah tampilnya Habibie menjadi Presiden, dan Habibie menjadi presiden tanpa wapres. Ini kejadian luar biasa. Cepat dan tak terduga. Seakan bangsa Indonesia membuka lembaran baru yang benar - benar baru. Habibie tidak pernah berkampanye ataupun bermimpi untuk menjadi seorang presiden. Siapa menyangka akan ada gerakan reformasi ? Siapa mengira gerakan reformasi tidak serta - merta melengserkannya ? Siapa mengira bangsa Indonesia paska reformasi bisa menerimanya sebagai presiden menggantikan Pak Harto ? Bahkan Habibie-pun --saya kira-- tidaklah mengira sama sekali semua hal tersebut. Malah, mungkin bisa jadi Habibie menganggap suatu kebetulan semata bahwa dia menjadi presiden. Ini bukti pertama bahwa Habibie sama sekali tidak berambisi untuk menjadi seorang presiden. Habibie menjadi presiden di luar dugaannya sendiri.

Pada medio akhir 1999, tibalah masa pertanggung-jawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kala itu, MPR yang dimotori oleh lokomotif reformasi Pak Amien Rais, mendesak Presiden Habibie untuk "berjanji" agar melaksanakan pengadilan kepada Pak Harto, presiden sebelumnya yang telah lengser. Atas pertimbangan banyak hal, akhirnya Presiden Habibie pada pidato pertanggung-jawabannya tidak memuat "janji" tersebut. Otomatis hal ini membuat MPR tidak bisa menerima pertanggung-jawabannya, Amien Rais terus mendesak untuk dilaksanakannya pengadilan tersebut, namun Habibie tidak berubah pikiran. Dan kejadian ini membuat kans Habibie untuk melanjutkan jabatan kepresidenan menjadi tertutup. Apakah ini bermasalah ? Ternyata tidak bagi Habibie. Dan pilihan Habibie ternyata sangat benar. Pilihan Habibie terbukti beberapa tahun kemudian. Ketika akhirnya Habibie tidak lagi menjadi presiden, dan digantikan oleh KH. Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid, toh Gus Dur dalam masa jabatannya sebagai presiden selama dua tahun juga tidak melakukan pengadilan atas Pak Harto. Demikian juga pada masa kepresidenan Megawati selama tiga tahun, pun tidak terjadi.

Pilihan Habibie untuk tidak berjanji ihwal pengadilan ini, dengan resiko jabatannya sebagai presiden tidak bisa dilanjutkan, --dan akhirnya memang demikian--, menjadi bukti kuat bahwa Habibie sama sekali tidak berambisi menjadi Presiden. Pak Habibie, yang tidak berjanji mengadili Soeharto, bukannya berpihak kepada penguasa lama, klan Soeharto. Bila Habibie berat sebelah kepada penguasa Orde Baru, tentu dia ikut di-lengser-kan dalam gerakan reformasi.  Andai Habibie kemaruk kekuasaan, tentu dalam pertanggung-jawabannya Pak Habibie bakal mencantumkan "janji" tersebut, entah bisa terealisasi atau tidak.

Habibie memiliki hati dan otak yang jernih. Yang mampu membuatnya bijak dalam menentukan keputusan diantara pilihan yang membingungkan. Ini semata pilihan terbaik. Dan Habibie berhasil memilih dengan baik. Karena Habibie tidak memilih berdasarkan ambisi. [] haris fauzi - 21 Juli 2018


foto : merahputih.com

Saturday, July 14, 2018

Freeport itu Pilihan

Salah satu hiruk pikuk yang tak kunjung usai di nusantara ini adalah persimpangan masalah Freeport. Setelah sukses beberapa kali menjadi top hits, kali ini Freeport kembali mencuri perhatian masyarakat Indonesia dengan aksi yang dilakukan oleh Menteri Jonan, Rini, dan Presiden Jokowi yang melakukan pembelian saham Freeport melalui salah satu perusahaan milik negara bernama PT. Inalum. Dalam dekade terakhir, Freeport mencuri perhatian karena selalu terjadi tarik ulur ihwal kontrak karyanya. Berbeda tahun ini. Kali ini Freeport di-beli oleh pemerintah RI melalui pintu divestasi saham. Dibeli coy !

Ihwal kontrak Freeport, sejatinya tahun 2021 katanya bakal stop, dan bila putus kontrak itu terjadi maka Freeport bakal jadi milik RI. Sebagaimana pemain sepak bola dengan istilah bebas transfer. Itu plot tahun 2021 kelak. Tetapi pemerintah kini --tiga tahun sebelum kontrak habis-- memilih bersegera merogoh kocek 55 trilyun rupiah -- tentunya dengan disokong belasan bank nasional-- untuk melakukan divestasi saham. Membeli saham Freeport dari partisipasi RioTinto dan Indocopper Investama. Rio Tinto dan Indocopper ini semula dikuasai Freeport-Mc.Moran. Posisi saham Freeport-McMoran mungkin tetap, namun effort ini membuahkan hasil menaikkan kepemilikan BUMN bernama PT. Inalum atas saham Freport hingga 51%. Jadi dominan. Tidak hanya itu. Pemerintah juga bersepakat jidat memperpanjang kontrak Freeport dua puluh tahun lagi. Konon hingga tahun 2041. Itu harga yang dibayarkan oleh pemerintah. Tampaknya Freeport-Mc.Moran cukup puas dengan perpanjangan 20 tahun dan tukar - menukar saham senilai 55 trilyun tersebut. Skema pembayaran masih dalam proses negoisasi.

Membeli sesuatu, berarti ada yang diharapkan dari yang dibeli. Harapannya adalah pada deposit --sisa cadangan emas yang ada. Untuk ini memang masih perlu kepastian, karena tentunya tidak mudah menerawang sesuatu yang berada di dalam perut bumi. Karena bila cadangan masih melimpah, harusnya Freeport tidak rela dan tidak dengan mudah melepaskan saham - sahamnya. Dan pula, bila bicara ihwal saham, maka bila deposit mencukupi seharusnya saham Freeport tidaklah perlu melorot. Namun aktualnya saham Freeport sudah turun memudar pada medio 2016, entah ini dipengaruhi deposit atau tidak, wallahu'alam. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. 

Sebaiknya begini. Jangan percaya begitu saja ihwal deposit ini, ada yang bilang masih banyak, ada pula yang bilang tinggal sedikit. Disisi lain ada yang bilang kilaunya telah memudar, namun di sisi lain beberapa laporan menyampaikan bahwa cadangannya masih lebih separuh. Ini masih perdebatan. 

Faktor berikutnya adalah seni berbisnis. Inilah contoh kongkrit seni dalam berbisnis. Bisnis itu ya pilihan seperti ini, mengambil keputusan dengan data yang diyakini. Dengan mantab. Bukankah begitu ? [] haris fauzi - 14 juli 2018


Friday, June 29, 2018

kota idaman

Apa sih yang disebut dengan negara, kota, atau daerah yang maju ? Ini pertanyaan yang gampang, menjawabnya juga gampang. Gampang, karena tiap orang punya persepsi tersendiri tentang apa yang disebut dengan negara maju, demikian juga dengan saya. Hal ini dipermudah dengan memberi contoh. Misal "Jerman", yang disebut maju karena teknologinya, karena gedung pencakar langitnya, karena infrastrukturnya, karena layanan masyarakatnnya, karena sepakbolanya. Perancis dan Italia karena pergaulannya, karena gaya hidupnya. Ihwal kota, Jakarta juga sempat dijuluki kota yang maju, karena reklamasinya, karena dengan adanya reklamasi, maka garis pantainya jadi lebih maju.

Baru - baru ini seiring penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, sering pula dikait - kaitkan dengan kemajuan suatu negara, kota, atau daerah. "Kalau mau daerah kita maju, ya sebaiknya pilih calon si A...", gitu misalnya. Ini sesuatu yang terlalu subyektif. Suatu kota, negara, atau daerah maju, kembali lagi, mengacu kepada "utopia" atau tanah harapan yang dirindukan. Future city. Nah, tanah harapan setiap orang tentu berbeda - beda. Kebanyakan, kemajuan diidentikkan dengan kemewahan, pencakar langit, kecanggihan, kemegahan. Mayoritas menganggap Paris, Bonn, New York, London, dan sebangsanya adalah kota - kota yang maju, yang dicita - citakan banyak orang di Indonesia. Mereka begitu kepingin pergi, menetap, dan mati disana. Mereka akan senang tinggal di sana. Begitukah ? Tidak juga. Dari sisi lain seorang urban yang bekerja di Jakarta, tak jarang merindukan balik kampung ke desanya. Menurutnya, di desa lebih nyaman daripada di metropolitan. Apakah desa lebih maju dari ibukota ? Ataukah ibukota lebih maju dari desa ? Wallahualam.

Suatu ketika, dalam urusan dinas kantor, tentunya ada acara pergi ke luar negeri. Bila bepergian dinas itu berkaitan dengan kota - kota favorit seperti Paris, London, New York, sepertinya kebanyakan karyawan berlomba ingin ke sana menunaikan tugas dinas. Penggemarnya lebih banyak daripada bila dikirim dinas ke Zimbabwe atau papua Nugini misalnya. Mengapa, karena itu tadi. Kota - kota favorit itu merupakan kota yang dianggap "maju" sehingga menjadi dambaan banyak orang. Banyak kesenangan di sana. Namun tak jarang ada juga yang memilih tidak ke luar negeri, mungkin karena mereka mendambakan pulang kampung paska pensiun. Saya termasuk orang yang tidak terlalu ngebet ke kota - kota dambaan itu. Bukannya tidak mau. Saya suka saja pergi kemana saja, namun bila disuruh memilih, saya kangen pergi ke Makkah atau Madinah. Itu saja sih. [] haris fauzi - 29 juni 2018.

Ilustrasi : https://www.oxfordmartin.ox.ac.uk/event/2355

Tuesday, May 08, 2018

Labeling dan Sandiwara CFD

Saya tidak terlalu terusik baik kaos #2019GantiPresiden ataupun kaos "DiaSibukBekerja". Kaos bisa apa saja. Juga bila terjadi bentrok antar pemakai kedua kaos tersebut, bukan poin utama, tidaklah seseru bentroknya bonek. Masih bisa disisihkan. Gak terlalu penting. 

Saya memendam opini ihwal tersebut. Sejatinya saya tak hendak menuliskannya. Dengan beberapa pertimbangan, walau telat, saya menulis mewakili keterusikan saya. Keterusikan ? Iya. Yang mengusik adalah kata-kata,"muslim apa kalian !" Yang diucapkan dalam suatu "drama".

Bila itu diucapkan dalam situasi riil, bukan sandiwara, itupun maksudnya apa ? Apa urusan kaos - kaos tersebut dengan "status muslim" ? Sama sekali tidak ada korelasinya. Nyaris nyata bahwa ini ada hidden agenda.

Hal ini lebih buruk lagi, bila itu semua ternyata "sandiwara". Sandiwara yang bersengaja dengan skenario mengumpat "muslim" dengan tanda seru. Sekali lagi, konsentrasi saya bukan masalah kaos atau ganti presiden. Itu masih terlalu kecil kepentingannya dibanding skenario kesengajaan memaki umpat dengan menyudutkan muslim. Bagi saya drama sandiwara tersebut tidaklah elok sama sekali. Mau bilang apa lagi ?