IJTIHAD BAGI PEMULA Aturan atau hukum dalam agama Islam pada dasarnya dibuat untuk mempermudah pelaksanaannya. Agar segalanya lancar, tidak berantakan, dan bermanfaat. Kata "agama" seingat saya berasal dari bahasa sansekerta yang artinya "tanpa kekacauan". "A" artinya 'tanpa' seperti a-nonim yang berarti 'tanpa nonim', dan "gama" artinya 'kekacauan'. Begitu menurut guru SMP saya. Namun, dalam menyikapi pedoman – pedoman dalam agama Islam, seringkali secara awam kita akan melihat sebagai sesuatu yang saling bertentangan yang akan mempersulit pelaksanaannya. Sehingga tak jarang timbullah silang pendapat bersengketa tak keruan ujung - pangkal. Sekali lagi, pendapat seperti ini seharusnya diluruskan, karena aturan dibuat bukan untuk mempersulit sebuah perkara. Dan, apabila memang pada akhirnya melahirkan sebuah kesulitan, maka bisa jadi sumber kesulitan itu adalah diri kita sendiri, bukan bermuasal dari hukum yang ada. Taruhlah contoh dalam keutamaan sholat. Dalam Islam ada beberapa pedoman keutamaan pelaksanaan sholat. Yang sangat umum adalah bahwa sholat diutamakan dilaksanakan pada awal waktu. Di sisi hukum yang lain sholat dianjurkan untuk dilaksanakan berjamaah. Ada pula, pendapat yang menyampaikan bahwa seorang ibu diperkenankan menunda sholatnya apabila anak bayinya merengek minta disusui. Nah, kejadiannya adalah seperti berikut. Adalah tiba waktunya azan dan saya sudah bersiap untuk mengambil air wudlu. Istri-pun demikian juga. Dan tiba – tiba anak bungsu kami yang masih bayi terjaga dari tidurnya dan minta disusui. Tengoklah, dalam kasus ini, ketiga konstrain di atas akan saling bersilangan. Andai saya menjalankan sholat duluan, maka saya tidak akan berjamaah. Andai saya buru - buru berangkat ke mesjid, maka istri saya tidak akan bisa melaksanakan sholat jamaah karena di rumah kemungkinan berjamaah adalah dengan saya. Namun, apabila saya dan istri nekad menjalankan sholat saat itu juga dengan berjamaah, maka 'hukum yang ketiga' dimana bayi harus disusui akan terlantar. Untuk menyikapi hal diatas, kita perlu berpikir. Inilah gunanya otak. Maka setelah berpikir sejenak saya memutuskan untuk menunggu di ruang sholat, sementara istri harus mengenyangkan bayi dahulu sehingga bayi tersebut tenang dan bisa ditinggalkan sejenak untuk kemudian istri melaksanakan sholat berjamaah dengan saya. Waktu pelaksanaan sholatnya memang sedikit tertunda barang sekitar lima belas menit. Tetapi inilah yang saya putuskan untuk dikerjakan setelah menimbang – nimbang dan memaknai semua hukum yang ada. Sholat tersebut akhirnya memang tertunda, dan saya 'menunggu'. Dalam keadaan seperti ini, --menunggu orang lain untuk pelaksanaan sholat,-- pahalanya sama dengan sholat itu sendiri. Begitu ujaran guru spiritual, bukan pendapat saya pribadi. Memahami sebuah hukum dalam konteks kekinian dan aplikasi keseharian memang bisa jadi mutlak diperlukan. Untuk itulah Tuhan meng-anugerah-kan otak kepada manusia. Pemahaman seperti ini mungkin yang biasa disebut sebagai 'ijtihad'. Tentunya 'ijtihad' yang dijalankan oleh para alim-ulama tidaklah sesederhana apa yang saya lakukan di atas. Ijtihad, menurut kamus besar bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta artinya kurang lebih adalah "memahami dan menafsirkan menurut pendapat pribadi". Sementara menurut pakar Islam Profesor Abubakar Atjeh dalam bukunya "Salaf" sekilas arti 'ijtihad' adalah "mengambil pengertian dan memahami sumber hukum yang akan dijalankan". Menurut ulama besar, berijtihad dengan otak ini berpahala ganda. Pahala yang pertama adalah telah menjalankan ijtihad itu sendiri dengan mendayagunakan otak secara optimum sebagai karunia Tuhan. Dan bila keputusan 'ijtihad'-nya benar, maka dia mendapat pahala kedua. Inilah pahala ganda itu. Namun bila keputusannya salah ? Dia cuma mendapat satu pahala dari hasil 'panen' ber-ijtihad, Sementara kesalahan yang terjadi adalah akibat ketidak-tahuannya. Kekurangan terbesar dalam urusan pemahaman pribadi seperti ini adalah adanya subyektivitas yang kadang – kadang menjurus kepada pembelaan sepihak. Dijalankan untuk mencari pembenaran. "Dipelintir", gitu istilah orang sekarang. Ini yang salah dan bakal menimbulkan masalah besar. Bila kita merujuk pada paragraf awal tulisan ini, maka, tengoklah, bahwa permasalahan terbesar adalah berasal dari kita karena 'mengulik' hukum yang ada untuk mencari keuntungan pribadi secara sepihak. Mencari pembenaran yang sejatinya adalah kesalahan. Untuk mengantisipasi ini, sejatinya jangkar manusia dalam bertindak adalah pada nurani. Hati nurani seseorang secara fitrah memiliki kemampuan mengatakan 'benar' untuk hal yang benar, dan mengatakan 'salah' bila memang hal itu salah. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Muhammad tentang bagaimana caranya mengetahui bahwa sesuatu tindakan itu 'benar' atau 'salah'. Muhammad hanya berujar," Jawaban pertanyaanmu itu tidak ada dalam diriku. Jawabannya ada dalam dadamu. Apabila dadamu menolak tindakan tersebut sehingga bergejolak dan membuatmu tidak tenang, maka tindakan itu adalah kesalahan…". [] haris fauzi – 9 september 2009 salam, haris fauzi |
No comments:
Post a Comment