Friday, October 18, 2013

matinya demokrasi disini

"Disini demokrasi sudah mati. Namun mayatnya gentayangan karena terlambat dikuburkan."

Para ahli kenegaraan sering berbicara mengenai demokrasi. Demokrasi berdiri tegak atas tegaknya tiga pilar trias politika yang berupa pemisahan kekuasaan absolut menjadi pilar legislatif, pilar eksekutif, dan pilar yudikatif. Landasan munculnya trias politika adalah bentuk reaksi protes terhadap kekuasaan monarki yang cenderung menyatukan ketiga kekuasaan tersebut. Di Indonesia ketiga pilar ini tidak serta merta dipisahkan, melainkan diadopsi dan dikembangkan untuk disesuaikan dengan kultur politik lokal.


Demokrasi mulai hiruk-pikuk dibicarakan ketika muncul istilah "demokrasi terpimpin". Beriringan dengan membekunya hubungan Indonesia dengan dunia barat, yang notabene tanah kelahiran demokrasi. Ini termasuk kejanggalan awal yang diderita oleh Indonesia. Yakni menerapkan sistem politik dalam negeri yang diadopsi dari barat, namun secara politik luar negeri malah berseberangan dengan negara barat.

Berjalannya waktu, maka demokrasi berkembang pesat paska krisis moneter 1997. Saat itulah sering disebut dengan istilah "dibukanya kran demokrasi Indonesia". Menyikapi 'kran demokrasi' ini, seharusnya kita juga bisa mengingat bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum terjadinya krisis moneter 1997, muncul istilah pilar keempat dan kelima dari demokrasi, yaitu pilar pers dan pilar mahasiswa. Latar belakang munculnya kedua pilar tambahan ini adalah posisioning kekuasaan yang berpola demokrasi namun masih belum memuaskan semua pihak. Kala itu kekuasaan memang sudah terpisahkan menjadi tiga pilar, eksekutif-legislatif-yudikatif. Namun, masih ada masyarakat yang merasakan atmosfir yang 'tidak demokratis'. Masyarakat ini adalah pers yang terkekang, dan mahasiswa yang merasa dikebiri aktivitasnya. Singkat ceritera beginilah situasi munculnya pilar keempat dan kelima demokrasi.

Kini, belasan tahun setelah kran demokratisasi terbuka disini, maka terbukalah segala hal. Termasuk -ringkas cerita- semua orang juga bisa merasakan bahwa betapa rapuhnya pilar - pilar itu. Sebut saja pilar pelaksana pemerintahan, eksekutif, yang tak jamak lagi merekalah pelopor gerakan koruptif dan serakah. Sementara pilar legislatif menerapkan praktek kolutif dan menciptakan perundangan demi kenyamanan golongan masing - masing. Sementara penegak hukum sebagai pilar yudikatif malah bermental suap dan hendak memperkaya diri sendiri dengan mengatas-namakan hukum. Berapa banyak hakim yang mudah disuap, berapa banyak pengacara yang memilih imbalan harta dan lantas menyelamatkan kliennya yang bersalah.

Dalam tataran trias politika kuno, ketiga pilar ini sudah rubuh di Indonesia. Mereka kini bukan berupa pilar, melainkan sudah menjadi puing - puing. Lantas ada apalagi di demokrasi ? Tentunya --laksana sebuah bangunan yang pilarnya rubuh,-- maka bangunan tersebut walhasil rubuh juga. Namun jangan lupa, demi demokrasi modern, masih ada dua pilar yang tersisa, yakni pilar pers dan mahasiswa, yang ternyata disini kondisinya juga memprihatinkan. Pers mewujud menjadi pilar yang bisa dibayar dalam berkabar. Isi pemberitaan merupakan pesanan kepentingan politik pihak tertentu. Tentunya pilar yang ber-'penyakit' seperti ini malah harus disingkirkan. Sementara pilar kelima -mahasiswa- yang dulu berteriak karena aktivitas berbangsanya dikebiri, kini mewujud menjadi manusia - manusia yang disibukkan dengan hal - hal konsumtif sehingga dia tidak lagi peduli apakah bangunan yang dia sangga bakal rubuh atau malah entah sudah runtuh kemana.

Bangsa ini begitu mencintai demokrasi. Sehingga, walaupun sudah mati, maka jasadnya tak juga kunjung dikuburkan. Praktek - praktek demokrasi tak kunjung disudahi. Setidaknya ada tiga alasan mengapa mayat demokrasi dibiarkan gentayangan di Indonesia. Entah karena belum menemukan penggantinya, entah karena begitu cintanya kepada demokrasi, atau entah karena banyak yang sudah berhasil mengail ikan besar di puing - puing keruntuhannya. [] haris fauzi - 18 oktober 2013.

pic : http://marioguerrero.info/

No comments: