Wednesday, January 17, 2007

kenisah : masyarakat spiritual

MASYARAKAT SPIRITUAL : 
ANTARA RELIJIUSITAS DAN KLENIK
 
Kemaren - kemaren, pas sholat Iedul Adha, ada beberapa catatan pribadi yang saya bukukan. Kebetulan saya melaksanakan sholat Ied di Solo, dimana sholat Ied dilaksanakan di jalanan raya yang dibikin perboden. Ada dua ruas jalan yang paralel, sehingga satu ruas bisa dibikin tertutup, sementara jalan satunya tetap dibuka dan walhasil jadi penuh sesak dan 'nguwatiri' karena rame banget mobil berseliweran berjejal - jejal.
 
Dari pagi berkokok ayam, --sebetulnya sejak malam hari--  telah kedengaran bunyi takbir lewat pengeras suara yang dipasang para panitia.'Allahu Akbar...Allahu Akbar.. Allahu Akbar'.
Selesai beberes, saya dan keluarga segera berangkat karena arus jalanan mulai penuh orang hendak sholat juga. Jalan kaki seperti saya juga.
 
Sesampai lokasi, bahkan hingga menjelang sholat, bunyi takbir itu terus berkumandang --disela sesekali dengan pengumuman dan 'countdown'. Ya si panitia itu saja yang terus - menerus melantunkan takbir. Bisa dibilang dia sendiri yang ber-takbir, sementara jamaah yang hadir tidak memberikan kontribusi suara latar yang signifikan. Para jemaah masih berkesan malu - malu untuk membuka mulut ikut mengumandangkan takbir. Kalau dalam hitungan saya, lebih banyak yang mulutnya asyik merokok ketimbang yang mengumandangkan takbir.
 
Saya mencoba membandingkan dengan apa yang pernah saya alami pada saat saya masih berusia sepuluh tahun, berarti itu sekitar dua puluh tahun berselang. Jaman itu --di Malang-- saya kerap melaksanakan sholat Ied di tanah lapang rampal, tanah lapang milik angkatan darat. Perihal takbiran, seingat saya jaman dulu itu hampir semua  bocah ber teriak - teriak dengan semangat juang tinggi ketika menyahut takbir sholat Ied. Walhasil terjadi paduan suara yang gegap gempita dalam bertakbir. Pokok-nya bocah seusia saya malah jadi biang kerok karena kebanyakan terlalu keras dalam bertakbir, laksana vokalis rock sahaja. Kalau kaum dewasa mereka bertakbir secukupnya, namun cukup keras untuk menjadi suara yang utuh dan kompak. Kontribusi suara latar paling mantap biasanya diberikan oleh sekitar lima hingga sepuluh baris pertama. Lantang dan kompak berirama.
 
Selain beda di 'volume' suara takbir, baru kali ini saya melihat kejadian unik. Selain cukup banyak orang memutuskan untuk angkat kaki pulang begitu bubar sholat, kelihatan juga  beberapa jamaah yang tinggal ada yang menyalakan rokoknya pada saat sang khotib mulai berkhutbah. Ya itung - itung ngerokok sambil nunggu usainya khutbah. Ya baru kali ini saya melihat hal ini. Jadi  asap rokok mengepul di tengah jamaah sholat Ied. Kalau orang awam melihat, mungkin akan mengira bahwa ditengah - tengah jamaah ada yang menyalakan dupa atau kemenyan.
 
Perihal kepulangan beberapa jamaah usai sholat, mungkin ini hanya kejadian salah ngerti. Dalam panduan pelaksanaan sholat Ied, setahu saya isi khutbah itu jauh lebih penting ketimbang pelaksanaan sholatnya itu sendiri. Karena itulah pelaksanaan sholat didahulukan, baru kemudian dilaksanakan khutbah, karena memang sholat itu dimanfaatkan untuk mengumpulkan massa dalam waktu yang tepat dan cepat.
Untuk ini juga mengapa sholat Ied itu diprioritaskan dilakukan di tanah lapang, biar banyak orang bisa ngumpul. Perkara tidak bisa wudlu juga tidaklah terlalu penting. Yang utama adalah mengajak semua orang untuk berkumpul secepatnya dan sebanyak - banyaknya untuk mendengarkan khutbah.
 
Kata beberapa rekan, memang takbiran sudah nggak trend lagi sekarang. Lama kelamaan bukan hanya takbiran yang raib, keutamaan hari raya Iedul Fitri bisa jadi bakal berganti dengan gemebyar hari raya mudik, -- dan keutaman hari raya Iedul Adha bisa bergeser menjadi maraknya jual beli kambing dan sapi. Karena kali ini orang lebih memprioritaskan mudik ketimbang sholat Ied, lebih ramai pasar hewan ketimbang takbiran. Hal ini lazim seiring dengan kemunduran aspek relijiusitas suatu masyarakat modern.
Sampai dengan kalimat ini saya cukup setuju dengan ujaran teman saya. Tetapi ada fakta lain, bahwa ternyata nilai klenik masyarakat kita sekarang ini meningkat pesat. Terbukti dengan maraknya tayangan klenik di televisi. Belum obrolan mistik ngalor - ngidul bisa anda jumpai dimana saja mulai dari warung kopi, angkutan kota, pos gardu, omprengan karyawan, perkantoran, arisan ibu pejabat, hingga di restoran mahal. Fakta lain adalah gunung Kawi, gunung Merapi, dan pantai Selatan sekarang pamornya mulai bersinar kembali seiring dengan sulitnya perekonomian sehingga banyak orang minta pesugihan ke tuyul, dan dilengkapi dengan kejadian letusan gunung dan bencana ombak pasang yang membuat orang ketakutan dan melirik kekuatan jin penguasa setempat.
 
Dalam masyarakat, dikenal ada dua aspek utama yang paling populer yakni aspek material dan spiritual. Relijiusitas dan klenik adalah dua hal yang sebetulnya mirip, yakni sedikit banyak berkutat dengan hal - hal yang gaib spiritual. Relijiusitas identik dengan ilmu kanan, dan klenik dianggap ilmu kiri laksana sihir. Gampangnya gitu. Keduanya adalah 'member' dari ihwal spiritualitas, bukan material.
 
Bila diijinkan intermezzo sejenak,  mungkin akan muncul pertanyaan sebagai berikut :' tulisan ini sebenernya mau ngobrolin masyarakat spiritual ataukah spiritual masyarakat ?'.
Menjawab pertanyaan ini saya butuh waktu, walau saya nggak janji untuk menuliskannya. Namun, setau saya aspek spiritual masyarakat bisa mundur  (berkurang) bila aspek relijiusitas-nya mundur. Demikian sebaliknya juga bisa. Saya sebut 'bisa', karena ada aspek lain didalam aspek spiritual selain relijiusitas, yakni aspek klenik itu tadi, ilmu kiri. Aspek klenik juga bisa meningkatkan atau menurunkan nilai spiritual suatu masyarakat seperti halnya relijiusitas.
Bila begitu, bisa jadi aspek spiritual di masyarakat kita sebetulnya tidaklah hilang, bisa pula tidaklah berkurang -- kita ini masihlah masyarakat spiritual,-- hanya saja arahnya kali ini terkonsentrasi ke klenik, bukan ke relijiusitas.
Atau, .... timbul masalah yang membingungkan : jangan - jangan relijiusitas kita sudah bercampur - baur dengan asap kemenyan klenik ?
Ah, apalah itu relijiusitas, apalah itu klenik, apalah itu spiritual, .... sebetulnya saya juga tidak terlalu mengerti.... sekali lagi, saya butuh waktu, dan tidak janji untuk menuliskannya.... [] haris fauzi - 17 Januari 2007


salam,
haris fauzi


Don't be flakey. Get Yahoo! Mail for Mobile and
always stay connected to friends.

No comments: