Thursday, December 20, 2007

kenisah : paket akhir tahun 'the miracle' (the disc)

PAKET AKHIR TAHUN 'THE MIRACLE' (THE DISC)
 
Menggenggam cakram album perdana The Miracle : 'theM – let him make his choice…', mungkin akan timbul beberapa pertanyaan. Ya. The Miracle adalah grup lokal, bukan grup bule. Judulnya-pun pake bahasa Inggris, tapi semua syair dalam album tersebut berbahasa Indonesia. Transisinya ada di tracklist-nya. Di semua tracklist terdapat dua bahasa. Contohnya seperti ini : ChapterOne : Mawar Hitam.
 
Pertanyaan kedua yang muncul adalah sampul albumnya. Bergambar separoh (eh, seperempat ding…) wajah wanita, konsentrasi di bagian mata kanan, dimana di hitam matanya ada gambar bunga mawar merah pekat. Kelihatannya sih seperti itu. Warna latarnya juga hijau lunak pelepah pohon pisang. Seorang rekan yang melihat sampul album tersebut –tanpa mendengarkan musiknya terlebih dahulu—berkomentar, "…ini album pop, ya ?". Saya bengong. Bener juga kayaknya ya, kok mengingatkan pada sampul album – album musik pop highlights Indonesia. Atau saya yang ketinggalan jaman ?.
 
Kontan teman saya tersebut langsung saya ajak mendengarkan isinya. Begitu menit pertama langsung ritem gitar yang padat  dan drum berebutan suara, sekali lagi dia komentar: "..mas…sampulnya terlalu soft untuk musik yang demikian nge-rock..".
 
Oke. Kita lewati saja kontradiksi seputar sampul. Kita bicara musiknya sekarang. Bener kata Bung Icann, yang menjadi juragan produksi album ini, dia bilang kalo album ini isinya komplet-teknikal, dan hampir semua lagunya bobotnya seimbang. Saya setuju. Secara bobot memang hamper rata semuanya. Bila kita mendengar dan menyukai lagu pertama, pasti semuanya akan bisa ditelan dengan mudah dan nikmat. Cuma masalahnya, apakah sajian The Miracle ini bisa anda telan ? Oke. Untuk itu ada bijaknya bila anda langsung berlari ke notifikasi di keterangan album tersebut. Dijelaskan bahwa album ini dipengaruhi oleh banyak kelompok musik, yang paling dominan adalah kelompok besar Dream Theater. Pengakuan The Miracle, dia terpengaruh 25% oleh Dream Theater. Sungguh dominan. Artinya bila anda doyan karya – karya Dream Theater, maka anda akan menyukai album 'TheM' ini.
 
Pengaruh terbesar lainnya diakui adalah oleh GodBless, jagoan musik rock Indonesia. Padahal GodBless punya banyak album yang berbeda – beda. Awalnya dia art-rock, trus jadi progressive-rock, trus dia bikin glam rock di album 'Semut Hitam'. Pas album keren 'Raksasa', GodBless lebih mirip kelompok hard-rock Van Halen gara – gara Eet Syachranni yang pernah nyekolah di sekolah gitar Eddie van Halen ikutan join.
 
Sebenarnya masih banyak kontribusi yang lain, seperti Metallica atau Slank sekalipun. Ya udah. Saya ambil prosentase terbesar, Dream Theater. Jreng ! Habis ya kesan itulah yang masuk kuping dan hati. Nampak awal langsung di gaya main Reza, sang drummer. Gimana bunyi drumnya, gimana mengatur ketukan dan mengisi ruang kosong, mirip apa yang dilakukan oleh jagoan nge-drum Dream Theater, Mike Portnoy. Kasian perangkat drum-nya Reza, Reza nggebug-nya rata, semua dipukul dengan intensitas hampir sama. Pasti babak – belurnya sama rata juga.
 
Suara gitar Faisal walaupun sangar bener namun berkesan lebih lunak ketimbang John Petrucci (gitaris Dream Theater), manouvernya juga gak se-'laknat' Petrucci, tetapi tetap saja bayangan Petrucci nggak bisa hilang, apalagi saat – saat pengisian interlude dengan melodi yang kadangkala musti berlomba dengan suara keyboard yang disusun megah. Walah, Dream Theater centris.
Namun suatu kali di lagu 'chaptertwo:bebas', --di deket-deket menit ketiga-- bunyi gitar dan gebugan drum mengingatkan kepada kelompok Megadeth. Lho kok bukan Metallica, sih ?
 
Keyboard ? Wah. Jangan tanya lagi, Jordan Rudess rules. Di lagu 'chapterthree:bertemu', Yessi mengawali dengan baik gaya Rudess ini. Apalagi saat suara piano musti mengisi keheningan, bunyi sendirian hanya beriring dengan vokal. Keren. Seperti lilin yang menyala redup diiringi kepak sayap merpati. Coba anda dengar di 'chaptersix:pergi'. Juga di lagu pamungkas :'reprise:bertemu', keyboard dan ritem gitarnya sangat padu ala Dream Theater. Apalagi tambah bunyi drum yang kompleks kayak gitu –hampir semua elemen bedug ini gak pernah berhenti digebug dengan merata-- , dah deh, sangat mirip konsep bunyi milik Dream Theater. Yessi, sang keyboardis, memang jagoan. Rasanya selain bisa mengadopsi dengan baik ciri Rudess, bagi saya pribadi Yessi juga banyak dipengaruhi oleh keyboardis lain. Saya sekilas – sekilas menangkap gaya Tony Banks (keyboardis Genesis) dan nampak jelas di lagu 'Dosa', dan beberapa sentuhan David Bryan, keyboardis-nya Bonjovi yang suka menari-nari dengan bunyi tunggal. Tapi dua band ini; Genesis dan Bonjovi, tidak masuk dalam daftar 'pengaruh'.
 
Sementara permainan bass Vedy, seakan mengamini rekan – rekannya. Dia mengikuti jejak John Myung-nya Dream Theater, walau lebih berkesan 'sembunyi - sembunyi'. Lha memang karena saya bego soal musik, mangkanya untuk mendengar bunyi bass Vedy saya harus mengubah susunan equalizer.
 
Hanya di sektor vokal saja yang lebih merdeka dari pengaruh James laBrie, vokalis Dream Theater. Olah vokal Chemmy rasanya sudah bisa menjelajah ala LaBrie. Chemmy rasanya bisa dengan baik menyanyikan lagu ala LaBrie. Maklum saja, grup ini dulunya memang suka manggung nyanyiin lagu – lagu Dream Theater. Namun vokal Chemmy rasanya lebih ramping ketimbang LaBrie, lebih halus dan bening, namun masih berkesan metal. Kondisi ini sering menjebak ke kesan pop. Kesan pop ini nampak di lagu 'chapter three:bertemu' dan 'chapterseven: kembali'. Andai Chemmy bisa bernyanyi dengan lebih dark lagi, lebih powerfull lagi, mungkin vokalnya akan sangat dahsyat.
 
Saya kurang terlalu mengerti ihwal alat musik, jadi mungkin saya selesaikan saja urusan ini. Saya tertarik dengan urutan lagu di album konsep ini. Album ini bercerita urut dari awal hingga akhir. Rasanya berkiblat ke album Dream Theater 'Six Degrees Of Inner Turbulence'. Secara tempo, penelusurannya sudah mengasyikkan, karena seperti kata Bung Icann, memang komposisi lagu – lagunya seimbang. Hanya di 'chapterthree:bertemu', ada kejutan. Karena di kuping saya rangkaian emosi yang dibikin garang dari chapterone:mawarhitam' ke 'chaptertwo:bebas', jadi seperti sedikit kehilangan kendali. Alias tempo metal turun agak nge-pop, sangat kentara di sektor vokal. Inilah yang saya bilang menjebak tadi. Namun jangan salah, lagu 'chapterthree:bertemu' ini rasanya bagi saya malah bisa dijagokan buat radio-hits. Lha ini kan mirip nasib lagu "Solitary Shell'-nya album Six Degrees Of Inner Turbulence. Bukan begitu ?
 
Apa bedanya dengan Dream Theater kalo gitu ? Apa bedanya dengan album 'Six Degrees Of Inner Turbulence' ?
Ya jelas beda. Dari sisi lirik, The Miracle memilih untuk membuat syair yang tidak perlu membuat kita berkerut dahi. Liriknya nggak perlu bermakna ganda, tidak bersayap – sayap. Silakan bedakan dengan lirik Dream Theater di album 'Scenes From A Memory', misalnya. Dream Theater berkutat dengan urusan reinkarnasi, urusan metafisika, urusan politik, urusan kejiwaan, urusan alam bawah sadar, dan hal – hal yang filosofi lainnya. Sementara The Miracle tidak. Lebih terang dan gampang. Sempat terbersit rasa sayang juga. Musik yang sudah sedemikian technically kompleks kenapa liriknya nggak digeber ruwet sekalian sahaja ?
 
Dari sisi pasar, pemilihan lirik yang 'terang' dan 'gampang' ini menunjang sekali. Dibalik kompleksitas dalam teknis musik yang ditebarkan The Miracle, lirik menjadi satu senjata agar bisa diterima terlebih dahulu oleh kuping. Sadar atau tidak sadar, idealisme The Miracle untuk mengusung aliran musik progressive-rock yang cenderung heavy ini rasanya memang susah menyeruak pasar musik Indonesia yang selalu didominasi oleh musik pop. Sekali lagi mengamini ujaran Bung Icann, "target kita di market ga muluk-muluk….".
 
Saya jadi teringat pada saat saya membeli album Yes "Union". Seorang teman bertanya kepada saya, "lagu mana yang bakal jadi radio-hits ?". Dan, saya tidak bisa menjawab dengan baik. Hitungan saya seperti itu juga. Kondisi selera pasar bisa berbanding –bahkan cenderung-- terbalik dengan musikalitas itu sendiri. Bila ingat kelompok musik Discus misalnya. Kompleksitas bermusiknya yang demikian berkualitas ternyata tidak bisa memanen hasil yang besar di pasar lokal. Ya, memang idealisme tidak perlu harus untung besar – besaran. Namun perlu dicatat, idealisme bermusik bisa menumbuhkan legenda. Karena rasanya hampir semua legenda musik blantika rock terisi oleh musisi – musisi idealis. Bukankah begitu ? Dan, bisa jadi The Miracle lewat album 'TheM' ini memang memilih jalur kedua, jalur legenda.
 
Apakah ada lagi yang bisa di samakan dengan Dream Theater ? Ada. Di notifikasi album 'TheM', The Miracle menuliskan berikut :'…but sometimes they call us "Jo". Saya baru sadar maksudnya adalah mereka saling sapa dengan kata awal 'Jo', misalnya 'Jo Yessi, Jo Chemmy, mungkin begitu. Jadi mereka bikin predikat nama awal Jo. Persamaannya dengan Dream Theater adalah semua musisinya juga berawal dengan huruf J kecuali Mike Portnoy. Pas ? [] haris fauzi – 'whisper & handshake'; 19 desember 2007, larut malam.


salam,
haris fauzi
 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

No comments: