Wednesday, January 28, 2009

kenisah : pohon bintaro

POHON BINTARO

..untaian nada awan dan batu dalam diri
mustahil mengakhiri tari mengalir
benda langit beredar tahun bergulir...
suatu saat
kala terbatuk - batuk saling mengenali lagi...
[melepas --13 november(hujan salju)-- karya Martin Jankowsky, alih bahasa E Korah Go]


Di sebuah kawasan wisata di Sentul ada pohon bintaro yang demikian besar yang mana ketika buah-nya pada berjatuhan dibiarkan begitu saja hingga buah - buah itu mengering, tertanam di tanah yang lembab, dan tumbuh tunas. Hasilnya adalah di sekeliling pohon rindang besar itu bertumbuhan tunas - tunas bintaro, beradu rapat dengan buah bintaro yang bergelindingan di becek.

Suatu hari --beberapa tahun lalu-- saya memungut tiga tunas bintaro dengan jalan sedikit menggali tanah gemburnya. Ketiga tunas itu saya tanam di rumah, lantas tumbuh meninggi, berbunga, dan berbuah. Sang angin membawa kabar harum bunganya dan menggoyang - rontokkan buahnya. Buah - buah itu lantas di sapu dan diangkut armada sampah, hingga entah akan bertunas dimana. Mungkin di antah - berantah, ketika merantau. Namun, yang jelas, buah - buah itu akan bertunas pula, dan merantaukan buahnya. Demikian terus - menerus. Mungkin dan bisa jadi pula, pada gilirannya --entah generasi keberapa-- akan ada yang terbawa kembali dan bertunas di tanah leluhurnya semula, terbawa ke Sentul menjumpai restan moyangnya. Pohon bintaro itu tercerabut dan terlepas, namun, ada saatnya dia kembali, entah suatu saat.

Setidaknya saya sudah pernah mengunjungi beberapa kota. Sekedar berjalan tak terlalu jauh. Dan pada kesempatan minggu itu pula dari stasiun Cikampek saya hendak menuju Malang. Mendengarkan khusyuknya roda kereta api sepanjang jalan berjajar melintas Jogjakarta, Solo, dan pada akhirnya tiba di Malang. Ketika memasuki kota Malang --menginjakkan kaki di bumi Malang, ada rasa menderu yang cukup dalam di hati ini. Mungkin karena kota Malang adalah kota kelahiran saya.

Bisa jadi demikian rasanya bila buah bintaro yang berjumpa kembali dengan tanah leluhurnya. Mungkin. Namun, dimanapun tumbuh buah bintaro itu senantiasa kembali bertunas dan membentuk dirinya kembali. Apa yang saya rasakan seperti itu pula. Saya yang telah terlepas, kali itu kembali dan seperti menemukan jati diri saya yang dulu pernah ada. Hari pertama, menjelang dini hari hingga hampir subuh saya mengobrol dengan kawan yang lebih sepuluh tahun tidak berjumpa. Bernostalgia tentang segala hiruk - pikuk jurnalistik mahasiswa. Nama kawan itu Bayhaqi Kadmi.

Hari - hari berikutnya, jalanan kota Malang membongkar masa lalu. Perlintasan kereta, pedagang barang bekas, buku - buku bekas, kios asesori sepak bola, gedung - gedung sekolah....
"Interval gerimis" demikian ungkap Goenawan Mohamad dalam sajaknya. Di tengah kota Malang yang selalu di guyur hujan, saya memutar masa lalu dan menemukan diri saya yang dahulu. Menyisakan waktu untuk mengobrol, menyimak puisi, dan tersenyum simpul ketika membaca novel yang bercerita tentang seorang anak yang kehilangan bola di kandang lembu.

Di tengah interval gerimis itulah saya berpikir, bahwa ada suatu saat mengharuskan adanya perpisahan, juga adanya perjalanan yang bersimpangan, munculnya perwujudan yang berbeda, dan ada suatu ketika pertemuan itu juga akan terjadi. Sebuah masa yang kadang mewujudkan jati diri, yang belum tentu seiring. Ketika hal itu terjadi bisa jadi saya adalah dua wujud. Seorang yang berjalan, membaca, bercakap, menulis, dan menggerutu sambil melamun seperti halnya saya di masa lampau yang kiri terbayang - bayang dalam nostalgia. Sementara diri saya yang lain dalam kekinian adalah seorang rekayasawan pabrik, mencari nafkah, pulang larut, dengan rutinitas produksi dan pertemuan - pertemuan urusan kantor. Keduanya merupakan perjalanan takdir yang dikaruniakan kepada saya. Suatu saat dalam nostalgia saya begitu mencintai wujud saya yang demikian bebas. Namun, secara logis, saya adalah lelaki yang sepertinya harus memenuhi segala kaidah - kaidah. Seperti halnya pohon bintaro, bisa jadi kembali ke tanah asalnya, menemukan jatidiri sebenarnya, bernostalgia sejenak, lantas kembali menuju pacuan berikutnya. Mungkin, masa akan bercerita kelak. Dengan ceriteranya yang tetap berupa pertemuan, perpisahan, pertemuan, perpisahan, dengan interval gerimis nostalgia. [] haris fauzi, malang, 27 januari 2009


salam,

haris fauzi

No comments: