Tuesday, May 02, 2006

KENISAH April 2006

.

LIBURAN KEMARIN

.

Seperti kebijakan sebelum - sebelumnya, maka liburan hari raya yang jatuh pada hari Kamis, maka hari Jumat-nya-pun di-cuti-masal-kan. Kemarin begitu jua. Pada hari Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu saya prei alias tidak pergi ke kantor, namun anak saya hari Sabtu ada kegiatan menggambar di sekolah.

Kamis pukul 09.13 kami sekeluarga meninggalkan rumah menuju rumah Kakak saya di Bekasi Timur. Sebuah rumah dimana saya dulu di masa lajang dan sebelum memiliki rumah di Bogor sempat nebeng hidup. Sesampai di tujuan, anak Sulung saya langsung rame bermain dengan anak Sulung Kakak, namanya Amru. Salma dan Amru se-umur --sama - sama menjelang masuk SD. Anak kedua saya juga selisih setengah tahun dengan anak kedua Kakak saya.

Setelah ngobrol rencana lebaran besok, ngobrol masalah mesjid keluarga, sampe bakda Dzuhur, --dan setelah di bekali makan siang oleh istri Kakak saya--, kami sekeluarga pamitan. Bukan hanya bekal, saya malah sempat dihadiahi CD album Rod Stewart rilis tahun 1995; "A Spanner in the Works".
Kami tiba di rumah kembali sekitar waktu Ashar. Dan malam hari itu kami habiskan dengan bergantian main game 'Feeding Frenzy'. Kedua anak saya teriak - teriak sambil cekikikan rame sekali di depan komputer sewaktu menyaksikan ikan - ikan saling lahab di game tersebut.

Jumat paginya anak saya pada maen ke tetangga, sementara saya ngobrol dengan para tetangga di dekat taman komplek depan rumah. Maklum, sesama cuti masal. Lantas saya pulang karena musti bikin kolam renang 'buatan' yang ditiup pake pompa itu. Saya semalem sudah janji kepada anak - anak untuk berenang. Dan setelah itu selama hampir dua jam anak - anak jebur - jeburan di kolam mini yang saya hamparkan di carport depan rumah. Bagi saya, lebih murah dan mudah menggunakan kolam mini ini ketimbang harus mengajak anak - anak ke kolam renang yang sebenarnya ada di dekat rumah kami.

Setelah Jumat-an ketika anak - anak tidur siang, saya sempat mengerjakan sedikit pekerjaan kantor yang terbawa pulang. Malamnya kami sekeluarga menyempatkan berkunjung ke toko buku. Kebetulan sedang ada korting buku anak, walau tetap saja sepi --menguntungkan sekali bagi kami mengaduk-aduk bak buku korting. Sementara saya yang hendak membeli frame untuk foto tak kunjung mendapat harga yang cocok, kemahalan. Baru Sabtu siangnya --sepulang anak dari sekolah-- kami sempat membelinya di toko lain.

Sabtu siang menjelang sore ada sedikit hujan dan angin besar di rumah kami. Atap plastik rumah ada yang copot. Namun setelah angin besar tersebut, atmosfir malam jadi sejuk sekali. Setelah melahap pisang goreng, kami sekeluarga beberapa jenak menikmati sejuknya angin malam itu di teras dan jalanan konblok depan rumah. Anak saya bercanda dengan kucing yang bergantian lewat. Lampu taman membantunya agar tidak kesandung saat berkejaran dengan kucing. Angin sejuk itu juga membuat kami lekas merasa mengantuk. Malam itu saya tidak nyetel televisi, melainkan menyalakan CD player, salah satunya ya harap maklum karena ada CD hadiah kemarin. Lagu 'You're The Star' saya putar berulang kali. Saya baru beranjak makan malam hampir tengah malam, habis itu tidur.

Sebetulnya liburan panjang ini saya punya rencana untuk mendengarkan secara berurutan seluruh album grup musik progresif-rock 'YES'. Ada sekitar 20 keping disc mulai album pertama tahun 60-an hingga rilis tahun 2000-an. Saya ingin ketahui benang merah proses kreatif musisi idola saya ini, tapi hal ini tidak kesampaian. Hanya beberapa keping saja yang sempat terputar.

Hari Minggu saya mengutak-atik mobil, mencetak foto, dan memasang frame yang kami beli hari sebelumnya. Dengan dipasangnya enam buah foto baru, rumah kami kelihatan ada improvisasi yang cukup segar. Selain itu tidak ada kegiatan istimewa. Yang jelas malam Senin pastilah kami menjalani rutinitas biasa, menyiapkan tas, menggandakan file kerjaan ke 'flashdisc', menyemir sepatu, menata seragam kerja bakal masuk kantor, --liburan telah lewat, walau 'A Spanner In The Works' masih saya putar berulang - ulang.[]haris fauzi-2 April 2006

.

LUCUNYA PERTENGKARAN

.

Sebetulnya buku ini sudah terbeli cukup lama, sekitar sebulan lalu. Dan sekitar itu pula dia menganggur tergolek di mobil. Kemarin akhirnya saya sempatkan untuk membacanya. Dan hasilnya sungguh memukau ! Sungguh laknat saya telah menyepelekan dan menunda-nunda untuk membaca buku ini. Buku tulisan Nikolai Gogol ini sungguh menggelikan, mengingatkan saya terhadap buku 'Prajurit Schweik' tulisan Jaroslav Hasek atau malahan karya Voltaire yang legendaris itu; 'Si Lugu'.

Pada awal saya membeli buku cerpen tulisan Gogol ini, --judulnya 'Pertengkaran' terbitan Bentang,-- presepsi saya adalah saya dihadapkan kepada buku cerpen serius, kusam kelabu, sejenis tulisan - tulisan Anton Chekov. Sampul buku yang berwarna mendung, dan judulnya amat menunjang kekusamannya. Dan mengingat pula bahwa Nikolai Gogol saya kenal lewat novel heroiknya 'Taras Bulba' yang sempat muncul di majalah anak - anak Kawanku sekitar tahun 80-an.

Diluar dugaan, novel 'Pertengkaran' --yang berjudul alias 'Cerita tentang Bagaimana Ivan Ivanovich dan Ivan Nikiforovich Bertengkar' ini ternyata amat jenaka. Mengandung banyak hal - hal lucu, tentu saja sarat sindiran. Dan di akhir cerita, bisa jadi kita mampu untuk menertawakan diri kita sendiri, karena jangan - jangan kita-pun telah melakukan hal serupa. Pun pula, seperti penulis Rusia kebanyakan, cerita ini amat detil dalam menggambarkan kondisi sosio-kultur sosialis. Kusamnya dibikin cukup detil, jenakanya juga detil.

Seakan tidak ada pilihan penamaan lain, dengan sengaja si Penulis memasukkan nama tokoh yang sama. Bukan antara kedua Ivan yang bertengkar itu saja. Namun disitupun ada dua orang yang bernama Ivan Ivanovich, cuma yang satunya bermata satu. Ha... Ha... Ha.... sungguh kocak. Dengan detail pula Gogol menyajikan bagaimana susah payahnya seorang warga kota terhormat namun kakinya pincang yang berusaha mendorong orang lain dalam keriuhan pesta yang penuh sesak pengunjung lelaki wanita, hingga beliau terseok - seok namun tak jua putus asa.
Sungguh surprise bagi saya karena --sekali lagi-- paradigma awal saya Nikolai Gogol pastilah menulis se-serius 'Taras Bulba' yang demikian penuh kisah tragedi, kerasnya keluarga prajurit, dan heroisme khas prajurit Tsar Rusia.

Cerita tentang pertengkaran dua sahabat yang sebetulnya dua warga kehormatan kota ini dikisahkan berjalan sepanjang kurang labih dua belas tahun. Lengkap dengan liku - likunya, termasuk detil kumis para tokohnya dan lumut yang bertaburan di jalanan. Nah. Saya kurang sreg menyajikan akhir pertengkaran ini di sini, karena salah satu kehebatan Gogol adalah skenarionya yang sulit di tebak, bahkan hngga paragraf terakhir. Inilah asyiknya membaca cerpen 'Pertengkaran' ini.

Bagi saya, cerpen Nikolai Gogol ini sebetulnya memiliki misi kemanusiaan yang dalam dan jelas, yakni seringkali manusia itu --bahkan sepasang sahabat erat-- ; ataupun juga kita semua -- bertengkar (bahkan berperang !) hingga meletupkan mesiu keributan yang berkaliber besar. Padahal sebagian besar keributan itu dipicu oleh hal - hal bodoh yang sepele, sama sekali tidak berarti. Ya mungkin itu suatu teguran yang dilontarkan oleh Nikolai Gogol kepada kita semua, dan teguran itu masih aplikatif hingga sekarang. Padahal Nikolai Gogol sendiri telah dikubur di dinginnya tanah pada tahun 1852.[] haris fauzi - 4 April 2006

.

.

SALAH SATU YANG MEMBUAT KITA

MALAS UNTUK BERBUAT LEBIH BAIK LAGI

.

Hampir dalam semua kitab suci agama - agama yang ada di dunia ini membagi dua macam himbauan. Himbauan yang diperuntukkan kepada para pengikut yang taat, dan satunya lagi himbauan atau peringatan bagi para manusia yang dianggap ingkar.

Dalam sebuah kotbahnya, Emha Ainun Nadjib pernah menyampaikan hal ini. Yakni kita seringkali mengkategorikan diri kita sebagai manusia yang berada dalam golongan 'taat'. Indikasinya adalah bila terbaca ayat yang mengatakan bahwa"...wahai orang yang beriman,..."; maka dalam hati kita kebanyakan selalu berujar,"...nah... ini ayat yang diturunkan untuk saya....".

Dan apabila dibacakan ayat lain yang berseberangan yang mengatakan ,'....wahai orang yang ingkar...", maka dalam hati kebanyakan kita akan merasa bahwa ayat tersebut bukan diperuntukkan buat kita.

Ketaatan dan keingkaran setiap manusia tidaklah bisa ditakar dengan tepat. Ini jelas. Namun seringkali perasaan sebagai 'orang taat atau beriman' ini malahan berakibat kemandegan. Alias orang tersebut merasa sudah memasuki kategori 'aman' sehingga tidaklah merasa perlu untuk memperbaiki dengan lebih giat lagi. Merasa bahwa 'neraka sudah jauh'.

Yang paling gampang adalah bila dalam agama Islam maka ada ritual solat lima kali dalam sehari. Bila dalam sehari kita telah menggenapinya, maka kita seakan - akan telah merasa sebagai orang yang beriman. Ya dampaknya adalah kita sudah malas untuk meningkatkan lagi himbauan - himbauan peribadatan yang lain. Perasaan seperti ini jelas saja salah. Karena dengan ini kita menjadi semakin malas untuk memperbaiki diri lagi. Mungkin malah lebih baik bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang ingkar, sehingga memacu kita untuk lebih giat lagi memperbaiki ibadah kita. Bisa jadi tidak selamanya merasa menjadi orang ingkar itu jelek. [] haris fauzi - 7 April 2006

.

.

.

MENYEBUT NAMA TUHAN

.

Malam Minggu kemarin saya sempatkan menghadiri kajian rohani yang diselenggarakan dengan rutin oleh pengurus RT. Mumpung lagi gak males, dan pula saya ditelpon langsung oleh Pengurus RT soal undangan pengajian ini. Kan gak enak kalo sampe gak hadir, lha wong sudah di telpon.

Ternyata pematerinya menyampaikan hal yang cukup bagus, salah satunya yakni masalah 'Pertanyaan Dalam Alam Kubur'. Menurut agama Islam, begitu seseorang meninggal dunia dan dikubur, maka ada tiga pertanyaan yang ditanyakan oleh malaikat yang seingat saya bernama Munkar & Nakir. Pertanyaan pertama adalah ' Siapakah Tuhan yang kau sembah ?'.

Jawabannya sih 'sebenernya' gampang :'Ya Tuhan Allah Pencipta Alam Semesta ini'.

Tetapi apakah semudah itu ?

Dalam sesi tanya jawab, saya sempat melontarkan pertanyaan perihal tersebut. ' Untuk menjawab pertanyaan malaikat dalam kubur, tentunya jawaban yang kita berikan haruslah sesuai dengan apa yang kita kerjakan kala masih hidup. Bukanlah begitu, pak Ustadz ?', tanya saya yang langsung diangguk benar oleh Pak Ustadz.

Saya melanjutkan,'...alangkah beratnya untuk menjawab pertanyaan pertama sang malaikat itu..... Karena ketika saya sekolah, saya berangkat sekolah bukan karena niat ibadah kepada Tuhan, melainkan sekolah karena ingin mancapai nilai yang dikehendaki oleh orang-tua. Ketika hendak makan, saya didorong oleh rasa lapar, bukan karena niat ibadah kepada Tuhan. Demikian juga dalam bekerja, saya tidak berniat karena nama Tuhan --melainkan saya menjalankan pekerjaan karena kebijakan perusahaan. Pun ketika saya melangkah untuk menghadiri pengajian ini, niat saya lebih besar karena tidak enak hati sebab telah di telepon oleh pengurus RT agar ikut pengajian. Lha nanti di kuburan saya harus menjawab apa terhadap pertanyaan itu ? Bagaimana caranya supaya saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan benar ?'.

Untuk menjawab pertanyaan saya, Pak Ustadz menguraikannya dengan cukup menyenangkan. Menurut beliau, suatu pekerjaan haruslah diniatkan di dalam hati dengan tulus untuk ibadah kepada Tuhan. Ini yang menjadikan pekerjaan itu bernilai, walau memang terus terang diakui tidaklah gampang melakukannya. Lantas, setiap aktivitas haruslah diselesaikan dengan sebaik - baiknya. Dan di akhir kegiatan, janganlah lupa untuk bersyukur kepada Tuhan. Bahwa apa yang telah dilakukan dan dihasilkan ini hanyalah berkat dari Tuhan semata. Haruslah menyadari benar bahwa tanpa adanya Tuhan, maka setiap aktivitas tidaklah ada arti dan hasilnya sama sekali. Niat yang tulus dan syukur dengan sesadar - sadarnya inilah yang akan mempermudah kita dalam menjawab pertanyaan dari malaikat di dalam kubur. Begitu urai beliau.

Dalam hati saya masih ragu - ragu. Saya tidaklah meragukan jawaban Pak Ustadz, tetapi saya begitu bimbang terhadap diri saya sendiri. Karena bagi saya masihlah terlalu sulit untuk benar - benar meletakkan nama Tuhan di atas segala - galanya di setiap niat dalam segala aktivitas dalam hidup ini. Dan juga, sayapun tidak yakin benar bahwa diri saya bisa bersyukur dengan sesadar - sadarnya kepada Tuhan. Tuhan yang telah memberi nyawa kepada saya.[] haris fauzi - 11 April 2006

.

.

__________

...ditulis dalam dua seri, dalam kenisah kali ini saya akan melunasi hutang pribadi saya untuk meresensi proses kreatif kelompok musik YES. Bagi yang kurang berkenan, saya minta maaf...

-----------------

.

5 MASA

.

Walaupun tidak 'khusyuk', akhirnya saya kesampaian juga menyelesaikan 'tugas pribadi' untuk menyimak seluruh album - album musik yang dicipta oleh kelompok musik asal Inggris yang bernama YES sejak tahun 1969 hingga album studio terakhir yang saya punya rilis tahun 2001. Jelas tulisan ini hanya sedikit saja meresensi kehebatan kelompok musik ini, --atau sudah saya bayangkan bahwa para kolumnis musik akan mentertawakan resensi saya ini. Tapi itu tak jadi mengapa, saya toh telah selesai menikmati ke sembilan belas album tersebut. Dan hal ini sungguh nikmat.

.

--masa mencari bentuk--

Dalam tahap awal proses kreatifnya, tahun 1969 - 1971, YES merilis 3 album yang bagi saya merupakan album - album yang tengah 'mencari bentuk'. Di album 'Yes' (1969) mereka meng-cover lagu the Beatles, sementara di album 'Time & a Word' (1970) ada banyak orang disana, salah satunya adalah David Foster.

Sementara di album 'The Yes Album' (1971) terjadi perubahan formasi, gitaris Peter Banks diganti oleh Steve Howe. Howe ini membawa banyak perubahan, karena Howe memiliki ketertarikan terhadap hal - hal spiritual dari belahan benua Asia.

.

--masa progressive--

Dengan dirilisnya Album 'Fragile' (1972) dimana Rick Wakeman menggantikan Tony Kaye pada posisi keyboards, suasana jadi lebih meriah, hal ini karena Wakeman adalah seorang keyboardis klasik.

Ditandai dengan adanya adaptasi musik karya Brahms di album ini, maka dimulailah era progressive-rock yang benar - benar memukau. Dalam tahap ini YES telah menemukan bentuk terbaiknya. Album 'Fragile' ini banyak menelurkan lagu - lagu yang menjadi milestone perkembangan musik progressive-rock. Di album 'Close to the Edge' (1972) hal ini benar - benar terbukti. Album sepanjang 37 menit ini hanya diisi oleh 3 lagu, salah satunya diinspirasi oleh buku 'Siddhartha'. Lagu idola saya 'And You And I' ada di album ini.

Album selanjutnya 'Tales From Topographic Oceans' (1974) tidak kalah dahsyatnya. Album sepanjang 80 menit (dua disc) ini hanya terdiri dari 4 lagu yang masing - masing sepanjang 20 menitan. Dalam notanya, album ini diinspirasi oleh skriptur dari 'Four part Hindu Shastric'. Dalam pembuatan album ini drummer Alan White menggantikan posisi Bill Bruford. Sungguh album yang sulit untuk dilupakan.

Album 'Relayer' dirilis tahun 1975 dengan ditandai keluarnya Rick Wakeman digantikan oleh Patrick Moraz. Permainan keyboard klasik digantikan oleh permainan keyboard Moraz yang independen dan setengah eksperimental. Bagi saya album ini tidaklah sedahsyat 'Close to The edge' atau "Tales from Topographic Oceans', namun masihlah mengundang decak kagum karena disitu ada lagu 'Gates of Delirium' yang berdurasi 22 menit. Dalam notanya, lagu tersebut terinspirasi oleh tulisan Leo Tolstoy.

Rick Wakeman balik lagi di pembuatan album 'Going for The One' (1977). Walaupun durasi lagu - lagu di album ini sudah tidak sepanjang album sebelumnya, album ini masih menyimpan potensi progressive yang kental. Bagi saya, album ini menjadi album terakhir era 'kejayaan progressive' dan menjelang masa transisi YES untuk merubah struktur musiknya. [] haris fauzi - 12 April 2006

.

.

5 MASA (II)

.

--masa transisi--

Masa transisi kelompok musik YES tercermin dalam dua album. Album 'Tormato' (1978) sebenarnya masih berkiblat ke 'progressive rock', namun memiliki kecenderungan untuk merespon pasar yang tengah terjadi euphoria hard rock. Dan di album 'Drama' (1980) nuansa meringankan beban progressive lebih terasa karena Rick Wakeman digantikan Geoff Downess yang jawara membuat nada - nada sweet-rock. Dalam album 'Drama' ini sang kapten Jon Anderson undur dan sektor vokal diisi oleh Trevor Horn.

.

--masa techno--

Tahap keempat perjalanan musik YES ditandai dengan rilisnya album '90125' (1983). Geoff Downess digantikan kembali oleh Tony Kaye. Jon Anderson come back. Namun yang merubah struktur dasar bermusik, menurut saya adalah pergantian gitaris spiritual Steve Howe oleh gitaris techno-rock Trevor Rabin. Rabin seakan - akan bisa menyulap YES menjadi lokomotif musik rock yang lebih keras dan digital. Pasar musik memang menghendaki hal ini, dan techno-rock racikan YES menjadikannya populer. Album '90125' ini menjadi tonggak penting perjalanan musik dunia.

Konsep ini dicoba diulang pada album 'Big Generator' (1987) , namun tidak terlalu sukses.

YES sempat vakum cukup lama, ini ditandai dengan rilisnya album 'Anderson, Bruford, Wakeman, Howe' (1989) yang bukan album YES yang sebenarnya, hanya member project saja. Keempat orang ini kembali berkumpul untuk membuat album dengan warna YES mereka. Dan hasilnya sungguh dahsyat.

Proyek reuni yang sukses ini diulang kembali dengan melakukan reuni yang sebenar - benarnya, maka rilislah album 'Union' (1991). Kedelapan alumni YES berkumpul menjadi satu. Jadinya ya gado - gado, ada yang progressive ada juga yang techno. Pokoknya komplit.

Ternyata era techno-rock YES belum berakhir. Tahun 1994 kelima personel yang merilis album 90125 berkumpul lagi untuk membuat album 'Talk'. Secara konsep techno rock, album ini bagus sekali, cocok untuk rendezvous 90125. Tapi masalahnya 90125 rilis disaat terjadi gegap gempita musik rock, sementara 'Talk' muncul malah di era 'dance music'. Jadi 'Talk' mungkin tidak mencapai target secara pasar.

.

--masa dewasa dalam konsep--

Tahun - tahun berikutnya, YES banyak mengisi aktivitas untuk membuat album kompilasi, merekam konser, atau mengeluarkan single - single. Baru pada tahun 1997 mereka merilis 'Open Your Eyes' dan tahun 1999 untuk album 'The Ladder'. Album-album ini menandai tahap atau masa 'dewasa' dari kelompok musik ini. Ada beberapa musisi muda dan ini tidak menjadi masalah. Yang penting konsep bermusiknya. 'Open Your Eyes' dan 'The Ladder' memang tidak diproyeksikan untuk merajai tangga lagu dunia, jadi hanya sebagai karya cipta seniman saja. Nggak peduli laku atau tidak. Namun penggemar setia YES banyak menilai bahwa album ini merupakan bukti eksistensi YES yang masih kuat dalam berkreasi dan mewarnai blantika musik dunia.

Demikian juga dengan album 'Keystudio' (2001). Kedewasaan dalam konsep bermusik makin kuat disini, ...dan di album terakhir yang saya dengarkan, 'Magnification' (2001), mereka makin jeli dan peka dalam berkreasi. Banyak unsur orkestra di album ini. Bukan seperti kelompok musik lain yang memainkan lagu lama diikuti orkestra, namun YES benar - benar membuat lagu - lagu yang diperuntukkan untuk aransemen orkestra, jadinya sangat harmonis. Ditengah ke uzuran mereka, menurut saya, YES telah memilih jalan yang tepat dalam proses kreatifnya.


'Magnification' adalah album (studio) terakhir yang saya dengarkan. Memang belum lengkap, salah satu yang harus saya simak adalah rekaman konser - konser mereka sepanjang berkarir. Saya sudah memiliki beberapa rekaman konser mereka, namun terus terang yang saya miliki ini belumlah cukup untuk meresensi proses kreatif dalam konser - konser mereka. Mungkin lain waktu. [] haris fauzi - 12 April 2006

.

.

TENTANG PERANG

.

Semenjak akhir tahun lalu, karena seorang rekan saya mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi pameran buku di Jakarta saya jadi tertarik dengan dokumentasi tentang perang. Ya. Akhirnya dia berangkat jua ke pameran itu, dan saya titip beberapa buku untuk dibelikan di pameran tersebut, tentunya musti dapet korting --namanya juga 'kan pameran.
Beberapa buku saya bisa dapatkan dengan cukup murah lewat cara itu, dan salah satunya adalah seri Perang Eropa jilid 1-3 tulisan PK.Ojong. Sebuah kumpulan buku tentang perang yang saya idam - idamkan. Membaca buku tersebut bisa membuai saya untuk tidak mengabaikannya, bikin ketagihan. Mirip komik sekuel Mahabarata yang dilukis oleh RA. Kosasih. Sama - sama seri perang. Sama sama membuat ketagihan. Manteb pokok-e.

Begitu menariknya, dan kebetulan juga suatu saat saya mampir ke pom bensin, saya sampai begitu tertariknya dengan edisi khusus sebuah majalah yang malah seakan - akan manas - manasin saya. Edisi khusus itu membahas masalah mesin perang NAZI, lengkap berikut bonus bross palang baja NAZI. Tapi saya urung membeli karena ingat pedoman kakak saya dalam membeli majalah, "...salah satu keasyikan dalam hidup ini adalah memburu majalah edisi khusus di lapak tukang loak majalah...". Oke. Suatu saat saya akan mencoba keasyikan yang satu ini.

Sampai akhirnya suatu saat saya iseng untuk mengunjungi toko buku hendak membeli frame foto. Saya sempat terhenti sejenak di konter VCD-DVD di petak toko buku tersebut. --Ini bukan lapak CD bajakan--. Ketika itu ada dua orang yang terlihat seperti sosok jurnalis, wartawan, atau reporter. Rambut panjang diikat rapi, celana dan arloji adventure, t-shirt, sepatu outdoor. Mereka berdua agak serius membahas satu keping VCD. Saya intip dan saya tandai CD bersampul coklat tersebut.

Setelah mereka berdua berlalu, saya segera menghampiri rak VCD tersebut, langsung saya browsing dan saya comot benda coklat tadi. Ternyata insting saya tidak meleset. Mereka membicarakan VCD yang sungguh layak tonton. VCD berjudul D-DAY 6-6-44 ini,--dari narasi di sampulnya-- mengaku mendokumentasikan peristiwa perang Eropa, terutama kejadian awal kekalahan NAZI."Risk, Courage, Betrayal...". Keluaran BBC.

Membeli VCD sepulang kerja, kadang memaksa saya untuk tidur larut. Ya karena penasaran langsung hendak melihat isinya. Jam sepuluh malam sampai rumah, tidak menghalangi saya untuk segera menyalakan player saya. Sungguh apa yang pernah diceritakan dalam film - film perang setengah fiksi --atau fiksi-- seperti 'Saving Private Ryan' ataupun rekayasa ulang perang kuno 'Braveheart' memang beberapa terjadi seperti itu dalam kisah nyatanya. Walau tentu tidak persis-sisis-sis. Bagaimana kapal pendarat melaju memabukkan prajurit di dalamnya. Bagaimana desingan peluru yang hampir selalu membunuh prajurit pertama yang membuka tingkap pintu pendaratan. Hampir selalu prajurit yang bertugas awal ini pasti mati. Dan bagaimana detik - detik kengerian saat awal prajurit payung diturunkan. Dan tentu cipratan darah dan serpihan daging yang tak kalah membuat dada ini merasa sesak. Ini tidak sekali dua, tetapi berulang kali.
Dalam 'Braveheart' bisa kita saksikan berulang - ulang bagaimana muka Mel Gibson belepotan darah segar berlapis - lapis. Sementara seorang serdadu yang menggenggam sebelah lengannya sendiri yang terputus bisa kita tonton dalam 'Saving Private Ryan'.
Ya. Perang memang sekejam itu.

Saya bimbang dan setengah merasa bersalah, karena ternyata saya menyukai kisah - kisah peperangan yang sebenarnya sungguh keji. Tak kurang ketika Minggu kemarin saat Kakak dan Adik saya mengunjungi rumah saya di Bogor, saya-pun sempat mengobrolkan VCD tersebut berikut VCD film lokal, perang juga,yang bagi saya mungkin salah safu film Indonesia terbaik yang pernah ada. Judulnya 'November 1828' ciptaan Teguh Karya, menceritakan penolakan terhadap kolonial Belanda oleh rakyat Jawa dipimpin Sentot Alibasjah Prawirodirjo.

Dengan mengikuti cerita peperangan, saya jadi ingat sebuah spot dalam salah satu siaran televisi yang kurang lebih berbunyi: "Sejarah mengajari kita dari keberhasilan dan kegagalannya...". Sedikit banyak saya jadi lebih mengerti mengapa Mahatma Gandhi sangat membenci kekerasan dan peperangan. Perang memang bukti kegagalan sebuah peradaban yang layak dipelajari agar tidak terulang lagi. Di cegah.
Untuk mencegah perang, kita harus mengerti bahwa perang itu bukan hanya membuat dada ini sesak. Tetapi juga membuat manusia ini jatuh ke dalam lembah nista. Di dalam medan perang manusia menjadi iblis, lebih nista dari binatang. Karena di dalam perang manusia mengoyak daging lebih kejam di banding dinosaurus sekalipun.[] haris fauzi 16 April 2006

.

.
.

RUMAH BERSAMA

.

Rumah yang saya tinggali sekarang ini memiliki lubang angin yang mungkin terlalu banyak bagi rumah seukurannya. Juga pagar tanaman rambat --tempat favorit serangga--yang hampir sebulan sekali minta dipangkas karena gondrong, memiliki selokan yang cukup dalam, dan memiliki lantai atas yang berpintu keluar ke teras lantai atas.

Setengah mati saya memasang jejaring kawat di lubang - lubang angin yang bertabur itu dalam usaha saya mencegah tikus masuk. Disamping saya perlengkapi dengan satu exhaust fan di setiap kamar agar jendela tidak perlu dibuka, juga setiap kamar saya pasang kasa nyamuk dan pintu berpegas agar selalu tertutup. Pokoknya nyamuk juga setengah mati mau menggigit penghuni rumah, kecuali kalau saya terkapar tidur di depan televisi karena gagal bergadang nonton sepak bola atau nyetel konser.

Juga untuk drainase kamar mandi cukup saya beri celah satu milimeter agar air bisa keluar dengan harapan celah yang kecil itu mampu membendung serbuan kecoa.


Segala usaha saya itu tidak menghambat mereka jua rupanya. Hanya mempersulit saja. Kecoa, tikus, dan nyamuk dengan segala cara seperti gerilyawan sabotase tetap saya mampu menerobos. Setidaknya dua tiga bulan sekali dapur saya disatroni tikus. Nah, pintu keluar di teras atas ternyata memiliki celah dengan lantai. Ini jalan favorit tikus yang akhirnya saya sumbat. Jalan terakhir yang saya tau, tikus bisa masuk karena merayap kabel antena televisi yang saya lewatkan ventilasi angin tanpa jejaring kawat. Tikus ini benar - benar tanpa kenal menyerah.

Tentang nyamuk, karena kealpaan, sering pintu kamar pegasnya tidak berfungsi sehingga nyamuk bisa menerobos barikade kamar.

Yang brengsek adalah kecoa. Kadang dia seakan menunggu lengahnya anak saya menutup pintu ruang depan. Dia langsung aja nyelonong dari selokan ke carport, melintas teras dan masuk ke ruang depan.

Kucing yang banyak berkeliaran juga sering bermain di plafon rumah. Gedubragan. Bahkan kadangkala duduk di kursi tamu di teras. Satu ekor diusir hingga jera, tetapi temannya banyak sekali. Mereka bergantian tidur disitu. Oh, ya. Ruang tamu rumah saya ada di teras. Jadi kalau ada tamu ya akan bertamu di teras sahaja. Nah, disini masalahnya seringkali anak saya memberi makan kucing walau tidak satupun kami pelihara dengan khusus. Mereka seakan dapat tiket untuk berkunjung.

Dulu pernah sering rumah kami sering didatangi kodok. Rumah bagian belakang kami tidak berdinding penuh empat sisi. Untuk menjaga agar udara bersirkulasi dengan mudah maka salah satu dindingnya yang berbatasan dengan sisi luar saya buat dari teralis jejaring kawat. Namun ternyata tepi teralis tersebut tidak sepenuhnya pas dengan kontur dinding. Di beberapa bagian mereka bercelah hingga dua senti meter. Rupanya dia masuk melalui teralis kawat yang bercelah sekitar dua sentian dari dinding ini.

Setiap nongol, bisa dipastikan bisa saya tangkap. Lantas saya lemparkan begitu saja ke taman lingkungan depan rumah. Namun kadangkala mendarat di atap mobil yang saya parkir di samping taman. 'Glondhang!', gitu bunyinya kira - kira. Namun menurut tetangga, kodok memiliki ingatan yang bagus sehingga dia mungkin bisa balik lagi. Saya dianjurkan untuk membunuhnya saja. Akhirnya setiap ketangkep kodok nyelinap masuk, maka saya membuangnya jauh - jauh. Entahlah. Mungkin dia malahan masuk ke rumah tetangga.

Ternyata rumah memang tidak bisa saya bikin begitu rapat proteksinya. Tikus, kodok, kecoa, dan nyamuk boleh saja sambang ke rumah saya. Tetapi ya jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sering. Kecoa kalo cuma satu dalam sebulan tentunya anak saya bisa menggebuknya dengan penebah, sementara tikus bisa saya kejar (saya belum pernah bisa menangkap tikus di rumah saya sendiri), dan nyamuk --walau enggan-- tiga atau empat bulan sekali bisa dibunuh dengan semprotan. Nah, kalau kodok rasanya sudah tidak pernah muncul lagi. Entah karena sudah musim kering barangkali. Ya. sudahlah. Saya menganggap ini adalah rumah bersama, tetapi saya juga pengen dapat privasi jauh dari gangguan mereka. Karena saya yang membeli rumah ini. Haa... Haaa... Haaa....... []haris fauzi - 19 April 2006

.

.

.

3 PENGEMIS & 5 SOSOK KARUNG

.

Sekitar waktu maghrib, bisa jadi saya sedang melintasi --tepatnya: merayapi-- jalanan macet dari arah Cawang melewati flyover menuju Halim. Macet karena memang empat lajur disudutkan menjadi satu setengah saja. Pada setengah perjalanan saya selalu berusaha mepet ke kanan karena memang tujuan saya selepas bottle neck traffic light Halim adalah u-turn --balik kanan-- lantas banting setir kiri ke arah Jagorawi.

Nah, setelah saya mepet kanan itulah biasanya selalu ada seorang pengemis, wanita berumur tiga puluh lima tahun kiranya. Dia tak lelah mengacungkan tengadah tangannya. Selang dua puluh meter ada lagi pengemis. Wanita muda dengan memangku bocah umur satu tahun. Kadang sedang nge-dot susu botol, kadang sedang bermain tanah, wanita ini-pun tak lelahnya menengadahkan tangannya. Kurang lebih dua puluh meter lagi, ada lagi pengemis. Wanita Juga, lebih tua-an dan menggendong bayi juga. Rupanya anak tersebut cukup merepotkannya, sering terlihat menghardik. Ketiga pengemis itu bersimpuh di trotoar jalur hijau, menunggu berkah dari tangan yang nongol dari jendela mobil yang sedang berhimpit macet. Mereka menghirup asap sebagai keseharian, termasuk asap mobil saya --walau saya tidak saban hari lewatnya.

Setelah deretan pengemis tersebut terjejer dengan jarak dua puluh meteran juga, berturut - turut lima karung kerupuk ikan. Rupanya barang dagangan. Di setiap karung plastik tersebut dimuati 'banner promosi' plus harganya. Jargon dalam banner yang dibuat tulis tangan tersebut lucu - lucu, diharapkan menggelitik pengendara mobil yang macet, lantas berhasrat membelinya.

Di posisi karung ke lima, yang sudah sangat dekat dengan traffic light, ada seorang pria yang menjajakan kerupuk tersebut. Tidak begitu gemuk, tetapi dia dengan gigih mengacungkan genggam tangannya mencengkeram kerupuk kemasan kecil. Tak ada lelahnya dia mengayun - ayunkan cengkeramannya, berusaha memancing dua lembar ribuan nongol dari balik jendela mobil.

Karung - karung itu berliput asap, demikian juga penjajanya. Gigih menyelam atmosfer asap karbon knalpot setiap harinya, termasuk asap mobil saya --walau saya tidak saban hari lewatnya.

Tiga pengemis dan lima karung kerupuk tak lelahnya menyapa pengendara mobil yang tersendat - sendat macet. Cuma mereka terlihat berbeda, ketiga pengemis terlihat memelas tetapi lelaki di ujung karung - karung itu terlihat amat gigih. Beda antara tangan tengadah dan tangan mencengkeram.[] haris fauzi - 25 April 2006

.



AKAD JUAL BELI

.

Sering rasanya kita membeli barang atau sesuatu apapun. Dalam jual beli, hal yang perlu sangat diperhatikan adalah kejujuran dan keikhlasan. Kejujuran meniadakan kecurangan, dan keikhlasan mendatangkan berkah. Itulah kenapa dalam Islam saudagar yang jujur mendapat penghargaan setinggi langit. Dan itulah kenapa pula dalam Islam disebutkan bahwa salah satu tempat yang terpadati oleh setan adalah pasar, dimana sering terjadi transaksi jual beli, yang juga sangat riskan tindak kecurangan.

Kalau kita berbelanja di supermarket, hampir pasti kita merasa ikhlas menjalankan transaksi dengan supermarket tersebut. Salah satu indikasi keikhlasan adalah tidak adanya tawar - menawar. Kalau kita tidak cocok dengan harganya, ya tidak jadi beli. Paling kita cuma ngedumel kalau kemahalan --tapi tidak ada transaksi dagang, salah satunya ya karena harga di supermarket itu tidak negotiable-- tidak bisa ditawar. Harga sesuai scan tag yang ada.

Ini yang juga kadang - kadang menggelikan. Andai kita belanja di supermarket --dimana pemiliknya sudah kaya raya, kita tidak menawar harganya.

Tetapi jika kita membeli pisang dari tukang pikul pisang yang keliling komplek dengan bersimbah keringat, maka seringkali kita menawarnya sampai babak belur. Ya kapan jadi kaya tuh tukang pisang !. Barangkali para tukang sayur juga mengalami hal yang serupa. Teror tawar - menawar dari para Ibu pembeli.

Berkaitan soal harga yang ditawar, --dalam proses niaga / dagang,-- selain butuh sifat jujur, dalam jual beli perlu ada keikhlasan. Sekali lagi. Itulah kenapa jual beli dalam Islam disebut juga dengan 'akad', seperti pernikahan. Ya karena kedua pihak harus sama - sama ikhlas, jangan ada salah satu yang 'mbesengut'.

Sering kita jumpai bila telah terjadi tawar - menawar yang demikian sengit, maka salah satu pihak akan berujar ;"ya sudahlah, daripada nggak ada yang beli!", atau "ya sudahlah, daripada nggak ada lagi yang jual...".

Kalimat - kalimat tersebut bernada ketidak-ikhlasan, baik dari penjual atau dari pembeli. Entah pura - pura, atau memang salah satu pihak terjepit. Biasanya, yang terjepit ini tidaklah lega hatinya bertransaksi. Tidak ikhlas. Kalau sudah begini kejadiannya, maka sejatinya transaksi tersebut --akad niaga tersebut-- tidaklah sah. Kalau diperbandingkan seperti pelaksanaan kawin paksa, salah satu pengantinnya sebenarnya tidak pencintai jodoh yang disodorkan akadnya. Jadi ya tidak ada berkahnya. Karena bagaimanapun juga berkah muncul dari keikhlasan.

Berkah itu tidak akan ada dalam pertengkaran, kedengkian dan sakit hati.

'Di dalam rumah yang selalu terjadi percekcokan dan kedengkian, maka tidak ada berkah di dalamnya', begitu sering nasehat Bapak saya melerai perkelahian atau pertengkaran saya dengan saudara saya. Benar tidaknya serta tingkat akurasinya saya tidak mengamati dengan baik.[] haris fauzi - 25 April 2006

.

.

.

BACA & AMAL

.

Sekitar tahun 1997 atau tahun 1998-an saya sempat ngobrol dengan teman saya. Topiknya adalah masalah pembelian Al-Qur'an. Kebetulan saya habis membeli Al Quran terjemah Indonesia, langsung saya bubuhi tanda tangan lengkap dengan jargonnya "...untuk pencerahan moral...". Tertulis di halaman pertama dengan tinta.

Kata teman saya itu, yang dinamakan Al Quran itu ya yang tulisannya arab thok, tanpa terjemahan. Memperlakukan Al Quran oetentik ini-pun harus dengan baik - baik, harus dengan ritual khusus.

Nah kalo yang terjemahan itu boleh dipegang tanpa berwudlu dulu. ".....Kalao yang Al Quran asli musti wudlu dulu kalo mau menjamahnya", demikian tutur teman saya mengutarakan dalilnya.

Ya memang boleh saja berpikiran begitu. Membaca Al Quran memang enaknya setelah sholat, jadi ya masih dalam keadaan berwudlu. Dan pahala membaca Al Quran itupun besar sekali.

Namun saya tetap bersikukuh, seperti halnya teman saya pun begitu juga. Saya membeli Al Quran plus terjemahan itu memang punya maksud tersendiri. Asli saya pengen mengerti artinya --tidak sekedar membaca. Saya sendiri orangnya pemalas membaca Al Quran, saya paling - paling membaca sehari itu antara lima sampai sepuluh ayat, berikut artinya. Sementara teman saya itu bisa tiga puluh ayat bablas. Kita mengambil tindakan yang berbeda. Rekan saya berpendirian bahwa membaca Al Quran oetentik atau asli (tanpa terjemahan) itu satu huruf saya pahalanya ribuan, maka dia membaca sebanyak - banyaknya, demi terkumpulnya poin pahala tadi. Bagi teman saya, saya tidaklah membaca Al Quran oetentik, karena yang saya baca adalah yang 'ada terjemahannya'. Jadi --menurut sang teman tadi-- jumlah point reward yang terkumpul tentu tak sebesar membaca Al Quran oetentik. Apalagi saya cuma membaca sedikit, sepertiganya dia.

Sebenarnya dalam Islam memang ada perintah untuk membaca al Quran, dan jelas diganjar pahala yang banyak sekali. Namun ada pula anjuran untuk mengamalkan nilai - nilai dalam Al Quran. Hemat saya, bagaimana kita mengamalkan kalau hanya membaca tanpa mengerti artinya? Ya saya orang jawa, maka saya tidak bisa bahasa Arab. Saya lebih mengerti terjemahan Indonesia. Gampangnya begitu. Saya harus mengerti dulu untuk mencoba bertindak mengamalkannya, bukan ?

Perintah untuk 'mengamalkan' itulah yang rupanya lebih menarik hati saya. Sementara sang teman lebih tertarik point reward tadi, mangkanya dia melaksanaan perintah 'membaca' Al Quran. Sampai sejauh ini saya tidaklah tau mana yang lebih baik, dan saya mesti harus menggali lebih jauh lagi. Namun yang jelas, sampai hari ini saya masih melakukan kebiasaan saya sebagaimana tadi, yakni membaca Al Quran berikut terjemahannya. [] haris fauzi - 28 April 2006