Thursday, June 08, 2006

KENISAH Mei 2006

COBAAN 'TAK MASUK AKAL'

Ya yang namanya cobaan kepada manusia, ya terserah yang bikin, terserah Tuhan mau mencobakan dalam bentuk apa kepada manusianya. Kadangkala malah tidak masuk
akal.
Kenapa begitu ?
Memang salah satu organ terpenting milik manusia adalah otak. Kalau otot, gajah malah punya otot yang lebih baik. Barangkali hanya otak-lah yang bisa menjadi andalan manusia untuk menjadi manusia sesungguhnya. Hanya orang yang memakai otaknya-lah yang menjadi manusia sesungguhnya. Bayangan saya sih begitu. Namun otak-pun masihlah di uji kelihaiannya. Salah satunya adalah kejadian - kejadian yang kadangkala tidak masuk akal.

Tidak masuk akal ?
Atau belum masuk akal ?
Hampir semua kejadian yang pada jaman Majapahit tidak masuk akal, ternyata sekarang menjadi kenyataan. Artinya kejadian tersebut hanyalah 'belum masuk akal'. Memang akal ini disadari punya keterbatasan dalam berkembang. Andai sudah ditemukan api, maka tak khayal
lagi untuk bisa memasak pisang goreng atau membakar sate, suatu hal yang dianggap 'khayal' pada jaman pra-sejarah. Jaman itu mereka hanya tau api itu dari halilintar yang menyambar pohon kering, misalnya.
Fenomena api ini adalah wujud dari perubahan 'belum masuk akal' menjadi 'masuk akal'.

Apakah semua kejadian berarti berada dalam premis 'belum masuk akal' ?

Nah, ini yang susah. Hemat saya, pasti ada kejadian - kejadian yang murni 'tidak masuk akal'. Jadi sampai kapan-pun akan tetap menjadi fenomena 'tidak masuk akal'. Nggak berubah jadi 'masuk akal'.

Menurut saya pribadi, selain dibekali dengan akal, manusia itu juga dibekali dengan kalbu. Otak tempatnya pengetahuan, kalbu tempat bersemayamnya keyakinan. Otak untuk akal, kalbu untuk iman. Bukannya ikutan latah dengan banyaknya media yang menampilkan magis dan cerita seputar kuburan, --saya termasuk yang agak risih dengan kisah horor gaib yang terlalu dieksploitisir oleh media kita, bahkan kadangkala lebih condong ke tahayul habis-habisan.
Tetapi bagaimanapun juga sebenarnya disinilah fungsi 'keyakinan'. Bila ada hal yang 'tidak masuk akal', maka pada saat itu ada baiknya untuk menggunakan tool atau alat yang lain, yakni kalbu untuk menganalisa secara 'keyakinan'.

Adanya kejadian yang aneh - aneh bin gaib, sebaiknya tidak ditanggapi terlalu berlebihan, karena bisa menjebak kita menjadi manusia berjiwa tahayul. Namun mencampakkan mentah - mentah kejadian itu –dimana menurut otak adalah kejadian yang tidak rasional sama sekali-- hanyalah menjadikan kita sebagai manusia yang congkak. Malahan menurut saya sebaiknya kita harus mampu menyikapinya dengan wajar dan proporsional. Tak usahlah kita ambil pusing dengan ulah lakon dalam tayangan itu yang berlagak berkelahi dengan monster gaib yang kadang - kadang malah menggelikan itu, mirip pelawak Basuki kalo lagi 'tukaran' sama Tessi di
Srimulat.

Bolehlah rasanya kita bergumam bahwa mungkin ada salah satu hal yang patut kita tarik dari kejadian ajaib seperti itu, yakni kita harus yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Kuasa atas segala sesuatu baik masuk akal, belum masuk akal, atau bahkan tidak masuk akal –tidak rasional sama sekali bagi kita. Disinilah fungsi kalbu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Karena bagaimanapun juga, otak itu ada batasnya. []haris fauzi - 5 Mei 2006


SEKOLAHAN

Minggu lalu sempat saya bareng Istri mengunjungi salah satu Sekolah Dasar Negeri di kampung kami tinggal. Tahun ini anak sulung kami hendak masuk sekolah dasar. Tujuan saya adalah sekolah dasar negeri yang mumpuni, disamping soal biaya terjangkau, juga agar anak saya cukup bergaul dengan realitas masyarakat biasa. Ini modal dasar agar anak kelak jadi mau mengerti kondisi masyarakat. Juga tentunya tidak terlalu memberatkan modal Bapaknya.

Memang sekolah yang kami jajagi ini bukanlah sekolahan yang moncer atau berkilauan. Tetapi saya punya catatan penting terhadap sekolahan ini, yakni murid - muridnya tidak bermasalah di kelakuannya. Anak-anaknya terkenal tertib, gitu. Saya jadi tertarik ya gara - gara poin ini, karena bagi saya --dalam keadaan jaman seperti ini-- maka pendidikan mental dan budi pekerti jauh lebih berharga ketimbang akademis. Walau jelas saya akui bahwa dengan kepintaran bisa lebih menjamin prospek menjadi orang kaya, terpandang, dan jabatan tinggi.
Tetapi permasalahannya adalah makin banyak saja orang pintar dengan berderet gelar akademis tetapi bermental iblis. Dan kemerosotan budi pekerti ini mungkin tahun mendatang makin dahsyat. Bagi saya, kalau mau selamat dunia - akhirat ya tidak lain harus meningkatkan budi pekerti. Perkara akademis masuk level di bawahnya.

Kembali masalah sekolahan, ini kali memang sekolah unik. Ekstra kurikulernya hanya ada dua --dan tidak populer untuk anak sekarang-- yakni pramuka dan pencak silat. Istri saya sempat tersenyum ketika mendengar penjelasan ini, dan menyebut dengan ' SD silat...'. Dalam bayangan dia mungkin ya mustinya tidak jauh dengan sekolahan favorit lain yang pernah pula kami kunjungi, yakni esktra kurikuler komputer, basket, musik, atau marching band sekalian.
Memang beberapa minggu lalu kami juga sempat mengunjungi Sekolah Dasar lain yang bener - bener favorit, bahkan pernah menjadi Sekolah Dasar Negeri Teladan. Juga kami pernah sekilas mengunjungi beberapa Sekolah dasar swasta yang menjadi impian banyak orang tua di perumahan kami. Sekolah - sekolah itu memiliki beragam kegiatan ektra seperti di atas. Komplit. Biayanya-pun komplit.

Kondisi anak - anaknya 'SD silat' ini sangat lugu, kalo di sekolahan yang teladan memang lebih berkesan glamor, walau sekolah negeri. Apalagi kalo dibandingkan dengan Sekolah Swasta, pastilah beda jauh. Ruang kelasnya juga biasa saja, tetapi tetap sejuk walau tidak menggunakan AC karena banyak pohon tinggi di sana. Sayangnya saya lupa menengok toiletnya. Toilet ini menjadi tolok ukur kebersihan suatu tempat. Saya terinspirasi oleh tindakan pimpinan kerja saya yang selalu menyempatkan nengok ke toilet saat inspeksi ke kantor. Kalau ketahuan jorok, pastilah kita disemprot habis.

Pada pertanyaan lanjutan, ternyata jawaban guru yang menemui kami sungguh diluar dugaan -- dan saya berdoa semoga dia tidak berbohong--. Rasio lulusan 'SD silat' ini untuk masuk SMP Negeri favorit ternyata lebih tinggi dibanding SD yang teladan tadi. Wah, ternyata bocah lugu produk SD silat ini tangguh juga di akademis. Saya jadi makin kepincut.
Lantas, bagaimana keputusan saya ?
Saya masih gamang. Istri saya lebih bingung. Mungkin saya harus menyertakan orang tua saya untuk memberi penilaian akhir. [] haris fauzi - 6 Mei 2006


MENGUBAH HIDUP


"...misalnya ke Jerman atau Amerika Serikat, maka akan terlihat bahwa penduduk kedua negara ini lebih tegang dibandingkan dengan di Inggeris. Dan jika pergi ke negara - negara seperti Birma, yang menduduki tempat yang hampir paling bawah dari segi kemajuan industri, maka terlihat bahwa penduduknya punya waktu yang berlimpah-limpah untuk bersenang - senang..." (EF.Schumacher - Teknologi yang Berwajah Kemanusiaan)


Bila anda amati, hal apakah yang mengubah pola hidup kita ?
Tentunya banyak faktor, baik mengubah pola hidup individu atau secara kelompok. Bisa jadi pergantian ketua RT akan mengakibatkan perubahan pola hidup. Contoh lain adalah pernikahan, pemindahan tempat kerja, kenaikan jenjang sekolah, perubahan status hidup, dan lainnya.

Perubahan dalam hidup itu terangkai berupa sebab akibat, walau tidak terangkai semuanya dengan untaian yang rapi. Contohnya adalah karena peningkatan jenjang kerja, maka taraf ekonomi jadi meningkat. Ini mengakibatkan banyak fasilitas yang akhirnya bisa dinikmati mulai dari kendaraan, alat elektronik termasuk home-theater misalnya. Kebiasaan juga berubah, kalau dulu pagi hari diisi dengan minum kopi, tapi sekarang ada acara mencuci mobil atau menikmati film di rumah, tidak di bioskop.

Banyak sekali faktor dalam perubahan hidup ini. Bahkan kelahiran anak pertama saya ternyata sangat mempengaruhi perubahan hidup saya. Sebelum Salma lahir, maka hampir seluruh siaran liga sepakbola dan kejuaraan Eropa akan saya tonton. Juga siaran balapan formula-one dan motor GP500. Jadwal piala dunia, liga Eropa, seri balapan, semua saya monitor dalam agenda harian dan kalau perlu saya tempel di dinding. Resiko mengantuk di kantor-pun nggak terlalu soal asal bisa nonton pertandingan - pertandingan tersebut.
Juga menonton film. Seri x-file-nya David Duchovny dan Millenium gak pernah ketinggalan berikut Ketoprak Humor Samiadji dan Srimulat-nya. Belum lagi beragam berita yang selalu saya nikmati.

Namun semenjak tahun 2000 itu semua jadi nggak greget. Kegiatan nonton bola di larut tengah malam yang biasanya tidak pernah saya lewatkan, kali ini sudah sesempatnya saya ikuti. Juga adanya rencana tayangan ulang film Millenium ternyata tidak terlalu menggugah semangat saya untuk mengikutinya. Yang namanya anak ternyata membuat saya harus mengatur hidup. Mengubah pola.

Biasanya perubahan hidup yang dipengaruhi faktor ekonomi secara positif --meningkat-- akan dengan mudah disesuaikan oleh seseorang. Catatan untuk perubahan kondisi kas ekonomi yang membaik, layaknya membuat orang hati - hati, supaya tidak menjadi gembleleng, kaya mendadak, supaya jangan lantas boros. Tuntutan sikap hati - hati ini tetap saja ada walau hal ini masih saja lebih gampang. Tetapi perubahan ekonomi yang menurun rasanya akan sulit kita hadapi. Saya pun begitu. Saya butuh waktu yang panjang untuk menyikapi perubahan kondisi ekonomi yang menurun ini. Saya perlu jauh - jauh hari untuk mengantisipasinya, sampai istri saya pernah berkomentar,"Apa iya sih ekonomi bakal seburuk krisis ekonomi jaman Pak Harto lengser ?". Gitu tanyanya pas dua tahun lalu saya menyusun rencana kebijakan ‘tighten the belt’ uang ketat keluarga menyusul kenaikan harga BBM. Toh dua tahun lalu saya sudah mencoba mengantisipasinya, namun tetap saja sekarang ini saya cukup kedodoran. Saya jadi sering berhitung dengan kekuatan dompet saya bernafas. Kalau sudah tipis artinya nafasnya sudah pendek. Nah, acaranya berikutnya adalah nagih utang untuk memperpanjang nafas.

Petakompli-nya adalah ke anak - anak. Mereka tidak akan saya lepas begitu saja untuk 'berfoya-foya' dan bermanja - manja. Disamping karena saya tidak begitu cocok dengan budaya tersebut, saya juga mempersiapkan anak - anak agar memiliki 'sense of prihatin'. Mungkin bagi sebagian orang tindakan saya itu terlalu dini, atau hanya phobia, atau hanya ketakutan yang berlebihan.
Namun bagaimanapun juga bagi saya prioritas sekarang adalah 'sense of prihatin' ini. Karena dalam sejarahnya, belum ada ceritera bahwa hidup manusia ini makin lama makin mudah. Memang dengan bantuan kemajuan teknologi lantas ditemukannya beberapa alat akan mempermudah hidup manusia, tetapi pada prinsipnya sekarang ini manusia bertarung lebih keras untuk mendapat makan. Dan persaingan akan makin keras di masa - masa mendatang.

Beberapa kemajuan teknologi lebih berperan menciptakan sarana persaingan mendapatkan makan. Bukan mempermudah mendapatkan ransum makan. Banyak kaum filsafat berpendapat bahwa manusia di desa dahulu lebih bisa menikmati hidupnya ketimbang manusia modern yang keras persaingannya, walau manusia modern memiliki teknologi yang lebih maju. Manusia modern terbukti kehilangan waktunya untuk menikmati hidup karena harus terus meningkatkan daya saingnya dari waktu ke waktu. Ya ini sih penilaian sepihak saja. Mungkin hanya filosof genre Thomas Aquinas saja yang berpendapat seperti itu. Saya tidak sepenuhnya yakin, tetapi bagi saya penilaian itupun tidaklah salah. Bagaimanapun juga pesan musikus Genesis seperti dalam 'Land of Confusion', 'Too many people make too many problems' dari album 'Invisible Touch' ada benarnya juga karena sebenarnya pesatnya permasalahan hidup berpacu lebih cepat ketimbang kesiapan manusia menghadapinya. Dan permasalahan yang makin tak tertangani akan berujung di satu letupan dahsyat yang bernama kiamat. Kiamat ini telah semakin dekat saja. Demikian kata orang - orang tua. Manusia diawali dengan tiupan roh lantas diakhiri dengan melayangnya nyawa, alam semesta ini dimulai dari serpihan, dan akan kembali menjadi puing debu.[] haris fauzi - 8 Mei 2006


LIST

Akhir minggu ini bila ada waktu luang saya rencananya hendak membuat data dari koleksi CD, VCD, dan DVD yang saya punya. Bukannya sok-sok-an atau 'turah wektu'. Tapi daftar inventarisasi ini sebetulnya adalah prosedur normal. Walau cuma punya sedikit koleksi, tetapi adanya daftar ini sangat menunjang hobi koleksi mengoleksi sesuatu.

Dulu, jaman saya SMP pernah melakukan serupa, untuk buku koleksi saya kala itu. Sekitar tiga puluh buku.
Beberapa rekan saya, punya daftar koleksi CD yang demikian rapi dan up-date. Sempat bikin ngiri. Iri karena koleksinya yang aduhai, juga ngiri akan ketelatenannya melakukan dokumentasi inventaris koleksinya. Dan juga sempat malu juga ketika ada yang nanya,"...Bung Haris, boleh lihat list koleksinya dong...". Saya tidak punya, tepatnya belum punya.

Sebetulnya bukan hanya CD, tetapi koleksi buku juga rasanya mutlak untuk di-inventarisir. Namun melihat keragaman komposisinya, buku membuat keder untuk di list.
'Sort by' apa ? Judul ? Pengarang ?
'Racking by' apa ? Tematis ? Dimensi Buku ?
Trus, apakah majalah, tabloid, fotokopian, juga di-inventarisir ?
Batasan masalahnya apa ?
Yah, yang seperti inilah yang bikin sulit. Kalau CD, VCD, DVD paling - paling beranjak dari dimensi dan model datanya. DVD kebanyakan berbungkus lebih tinggi ketimbang CD atau VCD. DVD atau VCD juga tinggal dikelompokkan tema musik dan sinema. Lantas kerjaan sisanya yang semuadiurut berdasar abjad saja.
Sementara untuk edisi khusus, CD dan VCD juga memiliki dimensi yang keluar pakem. Ini bisa dianomalikan, tapi tidak terlalu banyak (kalau buku minta ampun deh!). Hal ini juga berlaku untuk CD kompilasi yang artis-nya beragam (various artist). Bisalah kalo disimpan tersendiri.
Gampang 'kan ?

Gampang apanya ...???
Sebetulnya ada lagi yang lebih gampang, yakni inventarisir kaset. Saya mungkin punya sekitar 350 biji kaset. Dimensi kaset itu relatif seragam ketimbang buku atau CD. Pekerjaan inventarisirnya sih sebetulnya tinggal 'sort by artist' sahaja. Atau ada koleksi 'emas' seperti album art-rock keluaran YESS Bandung yang layak dianimalikan. Nah untuk ini kan tinggal dikelompokkan dalam satu rak. Lemari kaset-pun sudah saya buat sendiri --my handmade-- sekitar tiga tahun lalu. Tinggal bikin inventarisir thok. Thok thil !
Namun kenyataannya sampai detik ini tidak jua muncul list kaset tersebut, kaset itu hanya nangkring di rak tanpa aturan. yang penting berjajar. Kalau itu barisan tentara, maka siapa serdadu dan siapa perwira tidaklah kentara disitu. Bergumul macam pasar saja antara pembeli, penjual, dan pepaya tidak beraturan. Alangkah kasihannya....

Yah. Mungkin masih belum jadi budaya bagi diri saya untuk melakukan inventarisir dengan benar. Padahal inventarisir ini adalah hal yang penting. Ada Pakar Manajemen yang bilang bahwa kunci dari keberhasilan roda manajemen ditentukan pula oleh tingkat kemampuan dokumentasi dan inventarisir. Karena dari dokumentasi dan inventarisir bisa diperoleh jejak telusur dan kapital yang ada. Nah lo.... Kapan Anda akan melakukan membuat 'list' atau daftar inventarisir koleksi Anda ?[] haris fauzi - 11 Mei 2006


8.04 105

Beberapa jam sebelumnya saya terima email dari rekan saya, seorang pengamat musik-- bahwa dia akan on-air--siaran pada pukul sembilan malam di sebuah radio bergelombang 105 FM. Rencananya teman saya akan membicarakan perihal grup progresif rock The Flower Kings. Kebetulan hal itu saya ingat saat tengah duduk di belakang kemudi Zulficar --nama mobil tua saya. Saya menyalakan radio dan mencari gelombang tersebut. Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Jelas belumlah ada siaran oleh teman saya itu wong masih jam delapan.

Ternyata acara siaran saat itu adalah ngobrol soal kesehatan. Tentang apa saya duga adalah perihal kesehatan ibu hamil. Sebetulnya saya tidak terlalu tertarik mendengarkan hal itu karena istri saya tidak sedang hamil, saya hanya ingin pada pukul sembilan malam saya tidak kelewatan saat sang penyiar menyebutkan "......Malam ini saya bersama Bung Suryo, seorang pengamat musik....Memperbincangkan karya-karya dari sebuah grup progresif rock bernama The Flower Kings.....". Itu yang saya nantikan.

Tapi..tunggu,.....tunggu dulu !
Saya terpaksa menyimak lebih peka lagi. Saat itu display dashboard menunjukkan 8.04 105. Pukul delapan lebih empat menit malam hari, gelombang radio seratus lima.
Ternyata salah satu pembicara dalam acara kesehatan itu menyampaikan hal yang indah sekali.
"Kadangkala dalam berdoa kita mendikte kepada Tuhan. Ya Tuhan berilah saya anak laki - laki...Ya Tuhan berilah saya anak yang cakap...", gitu katanya.
Saya tertegun sejenak. Seringkali saya berbuat seperti itu. Seringkali saya mendiktekan maksud kita kepada Tuhan melalui doa - doa. Pada saat istri saya hamil anak pertama, saya berdoa --mendikte-- kepada Tuhan agar anak saya lahir laki - laki. Juga saya berdoa --mendikte-- agar anak saya lahir bebarengan dengan ulang tahun Bapak saya. Saya tidak tau benar apa 'itukah doa ? itukah mendikte ? itukah harapan ?'. Yang jelas anak sulung saya lahir perempuan --tidak sesuai dengan dikte saya, namun memang harapan saya terkabul dia lahir pas hari ulang tahun Bapak saya.

"Padahal yang tau kebutuhan kita adalah Tuhan. Kita butuh anak lelaki atau perempuan, itu pastilah Tuhan lebih tau...", gitu imbuh pembicara tersebut.

Berdoa memang sebuah keharusan. Berdoa agar anak kita lahir sehat, atau tidak ditimpa kesulitan, atau berdoa apapun ---berjuta doa yang telah dianjurkan oleh agama kita masing - masing. Itu wajib dilakukan sebelah - menyebelah dengan ikhtiar. Tetapi kadangkala dalam berdoa kita terjerumus menjadi pendikte arah hidup kepada Tuhan. Seringkali kita menjadi komentator terhadap jalannya hidup yang telah diatur Tuhan. Komentator yang sering mengkritik jalannya pertandingan. Bahkan tak lepas pula sering kita menyudutkan perkara hingga akhirnya kita mengeluhkan takdir, menyalahkan Tuhan sebagai sebab musabab suatu kesusahan. Alangkah salah-kaprahnya ! [] haris fauzi - 16 Mei 2006



KM 22

Di sebuah ruas jalan tol, saya saksikan disebelah kiri -- jalur darurat paling kiri-- ada tiga kendaraan berhenti , atau tepatnya tengah parkir,- dengan jarak pendek. Satu bus penumpang --entah penuh penumpang atau tidak-- selang sekitar sepuluh meter ada dua truk militer menyusun seri di depannya.
Satu orang tentara --mungkin salah satu penumpang truk tadi-- dengan tongkat rotan seukuran panjang satu meteran berdiri di sisi depan bus, berteriak - teriak dan seakan - akan berusaha memecah kaca depan bagian kemudi setelah menghajar spion kanan bus tersebut. Serpih kaca berantakan di sekelilingnya.

Hanya itu yang saya lihat. Saya tidak menyaksikan dengan seksama karena saya tengah melaju berada di jalur tengah. Saya hanya menduga apa gerangan yang tengah terjadi. Mungkin memang supir bus itu kurang ajar mengemudikan kendaraannya sehingga memotong atau menghalangi atau bahkan bersinggungan dengan barisan truk militer tadi. Suatu hal yang memang menjengkelkan, dan sebenarnya hampir semua orang tidak menghendakinya. Jelas pasti seseorang nggak akan senang lajunya dipotong sembarangan, dan bisa jadi yang memotongpun secara nurani juga nggak pengen hal itu terjadi. Apalagi bakal berurusan dengan 'man with the gun'. Sopir bis itu-pun mungkin tidak menghendaki hal tersebut, tetapi kalau kecerobohan terjadi sudah apalah daya. Nasib digebugin atau kaca spion pecah sudahlah menjadi resiko yang harus ditanggung. Paling ujung si Sopir cuma bisa 'ngerasani', "ah... tentara kayak gitu mah bisanya perang sama rakyat kecil kayak saya ini...padahal saya kan cuma gini... gitu...". Masing - masing punya pembelaan buat kasusnya. Itu sih wajar.

Ya. memang jalan tol itu penuh problem. Mulai dari kucing, ayam, kambing hingga anak sekolah-pun bisa menyeberang sembarangan. Yang tentunya ini membuat pengemudi kaget. Belum lagi ulah sopir - sopir yang nyerobot pintu tol, salip kiri - kanan. Atau bahkan kejadian ada deretan konvoi di jalur cepat. Mobil umum ugal - ugalan, mobil pribadi kebut - kebutan, mobil militer jalan merayap di jalur cepat. Semua pingin menunjukkan kecongkakannya, pamer kekuasaan dan kekuatannya di jalan tol. Itu kesan umum yang ada. Semua itu saling membuat mengumpat.
Kejadian bis bikin ulah diatas memang beresiko jika dia lakukan terhadap kendaraan tentara. Namun, apabila yang melakukan ternyata kendaraan tentara terhadap sopir bus, apakah sopir bus tersebut berani untuk memecahkan spion truk tentara ?
Boro - boro itu, menyetop saja tidak bakalan berani. Demikian juga andai bila bis tadi berlaku main pepet seenaknya terhadap mobil pribadi, bisa jadi sopir bis tadi akan tersenyum saja memandang dengan ekor matanya kepada mobil pribadi yang dia pepet.

Jalan tol juga sering macet. Kalau sudah begini ini urusannya jadi beda 'mumet'-nya. Untuk kendaraan dengan kopling otomatis maka kaki kiri tidak perlu pegel - pegel. Namun urusan bukan sekedar menginjak pedal kopling dengan kaki kiri. Tengoklah bagaimana mobil pribadi main adu lompat berpindah jalur begitu ada kekosongan di jalur lain. Sementara mobil aparat sering juga menambah hiruk - pikuk suasana dengan sirine-nya minta prioritas. Pernah suatu hari saya dengar keluhan seorang pengemudi mobil yang disiarkan on-air di radio bahwa dia barusan di tengah kemacetan didesak minggir oleh mobil aparat ber-sirine yang buru - buru hendak lewat, namun ternyata mobil bersirine itu sama tujuan dengan mobil yang mengeluh tadi : "warung soto betawi". Keduanya lapar rupanya, cuma kalau menggunakan mobil bersirine bakal bisa lebih cepat perut ini terisi oleh soto hangat ketimbang yang lainnya, walau ulah ini bikin pusing ratusan orang yang lagi ber-macet-macet ria.
Bis umum ? mereka sering main pepet dan seakan - akan mencoba beradu badan terutama menjelang penyempitan jalan. Adu berani dengan mendekatkan kendaraan gede mereka ke bodi mobil lain. Siapa nggak keder ?

Ya itu tadi, itu hampir semuanya ( tidak semuanya) pamer kekuasaan dan kekuatan di jalan tol. Ini sudah adab, atau budaya pemakai jalan tol di sini. Jalan tol menjadi salah satu simbol betapa masyarakat kita masih sangat terbelakang dalam pendidikan. Mungkin kalau di luar negeri akan beda lagi perangainya. Simbol di jalan tol membuktikan bahwa di antara kita masih saja membiasakan diri menggunakan 'kekuasaan dan kekuatan' sebagai identitas. Kekuasaan dan kekuatan fisik. Kekuasaan dan kekuatan ditunjukkan untuk diketahui orang lain agar dihormati atau mendapat prioritas, atau agar urusannya lancar. Ini poin-nya. Padahal semua orang juga tau bahwa kekuatan fisik hanyalah perlambang kebiadaban, hukum rimba, tidak berpendidikan. Kata kebanyakan orang 'ciri menggunakan kekuatan itu menunjukkan kelemahan intelektual'. Ya itu sih sudah jamak, semua orang di Indonesia ini juga tahu. Toh semua orang juga tau bahwa korupsi itu berdosa, tetapi kenapa masih dilakukan juga ?[] haris fauzi - 16 Mei 2006



WARTAX

Bung Wartax; nama aslinya saya kenal dengan Anwar Holid, pertama jumpa di sebuah milis tentang buku. Lucunya dia sering angkat komentar ketika saya sesekali menyangkut pautkan antara dunia perbukuan dengan dunia musik rock. Dari pengamatan saya, dia selain hobi membaca novel, juga dengan enjoy melakukan editing dan menjalani profesi tulis - menulis.
Dan ketika saya mulai menulis kenisah, alamat email Bung Wartax merupakan 'target' pertama saya. "..dari tulisan Anda, kita punya beberapa persamaan...", demikian kurang lebih tulisan Bung Wartax suatu kali mengenai tulisan - tulisan saya. Bung Wartax jugalah yang sering memberi koreksi terhadap tulisan - tulisan saya. "..sayangnya tulisan kenisah sering terlalu pendek...", salah satunya gitu. Kalau urusan yang ini memang saya berusaha agar tulisan saya tidak usah terlalu panjang, karena memang agar cepat selesai dibaca. Lebih ringkas dan sangat mungkin dibaca di kantor.

Beliau ini sering mengisi kolom di koran ibukota, bahkan tanpa diduga dalam tulisan kolomnya pernah melakonkan diri saya sebagai salah satu lakon utama, lengkap jatidiri saya berikut profesi saya yang sekarang. Rasanya baru kali ini diri saya diulas oleh jurnalis sekaliber dia walau cuma satu paragraf. Adik saya yang membaca tulisan tersebut sempat pula memberikan komentar tertulisnya.

Ketika saya mencoba mendokumentasikan seri tulisan - tulisan saya dalam sebuah blog, ternyata dia-pun telah melakukannya, dan dengan format yang sama pula. Entah persamaan apalagi ini. Lucunya, ketika saya sampaikan pertanyaan seputar editing blog dimana saya kebingungan, beliau juga tidak bisa menjawab alias sama juga bingungnya.

Dalam benak saya, Bung Wartax ini pastilah jurnalis tulen, dia pastilah lebih dari saya yang cuma pernah menjadi jurnalis mahasiswa. Dan lantaran saya lulusan sekolah teknik maka saya bekerja di pabrik. Jadi upaya saya menulis sekarang adalah sisi samping dunia saya. Tentang kegiatan jurnalistik mahasiswa saya punya catatan bahwa beberapa teman kampus saya yang juga menekuni dunia jurnalistik mahasiswa kebanyakan sekarang berprofesi sebagai orang pers --walau dia bukan lulusan disiplin ilmu komunikasi. Pada saat saya mendengarkan radio , pernah disebutkan nama rekan kuliah saya sebagai reporter. Entah kebetulan namanya sama, atau reporter tersebut memanglah teman kuliah saya yang kala mahasiswa memang rajin sebagai aktivis jurnalistik. Jadi rupanya kegiatan ekstra kurikuler dia malah menjadi bidang profesi dia sekarang, bukan dari disiplin ilmunya. Mereka semua sangat menikmati dunia jurnalistiknya. Itu penilaian sepihak yang ada dalam perasaan saya, sehingga dengan segala daya upaya dan kesempatan, sekarang saya ini-pun tengah berusaha mencicipi dunia tersebut.

'Halaman Ganjil' merupakan lini produk tulisan Bung Wartax. Rutin saya menerimanya. Awalnya saya menerima dari posting milis, tetapi kemudian alamat email saya mendapat kehormatannya untuk mendapatkan posting langsung. Kami-pun saling bertukar tulisan.
Suatu saat saya menerima posting dari Bung wartax bahwa posting tulisan saya ternyata secara otomatis masuk kategori bulk di foldernya, dan langsung hapus."...sudah lama sekali saya tidak menerima posting kenisah lagi, ternyata posting Anda masuk ke bulk...", tulis Bung Wartax.
Memang sejauh ini saya melakukan posting tulisan - tulisan saya melalui email kantor, dan setelah kejadian itu saya merubah posting saya melalui email gratisan yang umumnya orang kebanyakan pakai. Dari perubahan asal posting ini, saya berharap tulisan saya tidak masuk kantong bulk.

Samudera tulis-menulis ini memang luas sekali. Walau cuma kebagian sepucuk buih ombaknya, ternyata saya menikmati dengan puas. Asli salah satu kesenangan saya ada di sini. Samudera ini terkait erat dengan filosofi kehidupan, petualangan spiritual dan relijiusitas, sekaligus bertautan pula dengan dunia musik. Karena penulis sekaliber Gola Gong juga mengagumi musisi Peter Gabriel, idola saya. Saya tau hal ini karena Bung Gola Gong pernah kirim posting ke saya perihal anaknya yang bernama Gabriel.

Ya begitulah. Ihwal tulis-menulis memang mengasyikkan lantas menambah banyak wawasan dan teman. Cuma menurut penilaian saya, banyak orang yang belum sempat mengerti, bahwa sepucuk buihnya itu sahaja telah demikian nikmat. Kalau tidak percaya, silakan coba ! [] haris fauzi - 16 Mei 2006


HANTU

Makhluk satu ini memang fenomenal. Ada banyak julukan bagi dia, walau intinya satu : makhluk halus. Sehalus apa saya nggak perlu tau. Di desa Kakek saya di kaki gunung Merapi memang hantu sesekali menunjukkan eksistensinya --walau secara tidak langsung. Teman kuliah saya yang sempat saya ajak maen ke desa kakek saya juga berkomentar hal itu, '..rasanya disini ada beberapa makhluk halus nih...', gitu ungkapnya walau sebenarnya saya tidak ngomong apa - apa. Dia ngomong gitu pada saat tengah malam mau rebah tidur. Saya yang sudah tau jadi semakin kecil hati.
Bukan hanya itu, beberapa kejadian aneh memang kadangkala kita alami di rumah itu, namun seperti nasehat Kakek saya sendiri, kita selalu berusaha membiarkan saja. Makhluk halus itu diyakini ada, tetapi tidak untuk diperhatikan, apalagi di manja - manja diberi sesajen.

Teman anak saya seringkali berbicara soal hantu. Bahkan kadangkala menakut - nakuti temannya, ini yang malah bikin anak saya jadi makin takut hantu. Awalnya saya nggak ngerti entah kenapa kok Salma jadi takut tidur sendirian. Takutnya keterlaluan lagi. Setelah saya pelajari ternyata dikalangan konco - konconya sedang demen ngobrol hantu, jadinya kebawa takut sekalian. Gawat juga pergaulan ini. Kayaknya karena tayangan tivi berhantu - hantu itulah yang membuat anak - anak juga sering jadinya ngomong soal hantu.

Andai Salma ketakutan saat hendak sendirian ke dapur atau ke kamar mandi, maka saya tidak berusaha menemaninya. Biarin aja. Kalau kepepet baru saya suruh adiknya yang belum genap 2 tahun untuk menemani kakaknya. Adiknya, Norma, tidak takut hantu, soalnya temen - temennya masih belum begitu terdramatisir oleh obrolan hantu.
Suatu saat listrik mati dan lampu padam, maka kontan kedua anak itu teriak - teriak. Si Salma ketakutan, tetapi si Norma kegirangan seperti dapat kejutan, dan baru nangis karena terantuk meja. Soalnya Norma biasa berlarian bila hatinya sedang surprise. Lha istri saya belum sempat menyalakan lampu minyak, dia nggak peduli, lari aja semaunya sampai terantuk.

Akhir-akhir ini Salma menunjukkan keberaniannya. Paling - paling cuma merengek dikit andai disuruh bergelap - gelap sendirian. 'Ayah, disitu ada apa tuh ya..kok bunyi klothak - klothak...', gitu dengungnya agak khawatir. Saya paling hanya menjawab meremehkan,'....Ah.. paling - paling juga hantu...Entar kalo kita kesana pastilah hantunya pergi karena takut sama kita'.

Terus terang saya sebenernya juga nggak yakin berani kalau di depan muka saya tau - tau ada sesosok tengkorak yang terbang, atau ada tuyul yang berlarian menyelinap kaki. Saya-pun berasa merinding bila berjalan melewati daerah angker. Beberapa kali saya mengalami hal ini, termasuk ketika suatu kali saya harus memasuki aula yang katanya angker. Walau masuknya saya berombongan, saya sungguh takut, tetapi karena ada adik kelas saya, dan beberapa dari yunior ini adalah mahasiswi, maka saya kuat - kuatkan hati ini. Senior pantang malu nih. Tapi ternyata malahan beberapa adik kelas jadinya kesurupan. Berabe juga nih hantu kalo ditantangin gini. Namun ketakutan dan merinding itu wajar bagi saya, lhawong ketemu orang yang belum kenal saja kita perlu waspada, apalagi ini ketemu hantu.

Ya sudahlah. Gak perlu panjang - panjang ngomongin hantu. Yang jelas dia itu ada. Makhluk halus itu ada. Tapi biarin saja, mereka hidup di dunia mereka. Dan sebaiknya jangan sekali - kali berkomunikasi dengan mereka, apalagi memanggil lantas berkolaborasi, atau malahan mengiba - iba dengan sesajen. Malah bikin repot. Lha wong urusan sesama orang saja sudah banyak masalah kok malah mau berbisnis dengan hantu, bakalan ketipu lagi..... Ada - ada saja ! [] haris fauzi - 21 Mei 2006



_____

tulisan ini khusus dibuat memenuhi permintaan redaktur Majalah Mahasiswa SOLID.
Let's get Rocked !

----------

PEMIMPI

Ada hal yang menarik dalam sekumpulan individu, suatu masyarakat. Kalau kita bayangkan, sekumpulan orang itu-pun pada dasarnya juga seperti individu. Dia memiliki kehendak, memiliki tindak - tanduk, memiliki kebiasaan. Hanya bedanya individu itu memimpin diri - sendiri, dan mungkin dipengaruhi oleh orang lain. Tetapi masyarakat lebih cenderung bertindak karena ada yang menggerakkan, entah itu masyarakat lain atau ada pemimpin di antara mereka.

Kemudian, suatu masyarakat memiliki rasa frustasi, euophoria, dan melankolis juga. Ah, detilnya saya tidak terlalu faham. Tetapi yang saya sempat amati, bahwa masyarakat itu seringkali terjebak dalam kebekuan. Istilah kerennya 'dark ages', masa - masa suram. Bagi saya yang beragama Islam, hal ini biasa disebut dengan jaman jahiliyah.
Susah sekali mencairkan kebekuan masyarakat itu. Susah sekali keluar dari masa - masa suram. Seorang bocah yang frustasi saja mungkin sudah terlalu merepotkan keluarganya, boro - boro memulihkan. Lha ini suatu komunitas individu, atau sebuah bangsa sedang mengalami depresi, mengalami masa suram. Betapa sulitnya.

Tetapi kita haruslah ingat, Eropa di jaman pertengahan bisa keluar dari kungkungan masa kegelapan berkat gerakan renaissance, walaupun gerakan itu berdampak semakin menjulangnya nilai - nilai materialisme sehingga nilai spiritual semakin tersingkir.
Sayapun juga tidak bisa mengabaikan bahwa dunia ini juga pernah mengalami masa kebodohan --jahiliyah-- yang demikian akut, dan akhirnya bisa terbebas karena aplikasi nilai - nilai Islam. Renaissance dan pewahyuan Islam. Mungkin banyak contoh yang lain.

Seorang tokoh revolusi Iran, --Ali Syariati-- pernah berpendapat bahwa kesulitan dalam membebaskan masyarakat dari kebekuan adalah terletak pada mitos dan legenda yang berlaku di masyarakat tersebut. Biasanya suatu masyarakat sering beranggapan bahwa akan muncul Imam Mahdi, Ratu Adil, atau tokoh kharismatis yang bakal membebaskan mereka. Ya ini wajar. Dengan kemunculan seorang tokoh, biasanya bisa membawa banyak perubahan. Itu yang terjadi di tanah Arab pada saat runtuhnya era jahiliyah karena datangnya tokoh hebat bernama Muhammad. Ini contoh bahwa seorang tokoh pencerahan mampu menggerakkan masyarakatnya untuk bangkit.
Tokoh inilah yang memulai dengan gerakan penyadaran. Sadar bahwa berada di tengah - tengah kegelapan. Lantas dia memotivasi seluruh lapisan untuk ikut tersadarkan.

Seorang--beberapa orang-- tokoh tersebut bisa muncul dari dalam komunitas atau datang dari dunia lain. Namun ada baiknya janganlah terlalu berrharap tokoh itu akan datang dari sisi dunia lain. Sebaiknya masyarakat itu mampu melahirkan tokoh yang mencerahkan ini. Jangan terlalu mengandalkan 'legiun asing'.

Ya sebenarnya tidak hanya tokoh yang berpengaruh. Kesulitan yang lain dari 'pembebasan' ini adalah legenda yang berlaku di masyarakat itu. Seringkali masyarakat terbelakang cukup terhibur dengan dongeng - dongeng masa keemasan tempo dulu. Terbuai dengan kisah heroik jaman dulu, terbuai dengan gemah ripah loh jinawi jaman dulu.... sehingga melupakan kekelaman yang tengah terjadi. Ini hanya mimpi yang membelenggu, bermimpi di tengah kebodohan. Kalau dirangkaikan akan jadi masalah yang besar. Contohnya ya bangsa yang tengah tersungkur ini. Terbuai dengan kekayaan alam yang pernah dimiliki, dimana sekarang sedang dikeruk habis oleh orang lain. Masih terus terbuai oleh dongeng sebagai bangsa yang besar nan agung di masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, padahal sekarang bangsa ini menjadi salah satu bangsa paling korup di jagad raya. Dan yang terakhir, mengharapkan bangsa lain untuk menjadi pahlawan dengan pemberian donasinya.

Alangkah sulitnya untuk menyadarkan, membangunkan --tepatnya: membangkitkan-- bangsa pemimpi yang tengah bermimpi panjang ini. Atau malah pingsan barangkali. Namun sesulit apapun, harapan itu masih ada. Tuhan selalu memberikan solusinya. Ya, harapan kita terutama bisa jadi ada pada Tuhan. Bisa jadi Tuhan akan menjadikan salah satu putra bangsa untuk menjadi pahlawan. Mungkin pula Tuhan akan membuat babak baru kisah perjalanan atau babad bangsa ini.
Bila kita menyandarkan harapan kebangkitan pada kehendak Tuhan, maka salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan menjadi kekasih Tuhan. Asumsi sederhana saya adalah Tuhan akan mengabulkan permintaan kekasih-Nya. Namun, sebagai calon kekasih-Nya tentu tidaklah gampang, kita harus berusaha untuk memenuhi perintah dan kriteria-Nya. Bangsa ini harus memperbaiki diri untuk tidak mengulang kebobrokan mental yang selama ini telah terjadi. Itu dulu yang harus dikerjakan. Namun bagi bangsa sebesar ini, hal itupun tidaklah mudah karena pelanggaran yang terjadi telah sedemikian banyak. Untuk ini-pun mungkin kita butuh tokoh yang menyadarkannya.
Waduh,..kok jadi kayak lingkaran setan begini...?

Disinilah fungsi tokoh penyadaran itu. Bahwa tokoh penyadaran harus memiliki kemampuan menyadarkan. Lha kalau kita tidak kuat untuk menyadarkan sebuah bangsa, mungkin kita memiliki kuasa guna menyadarkan dan membangkitkan diri sendiri dan keluarga untuk menjadi kekasih-Nya. Yang mampu segera dikerjakan dalam batasan kita mungkin adalah memperbaiki diri sendiri, lantas keluarga kita masing - masing, lantas kerabat kita, lantas..., lantas.... [] haris fauzi - 18 Mei 2006



WANITA - WANITA DI SEKELILING SAYA (I)

Tanpa saya sadari, ternyata ada beberapa wanita yang begitu dekat dengan kehidupan saya. Yang pertama adalah Ibu saya. Tinggalnya di Malang --hampir 1000 kilometer dari rumah saya. Dialah yang selalu saya telepon di akhir pekan, setelah saya capek jogging meniti deretan palem di boulevard kampung saya. Kalau mendiang Bapak saya sebagai guru spiritual, maka Ibu saya adalah penasehat keuangan pribadi saya. Dan beliau adalah penasehat yang ekselen performanya, walau dulu kuliahnya di fakultas Hukum UGM..

Pada tahun 1995, di awal saya bekerja dan memperoleh gaji pertama, beliau sudah mewanti - wanti agar saya menyisihkan pendapatan untuk di tabung. "Gak perlu kamu repot - repot menyisihkan untuk dikirim ke Ibu, tapi mending kamu tabung dengan sebaik - baiknya...", gitu pesannya lewat percakapan telepon.

Sebagai pekerja anyaran, gaji yang saya terima kala itu cukupan, tidak berlebihan. Bahkan sempat menjadi lelucon di kantor juga gara - gara saya memenuhi nasehat Ibu dalam hal menabung. Secara spesifik Ibu saya menganjurkan untuk menabung dalam mata uang dollar amerika."Walau sedikit, cobalah pindah tabunganmu ke dollar saja...", anjur Ibu. Dalam tiga bulan sekali saya ke Bank untuk memindahkan tabungan yang tidak seberapa itu dari rekening rupiah ke rekening dollar. Ya teman - teman kantor tentunya setengah geli ketika mengantar saya ke bank untuk keperluan itu. "Cuman satu juta rupiah kok dipindah ke rekening dollar", gitu mungkin pikir temen - temen kegelian. Kala itu kursnya sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah se-dollar-nya.

Entah kenapa empat tahun berjalan tanpa terasa. Walau sedikit, lama - lama dollar itu kelihatan jua banyaknya. Walhasil ketika tahun 1999 saya hendak menikah, maka saya bongkar semuanya. Cukup berlebihan untuk kebutuhan saya kala itu : membeli rumah dan menyiapkan pernikahan. Ya maklum, saat itu harga dollar memang sudah melonjak empat kali lipat berkaitan dengan terjadinya krisis moneter. Otomatis rekening saya juga membengkak, dan untuk segala urusan itu-pun masih ada sisa.
Apa nasehat Ibu saya ?
"Le, kalau jaman lagi susah, nenek dan buyutmu dulu sering menabung emas... sisa duitmu itu belikan batang emas saja...", nasehat beliau mengingatkan adanya krisis moneter di akhir abad. Lantas saya serahkan seluruh duit itu ke Ibu untuk dikelola seperti maunya Ibu. Disamping Beliau yang tau, juga biar saya nggak malu lagi ngurus begituan.
"Lha wong tukar dollar aja di-ketawa-in sama temen kantor, gimana jadinya kalo saya ketahuan transaksi emas di toko perhiasan ?...Ah... ada - ada saja Ibu ini...", pikir saya. Tapi yang jelas, Penasehat Keuangan saya ini benar - benar brillian. Itulah Ibu saya.

Wanita kedua adalah Istri saya. Aslinya Solo, dan kuliahnya dulu di Yogyakarta. Saya mengenalnya tahun 1993 di sebuah acara jurnalistik mahasiswa tingkat nasional. Dia-lah yang sering saya telepon di Minggu pagi kala itu, dia-lah yang membuat saya sering travelling ke Yogya atau Solo pada tahun 1998-an, dan dia-lah yang sekarang menata rumah saya dengan baik.
Sangat kontradiktif dengan saya yang biarpun leluhur saya dari Yogyakarta, namun saya berperangai Jawa Timur-an. Sementara Istri saya masih bergaya Solo-an. Kalau ngomong kalem banget. Kalau berjalan juga nggak serabutan. Nenek saya sangat memuji perangainya, walau kadang terlalu lambat menurut saya, kurang cekatan. Cuma lucunya di keluarganya: Solo 'kota', percakapan menggunakan bahasa jawa krama madya (bahasa menengah), sementara di keluarga saya yang berbasis Yogya 'desa' menggunakan bahasa krama inggil (bahasa tinggi). Jadinya kacau di saya, karena ya itu tadi, logat Jawa Timur dan tindak tanduk saya kelewatan lasak. Untung ada dia sebagai penengah.

Istri saya terlahir dari orang tua karir. Dalam arti Bapak - Ibu-nya bekerja kantoran. Semula Istri saya juga berhasrat kerja, namun kehamilan anak pertama membuatnya mengubah keinginan. Saya cukup bersyukur dia mau menerima anjuran saya untuk lebih memprioritaskan tinggal di rumah mendidik anak - anak."...berapa-pun gaji kamu, pendidikan anak lebih berharga bila dibimbing oleh ibu-nya...", ungkap saya kepadanya, dan dia menyetujuinya.[] haris fauzi - 19 Mei 2006



WANITA - WANITA DI SEKELILING SAYA (II)

Wanita berikutnya adalah anak sulung saya, Si Salma. Hari kelahirannya saja sudah membuat saya demikian bahagia. Cobalah tengok: dia lahir tepat ketika Bapak saya berulang tahun ! Dan Salma merupakan cucu perempuan pertama bagi koloni Bapak saya, serta cucu pertama bagi keluarga mertua saya. Nama tengahnya adalah pemberian Ibu saya.
Salma-lah yang sering mengangkat telepon ketika saya menelepon--dan juga yang sering menelepon ke ponsel saya ketika saya masih di kantor. Dia pula yang memberi lambaian dari balik pagar ketika saya berangkat ke kantor, sementara Istri saya tertinggal di balik jendela.

Salma anaknya agak sering punya mau sendiri, maklum baru menjelang enam tahun. Namun dia bersedia untuk terus meningkatkan kepintarannya. Salma tidak terlalu banyak syarat ketika saya memberlakukan pola hidup sederhana semi prihatin plus ngirit. Dan juga tidak terlalu mempermasalahkan mainannya, jalan - jalannya, hingga baju - bajunya yang rata - rata berada beberapa kelas di bawah milik kawan - kawannya. Bahkan Salma cukup cepat untuk menjadi seorang yang legowo, yang mau mengalah kepada adiknya,.... syarat mutlak seorang kakak. Kalau mainan atau ballpoint-nya di rebut adiknya, paling - paling Salma cuma mengeluhkan kelakuan adiknya yang memang masih terlalu kecil itu. Salma menjadi guru yang baik buat adiknya. Di pilar teras rumah Salma menulis dengan pinsil-nya:"Salma sayang Adek".

Si Norma merupakan wanita berikutnya, dia anak kedua saya. Saya sering memanggilnya dengan 'Si Monster Kecil' karena memang memiliki tenaga yang kuat walau tubuhnya kurus. Aktivitasnya masih sering destruktif, maklum umurnya masih dua tahun kurang. Namun belum genap setahun dia sudah berusaha untuk berlari, memanjat, dan bergelayutan. Pernah ketahuan dia hendak 'melarikan diri' dari pagar tempat tidurnya. Kakinya sebelah sudah keluar pagar. Norma rambutnya sedikit. Dia mewarisi hampir seluruh baju - baju lungsuran kakaknya, termasuk sepatu.

Kebanyakan kegiatannya mengekor aktivitas kakaknya. Andai kakaknya main bola, dia akan main bola juga. Kalau kakaknya menyanyi, maka dia berusaha mengikuti lagu kakaknya. Kalau kakaknya kursus mengaji, dia-pun ikutan walau kadang mengacaukan keadaan sehingga harus di evakuasi.

Pada saat saya pulang dari kantor, yang saya jumpai pertama kali adalah Norma yang sambil berteriak dan berlari menubruk saya. Suaranya keras sekali, dan bila berteriak saya jadi sering sungkan dengan tetangga. Untungnya Norma bukanlah anak yang cengeng, jadinya rumah ini tidak terlalu hiruk - pikuk. Tidur malam-pun dia tenang sekali, mungkin hanya perlu bangun sekali di tengah malam, lantas merem lagi. Beda dengan kakaknya dulu yang setiap malam bangun empat kali hingga berumur tiga tahunan.
Masalah utama Norma adalah dia ogah makan kalau tidak di rumah, maunya maeeeeeen melulu, walau itu di restoran. Pokoknya kegemaran utamanya adalah berlari dan berlari.[] haris fauzi - 19 Mei 2006


KACAMATA YANG BERBEDA

Tukang semir kali ini menjadi lakon tulisan saya. Di sebuah kota di Cina, ChongQing, kebanyakan tukang semir adalah wanita --ibu - ibu. Mereka menyediakan kursi santai dan selembar koran edisi terbaru, lantas mangkal di trotoar pinggir jalan. Kalau kita mau nyemirkan sepatu, maka kita duduk di bangku santai tadi, menjulurkan kaki, sambil membaca koran.
Kadang posisi kursi - kursi ini berderet - deret. Satu bangku satu tukang semir. Para pelanggan bisa disambi mengobrol sementara sepatunya dibersihkan.
Ada juga pelanggan yang tidak mau sambil duduk, maka dia angkat sebelah kaki memanjat ke dudukan sepatu, dan sambil berdiri sepatunya dibersihkan. Begitu bergantian kaki kiri lantas kanan atau kebalikannya.

Pertama melihat kejadian ini saya merasa ada perasaan agak aneh, karena si pelanggan laksana raja di-raja yang dilayani dengan servis yang bagus. Membaca koran, nyantai, ngerokok,....--sepatu di gosok sampai kempling lagi! Sementara yang menyemir bersimpuh di trotoar. Setelah selesai si pelanggan berdiri dan mengulurkan recehnya.

Di tanah air berbeda lagi. Tukang semir disini membawa kotak berisi peralatan semir, dan berkeliaran menjajakan jasanya. Mendatangi para pelanggan. Lantas sepatu di copot, dan mulailah proses penyemiran.
Kadangkala si penyemir meminjamkan sandal untuk pelanggan.

Kedua kejadian yang sebenarnya sama ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang. Pada awal persepsi saya, pelanggan semir di ChongQing itu arogan sekali --sok raja di-raja, karena memang bagi saya kelihatannya seperti itu.
Saya memang belum sempat meminta komentar tentang tukang semir kita dari orang ChongQing, tetapi ada satu hal yang berbeda. Yakni kalau tukang semir kita akan menjajakan dagangannya --bahkan kadangkala sambil memelas - melas, sementara penyemir sepatu di ChongQing mereka setengah cuek. Kalau anda butuh sepatunya disemir, maka anda harus datang ke lokasi penyemiran, tidak bisa dipanggil. Anda-lah yang harus 'sowan' ke tukang semir.

Banyak orang berpendapat bahwa suatu kejadian itu adalah sebuah permata. Satu hal, permata itu adalah barang yang berharga. Seburuk - buruknya kejadian yang telah ditakdirkan untuk terjadi, mungkin mengandung permata juga, mungkin adalah sesuatu yang berharga untuk diambil hikmahnya. Poin ini sih sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tema tulisan saya. Saya cuma sekedar mengingatkan sahaja.

Yang kedua adalah, permata itu memiliki banyak sisi. Salah satu sisi mungkin akan menghasilkan spektrum cahaya yang berbeda dengan sisi yang lain. Cara pandang yang berbeda akan menghasilkan 'sesuatu' yang berbeda pula. Dalam memandang fenomena 'tukang semir' ini, berlaku pula hukum kedua permata ini. Ini nampak jelas bagi saya, bahwa kacamata orang ChongQing berbeda dengan kacamata saya, karena dia melihat dari sisi yang berbeda.[] haris fauzi - 23 Mei 2006



VOTING

Ya begini ini nasib saya, seorang yang dangkal ilmunya, malahan juga telah kehilangan guru spiritual.
Suatu hari saya pulang kantor naik bis--bareng teman saya yang telah naik haji dua atau tiga tahun lalu. Beliau namanya Pak Djoker. Dalam perjalanan pulang itu, ya namanya pulang kerja --jarak jauh, seringkali kita mendengar adzan maghrib berkumandang sementara kita masih dalam perjalanan.
Dalam kejadian itu saya saksikan Pak Haji Djoker sesaat setelah azan maghrib, beliau bertayamum --bersuci (berwudlu) menggunakan debu-- lantas menunaikan sholat maghrib sambil duduk di bangku bis. Ini namanya sholat darurat.

Saya nanya ke dia,"..Pak Haji, sholat maghrib darurat ya ? kenapa nggak di jamak ta'hir (di tunda-rangkap) aja sholatnya nanti malam setiba di rumah ?".

"Selagi masih bisa, walau darurat, saya jalankan sesegera mungkin", gitu jawab pak Haji Djoker mantab dan yakin.

"Wah.. bener juga nih...", pikir saya. Saya jadi bimbang soalnya pak Haji ngomong gitu. Soalnya pula, saya selalu melakukan sholat maghrib tunda rangkap setelah tiba di rumah, bukan sholat darurat di bis.

Di tengah kebimbangan itu saya berkirim SMS ke tiga orang. Isi SMS itu sebagai berikut,"...dalam perjalanan, sholat maghrib sebaiknya dilakukan darurat dengan bertayamum, atau lebih baik di jamak ta'hir (tunda rangkap) di rumah ?".

Adik saya yang sudah menunaikan haji setahun lalu menjawab,"Sepertinya lebih baik jamak ta'hir (tunda rangkap) di rumah. Soalnya berwudlunya pakai air. Walahu'alam".

Ibu saya membalas,"Saya tanyakan dulu ke guru ngaji Nasikhin, Ibu kira sementara di jamak saja". Ibu saya memang rajin mengaji ke guru Nasikhin.

Adik saya yang ragil (bungsu) menjawab,"Seingat saya, Bapak ngajari jamak ta'hir di rumah".
Wah. Jawaban ini sungguh menentramkan saya. Karena terus terang saja saya sudah nggak presisi lagi mengingat - ingat hal itu. Ya. Seingat saya memang bapak saya almarhum --guru spiritual saya-- pernah ngajari saya seperti itu. Jadi manteb lagi sekarang dengan sholat tunda rangkap. Saya manteb menjalankan hal ini, sementara Pak Haji Djoker juga mantab menjalankan ibadahnya. Saya rasa tidak ada yang salah disini. [] haris fauzi - 25 Mei 2006



NJAJAN

Konotasi bagi lelaki dewasa yang hidungnya nggak polos tentunya agak miring tentang hal ini. Tetapi saya tidak sedang menulis tentang njajannya lelaki hidung belang. Asal katanya dari 'jajan'. Makanan. Njajan adalah membeli makanan untuk di makan, mungkin pada saat bepergian, sekolah, ngantor, plesir, dan lain sebagainya. Jadi spesifik untuk proses 'pembelian makanan'; food purchasing.

Lha kalau kebalikannya 'njajan' bukan menjual makanan, tetapi kebalikan dari 'njajan' adalah 'mbontot', atau 'bekal', 'sangu'. Jadi lebih spesifik untuk makanan yang dibawa dan dibungkus dari rumah lantas di makan di lokasi kerja, tamasya, dan lainnya. Pokoknya membawa makanan sendiri ; 'bento'.

Sejak taman kanak-kanak di Malang hingga menyelesaikan kuliah di Malang (juga), keseharian saya didominasi oleh 'sangu' tadi. Sangu makanan tentunya, bukan sangu duit untuk pembeli makanan. Memang sejak SMP saya sudah diberi uang saku untuk njajan, tetapi kok kalau dipikir - pikir ternyata duit tersebut malahan banyak melayang ke toko kaset atau toko buku. Untuk urusan perut saya masih mengandalkan bekal.
Bahkan pas kuliah saya mbontot-nya malah nasi bungkus telor ceplok. Saya sering makan di gedung senat mahasiswa, selagi teman - teman yang lain yang kelaparan melaksanakan ritual membeli gorengan dari penjaja keliling.

Lha ternyata ini memang terbawa - bawa sampai saat saya kerja, hingga sekarang. Alangkah malasnya saya kalau harus pergi ke koperasi untuk sekedar mengisi perut. Sudah begitu musti bayar lagi.
Juga kalau sedang jalan - jalan bersama keluarga, menu pisang goreng, roti bakar, kreps, atau pankik pastilah tidak ketinggalan berikut enam gelas plastik dan dua botol minuman mineral yang bisa digunakan oleh abang sopir metromini. Bahkan dulu kadangkala istri saya juga membawa susu bubuk untuk di seduh dipinggir jalan. Wis jan manteb tenan pokok-e. Apalagi kalau sedang perjalanan jauh.

Pernah dalam perjalanan mudik, saya membekali diri dengan set komplit menu sahur. Dampaknya apa ? Saya tidak perlu berebutan resto sepanjang perjalanan menjelang imsak. Kalau Anda pernah dalam perjalanan mudik di saat mendekati waktu sahur, dimana Anda harus berebut tempat makan, lantas terburu - buru dikejar waktu subuh, habis gitu mungkin harga di-'kemplang' oleh penjual. Ah, mana enaknya sih. Mending berhenti sejenak di pinggir jalan yang lapang. Trus buka tikar. Atau saya pernah juga makan sambil 'berjalan', maksudnya mobilnya yang jalan. Kita nyopirnya gantian yang makan. Trus minum susu kotak atau kapucino, air putih, membelah jeruk, dan terakhir adalah berhenti untuk menurunkan semua sampahnya setelah sendok garpu di simpan.

Pertama - tama memang rikuh. Masih kebayang perasaan malu pas SMP ketika membawa bekal roti tawar oles mentega tabur coklat. Tetapi seringkali Ibu bilang kalo roti yang dibekalkan itu sudah pasti lebih nikmat ketimbang njajan di warung sekolah yang paling juga berkisar tempe menjes.
Bapak saya juga sering berpetuah, bahwa 'sangu' itu bukan proses yang berdosa. 'Kenapa musti malu ? ora ono sing ngisin - ngisin (nggak ada yang ngeledekin)....', gitu urainya. Dia tidak sepenuhnya benar. Toh pas SD dan SMP saya selalu diledek gara-gara saya makan bekal, bukan njajan seperti umumnya anak sekolah yang sedang 'gembleleng' pegang duit. Dianggap anak manja. Tetapi kampret-nya, ternyata teman yang ngeledek itu malah sering ngompas roti bekal saya. Saya ganti membalas,'..dasar anak preman...!'.

Ya memang untuk urusan sangu ini memang butuh mental setengah kebal. Kebal terhadap ledekan. Namun setelah itu bisa dilewati, maka semuanya beres. Contohnya istri saya. Dia selama sekolah adalah kelompok partai 'njajan'. Tetapi sekarang nggak jarang dia dengan santainya membuka bekal roti atau koko-krans di parkiran mobil, lantas menyuapi anak - anak di pelataran pertokoan. Saya sendiri kadang - kadang (eh.. seringkali ding...) makan juga sambil bersandar di kap mobil, tangan kiri memegang kapocino kotak - tangan kanan menggenggam setangkup roti tawar, kalao perlu sambil nyetel musik.

Dampaknya memang sangat terasa di dompet. Juga kita nggak perlu ngantri bila harus membeli makanan. Seperti kita tau, pada saat libur maka resto akan sangat padat di saat jam makan. Bahkan bisa 'waiting list' segala nunggu tersedianya meja. Lha kok kesulitan banget rasanya untuk mengisi perut ini. Dan tentunya perlu merogoh kocek cukup dalam, yang mungkin bagi saya cukup memberatkan. Kondisi seperti ini kurang menguntungkan bagi saya, duit kesedot, waktu juga tersita. Lha kalo gini kan mendingan mengeluarkan delapan lembar roti bakar. Dua buat saya, dua buat istri saya, anak - anak saya masing masing dua juga, tetapi bila tidak habis maka tugas saya menjadi tim sapu jagat. Lha perkara tempat makannya mau dimana, saya sih tidak terlalu kesulitan, soalnya bumi ini luas sekali kok....[] haris fauzi - 26 Mei 2006


PELUANG

Beberapa kali saya diajari mata pelajaran 'peluang', salah satunya adalah saat kelas 2 SMA. Guru matematika yang mengajar namanya Pak Har. Pada saat ngajar topik 'peluang', saya ingat benar bahwa wajah beliau mulai bercambang,. Kata teman saya mirip sampul album 'Faith' dari George Michael. "Tinggal tambah antingnya...", katanya.
Cambang Pak Har itu adalah cambang nadzar, --kaul, janji-- selagi istrinya mengandung. "Kalo nanti anak saya lahir, baru saya cukur jenggot", kata Pak Har.

Orang kita merupakan orang yang pintar mencari peluang. Banyak contohnya, jualan barang bekas saja bisa kaya raya. Pedagang yang menjajakan barang aneh - aneh di seputar Cawang-Halim juga telah membuktikan itu. Belum lagi kalo ada tanah sedikit lapang, pasti peluang itu tidak akan disia - siakan oleh seseorang. Kalo perlu langsung serobot.
Juga bila ada peraturan baru, atau pemberlakukan sistem baru, maka kebanyakan orang akan mencari peluang demi kepentingannya.

Saya-pun begitu pula, karena saya punya pimpinan kerja yang rumahnya dekat dengan rumah saya, maka saya memilih menumpang mobil beliau untuk pergi ke kantor. Supaya irit.

Suatu hari saya pernah melihat ada seseorang yang dengan santainya memarkir mobil di sebidang tanah pinggir jalan. Bidang tanah ini jelas - jelas bukan lahan parkir. Ini juga memanfaatkan peluang. Tetapi ternyata bukan dia doang. Tidak selang lima menit kemudian, terlihat seorang lelaki yang datang menyuruh supir mobil tadi agar sedikit merapikan letak mobilnya, habis gitu lelaki tadi langsung meniup peluit,"...prriiittt...!!". Rupanya dia itu tukang parkir 'dadakan'. Dia ternyata sedang nongkrong di belakang pasar dimana dia biasa menjadi tukang parkir partikelir. Namun dia tau, kalau mobil barusan itu jslas - jelas parkir dan berpeluang untuk dikutip tarip parkir.

Juga saat saya melakukan cek-up terhadap mobil tua saya ke bengkel kepercayaan saya. Bukan ! Bukan montirnya yang berusaha mencari peluang untuk menipu saya. Bukan itu. Sang Montir malahan mencari peluang, gimana caranya supaya mobil ini bisa dipertahankan selama mungkin, setangguh mungkin. Montir ini memang spesialisasi re-build mobil tua, sudah banyak hasilnya. Salah satunya ya mobil saya. Biar sudah hampir 20 tahun umurnya, tetapi masih cukup layak untuk di bawa mudik sejauh seribu kilometer.

Ya memang begitu. Tentunya masih banyak contoh 'peluang - peluang' yang lainnya. Di saat kondisi ekonomi semakin menjerat, kepintaran mencari peluang untuk 'bertahan hidup' sangat dibutuhkan. Asal 'kepintaran' ini jangan disimpangkan untuk hal - hal negatip seperti premanisme, kutipan liar, korupsi, atau mendirikan posko peduli bencana gadungan.[] haris fauzi - 31 Mei 2006