Wednesday, January 27, 2021

wakaf, kutipan, ... dan nasib

#ilustrasi dari tempo, warta asik dan karungberas123
 

Kepiawaian Ibu

 Jadi ceriteranya begini. Dua minggu lalu, tepatnya Sabtu tanggal 9 Januari 2021, saat yang tepat untuk servis berkala mobil. Di bengkel resmi, walau saya nggak tau siapa yang meresmikan bengkel tersebut, tapi ya itu bengkel resmi. Singkat cerita alam setengah hari mobil dinyatakan beres. Saya bawa pulang. 

Senin pagi hari saya gunakan mobil tersebut ke kantor. Lha kok aneh. Dalam perjalanan lampu indikator transmisi (AT) menyala kerlap - kerlip. Ini alarm. Saya harus menepi. Dengan menepi sebentar menunggu lampu tersebut padam, lantas jaman lagi, lampu itu mau padam dan normal kembali. Saya hubungi customer service-nya bengkel meng-informasi-kan fenomena tersebut. Saya diminta balik ke bengkel, tentunya dengan membawa mobil tersebut. Sesampai bengkel, di-kutak-katik sebentar, dan lantas mobil tersebut dinyatakan boleh digunakan kembali. Namun, ternyata fenomena tersebut sesekali muncul kembali.

Singkat ceritera, dalam rentang seminggu kemudian sudah dua kali lagi saya ke bengkel tersebut gara-gara kejadian serupa. Namun belum jua sembuh. Setiap mobil tersebut digunakan, kadangkala menyala lagi lampu indikator AT tersebut. Mbuh gimana bengkel-nya memperbaiki hal tersebut.

Seminggu kemudian, sekitar tanggal 16 atau 17 januari saya seperti biasa menyempatkan telpon ke orang tua saya. Pas itu tentunya hari libur, Sabtu atau Ahad. Ngobrol segala macam. Ibu sempat bertanya," Kamu ga pergi - pergi, Le ?".
Saya jawab," Enggak sih ... belum ada rencana. Soalnya mobil juga ada masalah sih..."
" Masalah e opo mobil e ?", begitu keingin-tahuan Ibu.

Akhirnya saya ceritakanlah kronologis mobil tersebut, kilas balik seminggu terakhir. Di akhir topik per-mobil-an ini, Ibu memberi saran dan nasihat singkat,".. Ya udah, alon-alon wae kalo nyetir".

Semula saran ini terdengar biasa saja. Namun saya memperhatikan. Saat hari Senin ngantor, saya mengemudi pelan - pelan. Paling kenceng 80 km/jam. Atau maksimal 100 km/jam. Dan ternyata benar, mobil itu tidak bermasalah bila dikendarai dibawah 100 km/jam. Ketika saya coba untuk menaikkan kecepatan hingga 120 km/jam, mobil itu bermasalah lagi. Lho. Aneh to ?

Bayangkan. Bengkel resmi yang terakhir men-servis mobil tersebut saja tidak bisa memberi advis bagaimana menghindari masalah tersebut, setidaknya advis temporary. Padahal sebagai bengkel resmi (walau saya tidak tau siapa yang meresmikan) mobil tersebut, satu payung dengan pabriknya. Sementara Ibu saya cukup mendengar keluhan sekitar tiga menit, via telpon, whatsapp pula, langsung bisa memberi resep cespleng. Apakah Ibu saya lulusan mesin ? bukan. Punya mobil sejenis ? Ibu saya sudah tidak punya mobil belasan tahun lalu, bahkan tidak piawai nyetir. Mekanik ? Bukan juga, walau anaknya ada 3 orang yang faham mekanik.

Kepiawaian Ibu ini saya ceritakan kepada Anak Sulung, Si Sulung tertawa terpingkal - pingkal. [] haris fauzi, 27 Januari 2021

Friday, January 15, 2021

kontroversi covid 19 : vaksinasi

Pembukaan tahun baru 2021 bangsa ini disibukkan dengan propaganda banyak hal. Pihak Pemerintah berusaha membuka lembaran baru, utamanya dengan menutupi handycap - handycap yang ada. Kasus - kasus utama semacam perundangan ciptakerja dan ragam korupsi diredakan semaksimal mungkin. Pergantian tahun merupakan momen yang tepat untuk melupakan kejadian buruk tahun sebelumnya. Ya. Melupakan kasus - kasus korupsi kader PDIP Harun Masiku, tersungkurnya Jiwasraya, hingga Menteri Juliari yang mengutil Bansos Pandemi. Melupakan hal - hal tersebut merupakan cara mujarab untuk meningkatkan imunitas tubuh. Maksudnya Pemerintah mungkin seperti itu. Belajar kepada kasus penyiraman air keras Novel Baswedan yang notabene sudah membuktikan hal tersebut, melupakan kasus adalah cara mustajab untuk meredakan situasi.

Yang tak kunjung mereda adalah hal - hal berkaitan dengan pandemi, karena memang menjelang libur akhir tahun, untuk mengantisipasi mobilitas warga, maka diberlakukan kembali beberapa aturan pengetatan protokol kesehatan. Mangka itu, pembahasan ihwal pandemi menjadi hot issue lagi. Apalagi lonjakan kasus yang seakan tak mampu dibendung oleh manajemen kesehatan yang ada. Warganya-pun sudah lelah dengan protokol kesehatan. Ekonomi makin anjlok, harga emas melonjak.

Bila kita membahas pandemi saat ini, yang paling mencuat adalah topik vaksinasi. Semenjak tahun lalu hal ini sudah direncanakan dan dibahas hingga makin ruwet. Ada wacana gratis, ada wacana berbayar. Hingga kini belum ada kejelasan. Memang diputuskan gratis untuk semuanya ? Atau bagaimana ? Ada pula wacana dikaitkan dengan BPJS, namun ternyata tidak terkait. Banyak kontroversinya. Hingga pada pertengahan kemarin salah satu kontroversi terjawab, yakni Presiden siaran langsung disuntik. Ini sudah clear. Presiden disuntik, siaran langsung divaksin. Disuntik apa dan disuntik berapa dalam, tentu tak perlu dibahas. Anda boleh percaya itu adalah vaksin, namun anda boleh saja tidak percaya. Silakan saja.

Setelah siaran langsung vaksinasi Presiden, bagaimana dengan 300 juta rakyat Indonesia ? Akan digilir ? Seperti apa ? Bayar atau gratis ? Bisa gratis. Kapan ? Akan digilir .... ya, rumit semacam itu. Ke-mbulet-an pemerintah mengatur vaksinasi ini membuat semuanya jadi rumit sampai ke grassroot. Ternyata banyak juga yang tidak percaya terhadap vaksinasi. Apalagi berkaitan dengan janji - janji pemerintah yang notabene banyak kesandung, maka pernyataan pemerintah ihwal vaksinasi gratis, aman, dan nyaman, ternyata banyak pula yang meragukan. Track record seperti itu. Memang bisa jadi pemerintah sekarang tidak memiliki legitimasi sebagus masa-masa sebelumnya. Belum lagi peran buzzer yang dikerahkan untuk meyakinkan warga malah membuat semakin turun legitimasinya. Banyak yang tidak percaya.

Berkaitan dengan kontroversi vaksinasi yang makin berlarut - larut ini, menurut saya lebih baik Presiden membuat keppres ihwal pelaksanaan vaksinasi. Prosedur dan tata-waktunya seperti apa, harus jelas. Kalo perlu dibikin tanggal merah. Siapa yang melaksanakan juga dijelaskan, sehingga tidak timbul pertanyaan. Yang juga penting adalah vaksin yang digunakan. Trus, vaksinasi ini berkala atau sekali seumur hidup ? Apakah menggunakan vaksin Sinovac ? ataukah Pfizer ? Ataukah bisa memilih dari merk - merk yang tersedia ? Apa saja ? Masing - masing efikasinya berapa ? Oiya, banyaknya ragam nilai efikasi yang muncul dari masing - masing vaksin ini mengingatkan saya akan beragamnya survey - survey politik. Nilainya survey politik sangat beragam dan sangat subyektif, bisa jadi ada gelagat survey pesanan. Nah, apa iya untuk parameter medis terjadi subyektivitas yang demikian beragam ? Semoga tidak. Harusnya pemerintah bisa menuangkan juga sekalian dalam keppres tadi. Memang berat, karena dibutuhkan kejujuran. Kejujuran ini jadi barang langka sekarang. Kegagalan merealisasi janji kampanye menjadi parameter utama yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Selain karena rendahnya legitimasi terhadap pemerintah dan akibat blunder para buzzer, kontroversi vaksinasi ini juga disebabkan oleh hal normal. Maksud saya, normal saja ada --atau banyak-- yang meragukan vaksinasi. Ini sudah masuk ke ranah personal. Walau sudah banyak berita positif ihwal vaksinasi, namun secara pribadi perorangan tetap saja ada yang ragu atau enggan divaksinasi. Hal ini mirip dengan sunat. Anda tau sunat, kan ? Lihat saja, sudah seribu tahun lebih dunia medis membuat ribuan jurnal ihwal perlunya sunat (bagi pria) untuk menjaga kesehatan. Namun sampai sekarang masih saja ada pria yang tidak percaya hal tersebut sehingga dia tidak bersunat. [] haris fauzi, 15 Januari 2021. Ditulis ulang pada 17 Januari 2021.

Saturday, January 09, 2021

Isyu Demi Isyu Yang Dialihkan


Bila tahun 2019 menyisakan misteri wafatnya ratusan petugas pemilu yang luar biasa kontroversial, maka kita sangat faham bahwa tahun 2020 menyisakan banyak kasus dahsyat yang merugikan negara.
 
Ada kasus UU Ciptakerja yang dianggap titipan konglomerat sehingga disinyalir merugikan rakyat, dan lantas menimbulkan keresahan banyak kelompok hingga memunculkan gelombang demontrasi buruh dan mahasiswa. Pada tahun 2020 juga masih menyeruak dari tahun sebelumnya, kisah kasus korupsi Jiwasraya dan beberapa kasus korupsi sejenis,  sampai dengan adanya kasus Djoko Candra hingga terbakarnya gedung yang menyimpan berkas-berkas kasus tersebut. Terbakar ? Atau ... ?

Banyaknya masalah yang muncul dan tak terselesaikan ini membuat pemerintah menjadi bulan-bulanan opini. Untungnya pada saat bersamaan ~awal 2020~ juga muncul pandemi Covid 19 yang menginfeksi dunia internasional. Di dalam negeri, adanya pandemi ini menjadi inspirasi untuk oengalihan isyu. Semua kasus korupsi dan masalah-masalah diatas dicoba dibelokkan opininya dengan melakukan blow up berita pandemi covid 19. Semua kanal, buzzer dan media pro pemerintah dikerahkan untuk memberitakan pandemi. Tak ada celah untuk membahas korupsi lagi.
 
Apakah sukses ? Seharusnya cara ini sukses, mengingat pandemi ini berumur cukup panjang dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Pengalihan opini ini seharusnya mencatat kesuksesan luar biasa dengan catatan tidak terjadi kesalahan. Kesalahan apa ? Terbongkarnya kasus korupsi dana bansos pandemi. Kurang rapi-nya membungkus korupsi dana bansos pandemi, membuat semuanya berantakan kembali. Kasus korupsi yang menyeret Menteri Sosial Juliari Batubara ini ternyata ketahuan. Menteri menyunat dana bansos. Maka tak ayal lagi,  menyeruaklah berita korupsi bansos pandemi yang amat memalukan ini. Edan-edanan, luar biasa besar karena menyeret menteri dan slentingan bursa calon walikota Solo yang notabene anak Presiden. Betapa hinanya, orang kaya menyunat dana bantuan orang miskin. Sungguh luar biasa biadab.
 
Meledaknya berita korupsi oleh  Menteri Sosial ini, tentu meresahkan pemerintah. Untuk itu dipandang perlu membuat pengalihan isyu lagi. Maka disusunlah skenario pengalihan isyu dengan melakukan blow up berita FPI kepulangan HRS. Dalam topik ini, masalah acara HRS mantu jadi bidikan, dicari-cari kesalahannya, dijadikan berita utama dan menjadi menu utama cuitan buzzer bayaran pemerintah.
 
Sedemikian gencar pemberitaan ihwal FPI dan HRS ini. Ya karena topik yang harus ditutupi juga besar sekali. Buzzer lembur siang malam membombardir berita ini. Awalnya lancar-lancar saja. Namun ternyata tidak mudah me-manage hal ini. Topik ini bergerak liar sehingga terjadilah sesuatu diluar perkiraan kita semua : yakni penembakan 6 laskar FPI hingga wafat syahid. Topik ini makin bergema keras tak terbendung hingga dunia luar. Meledak luar biasa dan sangat menyudutkan penguasa. Jadi sorotan internasional. Maka harus ada gerakan cepat. Topik ini perlu segera ditutupi (lagi), dengan pengalihan isyu yang lain. Apa topik yang bisa menutup aib ini semua ? Pemerintah tak kehilangan akal. Maka diangkatlah Risma menjadi menteri dan dibuatlah berita heboh sang menteri berdialog dengan gelandangan di jalan protokol. Awalnya skenario blusukan ini menjadi andalan. Media seakan terkendali dengan baik.
 
Namun, diluar perkiraan, berita blusukan pencitraan ini ~sepertinya~ ketahuan skenarionya, dicibiri banyak orang lantaran dianggap rekayasa belaka. Tak ayal, Menteri Sosial-pun kembali menjadi bulan-bulanan karena 'drama' bikinannya terlalu vulgar. Entah apa lagi berikutnya, kita serahkan kepada penguasa dan para buzzer-buzzernya. [] haris fauzi, 9 Januari 2021