Saturday, August 25, 2007

kenisah : merdeka dari materi

MERDEKA DARI MATERI
"Kejarlah akhiratmu, maka duniamu akan mengikuti". (pedoman hidup)
Setelah sedikit skipping dan memerah keringat ala kadarnya, saya sarapan sambil ngobrol dengan istri saya. Istri saya sarapan roti dan saya mengaduk - aduk larutan oat. Kami sempat ngobrol tentang seseorang sahabat. Dia bernama Fauk, atau Fao.Kami memanggilnya begitu. Nama aslinya sih Fauzan.
Kebetulan beberapa hari lalu dia mengadakan resepsi pernikahan, dan alhamdulillah walau terlambat saya masih bisa mengunjunginya.
Berlangsung di rumah mertuanya di kompleks elit di selatan Bogor. Acaranya cukup sederhana. Hanya ada tenda dan meja makan. Artinya, bangku pelaminannya tidak ada. Bahkan setau saya undangan-pun tidak diedarkan. Saya hanya tau dari pesan pendek yang masuk beberapa hari sebelumnya. Fao mengenakan baju taqwa --baju koko-- berpeci hitam celana panjang hijau coklat. Istrinya berbusana muslim serba putih. Mereka berdua hilir mudik menemui tamu yang berdatangan.
"Ris, alhamdulillah..Garek awakmu thok sing di-enteni karo Ibuk-ku...Endi iki Haris kok gak teko - teko...ngono jare Ibuk-ku", gitu sapa akrab Fauzan kepada kami ketika masuk.
Artinya kurang lebihnya gini:"Ris, alhamdulillah...Tinggal kamu seorang yang ditunggu sama Ibu-ku...'Mana ini Haris kok belum jua datang ?' Gitu kata Ibuku".
Maklum, saya tidak sempat hadir pagi di akad nikah. Saya langsung masuk menjumpai Ibu Fao, berjabat tangan dan menyampaikan salam dari keluarga Malang kepada Ibu Fao..Titipan Ibu saya.
Fao terlihat menemui tamu yang lain. Santai sekali. Fao seringkali malah mengobrol dengan para tamunya, seperti biasa, duduk menyilangkan kaki dengan jari memetik sebatang rokok. Pengantin putrinya sibuk bercanda dan berfoto kian kemari dengan para kerabatnya.
Para besan duduk menjamu tamu dekat di sudut dalam rumah.
Kelop-nya, saya juga mengenakan baju koko serba putih, istri dan anak saya-pun demikian. Serba putih, bukan busana pesta. Sepatu bolong jempol kesayangan tak lupa saya pake tanpa kaus kaki. Habisnya enak sih.
Bagi saya, Fao --dan keluarganya-- merupakan pencerminan akan sebuah sikap dasar rohani manusia. Dia perlambang sikap merdeka. Merdeka dari kungkungan materi. Perlu saya tambahkan, merdeka bukan berarti anti-materi. Fao tetap berkarya dan berprofesi sebagai rekayasawan yang menghasilkan duit untuk nafkah keluarganya. Tetapi dia merdeka. Merdeka artinya tidak menjadi budak materi.
Saya mengenal Fao karena dia teman kecil saya di kampung. Almarhum Bapak Fao bernama Pak Nachrowi --setahu saya adalah mantan tentara jaman jepang dan profesinya petugas keamanan, hansip atau satpam. Ibunya membuka warung barang pasar. Saudaranya sekitar sepuluh orang.
Kere ? Tidak. Hitungan kere atau melarat adalah relatif. Keluarga Pak Nachrowi menurut saya kecukupan. Kaya malah. Bukan karena gajinya atau duitnya cukup membuat seluruh anggota keluarga yang menyerupai tim sepak bola itu senang. Bukan jumlah materinya. Tetapi sikap anggota keluarganya yang membuat mereka kaya. Mereka sangat berkecukupan dengan keadaan yang mereka rasakan dan jalani. Mereka nggak butuh neko - neko. Mungkin bagi orang lain, keluarga Pak Nachrowi dianggap miskin karena tidak mempunyai mobil. Tetapi bagi saya mereka memang tidak membutuhkan mobil, mereka juga tidak ngoyo untuk mempunyai mobil. Berarti, mereka kecukupan. Mereka santun. Mereka kaya. Mereka cukup memiliki dada yang lapang untuk menghadapi dunia, dan mereka memiliki kemauan yang keras untuk menekuni dunia rohani.
Saya sekarang mengaitkan hal tersebut dengan sebuah perjalanan yang sedang coba saya tekuni dengan susah payah. Yakni perjalanan spiritual. Ya. Kenapa saya bersahabat dengan Fao, mungkin bisa jadi karena kami memang sesama musafir, peserta perjalanan spiritual tersebut. Kami saling bertukar pendapat tentang rute - rute yang harus ditempuh. Tentang kendala dan tentang harapan yang ada di depan. Tentang teman lain yang bisa dijumpai di sudut - sudut jalanan. Tentang titik akhir perjalanan ini. Tentang fase kematian menuju perjalanan spiritual abadi.
Pada tataran praktis, perjalanan spiritual adalah suatu perjalanan hidup untuk memaknai kehidupan itu sendiri. Makna ini menelurkan permata hikmah yang disebarkan laksana cahaya yang akan memperterang perjalanan rohani kita sendiri. Sukur - sukur bermanfaat bagi orang lain. Bila ternyata hikmah ini begitu benderang bagi orang kebanyakan, maka semakin lancar perjalanan spiritual itu. Ya. Perjalanan spiritual itu bukan untuk diri pribadi. Tetapi untuk alam semesta ini. Mengemban amanat Tuhan. Atas nama Tuhan.
Salah satu tokoh penganjur perjalanan spiritual adalah Muhammad. Bahkan dia menjamin bila kita melakukan perjalanan spiritual dengan benar, maka kebutuhan dunia akan terpenuhi secara otomatis. Artinya kurang lebih adalah apabila seseorang mengejar atau menunaikan tugas - tugas akhirati yang bersifat rohani, maka unsur dunia akan terpenuhi. Ini menjadi salah satu dalil. Muhammad jelas - jelas merupakan seorang traveller, musafir, yang melakukan perjalanan spiritual dengan sukses.
Korelasinya begini. Seseorang pastilah mati. Mati berarti jiwa ini --rohani ini-- akan meninggalkan jasad atau materinya. Berjalan menuju akhirat yang juga bersifat non-materi. Percaya atau tidak, apa yang saya percaya adalah itu. Kita mati, jasad terbengkalai, dan kita memulai kehidupan yang bersifat spiritual murni.
Berkenaan dengan inilah, maka saya memilih bahwa sebaiknya perjalanan spiritual dan ihwal rohani ini menjadi prioritas.
Lantas kenapa ihwal duniawi tidak di kejar? Duniawi bersifat kebutuhan dan keinginan, mungkin kita tetap meretas kebutuhan duniawi tetapi tidaklah perlu ngoyo untuk merealisasikan segala bentuk keinginan dan ketamakan. Karena kita harus menyediakan cukup banyak perhatian untuk perjalanan spiritual ini. Dan apabila energi ini masih bersisa, maka sisakan sedikit untuk mengejar dunia secukupnya.
Bagi saya perjalanan spiritual ini ternyata menyita perhatian dan energi.
Dan dari dalil tersebut dijelaskan bahwa bila perjalanan spiritual berjalan baik, maka unsur dunia akan terpenuhi dengan sendirinya. Sebetulnya sih bukan segampang itu. Tafsirnya nggak se-kolok-an itu. Tuhan bukan Robin Hood yang suka membagikan uang kepada orang lain. Bukan dari sisi materinya yang mendadak sontak laksana sihir Copperfield tiba - tiba ada mobil Ferrari di depan hidung kita. Bukan itu. Tetapi sifat ruhani yang santun akan memandang dunia ini juga dengan santun. Tidak tamak dan tidak serakah, tidak kemaruk. Jiwa seperti inilah yang bisa memerdekan kita dari segala bentuk ketergantungan materi. Bisa jadi kita semakin tidak membutuhkan tetek-bengek duniawi yang bertebaran dan berkilauan ini. Itu kesimpulan saya sekarang. Semoga benar.
Bila kembali ke keluarga Pak Nachrowi tadi, maka Fao sudah jelas - jelas meletakkan porsi hidupnya untuk menempuh perjalanan spiritual tersebut. Dia sudah melintas dan melangkah jauh. Lebih jauh daripada saya yang baru saja memulai sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sekitar tahun 1997, setelah dua tahun bekerja, saya baru mencoba-coba dengan jiwa penakut ... mulai untuk melangkah dengan intens di ranah ini. Ranah perjalanan spiritual. Itu-pun langkah saya tidaklah tegap, saya masihlah tertatih - tatih dan terlalu sering merengek - rengek kecapekan. Atau kadangkala bergelut dengan sengit karena di dalam hati saya masihkan berserakan sifat serakah hendak meraih apa yang saya mau. Bukan sekedar apa yang saya butuhkan.
Hal yang penting dimaknai dalam perjalanan spiritual adalah kesiapan untuk mati. Semakin jauh perjalanan spiritual yang telah ditempuh, semakin siap seseorang itu untuk melewati proses kematiannya. Demikian juga kebalikannya. Semakin dia meraih perjalanan duniawi, maka bisa jadi semakin ogah dia untuk mati. Padahal kematian adalah keniscayaan. Perkara jiwa anda siap atau tidak, resiko tetap harus dihadapi. Jiwa ini harus siap menghadapi hal tersebut karena kematian itu datangnya mendadak. Mumpung masih hidup, makanya saya mencoba melakukan perjalanan spiritual sebaik mungkin, dan berusaha merdeka dari ikatan materi yang toh nantinya juga akan kita campakkan begitu saja. Mobil, rumah, buku, kaset, bahkan jempol kaki ini nanti tidak akan menyertai saya dalam perjalanan berikutnya. Saya harus siap. Saya harus berlatih agar siap meninggalkan itu semua. Saya harus siap merdeka dari segala ketergantungan terhadap materi, terhadap rumah, terhadap mobil, terhadap profesi, terhadap gaji, terhadap wujud duniawi lainnya. Ya. Saya masih terlalu kolokan dan goblog. Tapi nggak ada salahnya untuk terus berusaha dan melaju.
Sekali lagi bukan lantas nggak butuh. Bukan lantas musti harus menjadi kere.Tetapi ini bersifat 'merdeka'. Tidak terkungkung oleh materi. Tidak kemaruk bendawi. Alasannya sekali lagi jelas : suatu hari kelak kita akan mati dan roh ini akan meninggalkan jasad dan dunia fana ini. Jiwa ini akan berjalan terus, meniti kehidupan spiritual. Dan, perjalanan spiritual melatih kita untuk menyikapi prosesi kematian dengan senyum yang menawan. Mati itu bukan persoalan pelik yang musti dirisaukan. Seperti apa yang pernah disenandungkan oleh James laBrie --vokalis kelompok progresif-metal Dream Theater dalam album 'Scenes From A Memory':
If I Die Tomorrow
I'd Be Alright
Because I Believe
After We're Gone
The Spirit Carries On...
[] haris fauzi - 23 Agustus 2007


salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links.

Tuesday, August 14, 2007

kenisah : mbambong

MBAMBONG
 
Begitu kata Istri saya. Awal ceritanya begini, karena jarak kantor dengan rumah yang cukup jauh, yakni sekitar 100 kilometer --jadi pulang balik 200 kilometer-- maka saya dan keluarga membuat sebuah kesepakatan. Latar belakang kesepakatan adalah karena jarak yang jauh pasti memakan banyak biaya, energi, dan waktu. Awalnya itu, apalagi sekarang jaman paceklik kayak gini. Kesepakatannya singkatnya demikian, saya akan pulang dari kantor dua hari sekali, atau kepepetnya seminggu dua kali.
Ya. Saya memang musti bolak - balik menempuh cara itu. Lantaran memang rumah disepakati untuk tidak perlu mendekati kantor. Klausul utamanya adalah posisi kantor yang jauh, bukan lokasi rumahnya yang jauh. Jadi ya rumahnya-lah yang menjadi koefisien tetap. Mempertahankan posisi rumah ternyata banyak juga alasannya. Dasi sisi  anak  - anak sudah pada sekolah dengan mapan --tidak mudah untuk memindahkan sekolah mereka begitu saja. Komunitas yang  dibentuk oleh keluarga kami terhadap masyarakat sekitar sudah terjalin baik. Begitu baiknya malah termasuk dengan para tetangga, pembantu, tukang rumput, tukang genteng, tukang sayur, pengurus mesjid, guru ngaji, tukang roti dan lainnya.
Di samping itu kondisi aman lingkungan membuat betah. Jangankan disantroni orang yang berniat jahat, lha wong mobil saya dengan posisi jendela terbuka dibiarkan semaleman saja tidak masalah kok. Padahal itu mobil parkir di pinggir jalan, saya memang sudah beberapa tahun ini malas memasukkan mobil ke carport karena carport sudah jadi arena permainan kedua anak saya, sepeda pancal parkir seenaknya saja di situ, bola dan mainan bertebaran. Jadi kalo mau markir mobil musti mberesin itu semua. Walah.
 
Dan, belum tentu juga bila kami pindah rumah mendekati kantor, maka akan lebih sejahtera dan merasa 'kepenak' walau bisa dipastikan duit transport bakal bisa ditabung lebih banyak. Memindahkan rumah sebagai domisili butuh pemikiran lebih panjang ketimbang membeli atau menyewa rumah itu sendiri. "Masih banyak kemungkinan yang mungkin terjadi", gitu kata saya. Tidak ada yang bisa memprediksi apakah bakal seumur hidup saya berkantor sejauh itu. Tidak ada jawaban dan kepastian untuk itu. Bahkan berbalikan. Anak saya jelas dipastikan minimal lima tahun lagi harus bisa lulus dari sekolah dasarnya sekarang. Posisi anak lebih jelas bila dilihat dari matriks sisi domisili versus faktor waktu ketimbang saya. Daripada anak yang pontang - panting, mendingan saya sajalah.
 
Jadi ya rencananya mencari kos di daerah dekat kantor.  Rencana sih tinggal rencana. Hal yang terbukti tidak gampang, karena setelah hampir sebulan saya pulang dua kali seminggu ternyata malah belum dapat kos - kosan jua. Bukan hanya kos - kosannya yang gak dapet. Semangat untuk mencarinya juga meredup. Kakak saya bahkan melarang untuk nge-kos. Dia menyuruh menginap sesekali di rumahnya aja. Ini pilihan bagus, saya meletakkan pilihan ini pada prioritas pertama. Pulang kantor nginep ke rumah kakak. Jaraknya 40 kilometer dari kantor, cukup pas untuk berkantor sehari seperti orang kebanyakan bukan ?
 
Tapi bukan itu mengapa saya disebut istri saya pengembara atau dalam bahasa jawanya 'mbambong'. Jadi ceritanya begini. Memang rencananya pada sore itu saya pulang ke rumah kakak saya. Tetapi ba'da maghrib saya musti ada acara di dekat kantor, trus baru selesai sekitar jam sembilan malam. Ya jadinya lupa makan. Dalam perjalanan ke  rumah kakak, saya istrirahat makan malam dulu. Saya memilih makan di peristirahatan jalan tol. Istilah sekarang adalah TI; Tempat Istirahat. Jelas di situ ada resto.
 
Di tempat istirahat itu saya makan malam, trus sholat Isya di mesjidnya yang baru dan bagus itu. Lha karena seragam kerja sudah saya lepaskan sebelum saya mengikuti acara habis maghrib tadi, maka saya sudah merasa enteng, ga pake seragam lagi. Selesai makan saya nggak langsung cabut, melainkan memutuskan untuk sejenak menikmati malam lewat windshield mobil, memandang bintang dan langit seperti hobi saya pas kecil dulu. Tak lupa pula saya setel audio yang menurut saya merupakan teman terbaik saya di dalam mobil. Suara gitar terdengar rapat dan kencang, saya nyetel Stratovarius. Lengkap dengan seat yang saya rebahkan hingga rata seperti 'amben'. Sebetulnya ada sepucuk novel yang tergenggam di tangan saya, tapi kali ini mata saya lebih menyukai bintang malam ketimbang deretan huruf. Dan gelap lagi.
 
Entah karena keasyikan atau karena ngantuk yang tidak tertahankan, maka saya jatuh tertidur dibuai angin malam yang semilir melewati celah dua senti jendela mobil. Juga mungkin karena alunan musik yang membuat makin ngantuk. Pokoknya saya tertidur kira - kira pukul sepuluh malam di pinggir jalan tol itu. Mungkin kurang. Soalnya saya pas merem tentu nggak sempat menengok arloji.
 
Terdengan bunyi mobil diesel cukup kencang membangunkan saya. Mobil itu baru saja parkir dan membuang gas dengan cukup keras di samping mobil saya. Kaget, saya raih ponsel di laci mobil. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Sinting ! Saya tertidur di pinggir tol selama lima jam. Karena tidak mungkin untuk melaju ke rumah kakak saya, maka tanpa pikir panjang saya melanjutkan tidur yang sempat terpotong tadi.
Sampai subuh menjelang, lantas saya sholat subuh, mandi, dan sarapan di disitu juga ... Ternyata segala fasilitasnya ada, komplet, dan nggak buruk, ---mungkin karena masih baru. Lantas setelah mencuci mobil sampai mengkilat,  tanpa terburu - buru saya kembali berangkat menuju kantor. Kerja lagi, PakDe ! Dan ternyata tidak masalah. Badan tetap bugar, mungkin karena tidur lelap dan bangun hampir kesiangan malah. Kalau toh di rumah, saya memang beberapa kali tidur dimana aja, mulai dari karpet, tikar, sofa, kursi. Jadi jok mobil sudah merupakan barang nyaman bagi badan saya, kursi makan-pun OK, apalagi matras dacron. Haa... haa.. haa....
 
Kejadian ini saya ceritakan kepada Istri saya keesokan harinya. Dia tertawa dan akhirnya menyebut saya dengan gelar pengembara. Dalam bahasa Jawa disebut 'mbambong'. Sebetulnya ini bukan pertama kali saya bertindak seperti ini. Dulu saya pernah mengalami beberapa kali 'mbambong amatir'. Pengembara amatiran. Tidur dan mandi di tempat umu, yang bagi sebagian kalangan merupakan tempat yang nggak lazim. Bagi sayahal ini malah menjadi semacam 'pembelajaran' untuk menikmati ke-tidak-lazim-an tersebut. Kala mahasiswa beberapa kali saya musti tidur di terminal, stasiun kereta api, warung... lantas mandi di mesjid atau tempat mandi umum. Itu dulu jaman kuliah. Kalau ada perjalanan ke kota lain, --atas nama mahasiswa--, maka harus siap naik bis ekonomi hingga mandi di terminal. Teman - teman menyebutnya dengan 'tour de proletar'. Dan gampang saja menjalaninya, yang penting siap. Harus dirasakan sebagai salah satu bentuk petualangan yang tidak lazim, akhirnya gak jarang malah jadi mengasikkan. Yang paling komplit dan cukup higienis fasilitasnya biasanya mesjid.
 
Bentuk lain dari hal itu adalah menginap di kampus. Urusannya bisa macam - macam, mulai dari urusan kemahasiswaan sampai urusan 'rapat rahasia'. Belum lagi bila musti bikin laporan, mengerjakan praktikum, mengejar jatuh tempo penerbitan majalah atau apalah dimana saya harus menginap di kampus. Toiletnya jangan ditanya lagi. Namanya mahasiswa, ya berantakan. bahkan teman saya malah berbagi handuk. Walah, jan kemproh pol arek - arek iku.
 
Pernah suatu ketika saya harus mengunjungi pacar saya. Domisilinya berada di luar kota. Enam ratus kilometer dari domisili saya. Saya biasa menempuh perjalanan dengan kereta api bisnis. Ini-pun masih terbilang 'tour de proletar'.  Setelah turun dari kereta api, maka saya segera mandi di toilet yang ada di stasiun kereta api.
Repotnya saya membawa tas ransel. Apa asiknya membawa tas ransel buesaaar kaya gitu ke pacar ? Akhirnya siang itu saya masuk ke supermarket dan saya menitipkan ransel tersebut ke bagian penitipan barang. Sang penjaga saya yakin tidak akan menghafal saya. Malamnya saya ambil lagi sepulang dari kos pacar saya. Namun tindakan ini bukan tanpa  masalah, ternyata saya pernah hampir kemaleman sehingga supermarket itu hampir  tutup. Cilaka kalo tutup, saya harus menunggu pagi hari untuk mengambilnya. Lain waktu saya menemukan penitipan yang lebih cocok : kotak deposit di stasiun kereta api. Disini musti bayar, gak masalah. Jadi setelah mandi beres, baru menitipkan barang, trus nyengklak bis kota. Beres. Ransel aman, saya enteng.
 
Memang masalahnya adalah ketika harus membawa keluarga. Saya tidak akan membiarkan mereka tidur dan mandi sembarangan seperti apa yang saya lakukan. Tetapi bila sendirian dalam perjalanan luar kota misalnya, saya lebih mudah untuk menepikan mobil lantas tidur disitu. Yang penting lingkungannya teramati berkesan aman, beres. Toh bukan saya saja yang bertindak seperti itu. Banyak yang juga melakukan hal serupa.
Memang hal tersebut bukanlah hal yang lazim. Bahkan kadangkala 'emoh' dilakoni. Terbukti saya sendiri emoh melakoni hal tersebut buat anak - istri saya. Namun entah kenapa saya malah menikmatinya. Saya jadi bisa mengerti mengapa ada beberapa hal yang mungkin bagi kita belum terlalu faham maka membuat kita tidak maklum. Kita belum merasakan tidur dan mandi di mesjid, sudah merasa tidak nyaman untuk mencobanya. Ya bukannya harus mencoba. Tetapi ada semacam belenggu di diri ini untuk hal - hal yang tidak lazim. Belenggu ini yang sebaiknya dibuka. Sehingga diri ini lebih terbuka terhadap segala kemungkinan. Tapi ya itu tadi, tidak gampang. Saya seringkali menikmati suasana yang kadangkala 'nyeleneh' itu, namun saya tidak bisa membiarkan anak saya yang masih kecil untuk mengalami hal itu terlalu dini. Tetapi sekali lagi, saya pribadi malah berusaha menikmati hal itu, termasuk tidur di mobil dan mandi di mesjid. Jadi asik gitu. Entahlah anda gimana. Ha... ha... ha....[] haris fauzi - 13 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.

Tuesday, August 07, 2007

kenisah : orang - orang proyek

ORANG - ORANG PROYEK
MENURUT AHMAD TOHARI
 
Judul di atas adalah judul novel --insya Allah-- novel terbaru dari penulis pinggiran Ahmad Tohari. Ahmad Tohari mocer lewat novel - novel kampungnya seperti 'Ronggeng Dukuh Paruk' dan 'Belantik'. Membaca novel ini rasanya seperti hidup di tahun 1980-an. Di masa jaya single majority. Lingkup politik adalah single majority. Novel ini memang ngomongin soal politik. Selain itu settingnya juga di desa yang agak terbelakang. Sebuah desa yang perlu dijadikan wahana KKN mahasiswa, Kuliah Kerja Nyata. Gambarannya seperti itu.
 
Tulisan Tohari yang menggambarkan masyarakat desa ......atau tepatnya masyarakat kampung --sungguh komplet. Mungkin memang Tohari hidup dan mencerna detik per-detik masa yang dikunyahnya dengan tinggal di daerah seperti ini. Asli komplet. Bahkan bagi saya terlalu komplet ikon-nya sehingga terlalu banyak ide yang seharusnya bisa dikembangkan dengan jalinan yang lebih halus. Dan kalo ini dijalani Tohari maka bakal membuat lebih tebal buku. Atau bisa jadi Tohari memang ingin ringkas --gak perlu tebal-tebal--, sehingga novelnya bisa dibaca dengan cepat dan pembaca mengerti pesan apa yang hendak disampaikan oleh Tohari. Kalau ihwal ini jelas, Tohari memang ceplas - ceplos. Mungkin Tohari memang memegang kunci utama di buku ini : Pesan. Terbukti dengan cetakan kertas HVS dan cover eksklusif --nggak kampungan blas--, dan keluaran penerbit Gramedia, harga tiga puluh satu ribu jelas terbilang murah untuk buku setebal 220 halaman ini.
 
Menganai gaya tulis Tohari disini, jelas - jelas dia berusaha 'ngampungi'--, lugas, cepat, dan gak macem - macem. Setengahnya membela kehidupan kampung. Lihat saja bagaimana Tohari menyisipkan parade hiburan orang proyek dengan tokoh yang yang bernama Tante Ana  Si Bencong dari tepi terminal yang pernah menggagalkan perdagangan bocah. Detil dan simpel, namun tidak dibuat - buat. Dan Tohari saya nilai berhasil dengan sukses walau ada salah cetak sana - sini di buku ini yang cukup mengganggu. Dalam hal menulis orang kampung, Tohari bisa bersaing dengan Danarto. Namun Danarto cenderung nyentrik dimata saya, sementara Tohari lebih 'sakkarepe dhewe'. Lho ? Nyentrik dengan sakkarepe dhewe' bedanya apa ya ? Persamaannya adalah mereka berdua cenderung religius-kultural, namun tidak totaliter. Malah banyak bicara soal politik. Bagi mereka, mungkin politik lebih berpengaruh kepada masyarakat ketimbang agama,..ha.. haa.. haa.... Ini sih asumsi pribadi saya. Tetapi, Tohari dan Danarto keduanya selalu menemukan kesetimbangan yang baik antara segitiga religi, kultur, dan politik. Namun kali ini, fokus utamanya adalah politik.
 
Lihatlah ihwal kepartaian yang ada tiga. Dengan partai dominan Golongan Lestari Menang, sementara oposisinya berwarna merah dan hijau. Dimana oposisi-nya juga orang partai Golongan Lestari Menang. Lho ?  Belum lagi Kepala Desa sebagai kader Golongan Lestari Menang, yang lantas disibukkan dengan urusan kepartaian. Pesan Tohari jelas sekali disini : Mereka lebih sibuk ngurusin partai ketimbang ngurusin rakyat. Oh ya, di novel ini terus terang Tohari menulis setting waktunya ya dengan sebutan jaman orde baru.
 
Sampai sebal si Kabul dengan segala tetek bengek politisasi itu. Setting ceritanya sebenernya pusatnya ada di masalah pembangunan jembatan di suatu desa. Kabul adalah pimpinan pelaksana proyek pembangunan jembatan. Dana pembangunan berasal dari pinjaman luar negeri yang akan diangsur lewat pajak yang dikutip dari rakyat. Dana pinjaman luar negeri itu disunat sana - sini. Untuk kepentingan partai dan kepentingan perut. Walhasil insinyur sipil bernama Kabul itu harus konfrontasi dengan pimpinan kerjanya yang juga kader partai GLM. Maklum, Kabul adalah mantan aktivis gerakan mahasiswa.  Gak cuma itu, Kabul akhirnya harus konfrontasi dengan semua orang. Maklum, kader partai itu sudah terlalu banyak. Bahkan Kabul sempat juga bentrok dengan pimpinan pembangunan mesjid segala.
 
Walaupun setting-nya urusan jembatan, tapi pesan utamanya sebenernya ada di urusan per-politik-an yang digambarkan menipu dan menyengsarakan rakyat. Tohari kirim tiga pesan kepada tiga golongan dalam buku ini. Setidaknya itu yang saya tangkap. Pesan pertama kepada politikus, supaya jangan berbuat seperti yang ada dalam buku ini. Supaya politikus fokus memperhatikan rakyat, bukannya menghabur - hamburkan duit rakyat untuk partai dan perut. Pesan kedua kepada para manusia idealis, Tohari berpesan supaya jangan berdiam diri melihat penyimpangan pemerintahan. Terakhir Tohari berpesan kepada masyarakat supaya jangan mau dikibuli partai politik terus - menerus.
 
Bagi mata saya, buku ini lebih banyak sindirannya daripada skenario aslinya. Rame pol. Memang di sana - sini ada 'acara' tambahan, seperti Kabul mencari istri, atau urusan mancing dan memasak pepes pelus. Belum lagi ada tokoh penentu yang ternyata manuvernya cukup banyak, yakni wanita tua menjual makanan --penjaga warung di lingkungan proyek itu. Banyak kiprah dia ternyata. Jan cukup jeli Tohari memaparkannya. Kalau opera sabun, maka busanya cukup melimpah. Tapi ini bukan opera sabun. Novel ini gambaran kondisi masyarakat, cermin realitas. Banyak tokoh, cerita, skrip yang malang - melintang. Tapi walau banyak sekali ide berseliweran, banyak tokoh hilir - mudik, tetap saja, sentralnya ada di urusan per-politik-an yang gak karuan juntrungannya. Bancakan duit proyek untuk keperluan partai disorot habis dan non-stop --meddley-- tanpa jeda. Nggak mungkin nggak risih kalo orang proyek membaca hal ini, bila memang dia ter-sentil oleh kalimat - kalimat dalam novel yang cenderung straight, nggak ada kamuflase-nya sama sekali ini. Langsung tonjok.
 
Bagi saya, novel ini cukup menggigit, dan tentunya layak baca karena bikin kita tersimpul senyum , atau malah kecut. Kalo mau diterusin, resensi saya malah akan terbawa narasi Tohari. Namun, bagi kalangan yang lebih halus dalam berbahasa, novel Tohari ini terlalu jorok kalimatnya, atau bahkan terlalu menyakiti hati. Nah, rasanya nggak ada salahnya buat dicoba. Selamat tonjok-tonjok-an ala novel Ahmad Tohari. [] haris fauzi - 7 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Ready for the edge of your seat? Check out tonight's top picks on Yahoo! TV.

Saturday, August 04, 2007

kenisah : ditolong Tuhan

DITOLONG TUHAN
 
"Bagaimana sakit kankernya ?"
"Alhamdulillah. Berkat pertolongan Tuhan, tubuhnya mulai pulih..."
 
Acapkali kita mengucapkan atau mendengar seorang kerabat mengatakan seperti hal di atas :".....Alhamdulillah, berkat pertolongan Tuhan......". Seperti itulah.
Pada dasarnya, suatu kejadian yang ajaib, atau di luar kebiasaan, memang sepatutnya kita menyampaikan bahwa hal tersebut adalah karena pertolongan Tuhan. Terbebasnya dari penyakit yang mematikan, terhindar dari petaka yang mengerikan, atau sebangsa itulah. Merasa mendapat sejumlah mukjizat juga mungkin pula. Dan kita merasa bersyukur telah mendapat hal 'ajaib' tersebut, karena pertolongan Tuhan.
 
Pada suatu hari hari di masa duduk di bangku SMA saya pernah menjalani ujian lisan. Mata pelajarannya adalah Kimia. Ujian lisan adalah ujian dimana soalnya ditanyakan secara lisan, demikian juga jawabannya. Terpenting adalah jawabannya. Ya karena murid musti menjawab jawaban dengan berkata - kata, maka tak ada kemungkinan untuk berpikir terlalu lama, tak ada kesempatan untuk mendapat contekan dari teman kecuali sang teman bisa membisikkan jawaban dengan baik. Semua siswa dalam kondisi penuh tekanan, karena setiap soal yang hendak dibacakan masih penuh teka - teki, pun pula siapa yang bakal ketiban soal tersebut juga tidak kalah misteriusnya. Sang Guru melakukan penunjukan random --acak. Ya jelas hati ini deg-degan pula dengan napas yang tidak kalah mencekiknya.
 
"Giliran ... Ahmad Haris Fauzi...!", Sang Guru menyebutkan nama saya.
"Saya...", saya acungkan tangan. Jantung ini berdegup keras seakan terbentur tepi meja yang berada di muka menyangga badan. Saya rasakan kaki teman menendang sepatu saya, pelan, seakan memberi support.
 
"Lintas orbit elektron berdiameter cukup besar dibandingkan dengan diameter inti netron. Apakah artinya...?", demikian soal yang dilontarkan Sang Guru kepada saya. Menghunus tepat di antara mata saya.
 
Sejenak saya tercekat, kerongkongan ini mendadak kering. Tak menduga saya mendapat soal yang kurang saya akrabi ini.Saya sungguh tidak faham betul ihwal soal yang dilontarkan Sang Guru itu. Apalagi jawabannya. Pandangan teman - teman satu kelas juga aneh, pandangan tanpa harapan. Seolah saya sudah akan knock out dengan lontaran soal tersebut.
Dan ditengah kekosongan ini entah kenapa pandangan mata saya mendadak menjadi glowing, berpendar.
 
Yang aneh saya seakan merasakan ada perintah diluar kesadaran yang membuat saya berkata dan menjawab,".....terdapat ruang kosong...". Lirih dan hampa saya menjawab tanpa ada kesadaran penuh. Sejenak saya lihat seluruh kelas seakan memandang kepada saya, bahkan gambar presiden dan wakil presiden yang tertempel di dinding muka kelas rasanya juga menyorot pandangan tajam ke saya.
 
"Betul !", demikian komentar singkat Sang Guru.
Saya tersadar penuh. Menghela nafas, dan menurut saya mungkin bumi ini ikut turut pula menghela nafas dalam. Rasanya saya seakan hidup kembali, dan saya berujar gak kalah lirih,"...Alhamdulillah....Lolos....".
 
Entah itu disebut keajaiban, entah itu disebut mukjizat --harusnya mukjizati adalah hak para nabi--, entah pula bisa di sebut sebagai 'peristiwa kebetulan'.
Tapi saya merasa bahwa yang menjawab tadi adalah bukan saya. Saya nggak 'nyanthol' blas masalah itu. Blankspot, kalo istilah sekarang. Dan saya juga nggak tau kenapa saya bisa menjawab dan berkata seperti itu. Pernah hal ini saya tanyakan kepada seorang teman. Dia cuma berkomentar,"..itu fenomena alam bawah sadar...". Well, gak mudheng blas aku. Ya sudah. Sampai sekarang akhirnya saya cuma beranggapan bahwa hal itu adalah pertolongan Tuhan.
 
Juga pernah terjadi suatu peristiwa di siang bolong panas terik. Sedemikian teriknya sehingga silau kita memandang keluar. Di tengah panas terik itu saya mengalami suatu hal yang memang di luar kendali. Tanpa harus saya ceritakan ujung pangkalnya, pokoknya hari itu terjadi amuk massa di depan saya. Sekian puluh orang berusaha merangsek saya di terik panas itu. Panas, gerah, chaos, mencekam. Sifat keroyokan massa adalah seperti itu.
 
Di tengah suasana genting, ditengah terik matahari yang meyorot keras. Tanpa diduga turun hujan dengan sangat derasnya, dengan sangat tiba - tiba. Saya rasakan bulir - bulir air yang turun ini menghunjam dengan sangat keras dan membuat pedih muka yang tertengadah menantang turunnya sang hujan. Jangankan menengadahkan muka. Air hujan mengalir keras dengan kecepatan tinggi dari atas membuat ubun - ubun ini agak sakit terkena hantaman air hujan itu. Hasilnya sungguh istimewa,  massa itu membubarkan diri. Saya terlepas dari kejadian maut.
Anehnya lagi, begitu kumpulan massa itu menghilang dari pandangan mata, hujan dengan spontan mereda dan lenyap, kembali cuaca panas menyeruak menguasai atmosfer.
 
Pertolongan Tuhan ? Jelas itu kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan kepada kejadian khusus terhadap alam semesta ini.
 
Kita seringkali baru menyebut "Alhamdulillah -- Segala Puji bagi Tuhan..." ketika kita mengalami hal - hal yang demikian dahsyat. Mungkin hati ini telah kebal, sehingga untuk menyebutkan kehebatan Tuhan haruslah melalui hal - hal yang sedemikian dahsyat.
 
Saya setuju, bahwa  setelah mengalami hal - hal yang demikian dramatis, demikian penuh keajaiban, kita musti mengungkapkan kehebatan Kuasa Tuhan. Namun, sejatinya tidaklah perlu sampai kejadian sedemikian dahsyat barulah kita tersadar bahwa kita di tolong Tuhan.
Ya itu. Mungkin hati kita telah kebal, sehingga perlu peristiwa dahsyat untuk melecut kita.
 
Padahal kalau kita mau sedikit menengok kehidupan keseharian, ternyata banyak sekali dengan kuasa dan pertolongan Tuhan. Coba amati kejadian yang terlewatkan. Bisa jadi akan membuat kita kagum karena ternyata penuh keajaiban. Dari urusan yang sedemikian kecil sahaja.
Mungkin kita saja yang sudah terlalu terlena sehingga tidak sempat mengamati, tidak sempat ber-taffakur, tidak sempat menyadari bahwa hal sekecil apapun tidaklah bisa terjadi tanpa pertolongan Tuhan. Kejadian sekecil apapun sejatinya ada peran Tuhan di situ. Semisal perjalanan ke kantor. Mungkin jaraknya sekitar enam puluh kilo meter. Apakah peran dominan kita sehingga pada malam hari kita bisa selamat sampai rumah ? Bukankah ini juga kurnia dan kuasa Tuhan ? Bukankah ini juga pertolongan Tuhan yang muncul setiap hari tatkala pulang kerja ?
 
Contoh yang paling gampang dan kecil saja seharusnya bisa menyadarkan kita. Suatu hari saya hendak berangkat kondangan bersama keluarga.
Seberapa lihai anda mengikat dasi ke leher anda ? Karena saya menyukai dasi konvensional yang panjang terurai itu, maka seharusnya saya cukup lihai mengikat dasi sendiri. Namun entah kenapa sore itu sang dasi tak juga kunjung mau duduk seimbang di leher saya. Sampai beberapa kali mengikatnya, saya masih juga tidak mampu menjadikannya ikatan segitiga yang indah. Tangan ini sampai pegel. Dahi ini mulai berpeluh
 
Setelah sekian lama, akhirnya saya bergumam "...ampuni saya ya Tuhan...".
Apa yang terjadi ? Ikatan berikutnya langsung rapi jali. "Keren...", kata istri saya.
 
Seringkali kita mengabaikan kurnia Tuhan karena tidaklah setiap hari kita mengalami hal yang dahsyat. Karena kejadiannya sudah rutin dan membosankan. Tapi ini sebenarnya bukanlah alasan yang signifikan. Mungkin bila Tuhan adalah manusia, bisa jadi Tuhan-lah yang lebih bosan terhadap tingkah kita yang sering tidak mengerti bahwa apa yang membuat manusia hidup dan terus bernafas sejatinya adalah karena Tuhan. Namun Tuhan bukanlah suka menyombongkan seperti itu. Tuhan itu tanpa pamrih. Manusianya yang keterlaluan.
 
Dalam beberapa pandangan ajaran filsafat, manusia merupakan medan konflik antara kutub materi dan kutub spiritual. Kutub materi adalah kutub pemenuhan kebutuhan akan materi, sementara kutub spiritual adalah pemenuhan jiwa - jiwa kosong. Jiwa - jiwa ini harus terus diisi muatan untuk mengingat bahwa Tuhan-lah yang telah memberinya hidup. Karena 'roh' Tuhan telah ditiupkan-Nya kepada sosok manusia. Untuk mengingat 'peran' Tuhan seperti ini terus terang manusia membutuhkan kepekaan nurani dan kejernihan berpikir. Kesiapan untuk ber-taffakur. Dan kepekaan ini semakin memudar tatkala kutub materi menguasai kehidupan manusia. Padahal kehidupan itu sendiri adalah aspek spiritual, aspek jiwa. Tanpa jiwa tidaklah ada kehidupan. Inilah --bagi saya-- alasan yang signifikan kenapa manusia menjadi 'kebal' dan sangat kurang peka terhadap kuasa dan pertolongan Tuhan. Seakan hidup ini adalah 'pertunjukan' yang sedemikian saja bisa terjadi dengan sendirinya. Seakan jari ini menari dengan sendirinya di papan keyboard, seakan turun tangga itu jamak, … tanpa ada peran Tuhan.
 
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kutub materi telah menghimpit kutub spiritual. Jalan - jalan spiritual telah sepi. Lengang. Orang - orang --termasuk saya juga-- lebih sibuk berbondong - bondong menuju jalan materi, sampe rela bermacet - macet segala. Kadang kita tersadar bahwa ada yang salah dalam hal ini, namun tetap saja kita membiarkannya terjadi. Tetap saja kita menjalaninya seperti biasa. Mungkin ada yang musti digeser dalam paradigma hidup ini. [] haris fauzi - 4 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.

Thursday, August 02, 2007

kenisah : do'a orang kecapekan

___________________
Mas Haris, aku senang bisa baca terus Kenisah;
akhir-akhir ini Anda  sering tulis review ya,
termasuk review tentang Chrisye di album lawas sekali.
(anwar holid , 1 - 8 - 2007)
__________________________
Sam,
Akhir-akhir ini kenisah kok banyak ngomongin musik,
nggak kayak dulu yang banyak cerita tentang kearifan memandang hidup
...back to basic please !
(ardiansyah kimiawan , 1 - 8 - 2007)
__________________
 
DO'A ORANG KECAPEKAN
 
Komentar ? Kenapa enggak ? Saya mendapat respon seperti dua kutipan di atas. Mas Anwar Holid --kontributor Republika-- memang sering memberi komentar sana - sini. Juga sering pula mengirim CD lagu - lagu ke saya. Ardiansyah adalah kawan se-sekolah jaman dulu.
Rasanya baru tiga kali ini dalam kurun sebulan saya menulis soal musik. Yang berjudul 'akustik' sebenarnya blending antara topik musik dengan dunia pendidikan. Dua sisanya jelas menulis tentang musik.
 
Di sisi lain kali ini saya balik lagi nulis soal pengajian. Padahal selama sebulan terakhir ini berarti sudah untuk keempat kalinya saya nulis ihwal pengajian. Cukup membuat jenuh juga kali ya, menulis dengan tag yang belum ada penyegaran seperti ini. Tapi, ya gak pa-pa lah. Alasan saya kenapa pengajian beberapa kali saya  tulis adalah karena mungkin saya sedang kemaruk. Alasan lainnya adalah  bahwa pengajian itu penyampaian ilmu. Dan barangsiapa yang telah mendapatkan ilmu, maka sebaiknya dia menyampaikan ilmu tersebut ke orang lain. Nah....
 
Jadi gini, menurut pengajian yang pernah saya ikuti, maka orang yang berjihad itu, dalam Islam mendapatkan posisi istimewa di sisi Tuhan. Gitu teorinya. Jihadnya apa saja, itu sangat mungkin didiskusikan lebih lanjut. Monggo. Saya termasuk kesulitan mendiskripsikan dengan lengkap. Lha wong orang kerja mencari nafkah saja sudah bisa dibilang jihad kok. Bagi saya pribadi, jihad adalah usaha untuk menegakkan ajaran Tuhan. Itu dalam paradigma saya yang serba awam ini, mohon koreksi dan tambahannya.
 
Ustadz-nya namanya Pak Nuruzzaman. Dia eksekutif muda yang berhasil. Organisator ulung. Dan Da'i yang cukup memberikan saya banyak pencerahan. Salah satunya ya itu tadi, dia bilang bahwa mencari nafkah itu jihad. 'Ikhlas karena menjalankan perintah Tuhan, mencari rejeki halal untuk keluarga', imbuhnya.
 
Memang seakan nggak sepadan bila membandingkan tugas berperang kok sepantaran (sepadan) dengan bekerja cari duit. Ini kalo dipandang dari logika kekinian. Kalau dilihat dari sisi kebijaksanaan, hal tersebut sangat mungkin. Ada banyak fakta yang menyetarakannya, yang sebenarnya sangat logis.
 
Dan hebatnya, lanjut pak Ustadz Nuruzzaman ini, posisi para mujahid --orang yang berjihad-- termasuk istimewa di sisi Tuhan. Percaya nggak percaya lho ya, kalo saya sih percaya saja. Apa istimewanya ? Banyak. Salah satunya adalah permohonan dan do'a-nya lebih mudah menembus atap langit menuju tahta Tuhan. Dan tentunya 'jalur khusus' ini memiliki peluang yang cukup baik untuk menjadi terkabulkan. ...Percaya nggak percaya lho ya, kalo saya sih percaya saja.
 
Antara do'a dan mujahid, memang ada keterkaitan yang erat. Inilah yang membuat posisi mujahid menjadi istimewa. Nah, inilah yang saya sebut sebagai 'pencerahan' dari Pak Ustadz Nuruzzaman. Do'a itu berada dalam posisi yang baik bila dipanjatkan oleh manusia yang berada dalam kepedihan. Kepedihan bisa bermacam - macam; kesengsaraan, keterjajahan, atau kecapekan. Lho ? Iya. 'Kecapekan dalam bekerja... bekerja mencari nafkah secara halal tentunya', lengkap Pak Ustadz.
Kecapekan dalam mencari rejeki halal ternyata sepadan juga dengan kepedihan dan luka dalam berperang membela ajaran Tuhan. Singkatnya, do'a orang seperti ini sama istimewanya di sisi Tuhan.
Sebagai karyawan yang senantiasa 'capek' lima hari dalam seminggu karena harus ngantor yang berjarak cukup jauh, saya sedikit banyak terhibur dengan hal ini.
 
Apakah keistimewaan do'a orang yang mencari nafkah ? Runutannya sih lebih makbul. Pak Ustadz lantas membeberkan ceramahnya lagi. Seorang yang bekerja dengan benar untuk mencari rizki yang halal, biasanya akan pulang dalam kondisi sangat capek. Nah, di akhir perjalanan menuju rumah sepulang kerja --di puncak kecapekan setelah seharian bekerja--, begitu mendekati rumah, taruhlah memegang gagang pintu rumah, Pak Ustadz Nuruzzaman menganjurkan untuk berdo'a. Do'a tentang apa saja yang kita kehendaki, terutama sehubungan dengan masalah 'golek panguripan' atau mencari nafkah. Posisi itulah manusia yang sedang mencari nafkah itu mencapai titik keletihannya, titik kesengsaraannya. Mujahid itu tengah merintih. Dan apabila yang dirintihkan adalah seuntai do'a, maka posisi do'a itu menjadi sangan spesial. Dan kata Pak Ustadz, kemungkinan terkabulnya --makbul-- cukup besar. ...Percaya nggak percaya lho ya, kalo saya sih percaya saja.
 
Mungkin nggak musti pas memegang gagang pintu. Saya cukup lama mempelajari dan mencari posisi 'puncak keletihan' ini. Dan bagi saya adalah ketika selesai mematikan mesin mobil, maka saya dalam beberapa detik musti menghela nafas panjang, sembari masih tetap duduk di jok mobil.
Tiap orang tentunya berbeda - beda. Mungkin bagi para pekerja yang menggunakan motor, bisa jadi ketika melepaskan helm --setelah memarkir motor di teras rumah--  mungkin merupakan titik terletih dalam perjalanan mencari nafkah pada hari itu. Untuk baiknya, setiap orang bisa mencari sendiri 'titik letih' ini. Soalnya saya kan nggak ngerti kebiasaan semua orang. Singkatnya ; di 'titik letih' inilah seorang pekerja dianjurkan untuk berdo'a.
 
Saya merasa tidaklah perlu menguji keakuratan anjuran Pak Ustadz ini. Saya sendiri --setelah memastikan posisi titik letih ini--  langsung berusaha membiasakan untuk tidak lupa memanjatkan do'a setelah memarkir mobil. Utamanya do'a mengenai urusan mencari nafkah. Nggak cuma itu, saya juga berusaha untuk menyampaikan problem yang ada dalam bekerja, saya bisikkan lamat - lamat. Saya yakin dan percaya Tuhan mendengarkan bisikan saya. Saya juga percaya bahwa apa yang disampaikan Pak Ustadz pastilah gak ada salahnya buat dilaksanakan.
 
Apakah ada hasilnya berdo'a lewat cara itu ? Rasanya anda boleh mencobanya. Soalnya saya sudah membuktikannya sendiri. Sumprit, ternyata terbukti dengan benar..... bahkan ke hal yang paling khusus sekalipun bisa terkabul. Memang tidak ada garansi semua do'a yang tersampaikan lewat cara ini pastilah terkabul. Kita sendirilah masing - masing yang bisa mengerti apa yang layak untuk dipanjatkan sebagai do'a dan lantas menilai kepatutannya untuk terkabul. Hebat nian memang do'a orang yang kecapekan ini. Percaya nggak percaya lho ya, kalo saya sih percaya saja.[] haris fauzi - 2 Agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.

Wednesday, August 01, 2007

kenisah : nordic rock

PESONA NORDIC ROCK
 
Kalo menyimak dari buku 'Pasang Naik Kulit Berwarna', tulisan L. Stoddard, maka ras nordic adalah berasal dari kawasan utara Eropa --lazim di sebut wilayah Skandinavia, dimana berdekatan dengan wilayah es-- yang lantas berkembang hingga ke Jerman. Buku tulisan Stoddard tersebut sempat rilis sekitar tahun 65-an di Indonesia atas rekomendasi Ir.Soekarno. Pak Karno bilang bahwa buku itu penting untuk perkembangan politik bangsa Indonesia, dan lagi buku itu jadi best seller di Eropa dan Amerika. Saya merasa beruntung memiliki buku warisan tersebut. Muasalnya buku itu memang koleksi mendiang Bapak saya, dan sekarang nangkring di rak perpustakaan pribadi di Bogor.
 
Terbayang bagi saya bangsa nordic adalah berambut merah-kuning, mirip Peter Smeichel --kiper Manchester United asal Denmark--. Terbayang juga bangsa Galia di komik Asterix yang kondang itu dengan topi ber-tanduk.
 
Sudah lama saya pengen menulis soal aliran musik nordic rock ini. Saya pernah dengar bahwa musik nordic rock itu sempat dilontarkan salah satunya oleh kelompok musik asal Jerman : Helloween. Helloween bercerita panjang lebar soal legenda 'tujuh kunci'. Kalau saya amati, salah satu ciri musik nordic adalah biasanya berisi cerita kepahlawanan dan legenda. Jangan salah, bukan kepahlawanan dalam arti peperangan melawan bangsa lain.  Isinya biasanya perang melawan makhluk, atau apalah, sebangsa naga buas begitu. Epik dan legenda yang sedikit berbeda dengan pertempuran antar bangsa, seperti halnya tema - tema album dari kelompok 'Manowar', misalnya. Manowar dalam album 'Kings of Metal' bercerita tentang pertempuran ala tirani kuno dan pasukan kerajaannya. Ini kalo dari pengamatan saya yang awam ini lho ya, mohon koreksinya.
 
Kalo dari sisi ini akan terlihat cukup jelas di sampul album - sampul albumnya, contohnya di album 'Trilogy' dari gitaris Swedia Yngwie Johann Malmsteen. Yngwie sendiri memang orang nordic. Gambarnya ya Yngwie dengan senjata gitarnya sedang berperang melawan semburan api dari naga raksasa. Mungkin naga merupakan personifikasi atau simbolisasi dari bentuk antagonis, semacam Rahwana untuk masyarakat Jawa. naganya bukan kayak ular naga china di baronsai, tapi naga berbadan besar. kayaknya sampul bergambar naga ini laksana menu wajib sampul album kalangan nordic, seperti halnya penyanyi Indonesia yang suka banget dengan sampul album bergambar wajah penyanyi masing - masing.
 
Yang juga nampak berciri nordic adalah dari sampul album kedelapan Yngwie :"Fire & Ice". Gambarnya Yngwie berdiri di atas salju dan membuat angka 'delapan' dengan api dari gitarnya. Bangsa nordic memang dekat dengan kutub utara dan akrab bercengkrama dengan urusan salju dan es. Mungkin bangsa ini bangga sekali punya ikon tanah es, Iceland.
 
Kelompok Rhapsody, sebagai musisi yang mengibarkan panji nordic rock  juga menampilkan gambar naga --berikut semburan apinya-- dalam album 'Power of the Dragonflame'. Sementara gambar pahlawan bercelana kulit sedang berkuda dan menghunus pedangnya melawan naga merah dipajang di album 'Legendary Tales'. Grup Rhapsody ini --bagi saya--  jelas - jelas beraliran nordic rock. Bahkan inilah salah satu proto perwakilan yang nampak jelas sebagai pengusung musik nordic rock. Ciri musiknya drumnya berdentam rapat demikian juga dengan bunyi bass-nya. Pukulan drum-nya mungkin 20%-30% lebih banyak ketimbang musik rock biasa, karena memang sering terdengar terselip pukulan - pukulan tambahan yang mungkin dimaksudkan untuk tidak memberi ruang celah sunyi sama sekali.  Gitar cenderung ritem rapat juga. Rapat, cepat,  dan bertenaga. Sektor melodi keyboards menjadi ciri khas aliran nordic karena dominasinya dari awal lagu hingga akhir sangat kentara dan selalu menjelajah kemana vokal mengalir. Bisa jadi bunyi keyboard yang berkesan sakral ini lebih mendominasi ketimbang melodi gitar yang memang pakemnya mengisi di interlude lagu. Bahkan di album - album gitaris Yngwie, sektor keyboard dan gitar di telinga saya seakan beradu lari sahaja, mereka berbunyi kedua - duanya terus menerus. Artinya peran Jens Johansson selaku keyboardis diberi porsi luas sekali.
 
Dalam karya - karya  grup Stratovarius, Jens Johansson bermain keyboard lebih gila, lebih kencang, dan memilih bunyi yang mengingatkan kita kepada gemerincing bunyi pedang yang ditarik lepas dari pelindungnya.
Stratovarius --yang musisinya berambut merah-kuning semuanya-- dalam karya - karyanya ceritanya-pun berkutat soal legenda - legenda. Grup Stratovarius lebih keras dan cepat dalam bermain musik ketimbang Yngwie Malmsteen yang meng-adop musik klasik.
 
Di telinga saya, nordic rock memiliki suatu perbedaan dengan grup metal atau rock amerika salah satunya di sektor keyboard. Lazimnya grup rock amerika memang lebih irit  membunyikan keyboard. Grup rock dan heavy metal Amerika memang lebih terkenal dengan dobel gitarnya, ambil contoh populernya adalah Metallica, yang bagi saya Amerika benget..... berikut lirik - liriknya. Sementara Stratovarius, walau sekencang itu musiknya, gitarisnya yang dominan cuma seorang : Timo Tolkki.
 
Vokalnya ? Grup beraliran nordic rock kebanyakan memiliki vokalis yang powerful dan mampu menjelajahi nada - nada tinggi dan sulit. Michael Kiske dari Helloween dan Goran Edman --vokalis Yngwie-- membuktikan hal itu. Malahan di grup Nightwish lebih ekstrim lagi , dia punya vokalis wanita,  yang mampu menjelajah nada tinggi, tapi power-nya kesannya jadi kurang.
 
Salah satu ke-khas-an pula, olah vokal nordic rock juga sering ditimpali dengan koor atau paduan suara, mungkin hendak mengimbangi elemen orkestra klasik yang juga membahana di dalam struktur lagu - lagu mereka. Semacam gothic rock gitu-lah. Mereka nggak ragu - ragu untuk mengedepankan paduan suara di tengah kencangnya dentuman drum dan rapatnya ritem gitar.
 
Ada tambahan sedikit soal musikalitas kelompok nordic rock ini. Kelompok yang bermain musik keras dan cenderung heavy metal dari pengusung aliran nordic-rock ini  tidak sungkan - sungkan untuk memasukkan unsur orkestra dan simponi untuk menggarap nada - nada klasik. Yngwie contohnya, dia malahan membuat album khusus orkestra. Yang bagi saya sungguh merupakan album platinum. Keren. Yngwie memang pengagum musik klasik, terutama Vivaldi. Sementara Luca Turilli, komendan Rhapsody, dalam album solonya selain bercerita soal kepahlawanan dan legenda, dia juga khususon mengaransir orkes simponi dengan indahnya.
 
Oh,ya. Sampul album 'King of The Nordic Twilight' dari Luca Turilli ini benar - benar nordic tak terbantahkan. Bergambar pahlawan berpedang yang sedang berperang di tebing dataran salju. Cuma sayangnya kok rambutnya hitam, ya ? Apa ini orang Jawa ?..he.. he... he... Bisa jadi karena ibu pertiwi kelompok Rhapsody ini kabarnya berasal dari Italia, grup ini katanya lahir dengan nama panjang Rhapsody of Fire.
 
Dari kawasan nordic, bukan berarti semua memainkan musik nordic rock ini. Kalau toh anda kenal grup-rock Swedia bernama 'Europe' yang kondang dengan lagu 'Final Countdown', bagi saya Europe lebih mengusung musik rock Eropa --berbaur dengan Amerika. Kesan nordic hanya muncul sesekali lewat keberanian suara keyboard. Sisanya tidak nordic. Saya sangat menyukai karya - karya Joe Tempest cs ini, terutama album 'Out Of This World', dimana Kee Marchelo menggantikan John Norum sebagai gitaris utama.
 
Kembali ke aliran nordic rock. Bagi saya,  semakin saya menyimak musik - musiknya, kok saya semakin tertarik dan lagi tertarik. Utamanya ihwal ke-kompleks-an unsur musiknya mulai akar rock, klasik, simponi, hingga gothic. Ditunjang dengan kedahsyatan tenaganya membuat musik ini enak untuk mengiringi nyetir mobil di pagi hari.
Dan ketertarikan saya terhadap aliran nordic rock ini muncul dari segelintir musisi yang sudah saya sebutkan di atas tadi. Karena sangat mungkin masih banyak musisi nordic yang belum sempat saya simak. Nah, kalo sudah gini tidak ada alasan buat nggak maju terus. Tolong koreksi dan bantuannya. [] haris fauzi - 1 agustus 2007


salam,
haris fauzi
 


Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links.