Thursday, December 25, 2008

kenisah : seperempat buku

SEPEREMPAT BUKU

 

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh generasi Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari empat pemimpin, Abubakar As-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Keempat khalifah ini secara bergantian meneruskan dan menjaga kemurnian ajaran Muhammad. Kegemilangan era Khulafaur Rasyidin ini dilanjutkan dengan generasi berikutnya. Tiga generasi setelah kepemimpinan Muhammad SAW –yang diisi oleh para tokoh sahabat, para tabi'in, dan tabi-tabi'in,-- disebut generasi "Salaf". Generasi Salaf adalah generasi para saleh ulama yang hidup sederhana menjaga kemurnian ajaran Muhammad SAW dan tidak terbelah-pecah. Rentang waktunya tidak dijelaskan, yang paling sering disebut berada di era abad VI M, jaman Khulafaur Rasyidin.

 

Singkat sejarah, generasi terus berganti seiring perjalanan waktu. Paska pemerintahan para sahabat hingga pada sekitar abad XIII telah terdapat beragam aliran dan sekte dalam jumlah yang tak terhingga. Dan kacaunya, benih beragamnya aliran dan sekte dalam Islam juga berbuah dimasa ini, yakni munculnya beragam perbedaan penafsiran hingga munculnya tambahan – tambahan peribadatan menurut persepsi masing – masing sekte yang sungguh tidak diperlukan. Penambahan – penambahan seperti ini populer disebut dengan 'Bid'ah'. Belum lagi adanya sekte – sekte yang berkolaborasi dengan kalangan mistik dan magis, sehingga memunculkan peribadatan klenik dan tahayul. Penyimpangan seperti ini populer dengan sebutan 'Khurafat'.

 

Dan entah kenapa, pada abad itu juga terjadi penyerbuan gerombolan Hulagu Khan –pemimpin bangsa Mongol-- ke Bagdad, pusat ibukota dinasti Abbasyah, sebuah kota yang modern dan mewah, dengan para pejabat yang mentereng. Penyerbuan orang Mongol yang sadis ini berdampak kepada dua hal, yakni hancurnya segala peradaban Islam tanpa sisa, karena seluruh perpustakaan dibakar dan dimusnahkan bukunya. Pemusnahan segala literasi ini berakibat fatal terhadap kelangsungan agama Islam. Sehingga para ulama tidak lagi memiliki referensi yang kuat, apalagi proses diskusi juga dibungkam penguasa. Penguasa Mongol melarang ulama yang tidak 'menguntungkan' posisinya, dan setiap ulama yang sudah diijinkan berdakwah, harus memiliki pengikut yang patuh, tidak bertanya banyak macam. Disinilah awal ditutupnya pintu pemikiran islam, pintu ijtihad. Ya. Pemerintah Mongol menyetir ulama, ulama menyetir ummat. Karena pintu ijtihad dilarang, maka jadilah para pengikut yang patuh buta sehingga menuhankan sang ulama sendiri. Kepatuhan semacam ini dikenal dengan sebutan "Taqlid".

 

Dampak lain dari penyerbuan bar-bar ini adalah kepada berantakannya pola kemewahan dinasti Abbasyah. Jaman itu dinasti Abbasyiah yang berkuasa hidup dengan kecukupan, bahkan cenderung berlebihan. Penyerbuan Mongol membuat pola hidup mewah yang hiruk – pikuk itu berganti dengan pola hidup sang penguasa baru, orang – orang Mongol yang nomaden, biadab, dan tak berpengetahuan modern. Back to Jungle.

 

Di tengah carut – marut itulah muncul seorang tokoh pembaharuan, yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah ini menyeru kepada seluruh ummat Islam agar kembali mempelajari kehidupan Khulafaur Rasyidin dan para sahabat, mempelajari cara hidup generasi salaf. Secara sederhana, gerakan pembaharuan yang dikibarkan Ibnu Taimiyyah untuk mengikuti jejak generasi salaf mencakup tiga hal, pertama adalah melestarikan kemurnian ajaran Muhammad SAW dengan meniadakan Bid'ah dan Khurafat, kedua adalah menjadi satu ummat dengan mengajak bersatu seluruh ummat Islam yang terbelah dalam berbagai golongan, ketiga adalah dibukanya peluang pemikiran islam / ijtihad sehingga tidak terjadi kepatuhan mutlak (Taqlid). Gerakan reformasi Ibnu Taimiyyah ini ternyata menjadi gerakan yang cukup kekal, "everlasting move".

 

Gerakan pembaharuan Ibnu Taimiyyah kembali berkibar di era modern. Pada abad XIX M, Muncullah seorang tokoh peradaban, pakar politik, ahli filsafat yang berhasil menerapkan ajaran Ibnu Taimiyyah dalam peri hidup dunia masyarakat-politik Islam. Tokoh ini bernama Jamaluddin al-Afghani. Seruan utama gerakan reformasi Al-Afghani untuk merujuk generasi salaf dimulai dengan mencoba mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia dengan meminggirkan madzhab dan golongan serta menghilangkan eksklusivisme kelompok. Al-Afghani berjuang didampingi seorang murid yang akhirnya menjadi partner terhebatnya, dia adalah ahli pendidikan bernama Muhammad Abduh yang berasal dari Mesir.

 

Kondisi era duet Al-Afghani-Abduh memang rumit. Kala itu Mesir sedang carut – marut. Terusan Suez di-'lego' oleh pemerintah Mesir karena krisis moneter. Juga adanya kekisruhan di lembaga peradilan dan penegakan hukum, hingga memaksa Raja Ismail yang berkuasa harus rela meletakkan tahtanya. Kekisruhan seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Mesir. Hampir semua negara Islam sedang tercabik – cabik memperparah keadaan ummat Islam yang sudah sengsara sehingga mudah sekali dijejali budaya Barat. Memang, serbuan "westernisasi" mulai dalam gelombang besar pada era tersebut. Dalam era itu, kalo nggak ke-barat – baratan, ya mistik. Kalo nggak gitu ya ribut antar sekte. Seperti itulah yang membuat duet Al-Afghani – Abduh ini prihatin.

 

Namun usaha duet Al-Afghani – Abduh tidaklah menyerah untuk melanjutkan perjuangan reformasi Ibnu Taimiyyah. Dari sekian banyak kendala, masalah terbesar adalah dalam internal ummat Islam sendiri. Muhammad Abduh pernah menyampaikan bahwa diantara ummat Islam sendiri sering terjadi permusuhan dan saling menjelek – jelekkan. " Saya anjurkan agar sesama ummat Islam janganlah saling ejek - saling hasut. Karena hal ini berakibat perpecahan".

Al-Afghani sebagai pelopor pembaharuan modern juga pernah menyampaikan bahwa penyakit ummat Islam adalah perpecahan. "Setiap diajak bersatu, mereka malah berselisih atas nama golongan masing – masing".

 

Dalam majalah berkala-nya yang sungguh populer, "Al-Urwah Al-Wusqa", Jamaluddin Al-Afghani menyeru persatuan ummat Islam untuk membangun kembali peradaban Islam menuju peradaban generasi salaf, sehingga bisa kokoh menolak serbuan budaya Barat.

Langkah kongkrit ajakan Al-Afghani – Abduh secara ringkas adalah mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia ini tanpa memandang golongan. "Perbedaan faham, madzhab, firqah, termasuk sunni-syiah jangan menjadi penghambat untuk bersatu".

 

Dalam buku karya Prof.Dr.H.Aboebakar Atjeh yang berjudul "Salaf – Muhji Atsaris Salaf Gerakan Salafijah di Indonesia", dikupas dengan baik bagaimana sejarah gerakan reformasi Ibnu Taimiyyah hingga bagaimana reformasi Jamaluddin Al-Afghani ini sampai ke Indonesia, termasuk siapa tokoh ajaran salaf di Indonesia. Buku ini terbitan Permata- Jakarta tahun 1970. Dan saya baru membaca seperempatnya.[] haris fauzi – 25 desember 2008

salam,

haris fauzi

Sunday, December 21, 2008

kenisah : seperti tahun lalu

SEPERTI TAHUN LALU,

KETIKA BATU BERLUMUT

 

"…cepat angkat pena-mu…

cepat angkat, sebelum segalanya berlalu

dan tuliskan itu…"

 

Seperti tahun lalu, senja hari itu adalah senja Desember. Kota ini disiram hujan cukup sering. Agak ragu – ragu saya hendak menembus tirai hujan yang tidak terlalu deras namun cukup rapat itu. Mata saya menatap ke tanah, menyaksikan butir – butir kristal air yang terhempas lantas tercerai – berai, namun kemudian menyatu kembali dalam keutuhan alirannya. Kehidupan memang seperti itu, mengikuti ritualnya, tak kuasa kau melawannya.

 

Seperti tahun lalu, ketika hujan tak kunjung reda, membuat bebatuan lembab dan berkelir lumut. Setiap tahun seperti itu. Hujan menciptakan batu yang semula garang menjadi lembut. Selembut lumut. Ada yang tak bisa kita sangka, segalanya. Karena perubahan itu sebuah keniscayaan, perubahan apapun, seperti bagaimana batu itu kini halus berlumut. Sayapun menyikapi hal ini, mengerti bahwa dalam suatu masa telah mengubah saya, dan saya menghaturkan terima kasih kepada segala yang telah mengajarkan saya akan keniscayaan dan perubahan itu sendiri. Mungkin, hujan senja ini tak hendak segera mereda. Saya mengangkat kerah jaket lebih tinggi lagi sehingga bisa melindungi ubun – ubun dari guyuran hujan. Bersegera memasuki mobil. Dan berkendara menembus rinai gerimis.

 

Seperti tahun lalu, atmosfir memercikkan kristal airnya. Berurutan seperti percikan relief kenangan demi kenangan. Jalan waktu yang telah dilakoni. Rasanya saya tak terlalu memacu kendaraan yang sudah uzur ini. Biarlah mobil ini berjalan pelan, agar gerak mozaik kenangan itu tidak berlalu segera. Supaya saya bisa menamatkan dengan khidmat sebelum dia berlalu menjauh. Ya. Mungkin dia menjauh, tetapi kristalnya terpahat dalam kenangan. Saya terus mengikuti pergerakan mozaik ini, laksana pemandangan yang bergerak dalam bingkai kaca mobil yang juga berubah – ubah. Hingga akhirnya mobil ini berhenti sesampai tujuan, dan sketsa yang semula bergerak itu kini terdiam. Hanya terangguk ketika terterpa angin.

 

Seperti tahun lalu, senja ini-pun saya terbawa pusaran arus waktu. Yang hendak melibas siapa saja yang menghalangi. Karena pusaran itu terus dan terus sahaja bergerak sesuai kehedaknya. Berjalan menuju masa berikutnya. Saya bersegera mencoretkan pena ini. Sebelum pusaran masa ini melanjutkan perjalanannya, menuju tahun berikutnya. [] haris fauzi – manggarai, 19 desember 2008

 

salam,

haris fauzi

Saturday, December 13, 2008

kenisah : baru sekilas

BARU SEKILAS

 

....

Bila karena Tuhan, apakah penjara-penjara itu membuatmu sengsara ?

Bila karena Tuhan, apakah siksaan itu membuatmu takut ?

....

 

Padahal sudah lama paket itu datang. Mungkin tiba di awal tahun. Sudah lama saya buka, dan dua keping cakram itu saya selipkan diantara keping cakram yang lain dalam sebuah map tebal. Saya seringkali mempunyai kebiasaan eperti itu, tak bersegera menengok isinya.

Seperti halnya ketika saya membeli keping album Dream Theater 'Six Degrees Of Inner Turbulence' dan 'Mothership'-nya Led Zeppelin, saya tak segera memutarnya. Bukannya kenapa. 'Six Degrees of Inner Turbulence' saya sudah sejak dulu memiliki format padat lain, dan baru kesampaian membeli cakram padatnya barusan. Demikian juga dengan 'Mothership' yang merupakan kompilasi saya sudah pernah memiliki dalam format kaset. Jadinya format CD mereka kali ini adalah berupa legitimasi koleksi, karena saya sudah pernah menikmati dalam format lain.

 

Namun, kiriman adik saya ini berbeda. Dia mengirimkan dua keping cakram berjudul "RUHULLAH". Berisi film dokumentasi biografi Ruhullah Khomeini, tokoh tertinggi revolusi Islam yang paling masif abad dua puluh ini. Dalam era modern, mungkin sampai detik ini, belum ada gerakan agama Islam yang lebih dahsyat dibandingkan revolusi Iran ini.

 

Saya baru sekilas menontonnya minggu lalu, dan film sepanjang dua jam lebih itu membuat saya tercenung. Ruhullah kecil lahir dari seorang Bapak yang pemberani, tahun awal abad. Seorang pedagang --ya, hanya pedagang-- yang melawan kawanan perompak dan meninggal dalam perlawanan sengit itu, tak lama sebelum Ruhullah lahir. Ya. Ruhullah tak sempat bertatap muka dengan Bapaknya. Ruhullah yang memiliki darah keturunan Rasul Muhammad SAW itu tumbuh dibimbing saudaranya dan kemudian belajar di sekolah agama, semacam pesantren.

 

Jiwa kritis Ruhullah muda terpanggil menyikapi keadaan kala itu. Dimana pemerintahan semakin berkiblat ke Turki dalam arus modernisasi dan westernisasi. Dimana urusan pemerintahan terpisah dari urusan agama, agama disini adalah Islam tentunya sebagai mayoritas di Iran.

Ruhullah menangkap kegelisahan dan menjadi bagian ketidak-sesuaian itu. Apalagi kurikulum pesantren dibatasi oleh pemerintah, hanya membicarakan masalah syariat agama. Dan terutama, ilmu politik tidak diperkenankan untuk dibicarakan di forum pesantren.

 

"Ini negeri mullah, mengapa pesantren di anak tiri-kan ?". Usia remaja Ruhullah memberontak dengan pola pikir seperti itu sehingga Ruhullah sendiri sempat dipinggirkan oleh rekan - rekan santri dan ustadz - ustadznya. "...Ada yang salah dengan Ruhullah. Dia selalu membicarakan masalah politik...padahal ini kan pesantren...".

 

Ruhullah tidak mudah ber-putus-asa.Umat Islam harus memiliki pemimpin, dan politik adalah lahan kepemimpinan. Ruhullah tak henti - hentinya menyuarakan hal ini sehingga menggerahkan kalangan pemerintah, militer, hingga kalangan pesantren sendiri. Beberapa kepincangan pemerintah karena pengabaian unsur relijius, dia kritisi dengan lantang. Sehingga para pemikir muda semakin banyak yang berpihak kepada Ruhullah. Ruhullah semakin dalam memasuki dunia politik.

 

Meresahkan kalangan status quo. Itulah Ruhullah. Ruhullah menyuarakan kemerdekaan. Maklum, kala itu memang Syah Iran terlalu didikte oleh Gedung Putih, Amerika Serikat. Mulai dari hubungan luar negeri, politik dalam negeri, keuangan dan ekonomi,kebijakan militer, penanaman investasi, kebudayaan dan pendidikan, hingga urusan agama. Semuanya adalah paket kiriman dari Gedung Putih. Dan ini tidak dikehendaki oleh Ruhullah. Ketika Ruhullah semakin banyak pendukungnya, semakin banyak kelalaian pemerintah yang menjadi sorotan, pada akhirnya membuat penguasa saat itu : Syah Iran, berminat menyingkirkan Ruhullah. Akhirnya Ruhullah diasingkan secara paksa, lewat peran polisi rahasia.

 

Pengasingan Ruhullah tidak menyurutkan pergerakan menentang status quo.Bahkan malah jadi perkara. Mulai bermunculan demonstrasi agar Ruhullah dipulangkan ke Iran. Seiring krisis pemerintahan yang semakin tajam, penentangan itu semakin marak. Di kampus, mahasiswa mendiskusikan masalah pemerintahan masa depan, di kantor karyawan tidak bekerja, di pasar toko - toko tutup, orang - orang bergerombol dan berpidato menuntut pembaharuan. Tekanan ini, seperti biasa dalam teori tirani, maka dilawan oleh gerakan militer. Maka berjatuhanlah korban peluru panas. Namun anehnya, mahasiswa, ulama, dan masyarakat yang bergerak di bawah komando Ruhullah tidak melawan tindakan represif militer. Mereka malah mengajak tentara untuk desersi demi kebenaran, dengan cara memeluk dan memberikan sekuntum bunga.

"Tentara tidak perlu dilawan. Mereka adalah teman perjuangan. Ajaklah untuk berjuang bersama", demikian fatwa Ruhullah Khomeini dari pengasingan. Dan dampaknya dahsyat. Banyak sekali tentara yang berbalik arah.

 

Ada kisah lucu dari sejarah desersi tentara di Iran ini. Untuk mencegah tentara desersi, maka semua tentara digundulin. Jadi, kalo desersi akan ketahuan dan mudah diciduk. Namun mahasiswa tidak kurang akal. Mahasiswa ikutan gundul, hampir semua mahasiswa pria menggunduli kepalanya. Jadi ketika ada tentara desersi, tidak berbeda dengan mahasiswa. Para panglima dan perwira semakin bingung.

 

Eskalasi revolusi semakin tinggi. Para demonstran turun ke jalan, mengenakan kain kafan. Siap mati. Demonstrasi digerakkan dari luar negeri Iran, dimana Ruhullah diasingkan. Seakan kehabisan akal, pemerintah mulai melenyapkan satu-persatu tokoh revolusi Iran, termasuk anak lelaki Ruhullah. Dan yang paling membuat sedih Ruhullah adalah dibantainya ustadz ahli filsafat, Sayyid Murtadha Muthahhari.

 

Tuntutan agar Syah Iran meletakkan jabatan semakin kuat. Singkat cerita Syah Iran-pun harus meninggalkan Iran. Sebelum hengkang Syah Iran menunjuk dan membentuk pemerintah bayangan. Saat inilah Ruhullah baru bisa pulang, dimana setelah turun dari pesawat dan dielu-elukan disepanjang jalan, Ruhullah segera menggelar pidato. Pidatonya satu topik: Revolusi belum selesai. Dan  pemerintah bayangan ini dituntut segera untuk bubar.

 

Setelah pemerintah bayangan dengan mudah dibubarkan massa pro-revolusi, maka Ruhullah menggelar referendum. Dan tercapailah bentuk negara baru : Republik Islam Iran. Tentunya dengan adanya dewan reliji yang independen yang memonitor para pelaksana pemerintahan.

 

Ruhullah adalah manusia biasa. Di usia senja, Ruhullah sakit. Dalam keadaan terbaring lemah, Ruhullah masih sempat memberi instruksi - instruksi demi jalannya pemerintahan Republik Islam Iran. Ruhullah juga masih memaksakan untuk sholat dengan berdiri. Dengan dijaga agar tidak limbung, Ruhullah membaca Takbiratul Ihram, Iftitah, al-Fatihah, dan rangkaian doa shalat hingga Tahiyyat sebagaimana biasa. Pada adegan inilah membuat saya semakin tercekat. Sungguh besar jiwa Ruhullah, demikian bersahaja, dan hanya berpikir semua dikerjakan demi ibadahnya kepada Tuhan. Beberapa kali saya menahan nafas menyaksikan Ruhullah membaca doa sujud dengan tertatih - tatih, lemah. Seorang besar yang merasa sangat kecil di hadapan Tuhan.

 

Fisik Ruhullah semakin lemah. Setelah beberapa waktu menderita sakit, akhirnya Ruhullah menghadap sang Khaliq. Membawa duka kepada relung hati jutaan orang yang memadati jalanan dari rumah duka hingga jalanan macet dan kereta jenazah tidak bisa lewat. "Dalam keadaan jalanan seperti ini, dalam beberapa hari-pun, jenazah Ayatullah tidak akan bisa tiba ke pemakaman. Saya sudah melindas beberapa telapak kaki pelayat yang nekat memeluk mobil, tapi saya tidak mau ada korban...", demikian pengakuan sang Sopir. Sang sopir yang membawa jenazah Ruhullah akhirnya membanting setir memasuki high-way dan secara tiba - tiba jenazah ditarik naik oleh helikopter.

 

Masalah berikutnya timbul. Helikopter tidak bisa mendarat untuk menguburkan jenazah. Area pekuburan sudah penuh sesak oleh pelayat yang saling berdesakan. Gema takbir berkumandang keras dan tanpa henti diantara isak tangis. Air mata membasahi bumi Iran. Akhirnya jenazah diturunkan dengan menggunakan tambang. Tapi ini tidak menyelesaikan masalah. Jenazah diterima oleh pelayat yang segera memperebutkan kain kafan almarhum, sehingga dengan terpaksa jenazah ditarik kembali ke atas, balik ke helikopter. Setelah para keluarga, puluhan ustadz, dan tokoh - tokoh masyarakat menenangkan massa, barulah jenazah bisa dimasukkan ke liang lahat. Sungguh, entah sebulan-pun, mungkin massa akan setia mengikuti proses pemakaman ini. Massa yang berduka menyemut seperti lautan, dari ujung - ke ujung kota. Memenuhi jalanan hingga area pemakaman. Mereka berduka. Namun, Ruhullah tetaplah manusia biasa, dan pasti akan menutup usia.

 

Baru sekilas saja saya menyaksikan film ini. Saya masih berhasrat untuk menyaksikan ulang. Sungguh, film ini mengajarkan kepada kita, bagaimana berlaku sebagai manusia yang menghamba kepada sang Pencipta, yang beribadah dengan ikhlas, dan berjuang untuk Tuhan. Bila karena Tuhan, adalah yang kau ragukan ? [] haris fauzi - 13 desember 2008



salam,

haris fauzi