Sunday, November 29, 2009

kenisah : ratiban haji negeri jenaka

RATIBAN HAJI NEGERI JENAKA

"…Ismail ! Aku bermimpi. Di dalam mimpi itu engkau ku korbankan !", kata – kata ini diucapkannya dengan cepat agar tidak terdengar oleh telinganya sendiri. Setelah itu ia membisu. ('Haji' – Ali Syariati)

Saya belum menunaikan ibadah haji. Namun, rasanya hingga kini belum ada peraturan yang melarang seseorang yang belum ber-haji untuk menulis tentang ibadah yang sakral ini. Sedemikian halnya dengan beberapa halaman koran yang seringkali memuat panjang lebar tulisan ihwal sepakbola. Yang mana ternyata para penulisnya bahkan --bisa jadi-- belum pernah bermain sepak bola. Dalam kelakar, kalau diadu dengan para pengamat sepakbola itu, saya  mungkin memiliki 'jam terbang' sepakbola yang lebih tinggi karena se-masa di bangku Sekolah Dasar hampir setiap minggu saya bermain sepak bola.
Telusur punya telusur, ternyata sebagian para penulis dalam koran itu menulis ihwal sepakbola bukan berdasar pengalamannya menendang bola, namun berdasarkan pengamatan dan referensi. Oleh-mangkanya itulah kali ini saya mencoba menulis secuil tentang ibadah haji. Tentunya berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca.

Tidak. Bukan ibadah hajinya yang sebenarnya hendak saya tulis disini. Saya cuma hendak menulis tentang kegiatan ratiban. Ratiban ini kegiatan yang sering diadakan untuk melepas calon haji. Sebangsa syukuran gitu-lah. Ratiban ini tidak menjadi bagian ritual ibadah haji, hanya merupakan cuilan kegiatannya, seperti halnya kegiatan pelajaran manasik, pemondokan lokal, tes kesehatan, atau pembayaran ongkos naik haji. Hanya seperti itu. Tidak ada instruksi kewajiban yang mengikat tentang ratiban. Tidak menyelenggarakan ratiban tidak menggugurkan ibadah haji itu sendiri.

Yup. Yang jelas ada semacam kelaziman di negeri ini, bila seseorang hendak berangkat menunaikan ibadah haji biasanya menyelenggarakan ratiban. Walau tidak semua calon haji melakukan hal ini. Ratiban ini adalah pelepasan calon haji oleh keluarga dan masyarakat. Dari perspektif seperti ini bisa muncul pandangan negatif dan atau positif. Sudut negatif-nya adalah dengan menyelenggarakan ratiban, maka memang tidak bisa dipungkiri akan muncul kesan pamer, karena seperti pameran hendak naik haji.
Tapi tidak harus seperti itu. Dalam perspektif positif, ratiban adalah bermakna pelepasan, atau bahkan perpisahan. Karena memang, bila hendak ber-haji, maka anggota keluarga yang lain harus meng-ikhlas-kan mereka yang berangkat, saling menyampaikan permohonan maaf, dan saling mendoakan. Karena bisa jadi, Tuhan tidak mempertemukan mereka kembali. Tak tertutup kemungkinan mereka akan berpisah selamanya. Sang calon haji akan bersua dengan Tuhannya dan akan berpisah dengan para kerabatnya, berpisah dengan para harta bendanya, berpisah dengan para posisi dan jabatannya.

Dalam ratiban, pesan utama adalah kesiapan mental para calon haji dan para keluarga terdekatnya untuk saling meng-ikhlas-kan, memaafkan, dan mengerti kondisi masing - masing. Dalam ratiban, calon haji dituntut untuk mulai berkonsentrasi kepada ibadah haji. Seperti dalam sepak bola, ratiban ini adalah 'pemanasan' atau 'warming-up'. Latihan untuk berkonsentrasi. Dan yang harus segera dilakukan oleh para calon haji adalah mencoba sekuatnya untuk secara mutlak segera melupakan posisi, jabatan, rumah, mobil, bahkan handai tolan dan anak - anak kandungnya. Mereka menyayangi anak - anaknya, karena itu memang hak-nya sebagai orang tua. Di sisi lain,  perjalanan spiritual menuju Tuhan yang bernama 'ibadah haji' ini menuntut para calonnya untuk mengikhlaskan itu semua, sebagaimana Ibrahim meng-ikhlas-kan anak tercintanya Ismail demi Tuhan-nya.

Ringkas cerita, seperti dalam khutbah - khutbah ratiban yang sering kita dengar, maka pelajaran pertama dalam ratiban bagi para calon haji sebelum berangkat yakni 'meninggalkan yang merupakan hak dunia-nya' sebagaimana yang di contohkan nabi Ibrahim. Demi perjalanan spiritual menuju Tuhan, maka segala-nya harus ditinggalkan. Bila direnungkan, maka sungguh dahsyat pelajaran ini. Ibadah haji memang tidak bisa dilepaskan dari tauladan nabi Ibrahim. Bagaimana Ibrahim menyembelih Ismail adalah kejadian luar biasa. Ibrahim meninggalkan semuanya --termasuk anak tercintanya-- demi perintah Tuhan.

Sebagaimana ibadah puasa, dimana kita tidak diperbolehkan makan makanan yang halal tidak pula diperbolehkan tidur dengan muhrim sah, semua itu demi terjalaninya ibadah puasa. Demikian pula dengan haji. Anak, rumah, mobil, jabatan, keluarga, dan segalanya itu adalah hak dunia yang sah dari setiap orang, --bila memang mendapatkannya caranya halal. Namun itu semua harus ditinggalkan ketika sebuah perjalanan 'hijrah' bernama 'haji' akan di mulai.

Pelajaran ini di mulai ketika ratiban, dan konon makin menguat ketika pesawat yang membawa para jamaah haji mulai mendarat di gurun, dan begitu makin menguat ketika satu persatu ritual haji dilakoni. Mulai Miqat, Thawaf, Sya'i, Taqsir, Wukuf, melempar Jumrah, Qurban, hingga menjelang perpisahan --dimana filosof Iran modern Ali Syariati menyebutnya dengan konferensi ummat Islam terbesar dan ter-ajeg se-dunia--, dimana semua jamaah di seluruh dunia bisa berkumpul, bertukar - pikiran, dan mempertajam visi kesatuan ummat di acara tersebut.

Logikanya, bila seseorang telah melewati kegiatan ratiban ini, maka setidaknya dia mampu meng-ikhlas-kan hak dunia mereka. Namun di sebuah negeri jenaka logika tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di sana sudah jutaan manusia berulang kali menunaikan ibadah haji, namun boro - boro meng-ikhlas-kan hak yang dimilikinya. Beberapa dari mereka malah berlomba - lomba untuk mengeruk apa yang bukan hak-nya. Tanpa sungkan merebut hak orang miskin, menggaruk harta negara, dan merampok kekayaan bangsa.

Sebuah negeri jenaka yang menyumbangkan banyak sekali jamaah haji setiap tahunnya, bahkan mungkin termasuk yang terbanyak di bandingkan negara - negara yang ada di kulit bumi ini. Jutaan calon haji dari negeri jenaka sudah hilir mudik berangkat dan kembali, yang-mana mereka 'mengasah ilmu'  akan ihwal pesan ratiban tersebut. Namun, usai kepulangan para 'alumni padang arafah' ini, --tahun demi tahun,-- hal pelajaran dalam ratiban itu seakan menjadi bahan tertawaan sahaja. Ketika banyaknya jumlah 'alumni padang arafah' yang tiba kembali ke negeri jenaka seakan tidak kuasa membendung penyimpangan - penyimpangan yang terjadi di negerinya. Jutaan jamaah haji pergi dan pulang kembali, namun trilyunan perkara korupsi merajalela. Jutaan mulut rakus memangsa yang bukan seharusnya. Itu fakta yang terjadi.

Bisa jadi saya yang salah dalam menulis hal ini. Itu sangat mungkin. Untuk itu mohon saya dimaafkan. Namun setidaknya dengan menuliskan hal ini saya jadi teringat sepenggal syair karya Nasher Khosrow,
.....
Wahai sahabat,
sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji,
sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah.
Memang engkau telah pergi ke Makkah
untuk mengunjungi Ka'bah.
Memang engkau telah menghamburkan uang
untuk membeli kekerasan padang pasir....


[] haris fauzi - 28 nopember 2009



 


Thursday, November 19, 2009

kenisah : handsball dan aparat pengadil

Sudahlah, ini cuma sekedar tulisan iseng. Gara - gara mengikuti berita ihwal per-cicak-an, dan pagi tadi nonton sepakbola, saya jadi teringat gol 'Tangan Tuhan'. Cerita tentang Tangan Tuhan merebak ketika di Meksiko seorang pesepak-bola bernama Diego Maradona membobol gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Kejadian yang sungguh fantastis. Maradona yang pendek badannya beradu rebutan bola yang tengah melayang di atas dengan Peter Shilton, kiper Inggris yang jangkung.

Maradona --yang seharusnya hanya diperkenankan mengandalkan kepalanya-- ternyata memenangkan duel udara melawan kiper yang jelas - jelas lihai menggunakan kedua tangannya. Hasil yang ajaib. Lha wong berdiri saja Maradona kalah tinggi, kok ini si Peter Shilton menggunakan tangannya diangkat. Tapi kenyataannya Maradona unggul dan mampu mencetak gol. Dan gol itu di-sah-kan oleh wasit.

Jaman dulu memang belum ada teknologi video yang super canggih sehingga bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apakah bola itu menyentuh tangan, ataukah menyentuh udel-nya. Maka, sah - sah saja kalo gol kontroversial itu disetujui wasit. Walau beberapa tahun kemudian setelah teknologi semakin maju, maka beberapa pengamat sepak bola yang super penasaran --setelah menyaksikan rekamannya-- terbersit rasa yakin bahwa Maradona menggunakan tangannya di kejadian Meksiko yang kemudian kondang dengan "Tangan Tuhan' itu. Yo wis, wong wis kadhung.

Pagi tadi, ada kejadian serupa. Ketika tim sepak bola piala dunia Perancis ketinggalan satu gol melawan Irlandia. Konon ini pertandingan hidup - mati menuju Piala Dunia kelak, surga-nya para pesepak-bola. Kalo kalah ya monggo lengser sahaja.

Cerita singkatnya, Irlandia unggul satu gol hingga pertandingan memasuki babak perpanjangan. Tentunya ini membuat skuad 'mantan juara dunia' Perancis kelabakan. Hingga memasuki menit ke seratus tiga - Perancis mendapat hadiah tendangan bebas dari lapangan tengah. Kaki di ayun dengan kuat. Tak ayal bola terbang melambung memasuki kotak pinalti Irlandia. Tidak sempat menyentuh tanah --seingat saya--, bola segera disundul menuju pinggir mengancam gawang Irlandia. Thierry Henry --striker gaek Perancis-- mencoba mengejar bola, namun rasanya bola terlalu laju hingga bisa jadi bakal terbuang ke samping kanan gawang. Naluri Henry bertindak, cepat dipalangkannya tangannya supaya bola itu tidak nyelonong keluar, dan setelah itu Henry bersicepat mengumpankan bola itu ke tengah muka gawang yang lantas di sambut kawannya, Si Gallas. Gallas memang trengginas.Terjadilah gol.

Berkat gol di babak perpanjangan yang mencekam ini, Irlandia terjungkal dari babak 'play-off' gila-gilaan ini.

Saya menyaksikan pertandingan tersebut di layar televisi sambil menyiapkan sereal bakal sarapan anak. Sekilas menonton, kontan saya menduga terjadi handsball. Hanya menduga. Pun pula sempat terdengar Sang Komentator terpekik,"..handsball...". Dan begitu tayangan ulang --lewat gerakan lambat-- kembali Sang Komentator terpekik,"..clear handsball...".

Tentu saja --tayangan berikutnya adalah tanpa bisa dibendung beberapa pemain Irlandia memrotes keras terjadinya gol yang sulapan ini. Siapa pula yang mau kebobolan dengan cara yang nggak ada enak - enaknya sama sekali seperti itu. Huh. Apalagi --dari televisi nampak jelas, bahwa tangan Henry menyentuh bola, mirip pemain voli.

Protes para pemain Irlandia terbentur karang. Aparat keadilan -- sang juri dan sang hakim-- tetap bersikukuh bahwa gol itu benar sah adanya. Untungnya tidak terjadi tawuran.

Versi saya, versi pemain Irlandia, dan versi komentator rupanya berbeda drastis dengan versi pengadil. Wasit dan hakim garis yang bertugas sebagai aparat penegak keadilan ini berpendapat dengan kukuh gagah perkasa bahwa gol tersebut sah. Tidak terjadi handsball. Mungkin sedang berkedip sehingga hal itu tidak nampak. Okelah, apapun alasan bisa saja dibuat, toh tidak perlu kulak. Hingga pagi hari di berita - berita dalam jaringan internet hampir semua memberitakan ihwal 'handsball' yang menjadi Tangan Tuhan versi Thierry Henry ini.

Tentang sepakbola, ada aktor yang berlaga saling serang seperti dua pesaing. Dan tentunya dengan Wasit dan hakim garis yang berfungsi sebagai penengah, aparat keadilan. Hal ini seperti terdapat dalam berbagai pertandingan, bisa pertandingan tinju, bisa pertandingan karambol, bisa juga pertandingan bocah, bisa juga politik, atau apapun. Bisa juga pertandingan adu jangkrik, atau adu binatang ternak, ataupun perseteruan binatang melata. Bila itu semua adalah konfrontasi, maka bisa jadi itu adalah pertandingan. Dan pertandingan sejatinya menuntut adanya sportivitas. Baik sportivitas yang bertanding, juga sportivitas aparat pengadil. Bahkan juga sportivitas penonton dan para penjual asongan yang sering kita jumpai di dekat stadion sepak bola. Mengapa pihak aparat pengadil harus ikutan sportif ? Ya. mereka juga mutlak menjunjung sportivitas karena bila di satu fihak yang bertanding berbuat curang, tentunya aparat keadilan inilah yang 'membereskan'. Begitulah teorinya.

Ya. Itu semua adalah teori tentang sportivitas. Alangkah gampangnya ngomong ihwal sportivitas. Dalam prakteknya, ternyata sulit. Seringkali dalam sebuah pertandingan kita jumpai ada pihak yang berbuat curang. Dan kejadiannya makin jadi tidak menentu ketika aparat pengadil ternyata malah berpihak dan secara sengaja melindungi yang salah. Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika seluruh penonton, pemerhati, dan berita - berita yang beredar semua ber-opini tentang pihak yang salah, namun, aparat keadilan ini tetap saja bersikukuh membela yang salah. Bahkan aparat pengadil ini bisa saja membela dengan sumpah segala. Sumpah di tengah sumpah-serapah orang lain yang geregetan. Bila memang hal seperti itu terjadi, maka, siapakah yang salah ? [] haris fauzi - 19 november 2009

Wednesday, November 18, 2009

kenisah : hati yang bersih

HATI YANG BERSIH

"... orang - orang datang kepada Tuhan dengan hati yang selamat (bersih) ". (QS 26:89)

Kitab suci mencatat bahwa orang - orang yang datang kepada Tuhan adalah orang yang memiliki hati yang bersih. Maksud dari 'orang yang datang kepada Tuhan' bisa didefinisikan sebagai orang - orang yang 'selamat' dari problematika dunia semasa hidupnya, yang mampu mengurai dan memilah segala persoalan hidup sehingga mampu menemukan jalan yang benar dan lurus menuju Tuhan.

Dalam menjalani roda hidup, dalam memandang persoalan - persoalan yang ada tak jarang kita dihadapkan pada ihwal yang sulit, tak nampak, atau bahkan kelam. Persoalan - persoalan yang kusut masai, yang menumpuk laksana kabut pekat nan membutakan. Yang demikian sulit ditembus oleh indera mata sehingga kita tidak tau apa lagi yang harus dikerjakan, tak tau lagi hendak berjalan kemana.

Hal ini mungkin saja terjadi karena kita tidak mampu memandang dengan jernih persoalan dan fenomena - fenomena yang terjadi. Ada semacam tabir yang tidak tembus pandang, yang menghalangi pengelihatan sehingga kita kesulitan menemukan ujung-pangkalnya.

Percaya atau tidak, sebagian orang 'sepuh' menggunakan 'mata-hati' untuk 'melihat'. Konon, mata-hati ini akan jelas melihat bila hati-nya bersih. Saya jadi ingat obrolan dengan mendiang Ayahanda. Pada suatu hari Ayahanda pernah berkata:" Hati yang bersih membuat seseorang bisa melihat dengan jelas". Begitu kurang lebih pendapatnya.

Muhammad Sang Rasul adalah contoh manusia yang demikian bersih hatinya. Konon hati-nya pernah dicuci oleh malaikat dengan air surga sehingga bersih dari segala kotoran termasuk debu dengki. Dengan hati yang bersih, Muhammad mampu dengan optimal menggunakan mata-hatinya, mampu melihat hal - hal yang tidak terlihat oleh orang biasa. Mata hati yang benar - benar luar biasa.

Seorang teman pernah bertanya tentang bagaimana membedakan antara pengemis tulen dengan pengemis gadungan, yang bila diperempatan jalan nampaknya sama saja belel penampilannya. Saya tidak punya pendapat selain menyarankan untuk menggunakan 'mata-hati'-nya. Bila memang masih kesulitan, maka 'jendela-hati'-nya harus dibersihkan dahulu.

Lantas, menurut cendekia muslim Jalaluddin Rakhmat, kotoran hati yang umum terjadi adalah rasa dengki. Dengki akan segala hal, sehingga memudarkan rasa persaudaraan dan memupuk dendam permusuhan. Kedengkian ini tak bisa disepelekan karena begitu kotornya sehingga apabila seseorang mampu berdiri di setiap tengah malam untuk sholat, belumlah tentu dia mampu menghapuskan rasa dengki dihatinya.

Konon, di jaman Rasulullah Muhammad ada sepenggal cerita tentang seseorang yang demikian 'ordinary people'. Begitu biasa. Kehidupan orang itu biasa. Hartanya juga biasa saja. Dan ibadahnya juga biasa - biasa saja. Namun, yang membuat orang ini luar biasa adalah gelarnya. Orang ini digelari 'Si Penghuni Surga', dan gelar itu disematkan oleh Rasulullah sendiri. Keruan saja para sahabat menjadi penasaran, apakah istimewanya orang ini sehingga mendapat gelar terhormat tersebut. Tentulah gelar ini menunjukkan kedudukan yang tinggi. Siapakah yang tidak ingin mendampingi Muhammad di surga kelak ?. Tak seorang sahabatpun yang menolak posisi ini.

Telusur punya telusur ternyata memang Si Penghuni Surga itu tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali satu hal. Dia memiliki hati yang bersih yang tidak ternoda rasa dengki barang setitik. [] haris fauzi - 18 Nopember 2009

terinspirasi dari artikel di buku 'Renungan Sufistik' karya Jalaluddin Rakhmat




Monday, November 16, 2009

kenisah : catatan tentang warung

CATATAN TENTANG WARUNG

Bisa jadi cuma di hari libur saya punya kesempatan rutin mendorong kereta Dea, --yang sekarang berumur 7 bulan,-- kelilingan kampung. Di hari Minggu biasanya dua kakak-nya ikutan mengiring sambil mengayuh sepeda dan berisik membunyikan lonceng sepeda masing – masing. Si Sulung rupanya cukup punya 'kharisma' di kalangan teman - temannya. Ketika sedang bermain sepeda, maka dia cukup memanggil – manggil anak tetangga, maka tanpa perlu repot – repot beberapa temannya berbondong – bondong memenuhi ajakan Si Sulung ikutan bermain sepeda. Jadilah karnaval pagi, dan kebanyakan belum pada mandi termasuk saya. Sementara bila tidak repot membersihkan rumah, Istri saya juga ikutan. Sedikit berbeda di hari Sabtu, karena Si Sulung harus masuk sekolah, maka tidak sehingar – bingar hari Minggu.

Seperti biasa, dialun goyang roda kereta dorong yang bergetar ritmis melewati jalanan konblok, Dea terkantuk – kantuk. Apalagi hawa memang segar karena hampir setiap hari hujan turun di waktu sore. Tak pelak, udara pagi cukup sejuk. Dingin malah. Kadang saya berhenti di suatu tempat agar Dea mendapat terpaan cahaya mentari. Kadangpula berhenti di bawah pohon besar karena beragam burung beradu kicau di atas dahan. Dan kadangpula saya berhenti karena bersua dengan para tetangga dan kenalan. Saya menyempatkan mengobrol se-asik – asiknya. Mereka toh juga lagi bersantai juga, walau mereka tak sambil mendorong – dorong kereta orok. Beberapa mereka sebenernya juga memiliki anak yang seusia dengan Dea, atau Si Sulung Salma, atau Si Tengah Norma. Namun kebanyakan mereka memercayakan kepada pengasuh.

Dua hari itu saya menempuh rute yang sama, melintas taman, menuju pos satpam, dan hendak berputar di pangkalan ojek. Bolak - balik beberapa kali. Di pos satpam bersapaan dengan Satpam, di pos ojek ngobrol dengan tukang ojek. Di seberang nampak jelas ada rumah yang tengah direnovasi cukup dahsyat. Kayu bekisting berjajar seperti prajurit romawi kuno yang hendak maju bertempur. Rapi, seragam, sebangun, rapat. Bisa jadi sudah sebulan rumah itu direnovasi. Saya ingat, di ujung rumah itu, dulu adalah tempat jualan bakso. Ada kedai atau warung bakso namanya 'bakso Pak Eko'. Mungkin sudah sekitar lima tahun –bahkan lebih—kedai itu selalu berkibar di malam hari, menawarkan bakso panasnya.

Entah, kemana beliau berjualan sekarang. Menurut Pak Ucok, tukang ojek yang biasa mangkal, Pak Eko memang sudah tidak tinggal disitu lagi, karena yang punya rumah sudah ganti. Pak Eko yang sudah sekian tahun berjualan itu sekarang raib. Dia tidak lagi berjualan di pojok rumah yang memang semula tak berpenghuni itu. Pak Eko cuma menggunakan se-pojok pekarangannya sahaja, dan dia harus 'legowo' ketika rumah itu berganti pemilik. Karena pemilik yang baru ingin merombak keseluruhan rumahnya, mangkanya warung Pak Eko harus direlokasi.

Pak Eko pastilah –entah dimana kini-- berjuang kembali untuk mendapatkan pelanggan, yang bagaimanapun, waktu sekian tahun sudah berjalan dengan beberapa pelanggan tetapnya. Pelanggan yang –walau tidak banyak—setia mengunjungi warungnya, untuk mendapatkan bakso jualannya.


Menurut lidah saya, bakso yang ditawarkan di warung pak Eko tidaklah terlalu istimewa. Lebih lima tahun beliau berjualan, saya tidak rutin membeli barang sekali dalam setiap minggu. Walaupun tidak istimewa dari segi rasa, namun rasa bakso racikan Pak Eko tersebut tidaklah mengecewakan, sedang –sedang saja rasanya. Harganya-pun cukup bersahabat, kisaran lima ribu rupiah seporsinya. Pembeli yang datang tidak berjubel, tidak pula kosong melompong. Namun selalu ada setiap kami sambang kesana.

Yang saya catat dalam benak, Pak Eko memang konsisten membuka warungnya. Kita tidak perlu was – was khawatir Pak Eko tidak berjualan. Pak Eko selalu membuka warungnya setiap malam. Masuknya saat maghrib setiap menjelang malam, seakan menjadi kepastian Pak Eko menyalakan lampu warungnya. Bila bukan dari segi rasa, maka inilah kelebihan warung Pak Eko. Ketika saya membutuhkan, warung baksonya selalu kedapatan tengah buka. Cahaya lampu warungnya membuat kami lega, yang berarti kami nggak perlu cari makanan di warung atau kedai yang lain. Dalam keadaan seperti ini, soal selera rasa jadi nomer dua.

Rupanya Dea sudah terlelap di kereta, ketika saya tengah asik ngobrol soal warung. Segera pamit kepada para tukang ojek, hendak melanjutkan mendorong kereta lagi. Sebelum jauh melangkah, seorang tukang ojek sempat berkomentar,"…. Pak,..yang punya rumah itu kabarnya hendak berjualan bakso juga. Kebetulan juga namanya sama, pak Eko juga…". Saya terhenyak. Dalam hati terlintas pikiran bahwa betapa beruntungnya pemilik rumah itu, karena mendapatkan 'trade-mark' positif dari tukang bakso yang dulu mangkal di pojok rumahnya. Yang kini entah dimana harus memulai segalanya dari awal. [] haris fauzi – 16 Nopember 2009



salam,

haris fauzi

Wednesday, November 04, 2009

kenisah : negeri prahara

NEGERI PRAHARA

Dalam kitab suci terdapat beberapa kisah ihwal hancurnya sebuah negeri. Negeri yang menyimpang dari ajaran Tuhan sehingga dikutuk oleh Tuhan, dilaknat dengan petaka mematikan sehingga membuat semuanya hancur lebur. Setelah musnah punah segalanya, Tuhan menggantikan dengan kelompok masyarakat yang lain.

Namun tidak hanya itu, sebuah negeri bisa saja menjadi ladang petaka ketika sekelompok manusia dari negeri lain melabraknya. Bagaimana di benua Eropa pra-peradaban demikian intens terjadi saling caplok kekuasaan antar bangsa nomaden. Peristiwa yang tak terlalu berbeda juga pernah terjadi ketika suku nomaden mongol di bawah komando Hulagu Khan menggusur peradaban Irak dinasti Abasyah yang digdaya selama kurang lebih empat ratus tahun semenjak tahun 800-an.

Intervensi bangsa asing kepada sebuah negeri memang bisa menimbulkan berbagai dampak, termasuk prahara. Istilah orang adalah 'penjajahan', 'penguasaan', 'kolonialisme', 'pendudukan', 'invasi', dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sejarah mencatat penaklukan seperti ini memang bisa memporak-porandakan sebuah bangsa atau negeri. Setidaknya tak bisa dilupakan fakta kejadian Perang Dunia bagaimana bangsa Jerman setidaknya dua kali mengobrak - abrik Eropa sehingga bangsa - bangsa di Eropa menderita nestapa berkepanjangan. Perang Pasifik juga berceritera tak terlalu berbeda ketika Jepang dengan membabi - buta hendak menaklukkan Asia sehingga menyisakan derita yang demikian mendalam kepada penduduk dari negeri yang hendak ditaklukkannya. Mungkin dampaknya masih terasa hingga kini.

Perang fisik dan perang dagang mungkin tak jauh bedanya. Jaman modern, dengan pasar ekonomi yang terbuka membuat ranah ekonomi dan peran politis menjadi ladang baru perwujudan penaklukan. Sebuah negeri bisa saja menjadi korban penaklukan bangsa lain dari medan ekonomi dan politis. Yang jelas, model penaklukan seperti ini tak bisa dipungkiri juga bisa mengakibatkan sebuah negeri dilanda prahara. Apalah artinya kemerdekaan sebuah negeri bila perekonomiannya diatur oleh bangsa lain ?

Antara Tuhan dan penaklukan tidak terpisah begitu saja. Dalam kisah kitab suci, Tuhan tidak mengirimkan kutukan dan laknat-Nya bila memang tidak ada sebabnya. Tuhan tidak gegabah menghancurkan sebuah negeri, kecuali negeri tersebut memang bermasalah dengan hukum - hukum Tuhan. Kisah kitab suci selalu menceritakan ihwal pelanggaran hukum Tuhan sehingga sebuah negeri dilaknat oleh-Nya.

Penaklukan-pun demikian. Sebuah negeri, sebuah bangsa yang kuat tentu tidak mudah untuk ditaklukkan. Seperti pendapat Ayatullah Khomeini, bahwa penjajahan merupakan dosa besar, namun jiwa yang mau dijajah adalah dosa yang lebih besar. Sebab terbesar terjadinya penaklukan bisa jadi berasal dari dalam negeri itu sendiri ketika tidak kuasa menolak invasi, ketika tidak memiliki keberanian untuk melawan kolonialisme yang mengancam negerinya.

Antara laknat Tuhan dan penaklukan, maka kondisi internal-lah yang bisa memicu laknat Tuhan, dan juga berkontribusi kepada terjadinya penjajahan. Mungkin singkat cerita seperti itu.

Namun, di luar faktor Tuhan dan penaklukan asing, bisa jadi sebuah negeri menjadi penuh prahara bila kondisi di dalam negeri itu sendiri penuh masalah. Ketidak adanya kepercayaan antara sesama penyelenggara negara, ketidak-percayaan rakyat kepada para pemimpin, bisa jadi menjadi faktor dominan terpicunya prahara sebuah negeri. Kondisi seperti ini biasanya timbul dari kasus ketika tidak adanya kejelasan mana yang benar dan mana yang salah. Terjadi kesimpang-siuran tentang kebenaran publik. Hukum terombang - ambing yang membuat setiap orang bebas menafsirkan kebenaran menurut kepentingan masing - masing, dan lantas memanfaatkan kondisi semrawut ini. Di tataran rakyat kecil, preman berkeliaran di jalanan mengancam penduduk sipil, sementara di kalangan penguasa telah terbiasa melecehkan dan memelintir hukum demi ketamakan pribadi.

Bila sebuah negeri dihuni oleh penguasa - penguasa yang rakus dan tamak, bisa jadi laksana rumah yang digerogoti gerombolan rayap ganas. Kekayaan milik bangsa berupa sumber daya alam yang dengan mudah digadaikan, kas negara yang ditilep secara 'gotong-royong', korupsi yang merajalela bisa membuat sebuah negara bangkrut, sehingga mempersulit kondisi ekonomi. Dan setelah negeri itu tidak memiliki apapun, maka rakyat-lah yang menderita tercekik resesi ekonomi.

Tak bisa dilupakan juga, bagaimana carut - marutnya sebuah negeri bila dikalangan tokoh masyarakat berlomba - lomba memenuhi hawa nafsunya akan kekuasaan dan jabatan. Ambisi hendak menjadi raja, presiden, adipati, menteri, panglima atau apalah ihwal jabatan yang memegang komando kuasa tinggi. Setidaknya kita bisa belajar dari petaka yang timbul di kerajaan Singhasari, sebuah kerajaan besar nan berwibawa, dengan raja yang terpandang bernama Maharaja Kertanegara. Namun dibalik segala kebesarannya, ternyata kerajaan itu menyimpan percik petaka yang sewaktu - waktu bisa membara laksana neraka. Pemicu itu bernama ambisi akan kekuasaan. Para penyelenggara pemerintahan begitu terobsesi akan kekuasaan, sehingga di akhir - akhir masa kerajaan Singhasari timbul begitu banyak konflik perebutan kekuasaan, perpecahan pemerintahan, dan dendam antar dinasti, sehingga membuat Kertanegara sendiri terjungkal, dan mati berkalang tanah. Itu semua karena sebab perebutan kekuasaan.

Sebuah negeri juga potensial dilanda prahara ketika kaum mudanya lemah. Sebuah negara sejatinya harus ditopang oleh generasi muda yang kuat, pintar, bertaqwa, dan memiliki semangat juang yang tinggi. Tokoh seperti Ir. Soekarno pernah berujar," Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku bakar dunia dengan revolusi". Artinya apa ? Sepuluh pemuda ideal bisa merubah wajah dunia. Begitu dahsyat peran generasi muda, sehingga tak heran apabila bangsa seperti Amerika-pun begitu khawatir bila generasi mudanya tercemar narkotika.

Peran generasi muda selain sebagai agen intelektual --seperti fitrahnya anak muda yang selalu berpikiran maju-- juga sebagai kekuatan untuk mengadakan perubahan. Revolusi ada di tangan pemuda, kata Soekarno. Psikologis yang taktis dan idealisme yang tinggi ada pada jiwa kaum muda, dan ini bekal untuk menjaga ibu pertiwi. Maka tak heran bila tokoh revolusi Iran Ali Syariati senantiasa menggerakkan mahasiswa untuk menggelindingkan roda revolusi lebih cepat.

Apabila hukum Tuhan sudah dilanggar, apabila bangsa lain sudah menguasai urat jantung negeri, apabila keserakahan pengusa merajalela, apabila negeri carut - marut oleh perebutan kuasa dan jabatan, dan apabila generasi muda tidak berdaya, apalah arti sebuah negeri prahara ? [] haris fauzi - 3 nopember 2009

----------

untuk ulang tahun adik bungsu, MAR

salam,

haris fauzi

single baru Fariz RM cs

Just share,

single baru hasil kerja bareng para musisi beken tanah air :

Fariz RM

Once Dewa

Kadri Jimmo KJP

Efek Rumah Kaca

Netral

judulnya : "KPK di Dadaku"

bisa di donlot gratis di :

http://www.kapanlagi.com/download_lagu_kpk_di_dadaku.html


salam,

haris fauzi

Tuesday, November 03, 2009

GENERASI MUDA, FUSION dan KARIMATA

Fusion adalah nama yang terlanjur disematkan kepada salah satu genre dari musik jazz yang mulai merebak di era tahun tujuh puluhan. Salah satu pelopornya adalah Miles Davis. Sementara hingga kini tercatat tak kurang dari David Benoit, Lee Ritenour, SpyroGyra, Mezzoforte, FourPlay adalah beberapa bintang jawaranya. Fusion memiliki format yang menguntungkan, karena dia adalah percabangan dari mainstream jazz yang bersentuhan dengan dua hal, irama pop dan kemajuan teknologi instrumen. Oleh karena inilah fusion segera mendunia karena blantika pop terus berkembang, dan pula, alat musik mengiringi tren kemajuan teknologi. Dalam format fusion, jazz menjelma menjadi easylistening sekaligus ‘canggih’.

Menurut pengamat musik Surjorimba Suroto, memperbincangkan musik itu bisa tiga hal: apresiasi, pernyataan sikap, dan atau ungkapan hati. Sementara dalam teori komunikasi, karya itu serupa dua sisi, sisi pertama sebagai cermin kondisi sosial, sementara sisi yang lain adalah sebagai agen propaganda. Inilah mengapa musik bisa ditinjau secara terkait dengan kehidupan sekitar, dalam beberapa dimensi kehidupan manusia baik kaya – miskin, tua – muda, atau dari perspektif yang lain.

Semesta musik sejauh ini lebih sering dikupas dalam paradigma kaum muda. Seakan kaum muda lebih dominan dalam berkiprah di semesta musik, setidaknya demikianlah wujud musik dalam penjelmaan usia. Bahkan ketika ‘orang tua’ berbicara tentang musik, mereka seakan tak bisa menghindar untuk memperbincangkan musik – musik yang berkeliaran di masa muda mereka. Dan bila memang demikian, musik apa sajakah yang di-apresiasi dan menjadi pernyataan sikap kaum muda ?
Jawabnya paling gampang adalah musik pop yang bertebaran di mana – mana. Pop benar – benar popular di kalangan muda, orang tua, dan bocah sekaligus. Mungkin sejauh ini, genre yang melekat sebagai identitas kaum muda adalah musik rock dan heavy metal. Musik yang menyentak keras adrenalin ini memang sangat kongruen dengan pola bangun psikologis anak muda yang menuntut petualangan, menabrak hukum, bentuk idealisme, dan pencarian jati diri. Atau bila ada alternatif lain untuk anak muda, maka bisa jadi musik disko menjadi tawaran. Rap, disko, dan house music cukup identik dengan kerlip diskotik dan pergaulan anak muda.

Bila kita mengingat, era delapan puluhan pernah juga kaum muda dilanda demam fusion. Seiring pasang naik musik pop, di tengah kencang genderang musik rock, genre fusion ikut berpacu merebak di dunia, dan berdampak hingga ke tanah air. Generasi remaja Indonesia-pun merespon degup indah ritmis fusion. Salah satu sebabnya adalah musik fusion memiliki ciri mengikuti tren teknologi, sehingga mampu menjadi kesatuan dengan jiwa muda yang mengedepankan teknologi sebagai mode. Kaum muda tak canggung untuk mengapresiasi musik fusion dan bahkan tak sungkan memproklamasikan fusion sebagai ikon mereka.

Deru kencang genre fusion di tanah air tak bisa dilepaskan dari kiprah kelompok ‘Karimata’. Karimata cukup stabil mengawal fusion di Indonesia. Dengan sesekali sentuhan etnik, karya – karya Karimata mencoba menembus dominasi musik rock menyapa telinga kaum muda. Dan Karimata berhasil. Dari lima album yang diluncurkan, setidaknya ada tiga album Karimata yang menjulang menjadi ikon generasi muda kala itu. Racikan bermusik Karimata di album perdana, ‘Pasti’ (1985), sungguh berhasil membuat kaum muda kepincut. Walau tak bisa dipungkiri begitu saja persinggungannya dengan genre musik pop Indonesia dengan mengetengahkan vokalis kaliber festival jelas – jelas mengangkat performa album ‘Pasti’. Perlu diingat persinggungan ini tidaklah seperti apa yang dilakukan oleh Yovie & the Nuno di tahun dua ribuan ini. Yovie & the Nuno lebih intens bermain di blantika pop, sementara Karimata lebih mengedepankan porsi fusion.

Karimata merilis album kedua tahun 1987, berjudul ‘Lima’. Album ini semakin mengukuhkan posisi fusion di tahta terhormat blantika musik anak muda Indonesia. Salah satunya karena prestasi lagu instrumentalia ‘Lima’ yang menjadi demikian populer. Tentunya fakta ini menjadi jawaban pasti, bahwa generasi muda kala itu cukup antusias merespon genre ini.
Kiprah Karimata dilanjutkan dengan merilis album ketiga ‘Biting’ di tahun 1989. Album ini cukup berkilau namun tidak sepopuler ‘Lima’. Salah satunya karena suasana pasar musik nusantara sudah kurang kondusif untuk genre fusion. Musik pop mulai mengalami kejenuhan, dan kawula muda melirik mainan baru, musik digital dan disko. Serbuan musik digital ini cukup dahsyat seperti halnya play-station yang demikian populer. Bahkan di percaturan musik dunia, musik digital berhasil meng-influensi genre rock dan jazz. Pada akhirnya terdapat paradigma bahwa perangkat digital adalah definisi fisik perangkat itu sendiri, sebagai elemen yang merekayasa musik dan bisa berdiri di genre musik apapun. Di kubu musik joget, diskotik juga merebak deras merespon pasar muda yang gandrung joget diiringi musik disc-jockey.

Para pendekar fusion bukannya tidak berasimilasi dengan kemajuan ini. Cukup banyak yang 'survive' terutama dengan pendekatan terhadap akselerasi pesat perangkat digital, namun kasus di Indonesia agak spesifik. Pasar di tanah air punya sikap latah sehingga banyak duplikasi lagu yang laku pasar sehingga membuat pekat dan terjadi semacam kebablasan. Hukum pasar yang seakan memaksakan dengan memopulerkan musik yang laku akhirnya melatahkan para pemusik dengan membuat karya – karya yang seragam. Dan hasilnya, pasar musik nasional yang pekat dan jenuh. Kondisi ini berkontribusi terhadap arah pergeseran ‘selera’ generasi muda. Bagaimana duplikasi lagu disko dangdut, misalnya, demikian merajalela diekspos besar – besaran sebagai komoditi yang menggiurkan produser pada ujungnya membuat kawula muda seakan kehilangan alternatif pilihan musik yang hendak mereka apresiasi.

Di tahun 1990, dimana kondisi semakin kurang berpihak kepada genre fusion, Karimata merilis album ‘self tittle’ bersama Dave Valentin. Setahun kemudian Karimata merilis album kelima berjudul ‘JEZZ’. Di dua album ini Karimata menyajikan musik yang 'mature', musik dewasa yang seakan menjadi salam perpisahan kepada generasi muda. Generasi muda Indonesia khususnya, karena album --terutama 'JEZZ'-- yang berkonsep 'mature' ini bermaksud go-internasional dengan kartu truf menggandeng musisi ternama seperti Lee Ritenour dan vokalis Phil Perry.
Tahun 90-an menjadi titik awal bagaimana di tengah bahana musik rock yang masih kencang, di tengah menjamurnya musik disko dangdut, generasi muda tanah air mulai merespon bentuk musik alternatif pop romantis. Dan Karimata bersama fusion-nya bergerak ke pinggir mengikuti usia pendengarnya yang juga menua setelah hampir satu dekade menjadi idola kawula muda.

Album 'JEZZ' bisa jadi menjadi penutup karir kilau Karimata di dunia musik. Namun setidaknya dalam rentang waktu itu album – album Karimata bisa menjadi salah satu bukti bahwa generasi muda pernah meng-akrab-i, mengapresiasi, dan menyatakan bahwa musik fusion menjadi musik generasi muda. Fusion pernah mencengkeram kuat dalam kehidupan mereka. Dan mungkin akan terulang entah pada generasi kapan. [] haris fauzi