Thursday, September 27, 2007

kenisah : kenapa gambaran sufi selalu tersaruk - saruk


KENAPA GAMBARAN SUFI SELALU TERSARUK - SARUK

Dalam beberapa perbincangan, diskusi, dan referensi, kebanyakan menyatakan bahwa perjalanan spiritual selalu identik dengan pengembara yang tersaruk - saruk dengan terompah butut, baju lusuh. Mereka menyebutnya dengan sufi. Bahkan ada yang menggambarkan dengan seseorang yang berjalan jauh sambil mengangkat tangan memohon sedekah. Seorang 'spiritual traveller' sering disebut dengan 'sufi', dan sufi adalah meninggalkan materi, trus ya mengembara seperti itu. Bahkan ada yang menggambarkan sedemikian gembel. Itu yang banyak saya dengar dan baca. Terus terang bagi saya, rasanya ada yang kurang tepat disini.

Memang uraian di atas tidak bisa disalahkan begitu saja. Paling tidak tergantung tokoh perjalanan spiritual yang sedang dibahas. Soalnya bisa jadi memang ada tokoh 'spiritual traveller' yang seperti itu, tetapi banyak juga yang tidak separah itu. Rentetan tokoh - tokoh seperti Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Ayatullah Khomeini, Mahmoud Ahmadinejad, Amien Rais, bagi saya mereka semua adalah seorang 'spiritual traveller', pengembara spiritual. Tapi mereka tidaklah kere - kere amat. Mereka tidak tersaruk dan meminta - minta. Mereka tidak gembel. Tetapi tetap saja mereka adalah seorang penempuh kegiatan spiritual, mereka tetap saja sah menyandang gelar sufi. Namun bukan sufi yang tersaruk - saruk.

Muhammad sebagai Rasul Akbar, tidak kaya. Dia memang tidur beralas tikar. Tapi Muhammad bekerja dan berkarya untuk menafkahi keluarganya, dia tidak menjadi peminta - minta mengharap sedekah. Bahkan Muhammad ini biangnya ber-sedekah karena dia memang seorang yang demikian dermawan. Nabi lain adapula yang sedemikian kaya dan berkuasa, contohnya Nabi Sulaiman yang menjadi raja di - raja gung liwang - liwung itu. Apakah dia bukan seorang 'spiritual traveller' ? Mungkin anda salah bila tidak menyertakan nama dia sebagai seorang 'spiritual traveller'.

Ali bin Abi Thalib memang seorang yang hebat dalam menahan penderitaan. Seperti sepupu dan tauladannya; Muhammad;-, dia-pun hidup sangat sederhana, padahal dia adalah khalifah besar dan cendekia yang pintarnya minta ampun. Kepintaran ini diakui oleh siapapun. Kalau memang dia pingin bergelimang harta, tentunya modal kepintarannya saja sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan keinginannya terhadap materi itu. Tapi Ali membebaskan diri dari kungkungan materi. 'Kilau harta - benda melemahkan perjuanganku', demikian kilahnya. Sogokan harta tak pernah digubrisnya. Ali juga seorang pejalan spiritual yang sedemikian sukses bahkan diacungi jempol oleh Muhammad,... tetapi dia tidak jadi pengemis. Dia hidup cukup bersama istrinya --yang anaknya Muhammad--, dan anak - anaknya. Anaknya tidak terlantar dan menjadi pejuang tangguh, walau mungkin tidak sepintar bapaknya.

Khalifah besar sebelum Ali bin Abi Thalib masing - masing adalah Abubakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Abubakar dan Umar idem dito dengan Ali, hidup sangat sederhana, menolak segala sogokan, namun tidak pernah tersaruk - saruk meminta belas kasihan. Bajunya memang tidak gemerlap, tetapi bersih dan terpelihara. Mereka bukan gembel. Mereka adalah pejuang dan pimpinan yang elegan.

Hanya Utsman 'Si Pemalu' yang lebih mentereng hidupnya. Dia adalah pengusaha yang sukses. Tetapi mereka kesemuanya adalah pejalan spiritual, setidaknya menurut saya. Utsman memang pengusaha sukses, tetapi hampir seluruh kekayaannya dihibahkan kepada badan dakwah Islam. Dia sendiri hidup seadanya. Tanpa istana.
Dalam kasus Utsman jelas sekali bahwa Tuhan memang tidak pernah melanggar janji-Nya,"Apabila kau berikan satu kepada-Ku, maka akan Ku balas berlipat - lipat hartamu yang kau berikan itu...". Utsman selalu dilimpahi harta berlebih - lebih. Dan, lagi - lagi, Utsman menyumbangkan dan menyumbangkan lagi. Begitu terus - menerus perlombaan antara Tuhan dengan ummat pilihan-Nya yang bernama Utsman bin Affan ini.

Ayatullah Khomeini memang hanya selalu sarapan sepotong roti tawar dan kadangkala diimbuhi sebutir jeruk. Khomeini menjahit sendiri bajunya yang robek, katanya sih mencontoh nabi Muhammad. Ahmadinejad setali tiga uang memuja Khomeini. Dia punya dua pasang sepatu butut dan mobil tua yang tak kunjung di-'remaja'-kan hingga dia menjadi presiden sekalipun. Amien Rais sering mengenakan sarung berkaos oblong plus sandal jepit ban radialnya dan pergi jalan kaki ke warung untuk membeli gula, teh, kerupuk, tempe, atau garam permintaan istrinya yang terlalu sibuk mengurus warung nasi. Seperti Ahmadinejad, Amien Rais yang menjadi sesepuh Muhammadiyah ini rasanya juga meneladani Khomeini.

Khomeini, Ahmadinejad, Amien. ketiganya tidak kaya. Tidak kaya bukan berarti musti gembel. Tetapi saripati seorang 'spiritual traveller' tidaklah disitu sebenarnya. Laksana sebuah perjalanan panjang, hidup ini adalah permulaan bagi perjalanan berikutnya yakni kematian dan dilanjutkan dengan perjalanan spiritual sebenarnya menuju Tuhan. Dalam perjalanan hidup, mereka dilatih untuk meninggalkan materi. Tepatnya adalah 'ketergantungan terhadap materi'. katanya sih sebagai persiapan untuk mati.

Utsman adalah contoh yang cocok disini. Dia berpenghasilan tinggi, tetapi dia mampu menghibahkan itu semua, demi Tuhannya, yang bakal dia temui kelak. Brillian. Utsman bekerja keras mendapatkan itu semua, dan dengan legowo mengembalikan kepada Tuhannya. Atas nama Tuhan. Bismillah.

Bagi saya tidak ada sekularisasi antara profesi dengan perjalanan ini. Seorang guru, ilmuwan, jenderal, presiden, khalifah sekalipun bisa jadi merupakan seorang sufi. Seorang pejalan spiritual, bila dia selalu mengatas-namakan Tuhan dalam setiap langkah dan tindakannya. Dia melangkah untuk melanjutkan dan menyongsong jalan spiritual menghadap Tuhannya. Selalu seperti itu, dan semua pekerjaan dan profesi akan mulia dengan ikrar 'atas nama Tuhan' ini. Tentunya tidak ada istilah tindakan cabul atau rampok atas nama Tuhan. Ini sih mengada - ada. Gemblung.

Niat 'atas nama Tuhan', atau dalam Islam lebih dikenal dengan 'Bismillah' ini menjadi semacam proklamasi terhadap kemerdekaan dari materi. Karena materi tidaklah dibawa mati, bahkan jasad ini sekalipun. Jadi, harus siap dilepaskan kapan saja. Karena kematian biasanya tidak membutuhkan notifikasi dan perjanjian.

Bila ternyata dalam uraian saya ini ada penyimpangan dengan wacana - wacana lainnya, sudahlah, yang penting saya memang ingin mendefinisikan bahwa perjalanan spiritual bukanlah identik dengan gembel. Karena seorang pejalan spiritual bernama Muhammad, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khomeini --dan lainnya itu-- bukanlah seorang gembel. Itu saja. Titik. [] haris fauzi - 27 September 2007


salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect.

Sunday, September 23, 2007

kenisah : imajinasi anak

IMAJINASI ANAK
 
Di rumah ada semacam bonggol, --besi nongol,-- letaknya di daun pintu. Tepatnya ujung gagang pintu. Gunanya untuk menggantungkan gepokan - gepokan kunci. Biasanya di bonggol pintu itu ada empat gepokan kunci. Satu gepokan kunci terdiri dari lebih dari satu anak kunci, tergantung pemilik dan  kebutuhan masing - masing. Yang jelas dalam satu gepokan pasti ada kunci pagar dan kunci pintu depan.
 
Seperti biasa, jikalau saya pulang kerja, maka setelah melewati pintu tersebut saya akan menggantungkan kunci di bonggol tersebut. Pernah suatu malam sepulang kerja --dan usai menggantungkan kunci--, maka saya lihat bersegera Si Moncil  menarik kursi hendak meraih kunci - kunci tersebut. Moncil usianya tiga tahun.
"Moncil mau ngapain ?", tanya saya.
"Mau maen Naruto… Gurunya sudah ada…..", jawabnya.
"Naruto....?", tanya saya dalam hati. Saya biarkan dia menarik kursi, kemudian memanjatnya dan meraih empat gepok kunci dari bonggol pintu. Saya sendiri segera berlalu dan membereskan tas kerja berikut segala gadget yang melekat di tubuh saya.
 
Baiklah saya jelaskan disini perihal empat gepok kunci tersebut. Kami memang memiliki banyak kunci, karena saya dan istri masing - masing memiliki satu set kunci pagar plus pintu depan. Dua sisanya untuk saudara yang bila datang ke Bogor dan hendak datang pergi masuk rumah semaunya maka kami bekali kunci tersebut. Jadi kami semua tidak perlu repot terkunci atau menggedor pagar bila pulang kemaleman. Pulang jam berapa-pun masih bisa buka pintu.
 
Kunci milik Istri saya ada gantungan berupa rumah Jepang. Maklum, memang gantungannya adalah cinderamata kakak saya pas dulu pulang dari Jepang. Di gantungan berupa pintu itu juga tergambar seorang ninja. Maka oleh si Moncil, gepokan kunci ini disebut dengan Naruto. Naruto adalah tokoh kartun komik Jepang, seorang anak Ninja.
 
Oleh Si Moncil, kunci tersebut dipermainkan layaknya wayang. Bergerak, berlari, bercakap seperti tokoh Naruto dalam komik kartun. "Ini dia, jurus bayangan Narutoooooo....!", kata Moncil sambil memainkan kunci 'Naruto' tersebut. Dia masih agak kesulitan mengucapkan lafal huruf 'R'.
 
Ada gepokan kunci dengan ikatan warna merah jambu, biasanya dipakai oleh saudara Istri saya. Kata anak saya, dia dimisalkan sebagai Sakura, teman seperguruan Naruto, cewek berbaju merah-pink. Mungkin atas dasar warna pink tersebut kesamaannya. Sementara gepokan kunci yang biasa saya bawa oleh anak saya dimisalkan menjadi Guru Naruto. "Gantungan kunci ayah jadi gurunya Naruto", kata Moncil --entah atas dasar apa.
 
Ya karena komplotan seri Naruto memang berempat : Guru, Naruto, Sakura, dan Sasuke; maka akhirnya gepokan kunci keempat menjadi sobat terakhir Naruto : Sasuke. Jumlahnya kelop empat.
 
Saya amati permainan Si Moncil. Dia dengan leluasa men-dalang-kan keempat gepokan kunci tersebut. Percakapannya juga mencontek kartun yang dia tonton, sesekali terlihat ngawur seingatnya. Sementara gemerincing kunci beradu dengan lantai seakan menjadi 'gending' atau suara latar sandiwara Naruto yang dia gelar. Saya liat Moncil cukup asik dengan permainannya. Kunci ninja mendapat tokoh sebagai Naruto, kunci lainnya sebagai tokoh - tokoh lainnya pula.
 
Pernah juga Si Sulung dulu suka bermain seperti itu. Sulung sekarang usianya tujuh tahun. Mungkin karena sering nonton film Winnie the Pooh, maka Sulung melakonkan hal itu. Tapi Sulung rupanya lebih beruntung karena kebetulan saat itu saya membelikan hampir semua boneka tokoh utama seri Winnie the Pooh : Winnie si beruang lugu, Piglet si babi kecil, Tigger si macan melompat, dan keledai lambat bernama Eeyore. Untuk Rabbit dan Owl sudah punya boneka persamaannya yakni boneka kelinci dan burung hantu. Boneka burung hantunya adalah boneka kuis Galileo yang populer di televisi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Entah itu benar - benar sama, yang penting bagi Sulung boneka Galileo itu adalah Owl, burung hantu bijak di seri Winnie The Pooh. Sementara tokoh Christopher Robin diperankan anak saya sendiri. Mereka bermain dengan asik. Sampai saya harus membuatkan tambur drum yang digendong di perut. Saya buatkan dari toples plastik yang saya ikat pakai tali plastik kemudian saya selempangkan ke badannya. Pemukulnya saya buatkan dari stik makan mi. Memang saya lihat di buku Winnie juga seperti itu : Christopher Robin memimpin barisan dengan menggunakan tambur yang dipasang di perut, dan irama tambur itulah yang membuat mereka berjalan dengan berirama juga.
 
Bagaimana dengan kartun idola Avatar ? Anak saya punya beberapa boneka orang dan binatang kecil, dan kebetulan punya mainan besar kura - kura plastik. Yang penting bagi anak – anak yang memainkan seri Avatar, kura - kura itu menjadi Appa --banteng terbang raksasa tunggangan Avatar. Aslinya sih banteng terbang itu berkaki enam. Tokoh sisanya bisa diatur sendiri. Cukup imajinatif dan bikin tersenyum bila melihat mereka memainkan hal itu.
Terlepas dari senyum geli mereka ber-sandiwara dan menokohkan perannya, ada hal yang membuat saya terpekur. Terus terang yang paling membuat saya terpekur adalah urusan kunci Naruto dan banteng terbang avatar itu.
 
Rasanya, mereka tidak peduli terhadap apakah bentuknya kura - kura atau haruskan menyerupai banteng terbang berkaki enam beneran. Mereka juga tidak ambil pusing ketika apa yang dia genggam sebenarnya adalah gepokan kunci, bukan tokoh Naruto sebenarnya. Anak - anak tadi menciptakan esensi dalam imajinasi mereka. Esensi itu mereka personifikasikan kepada benda yang dia pegang. Kalau kura - kura itu mereka misalkan sebagai banteng, maka 'kun-fayakun' esensinya adalah banteng. Dan mereka menganggap esensinya lebih penting ketimbang sosok materinya. Saya ulang sekali lagi : bagi anak - anak itu, esensi lebih penting ketimbang sosok materi yang nyata - nyata ada. Mereka mengadakan yang bagi mereka lebih penting, yang kita semua menyebutnya sebagai 'esensi'. Dan mereka bisa melakukan hal itu.
 
Yang membuat saya terpekur sudahlah jelas. Saya sering terjebak kepada sisi materi, bukan sisi esensi. Sebagai seorang berumur hampir empat puluh tahun, dimana keseharian saya banyak berurusan dengan kegiatan mencari duit, maka saya sering terperosok melupakan esensi. Melupakan jiwa, bahkan mungkin lupa akan tujuan hidup ini. Lupa esensi hidup ini. Maklumlah, mata ini sering silau karena gemerlap materi dunia. Hati ini sering tidak tentu arah tujuannya. Sehingga seperti laron, saya memburu hal yang gemerlap, padahal esensinya tidak ada.
 
Saya sempat berujar kepada istri saya,".... Ada dua orang bocah yang sedang bermain disini. Dan keduanya mungkin mengajarkan hal yang penting kepada kita yang dewasa, yakni masalah esensi.. masalah 'jiwa'.... Mungkin kita harus lebih mengamati dan belajar dari mereka....".[] haris fauzi – 23 September 2007


salam,
haris fauzi
 


Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.

Wednesday, September 19, 2007

kenisah : bahasa ibu

BAHASA IBU
 
Saya sengaja jelaskan di depan. Kakek-Nenek saya --kedua-duanya-- berasal dari pinggul gunung Merapi, Yogyakarta. Kakek Bapak saya adalah sesepuh di desa Rejodani. Sementara Orang tua Ibu saya adalah migran dari desa Pakem ke desa Gentan. Gentan, Pakem, dan Rejodani semuanya berada di pinggul gunung Merapi, lebih atas dikit dari kaki gunung Merapi, dan dilewati kali Boyong yang legendaris itu. Sekitar 12 kilometer dari kota Yogyakarta.
 
Ya begitulah. Leluhur saya berjubel di sekitar pinggul gunung Merapi. Profesi mereka kebanyakan adalah petani. Profesi lain yang populer dikalangan leluhur saya adalah sebagai petugas mesjid. Selain itu Kakek dari Ibu saya selain sebagai petugas kantor Urusan Agama juga pernah menjabat sebagai pendekar silat.
 
Mengikuti jejak leluhur yang berkutat di urusan mesjid, maka Bapak saya menyelesaikan studi di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta --sejaman dengan Dr.Nurcholish Madjid. Trus mengikuti jejak kakaknya yang sukses karena menjadi tentara jaman pendudukan dengan pedang panjangnya, Bapak saya mendaftar Wajib Militer. Terpilihlah dia menjadi tentara. Karena lulusan IAIN, maka dia ditempatkan di bagian kerohanian. Di akhir  era tahun 60-an, --seingat saya tahun 1968 kalo gak salah-- Orang tua saya pindah ke Jawa Timur karena alasan pekerjaan.
 
Tahun 1972 saya lahir di Malang, Jawa Timur. Lahir dari keluarga Yogyakarta, maka saya dibiasakan berbahasa Jawa. Ada beberapa tingkatan dalam bahasa jawa : ngoko, krama madya, dan krama inggil. Ngoko adalah persapaan untuk bocah ketemu bocah. Krama madya adalah persapaan untuk orang yang lebih tua, dan Krama inggil untuk orang yang sangat dihormati.
Dengan kakak saya, jelas saya ngobrol menggunakan bahasa ngoko. Sementara dengan Ibu-Bapak, saya dilatih menggunakan bahasa krama-ibu. Ini modifikasi dari krama madya yang diperhalus dan disesuaikan dengan pemakai: Ibu dan anak. Misalkan untuk istilah 'makan', tidak menggunakan 'dhahar' atau 'madhang', tetapi 'maem'. Minum tidak menggunakan 'ngombe' atau 'ngunjuk' tetapi menggunakan 'mimik'. Dasar bahasanya adalah bahasa Jawa - Yogyakarta.
 
TK, SD dan SMP saya berkutat dengan teman sejawat. Karena sekolah selalu di Malang, maka lama - kelamaan ngoko saya bergeser dari ngoko Yogya menjadi ngoko Malangan. Blending Yogya - Malang ini berlangsung terus. Sampai akhirnya saya dalam keseharian lebih banyak menggunakan ngoko Malang. Kata 'mangan' lebih sering digunakan ketimbang 'madhang'. Ya karena semua teman saya menggunakan bahasa ngoko Malangan. Kata'koe' tidak akan pernah terdengar digantikan dengan kata 'koen'. Praktis ngoko Yogya sudah hilang dari peredaran rumah.
 
Untuk urusan dengan orang tua, saya masih menggunakan bahasa krama - ibu versi Yogyakarta. Dan urusan menulis surat ke Kakek, saya murni menggunakan bahasa krama inggil Yogyakarta. Setiap surat yang hendak dilayangkan ke Gentan atau Rejodani haruslah di sensor dan di edit dulu oleh Ibu saya. Jaman itu belum punya telpon, jadi berkominikasi dengan Kakek musti berkirim layang, surat. Biasanya saya berkirim surat kalau mau ujian, mau pergi ke Yogya, atau sekedar minta do'a.
 
Beranjak ke jaman SMA dan kuliah, komunikasi dengan teman lebih intensif lagi menggunakan ngoko Malang. Bahkan bahasa prokem Malang sudah akrab di mulut dan telinga saya. 'Ayas' sudah menggantikan 'aku'. 'Itreng' menggantikan 'ngerti'. Begitulah prokem Malang itu dibolak - balik radikal. Katanya prokem ini sudah ada sejak jaman penjajahan.
Urusan dengan orang-tua-pun bergeser, bahasa krama-ibu cuma cocok buat masa kecil. Diskusi dengan Bapak sudah menggunakan bahasa Indonesia. Nggak bisa lancar bila harus berdiskusi tentang bukunya Ali Syari'ati misalnya, tetapi menggunakan bahasa krama-ibu. Bapak saya yang memplokamirkan hal ini. "Untuk urusan luar, sebaiknya kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia", gitu katanya. Dan berangsur - angsur dialek Yogyakarta makin jarang terdengar di rumah kami. Hanya bila kami menelepon ke Kakek atau handai tolan di Yogya, maka kami terbata - bata melafalkan krama inggil. Hanya Ibu dan Bapak saja yang masih fasih menggunakannya. Walhasil, setiap menjelang mudik, maka saya harus kursus kilat bahasa krama inggil ke Ibu. Biar nggak malu-maluin.
 
Tahun 1995 saya merantau ke Jakarta. Bergaul dengan para sesama urban, maka kami sering menggunakan bahasa Indonesia. Ngoko Malang sudah jarang terdengar. Prokemnya apalagi. Ngoko Yogya sudah dilupakan. Untuk lebih cepat merespon keadaan, maka bahasa Indonesia dimufakati menggantikan bahasa krama-ibu dikalangan keluarga. Makin tersisihlah bahasa ibu kami itu. bahkan dengan kakak atau adik yang biasanya menggunakan ngoko Malang, beberapa kali kami menyelipkan bahasa Indonesia.
 
Pernah suatu kali saya hendak berkirim surat ke kakek menggunakan bahasa krama inggil. Ingin mengabarkan kondisi saya di perantauan. Draft surat sebelum dikirim  saya asistensikan dulu ke Ibu di Malang. Komentar Ibu adalah :"Tulis saja menggunakan bahasa Indonesia. Krama Inggil-mu sudah morat - marit".
 
Sejak kasus surat itu, maka saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia termasuk ketika dengan Kakek. Sesekali saya imbuhi krama inggil, bila saya mantab bahwa kalimat tersebut tidak salah. Walau kadang masih salah juga, sehingga Ibu perlu minta maaf karena kebodohan saya ini. Dan kakek tertawa memaklumi.
 
Pada saat anak pertama saya hendak lahir-pun, saya sebenarnya sepakat dengan istri untuk menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa ibu di rumah. Tetapi tidak terlaksana. Lha wong saya dengan mertua saja sudah menggunakan bahasa Indonesia padahal mertua saya orang Solo. Lha karena memang dikalangan rumah dan teman sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan, disamping itu juga memori untuk perbendaharaan bahasa krama Yogya sudah banyak yang hilang.
 
Namun tidak hilang bagitu saja semuanya. Memang dengan Ibu, dengan saudara, dengan anak, dengan istri, dengan mertua hampir semua komunikasi di dominasi menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi setiap bertemu dengan teman kampung Malang, saya selalu berkomunikasi menggunakan bahasa ngoko Malang. Termasuk SMS. Mungkin tinggal ini yang bisa saya pertahankan. Sementara untuk kembali menyirami bahasa krama Yogyakarta, saya sudah tidak kuasa lagi. Hanya segitu - segitu saja yang saya kuasai. Mungkin ada yang bisa bantu ? [] haris fauzi - 19 September 2007


salam,
haris fauzi
 


Tonight's top picks. What will you watch tonight? Preview the hottest shows on Yahoo! TV.

Thursday, September 13, 2007

kenisah : satu ramadhan

SATU RAMADHAN
 
Kemarin pulang kantor seperti biasa. Duduk manis di belakang kemudi, nyetel player yang isinya kali ini Megadeth melulu...maklum maunya nonton konser mereka di Jakarta.
Teng ! keluar pabrik lebih cepat dari biasanya, cuaca masih terang. Mencoba mengejar waktu. Gak lucu kalo jam 7 malem baru sampe rumah. Gak lucunya kenapa coba ? Ya artinya saya bakal marathon sholat. Mulai maghrib jamak tambah isya tambah tarawih tambah lagi witir. 18 rakaat hajar sekali pukul. Mangkanya saya berusaha tiba di Bogor secepatnya, biar maghrib dan isya waktunya masih bercelah. Sore ini adalah malam 1 Ramadhan.
 
Dari Karawang masih padhang - njingglang, terang - benderang. Gile. Jalanan padat banget. Musti salip kiri melulu. Dah gitu nggondoknya saya musti nge-pit ke pom bensin gara - gara bahan bakar sudah mepet. Keluar dari pom bensin kembali nyalip - nyalip kiri lagi, mobil dan truk yang itu - itu lagi. Grrrhhhh..!!!!! Sabar, rek ! Sabar....
 
Sempat suntuk menjelang jam enam sore, karena ngantri cukup panjang di pintu tol Cikunir. Udah gitu kecewa habis hati ini. Kecewa karena salah sendiri. Gara - gara suntuk jadi lupa waktu. Gara - gara lupa waktu, maka gak sempat pindah mode dari player ke tuner radio. Akibatnya maka gak sempat dengerin azan maghrib dari radio. Ini barang langka. Azan maghrib satu ramadhan. Menurut Bapak saya, penanggalan Islam itu dimulai jam maghrib. kalau jam internasional kan jam 00.00 dini hari tengah malam.
 
Ya itu, ternyata jalanan padet terus - terusan. Turun di tol Sentul saja musti ngantri cukup panjang, dan baru bisa meloloskan diri dari pintu pembayaran sekitar setengah tujuh lewat dikit. Yaelah. Akhirnya minggir di pom bensin,  buat sholat maghrib, nggak beli bensin.
 
Juambul tenan ! Keluar pom bensin langsung mandheg greg. Padat banget jalanan menuju silang raya Bogor. Ya uwes. Sempat kepikiran musti lewat jalan tikus, tapi urung dijalanin soalnya kaki - kaki mobil masih baru --kakinya doang yang baru--, sayang dipake di gronjalan.
 
Ternyata jalanan menjelang jam 7 sontak menjadi lega. Ngebut langsung Pak De !. Mungkin orang pada sedang mengembang sarung hendak tarawih. Saya sendiri jarang tarawih di masjid, apalagi tarawih pertama. Musti di rumah, konon Nabi Muhammad juga lebih sering tarawih di rumah, utamanya tarwih pertama dan terakhir.
Saya masuk rumah pukul tujuh malam kurang dikit. Langsung di ajak main kembang api sama si Salma. Dia sendiri libur puasa besok paginya.
 
Teledor lagi, teledor lagi. Gara - gara mendampingi anak - anak hendak tidur, malah saya yang ketiduran. Ya jadinya baru pukul 2 dini hari terbangun. Waduh, edan tenan. Tarawih hari pertama udah teledor kaya gini nih. Duh Gusti nyuwun ngapuro.
Tarawih langsung disambung sahur. Sebetulnya gak langsung seperti itu sih. Sambil nunggu istri menata meja makan, saya sempat beberapa saat menyimak CD Trisum. Album perdana : 1st edition. Lumayanlah. Habis itu baru ngembat makan sahur sambil membalas SMS yang masuk bertubi - tubi tadi sore.
 
Hebat. Salma bangun sendiri dan langsung minta sahur. Karena masih berusia tujuh tahun, maka dia berhasrat hendak puasa sampai jam 12.00, waktu zuhur. Oke deh, Nok ! Bapakmu dulu lebih ndableg ketimbang kamu....Kalo mau sahur musti diomelin sama  Ibu, bahkan sampe SMP masih aja kayak gitu.
 
Ngantor seperti biasa, kegiatan juga seperti biasa. Berangkat sebelum jam enam, sampe kantor jam tujuh seprapat. Kebetulan acara banyak di ruang rapat, nggak turun ke bawah. Jadi nggak kehausan. Lumayan. Azan zuhur, azan ashar sudah terlewati. Sholatnya seperti biasa, molor lagi - molor lagi.
 
Semenjak macet di Cikunir jam enam sore kemarin, berarti sampe detik ini saya hampir 24 jam menjalani penanggalan 1 Ramadhan. Ya. Hampir sehari waktu ini habis, ...tapi kok belum ngumpulin pahala, ya ? Kok belum bikin amalan yang spesial, ya ? Kok malah teledor melulu, ya ? Rugi banget ...rugi banget....rugi banget....[] haris fauzi - 1 Ramadhan 1428 H


salam,
haris fauzi
 


Boardwalk for $500? In 2007? Ha!
Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.

Wednesday, September 12, 2007

kenisah : poster

ADA POSTER MEGADETH

DI WARUNG DEKAT KANTOR
 
Di warung dekat kantor, pas usai makan siang,-- saya sempatkan ngomong ke kasirnya,"...Bu, poster itu boleh ga kalo buat saya..?".
"Poster yang mana ya ?"
"Itu tuh.. Djarum...Konser Megadeth". Kata saya sambil menunjuk poster 'The World Need A Hero, Megadeth Concert 2001, Medan & Surabaya'.
"Jangan, Pak.. itu kenang - kenangan dari Djarum", balas Bu Kasir.
 
"Yang mana poster yang kamu maksud, Ris..Yang gambar macan ini ?", selidik pimpinan kerja saya. Kebetulan siang itu memang saya makan siang bareng pimpinan kerja saya. Langsung beliau saya ajak mendekati poster yang saya maksud.
"Yang ini, Bu...", saya menunjuk poster berbingkai kayu warna hitam dof tanpa kaca. Berdebu. Posternya bukan poster tempel, jadi terbuat dari karton tebal. Bergambar empat musisi Megadeth. Keren. Kalo dibersihkan pasti lebih keren. Apalagi kalo dipasang di rumah saya, pasti lebih keren lagi.
"Ini poster mereka pas konser ke Indonesia di tahun 2001. Bulan depan, setelah libur lebaran mereka konser lagi ke Jakarta", urai saya mirip guideman museum.
"Berapa tiketnya konser mereka ?"
"Sekitar tiga ratus ribu, Bu..."
"Mahal ya..".
"Kalo musik cadas kaya gini mending agak mahalan, Bu..kalo terlalu murah manti bisa tawuran di depan panggung...", jawab saya sok tau.
 
Kami pulang, balik ke pabrik.
 
Ya saya memang tidak terlalu akrab dengan grup cadas satu ini, Megadeth. Maklum bukan mainstream saya disitu. Entah karena terpengaruh beberapa rekan, akhir-akhir ini saya tertarik dan mencoba mempelajari musik mereka. Dan pula menyongsong konser mereka. Ya saya juga merencanakan --bisa jadi-- untuk nonton konser tersebut. Tanggalnya sih terlalu mepet dengan libur mudik lebaran. Tapi perkara tanggal lihat nanti sajalah, sempat nggak sempat yang penting siap - siap dulu.
 
Lho ? Nonton konser kok siap - siap ? Ya bagi saya sebaiknya begitu. Beberapa minggu lalu seorang teman memberi bocoran daftar lagu. Lagu yang bakal mereka tampilkan di konser nanti. Dari daftar ini, saya mengumpulkan satu - persatu lagunya menjadi sebuah folder kompilasi. Walaupun belum genap semuanya saya dapatkan, paling tidak di player mobil dan komputer kantor sekarang sudah tersedia lagu - lagu itu.
 
Bocoran lagu ini mempermudah para calon penonton. Tingkat akurasinya mungkin lebih dari 70 persen. Nah, sebagai penonton awam, saya sangat diuntungkan dengan hal ini, apalagi bila saya bisa menguasai seluruh lagu. Maksudnya hafal lagu dan liriknya. Tentu lebih nikmat dalam menonton konsernya nanti. Kalo Megadeth-mania, tentu sudah hafal seluruh lagunya. Lha saya kan orang awam.
 
Kalo boleh memilih dari daftar lagu tersebut, maka lagu yang paling saya sukai judulnya adalah 'Hangar 18'. Ceritanya tentang informasi rahasia, semacam dunia intelijen gitulah. Lagu favorit berikutnya adalah 'Reckoning Day'. Isinya tentang apa saya kurang jelas. Karena memang pake bahasa Inggris, dan lagi cara nyanyinya itu vokalnya kaya orang berteriak protes gitu. Kata orang sih ini gaya vokal 'snarling'. Belum lagi ditambah musiknya yang keras dan bertenaga. Yaitu, saya demen 'tenaga' dan semangat lagu ini. Cocok buat temen nyetir pagi - pagi. Jrenggg manteb gitu.
 
Dalam daftar lagu itu juga ada judul berbahasa Perancis kalo gak salah,'A Tout Le Monde'. Kalo nggak salah juga ini lagu dirilis lebih dari satu kali, salah satunya di album 'Youthanasia' keluaran sekitar tahun 1994. Lagunya keren, dan jadi favorit saya juga akhirnya. Maklumlah saya bila ternyata lagu ini dirilis lebih satu kali, ya karena memang keren. Oh, ya. perlu juga saya ceritakan bahwa sampul album Youthanasia ini unik.  Gambarnya ada ibu - ibu sedang menjemur di pekarangan layaknya menjemur pakaian habis di cuci lengkap dengan embernya. Namun yang dijemur ternyata adalah bayi - bayi. Sampul ini sekarang menjadi latar desktop komputer saya dikantor.
 
Orang kebanyakan menjagokan lagu 'Symphony of Destruction'. Sebetulnya bagi saya lagu ini cenderung monoton, kurang cocok dengan kuping saya yang menyukai musik progresif. Namun lagu ini ternyata menyimpan kedahsyatan. Dalam pengalaman saya, dari sekitar tujuh belas lagu di daftar lagu konser mereka, lagu inilah yang langsung masuk kuping dan mudah di cerna. Padahal musiknya juga lumayan hiruk - pikuk. Reffrain-nya juga lumayan oke dan rasanya bakal jadi koor massal nanti di konser mereka :
Just like the Pied Piper
Led rats through the streets
We dance like marionettes
Swaying to the Symphony Of Destruction
 
Ya begitulah. Empat lagu itulah yang jadi favorit saya sekarang ini. Dan daftar lagu konser itu jugalah yang mendominasi player dan kuping saya.
 
Daftar lagu udah ada, liriknya sebagian juga sudah dapat. Memang lagu - lagu dari album terakhirnya, yang bakal dipromosikan di konser ini,- saya belumlah punya. Tapi tak mengapalah, bisa diusahakan sambil jalan. Trus ? Ya begitulah --dalam kasus ini berlaku juga aspek non-teknis. Ihwal nonton konser ini sudah pernah saya utarakan kepad istri saya. Dan istri saya belum memberi jawaban yang melegakan. Apalagi mepet sekali dengan jadwal liburan lebaran. Lihat saja nanti. Kalo jadi nonton berarti asik, kalo nggak jadi ya nggak perlu terlalu disesali. Nyesel dikit sih boleh – boleh aja.
 
"Ris, kamu mau ramadhan kok malah ngomongin musik metal sih ?...". Lho ga papa kan ?[] haris fauzi - 12 September 2007


salam,
haris fauzi
 


Got a little couch potato?
Check out fun summer activities for kids.