Monday, March 28, 2011

kenisah : kena tilang

KENA TILANG

 

Setelah diingat – ingat, sepanjang karir sebagai sopir mobil pribadi, bisa jadi empat kali saya berurusan dengan polisi yang menyoal tilang jalan raya. Tilang artinya 'Bukti Pelanggaran'. Bukan artinya 'Titip Langsung'. Konon polisi menjadi saksi dan berfatwa bahwa menurut dia, si pengendara suatu ketika dianggap melakukan pelanggaran, dengan bukti yang dia lihat. Tentunya berdasarkan subyektivitas dan obyektivitas masing – masing polisi jalan raya. Dan ketika berbicara subyektivitas, maka jelas sekali urusannya bisa jauh dari obyektif. Walau tidak harus selalu seperti itu. Maka, tak jarang subyektivitas polisi akan bertolak – belakang dengan pandangan pengemudi. Dalam kerangka subyektivitas pribadi pengemudi, adanya tilang –bukti pelanggaran—yang dikemukakan polisi, kadang kala kadarnya ternyata kecil sekali. Dalam beberapa kasus, beberapa pengemudi malah bilang mengada –ada, dalam versi pengemudi tentunya. Sementara polisi haqqul-yakin menganggap adanya pelanggaran. Hal yang sangat debat-able, karena tidak adanya saksi independen lain atau bukti kamera, misalnya.

 

Ini cerita saya. Yang pertama adalah ketika melakukan perjalanan ke Surakarta. Kejadiannya di jalanan luar kota, di jalan raya trans Jawa Tengah. Siang itu dalam rangka perjalanan dari kota transit Semarang menuju Surakarta. Di jalanan yang beberapa berkelok, saya kesulitan mendahului mobil di depan saya. Suatu saat kemudian datanglah kesempatan untuk mendahului. Saya waspadai garis pembatas jalan, ternyata garis putih putus – putus, artinya saya boleh menggunakan lajur jalan sebelah kanan guna mendahului mobil lain.

 

Maka setelah memastikan lajur kanan bebas, sambil menginjak pedal gas saya masuk ke lajur kanan dan mulai mendahului. Repotnya, mobil yang didahului ikutan menambah kecepatan. Maka jadinya adalah semacam pacuan. Dan karena mobil yang akan didahului ternyata bersi-kukuh menambah kecepatan lagi, saya mengurungkan niat menyalip dan berhasrat balik lagi ke jalur kiri. Apalagi di sebelah kiri saya melihat ada rambu dilarang menyalip. Mangkanya saya balik ke kiri. Namun terlambat, garis pembatas jalan sekonyong – konyong sudah berubah menjadi garis sambung. Dan andai saya mempertahankan diri berada di lajur kanan, tentunya menjadi masalah karena itu digunakan oleh mobil yang berjalan berlawanan arah. Memang sih masih bebas alias sepi.

 

Ketika balik ke lajur kiri itulah roda kanan sempat sedikit menginjak garis sambung tersebut. Dan selanjutnya adalah delapan polisi sudah menghadang di depan. Dalam hati saya berpikir, apakah ini jebakan ? Dengan meletakkan rambu dilarang menyalip terlalu dekat. Jarak yang terlalu dekat antara rambu dan garis marka sambung ini cukup menyulitkan, atau istilahnya tidak memberi kesempatan kepada pengemudi untuk bisa dengan mulus kembali ke 'track' kiri.

 

Dari Kuningan Jakarta, suatu siang bersama seorang teman, namanya Pak Achmad,-- berkendara mobil melalui jalur tol dalam kota Jakarta menuju Bogor. Melewati Cawang Interchange, mendadak Pak Achmad –setelah menerima panggilan telepon-- meminta saya menghentikan laju mobil. Gokil. Rupanya dia hendak turun. Ini problem besar. Tidak boleh menurunkan penumpang –apalagi menurunkan sopir— di jalan tol. Saya bersi-kukuh melanjutkan perjalanan. Namun ternyata alasan Pak Achmad sangat masuk akal, Istrinya mendadak sakit, jadi dia memutuskan untuk segera mungkin pulang.

 

Di area itu tidak ada lokasi yang 'tepat' dan 'syah' untuk menurunkan penumpang. Namanya juga tol. Tol artinya membayar, bukan 'bebas hambatan'. Mangkanya jangan heran bila di jalan tol kita harus sering membayar. Dan jangan heran pula bila ternyata jalan tol tidak selalu bebas hambatan, malah macet rapat. Dan bila di jalan tol meminggirkan mobil lantas menurunkan sang teman, maka ini jelas – jelas melakukan pelanggaran. Saya yang melanggar karena saya yang mengemudi, sementara penumpang yang turun sejatinya juga melanggar aturan jalan tol. Karena kendaraan roda tiga, roda dua, dan tanpa roda –pejalan kaki- dilarang lewat jalan tol.

 

Akhirnya dengan pasrah saya memperlambat kendaraan, meminggirkannya, dan lantas menurunkan di pinggir tol. Dan selang dua menit kemudian dihadang oleh patroli polisi jalan raya. Murni ini pelanggaran. Ketika diinterogasi polisi, saya mengaku bahwa itu salah. Dan ketika polisi menanyakan mengapa pelanggaran dilakukan, saya hanya bilang," Istrinya sakit gawat. Teman harus segera pulang. Nggak ada waktu lagi".  Tidak ada pembelaaan, hanya karena mengingat pentingnya urusan sang teman. Ini keputusan terbaik  –dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan--.

 

Suatu siang bersama keluarga sedang berada di Taman Ismail Marzuki. Ketika sedang menyaksikan acara peluncuran buku baru, seorang rekan meminta saya untuk menemuinya di Kemayoran. Setelah atur –sana – sini, kita janjian bertemu jam 5 sore di Kemayoran. Dari TIM, saya melintas jalan Pramuka. Rencananya, begitu bertemu dengan tol dalam kota arah Priuk, akan belok kiri dan naik tol tersebut. Rencananya gitu.

 

Di jalan Pramuka Jakarta, ada jalur lambat di sebelah paling kiri. Jalur lambat dan jalur cepat dibatasi oleh jalur hijau. Selang beberapa kilometer, jalur hijau itu beberapa kali diputus oleh adanya akses bergantian, baik dari jalur lambat ke jalur cepat atau sebaliknya.

 

Tentunya untuk berbelok ke kiri, sudah seharusnya memasuki area jalur lambat dahulu, baru boleh belok kiri. Saya tau itu. Masalahnya adalah, seingat saya papan penunjuk jalan yang meng-informasi-kan kapan saya harus belok kiri, berada cukup jauh setelah akses masuk ke jalur lambat. Jadi, ketika hendak belok kiri, maka sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memasuki jalur lambat. Dan ketika harus belok kiri langsung, maka saat itulah saat yang ditunggu oleh para polisi jalan raya. Mereka sudah bersiaga tepat di depan. Mungkin kejadian ini sudah sering terjadi. Jadi pak polisi sudah bisa menebak.

 

Polisi lalu lintas yang menghentikan laju mobil menyampaikan bahwa berbelok kiri langsung dari jalur cepat adalah pelanggaran. Saya sempat menanyakan ihwal letak rambu penunjuk belok kiri yang berada setelah akses ke jalur lambat tentunya menyulitkan pengendara. Karena tidak mungkin untuk mundur dahulu. Adalah lain perkara bila papan itu berada sebelum akses menuju jalur lambat, tentunya akan mudah memasuki jalur lambat sebelum berbelok kiri. Saya juga kemukakan bahwa tidak ada marka yang saya langgar. Karena memang bisa jadi marka jalur cepat sudah tidak nampak lagi alias cat-nya pudar. Bila memang ada marka yang terlarang, maka dari jalur cepat akan lurus dan menempuh jalur lain untuk menuju tol.

 

Alasan tersebut rupanya masuk akal juga, namun pak polisi tetap menganggap saya melanggar karena berbelok kiri mendadak adalah berbahaya. Itu-pun saya tau. Saya berusaha menjelaskan, agar tidak berbahaya seharusnya rambu dibuat se-informatif mungkin. "Iya Pak. Nanti akan ditingkatkan. Namun dengan berbelok langsung, Bapak membahayakan pengguna jalan raya lain". Oke, terserahlah.

 

Masih ada satu cerita lagi. Sendirian saya melaju di hari libur dari tugu Pancoran hendak menuju Cililitan. Karena hari libur, dan jaraknya yang relatif dekat, maka saya tidak menggunakan layanan jalan tol dalam kota. Saya memilih jalur reguler. Ini pilihan yang jarang saya lakukan, karena biasanya di hari kerja  saya memilih untuk melewati tol. Alasannya adalah jalur reguler ini di hari kerja macet sekali.

 

Tiba di Cawang, untuk menuju arah Cililitan harus berbelok kanan. Saya mengantri dengan beberapa mobil lain di sebuah traffic light yang kebetulan sedang menyala merah. Dan ketika lampu berganti hijau, maka dengan santainya melaju belok kanan. Dan tak lama setelah itu diterima oleh Pak Polisi di seberang sana. Ternyata yang boleh belok kanan melalui traffic light tersebut hanya TransJakarta. "Itu Jalur Busway", kata dia.

 

Jalur BusWay ? Saya tidak melihat tanda bahwa traffic light itu khusus untuk BusWay. Bila memang ada papan rambunya, tentunya saya tidak melihatnya oleh karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah saya yang alpa. Bila memang saya yang alpa, mengapa banyak mobil lain yang melakukan ke-alpa-an serupa. Kemungkinan kedua adalah memang rambu itu tidak nampak, atau bahkan tidak ada wujudnya alias rambu ghaib. Yang jelas, tidak ada separator jalur khusus busway, dan warna aspalnya-pun hitam. Seperti kita tau, standar warna aspal jalur BusWay untuk TransJakarta adalah merah. Tapi hal ini diabaikan sajalah. Maka, di bawah kolong fly over Cawang terjadilah di-tilang kolosal dengan beberapa mobil lain. [] haris fauzi – 28 maret 2011 



salam,
haris fauzi
kolomkenisah


Tuesday, March 22, 2011

kenisah : kakek

KAKEK

 

Bagaimanapun, seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki Kakek dan Nenek. Ada dari pihak Ibu, adapula dari pihak Bapak. Kakek pihak Bapak sudah lama meninggal tanpa saya kenal lebih jauh karena Kakek meninggal sebelum saya lahir. Menuru ceritera – ceritera, Kakek orang hebat. Bukan hebat sebagai pejabat, melainkan hampir setiap waktunya digunakan untuk kepentingan umum. Sebelum meninggal, konon salah satu wasiat Kakek adalah urusan madrasah. Hingga detik ini, wejangan Kakek masih senantiasa menjadi perbincangan hangat di kalangan handai taulan. Saya hanya bisa mendengarkan betapa Kakek adalah orang biasa, namun namanya bergaung hingga puluhan tahun menjadi ceritera –bila tidak disebut legenda kecil—dikalangan keluarga.

 

Kakek dari pihak Ibu punya ceritera yang sama namun agak berbeda latar jamannya. Saya mengenal semenjak kecil hingga tulisan ini dibuat. Kakek hidup sebagaimana orang layaknya, bertani, dan kebanyakan waktunya dihabiskan untuk kepentingan umum, terutama urusan masjid. Ketika kecil, saya ingat bagaimana dengan rokok klobotnya Kakek mengajak saya bermain di persawahan hingga nyemplung di kali Boyong yang kerap kondang bila gunung Merapi mengamuk. Kakek merokok dengan melinting. Kadang dengan klobot kadang dengan kertas rokok. Kertas rokoknya yang tersusun rapi sering saya minta, kemudian ujung – ujungnya saya jilat. Terasa manis cengkeh.

 

Kakek adalah tokoh spesial bagi pribadi saya. Di mata saya Kakek adalah orang yang bersih  dan tidak suka hal mewah. Selain hatinya bersih, Kakek juga bersih dalam arti fisik. Bajunya bersih. Kadang dicucinya sendiri dengan direbus air sabun yang di-cemplung-i gerusan sabun kodok. Bagian krah-nya disikat menggunakan sikat gigi bekas. Peci hitamnya sering disikat hanya gara – gara sedikit debu kelabu menempel. Kakek juga pribadi yang konsisten. Ketika menderita sakit akibat kegemaran merokok, maka saat itu juga Kakek berhenti merokok dan berhenti untuk selamanya. Sebagai orang yang biasa merokok, entah mengapa Kakek bisa dengan mudahnya menghentikan kebiasaan itu.

 

Yang lebih berkesan lagi adalah peran – peran Kakek dalam kehidupan saya pribadi. Yang pertama ya karena saya hanya mengenal satu Kakek se-darah dalam hidup. Yang kedua, memang penetrasi Kakek dalam kehidupan saya cukup terasa dan dalam. Setidaknya, menjelang saya menempuh ujian kelas enam SD, Kakek pernah berkirim surat. Isinya dilampiri do'a. Khas tulisan tangan Kakek. Lembar do'a ini masih tersimpan dalam almari buku saya, dan masih selalu saya lafaz-kan seusai sholat, sementara suratnya saya yakin sudah ketlisut. Isi do'a-nya adalah permohonan akan ilmu yang berguna. Dalam surat –yang kini sudah ketlisut itu— Kakek berpesan agar saya belajar yang baik serta memanjatkan do'a agar bisa lancar menempuh ujian. Entah seberapa besar peran do'a dari Kakek, yang jelas terbukti memang saya bisa lulus seleksi masuk SMP favorit kota Malang.

 

Tidak sekedar bangku sekolah dasar. Hampir setiap menjelang ujian, saya selalu diminta Ibu untuk memohon restu dan doa kepada Kakek. Hingga ketika menghadapi ujian sarjana-pun demikian. Dan semuanya berjalan lancar. Bahkan ketika hendak menghadapi ujian masuk perusahaan terkemuka, saya-pun mendapat doa restu Kakek. Dan lulus.

 

Ketika saya menikah, adalah kehormatan bagi saya ketika salah satu saksinya adalah Kakek. Dan saya masih ingat betul bagaimana Kakek men-syah-kan pernikahan tersebut. Juga bagaimana pada tahun lalu ketika saya mengalami kesulitan keuangan, maka Kakek berperan besar membangkitkan semangat. Ketika itu Kakek sakit. Saya menjenguknya di desanya di kaki gunung merapi. Sebelum berpamitan, saya sempatkan menyampaikan uneg – uneg kesulitan tersebut. Dan Kakek mendoakan agar saya dimudahkan jalan mencari nafkah.

 

Saat ini usia Kakek sembilan puluh tahun. Dan sebagian besar waktunya kini berada diperaduan. Kakek sudah capek dan terlalu lemah untuk duduk. Kakek ditemani oleh keluarga BuLik, dan setiap bulan Ibunda menyempatkan singgah barang dua – tiga minggu. Beberapa handai taulan juga silih berganti berkunjung. Awal bulan lalu kembali saya bersama kakak berkunjung ke kaki gunung merapi. Menjumpai wajah Kakek yang demikian tenang, walau sesekali terlihat letih dan menahan sakit. Ketika Kakek sempat bercanda, auranya membawa keteduhan kepada kita semua yang bersamanya. Namun ketika kondisinya lemah, membuat kita semua tertunduk.

 

Dua hari satu malam saya berkesempatan menapak rumah Kakek. Setelah itu saya pamit. Saya pamitan diakhiri dengan sebuah momen serupa terowongan yang penuh tanda tanya. Seperti halnya kebanyakan orang Islam, saya berpamitan dengan bersalaman. Di akhir pamitan, Kakek yang berucap salam. Saya terperanjat, karena sejatinya yang berpamitan adalah saya yang hendak balik ke Bogor. Ucapan salam Kakek membuat jutaan tanda tanya dalam benak. Jutaan tanda tanya ini tertimbun dan menggelisahkan, hingga kini. Hingga ketika Ibu menelepon. Ibu bilang,"…Le, Kakek-mu minta dibelikan kain mori satu gulung….".[] haris fauzi – 21 maret 2011

 


Monday, March 21, 2011

kenisah : menggulingkan emas

MENGGULINGKAN EMAS

 

Sebetulnya mungkin tidak hanya urusan emas. Tapi lebih asik bila opini pribadi ini dimulai dari urusan logam mulia bernama 'emas'. Karena kebetulan saya pernah menyimpan emas, dan kebetulan saya juga pernah menyimpan duit dollar, maka sedikit banyak saya sekarang mengerti bahwa harga dollar amerika merosot terhadap harga emas.


Saya ingat, tahun lalu pernah seorang teman hendak berniaga dengan salah satu calon kolega dari Libya, dengan dukungan Muammar Qaddhafi, pemimpin yang sekarang sedang berjibaku melawan agresi amerika serikat. Sang teman yang menjajagi perniagaan tersebut bercerita banyak, salah satu kisahnya adalah cerita tentang pesan dari calon kolega. Orang yang mengaku dekat dengan Qaddhafi tersebut member wejangan," Bila perniagaan dengan Libya ini gagal, jangan risau. Libya memang negara independen yang kaya, yang mana kebijakan pemerintahnya diatur sendiri oleh Libya. Namun bila perniagaan ini gagal, ada negara lain yang kaya juga, yakni Iran dan Suriah. Anda bisa jajagi mereka. Jangan khawatir… Negara tersebut kaya karena mereka berdagang menggunakan emas".


Libya memang kali ini sedang kaya. Tatanan ekonominya yang berbasis emas cukup stabil. Demikian juga dengan Iran. Seperti kita ketahui, nilai emas melambung terus dibanding harga dollar amerika. Di Indonesia harga emas murni sepuluh tahun lalu sekitar lima puluh ribu rupiah per-gram, sekarang mencapai empat ratus ribu rupiah. Bandingkan dengan dollar amerika yang sepuluh tahun lalu pada kisaran delapan ribu rupiah, dan kini pada kisaran sembilan ribu rupiah.


Alkisah keterkaitan antara emas dan dollar amerika adalah pada niat amerika untuk menjadi penguasa ekonomi dunia. Dan dengan melesatnya nilai emas, tentunya hal ini jadi kendala besar untuk misinya itu, karena amerika memaksakan menjadi penguasa dengan bekal dollar amerika. Bila nilai dollar amerika terus merosot, maka akan banyak negara yang meninggalkan mata uang dollar amerika. Dan ini sudah cukup banyak terbukti. Kini sudah banyak negara yang memprioritaskan untuk mengganti cadangan devisa dari dollar amerika menjadi emas. Istilahnya, emas lagi naik daun sekarang.


Ya. Tentunya fakta itu merisaukan amerika. Cara ringkas untuk meningkatkan performa mata uang dollar amerika tentunya tidak mudah. Emas memang sudah 'Sunatullah' menjadi basis mata uang terbaik. Sayangnya amerika tidak mau mengerti ini. Maunya adalah dollar dan dollar. Keterpurukan ekonomi amerika beberapa tahun terakhir memperparah keadaan ini. Maka tidak ada jalan lain untuk menaikkan pamor dollar amerika selain dengan jalan mencoba 'menenggelamkan' nilai emas.


Menenggelamkan emas ? Bagaimana caranya ? Kestabilan ekonomi negara – negara pengguna emas menjadi salah satu pilar kekuatan mata uang berbasis emas. Ini yang hendak dijungkir - balikkan oleh amerika. Maka, dengan menggoyang ekonomi negara – negara tersebut, diharapkan mata uang berbasis emas akan merosot. Lazimnya dalam sebuah negara, bila mereka carut – marut ekonominya, maka mata uangnya akan merosot jatuh. Teori yang mudah sekali dinalar.


Nah, untuk menggoyang ekonomi sebuah negara, maka cara termudah adalah menggulingkan pemimpinnya. Sejatinya pemimpin negara mana-pun akan selalu rentan terhadap rongrongan isu demokratisasi. Bahkan presiden yang paling demokratis-pun mudah gerah dengan isu yang satu ini. Mungkin satu – satunya pemimpin yang tidak mempunyai cela untuk segala urusan hanyalah Muhammad SAW. Bila Hosni Mubarak dan bila Muammar Qaddhafi telah memimpin puluhan tahun, maka lama-nya masa pemerintahan menjadi isu utama sebagai tertuduh. Sementara Ahmadinejad yang tegas, malah dituduh otoriter. Padahal sejatinya baik - tidaknya pemimpin bukan terkait langsung dengan lama tidaknya dia memerintah. Banyak juga presiden yang sebentar berkuasa namun brengsek, contohnya George W. Bush.


Maka isu demokratisasi itu-pun ditiupkan. Harapan amerika adalah agar negara – negara kaya dan independen itu akan goyah, dan lantas terguling para pemimpinnya. Setelah pemimpinnya terguling, maka ekonominya akan carut - marut. Semakin kacau – balau, maka semakin menyenangkan amerika. Dan setelah itu, tentunya diharapkan mata uangnya akan ambles tenggelam. Bila ini terjadi, harapan amerika adalah mata uang dollar mereka akan melambung dan menisbatkan mereka menjadi penguasa ekonomi dunia. Tak heran bila Hillary Clinton – pun ikut dengan getol menghembuskan isu dan fitnah ini agar negara – negara pengguna emas berkobar membara. Ketika Mobarak terjungkal, Hillary berkirim pesan kepada para oposisi Iran," Rakyat Iran berhak menikmati demokrasi seperti rakyat Mesir". Sebuah provokasi untuk menggulingkan Ahmadinejad, presiden tangguh dari Iran.


Apa bisnis yang cukup menggiurkan di kalangan pebisnis amerika ? Salah satunya adalah pabrik senjata. Bila mesiu terus digunakan, maka banyak pekerja amerika yang kembali bergairah memproduksi senjata. Seperti kita ketahui, sebetulnya jumlah pabrik senjata di amerika jauh lebih banyak daripada di Irak, yang pernah dibumi-hanguskan oleh amerika dan inggris gara – gara 'katanya' punya beberapa pabrik senjata. Maka jangan terkejut bila ternyata terjadi perang saudara di Libya, maka donasi senjata adalah dari amerika. They talk about peace but still making guns. Bull-shit ala amerika.


Tidak hanya itu. Konon tahun – tahun ini merupakan tahun dimana angka pengangguran amerika mencapai puncak tertinggi. Terlalu banyak orang menganggur di amerika, dan rupanya pasukan sukarela internasional merupakan jalan terbaik untuk menyalurkan para pengangguran tadi. Maka tak heran bila tentara asal amerika sering berbuat tercela di lokasi dia bertugas. Angka pengangguran yang tinggi ini-lah yang salah satunya memotivasi amerika untuk menggalang dan menggerakkan pasukan agresor pengangguran dibawah legitimasi sekutu.


Selain bisnis senjata dan memobilisasi pengangguran menjadi tentara sekutu, orang amerika memiliki sejumlah lakon bisnis konstruksi. Bila ada suatu negara yang babak – belur hancur- lebur gara – gara perebutan atau penggulingan penguasa, maka sudah bisa dibayangkan, betapa banyak proyek infrastruktur dan konstruksi yang ada di depan mata. Angkatan perang amerika yang menghancurkan, setelah itu pebisnis kontraktor amerika yang membangun. Belakangan, rakyat setempat yang kelimpungan membayar hutang biaya pembangunan tersebut. Irak bersiap untuk hal ini, membayar hutang berkepanjangan.


Tidak hanya itu. Negara yang sengsara ekonominya anjlok karena pemimpinnya terguling, biasanya juga butuh suntikan dana, seperti peran IMF begitulah. Maka, setelah negoisasi pembangunan ulang terjadi, maka itu saatnya bagi para rentenir – rentenir kapitalis beraksi. Dan dibalik itu semua, para maniak emas hitam amerika yang sudah kesohor-kondang akan keserakahannya, akan berpacu menghisap minyak dari negara – negara yang semula toto tentrem kerto raharjo itu. Terkutuklah mereka yang membuat kerusakan di muka bumi. Tuhan menjanjikan laknat bagi mereka. [] haris fauzi, 21 maret 2011

 


Wednesday, March 09, 2011

kenisah : berita, lagu, buku

BERITA, LAGU, BUKU

Ada --walau seharusnya lebih-- tiga hal yang sudah terbiasa semenjak usia SD. Baiklah, cerita soal tiga ini sahaja dahulu, yakni 'Berita, Lagu, dan Buku'. Jadi, semenjak kecil saya terbiasa membaca dan mendengar berita. Bukannya kemaruk, tetapi karena memang acara televisi kala itu yang boleh ditonton adalah kartun dan ketika adzan maghrib usai berkumandang maka televisi dimatikan. Ini aturan yang berlaku. Nah, baru pada pukul sembilan malam diperbolehkan untuk menonton televisi kembali. Dan acara tak lain tak bukan adalah 'Dunia Dalam Berita'. Selain 'Dunia Dalam Berita', Bapak lebih sering menyalakan radio-nya untuk memonitor berita, baik RRI hingga gelombang pendek ShortWave yang memajang radio Australia hingga siaran dari Masjid Jami' Malang.

Ini tentang berita-berita yang naik tayang jaman saya kecil. Dimana liputan - liputan yang bagus, berita yang menarik --dengan sortir sensor tentunya-- ditayangkan di televisi dan radio. Mungkin, tidak ada yang salah dalam sistem penayangannya, walau sebagian tentunya mempertanyakan arogansi lembaga sensor tadi. Kala itu, 'nature'-nya begini : liputan yang bagus tentunya layak tayang. Hanya itu ? Tidak juga. Program kampanye pro-pemerintah tentunya juga menyeruak. Namanya 'berita titipan'. Tidak ada yang salah pula dalam hal ini. Bukannya pers itu berfungsi sebagai media informasi dan bisa pula sebagai media promosi ? yang penting proporsionalnya seperti apa. Begono. Jangan sampe oposisi serang membabi buta, ini namanya provokasi. Namun jangan pula kampanye secara berlebihan, kalo kayak gini namanya keterlaluan.

Oke. Kembali ke -'nature' tadi. Bila tidak suuzhon, maka berita yang layak tayang adalah berita yang bagus. Itu jaman dulu. Jaman sekarang ? Konon berita titipan sedang naik daun. Banyak topik berita yang tiba - tiba menjadi top hits dalam sekejab. Berita 'mendadak top hits' ini tentunya bisa melambungkan ikon - ikon tertentu, baik orang, institusi, ataupun lainnya. Kadang hal ini disengaja untuk memrovokasi, kadang memang digunakan untuk melenakan terhadap hal lain. Istilah kerennya sebagai pengalihan opini. Ini jenis berita titipan juga.

Jadi sedikit tersamar dengan urusan iklan. Advertisement. Teman saya bilang, ada kasus - kasus yang memang didanai khusus agar selalu bisa terekspos berita. Jadi, bila kita punya modal cukup, maka kita bisa memesan berita apa yang hendak ditayangkan. Kapital material berkuasa disini. Misalkan saya punya duit cukup, lantas saya ingin kejadian anak saya belajar sepeda menjadi top hits, maka saya bisa memesan hal itu agar bisa ditayangkan berulang - ulang sampe penonton hafal atau bosan. Semacam iklan juga. Wallahualam. Ini cuma katanya saja, walau kebenarannya bisa jadi tebak - tebak buah manggis. Tolong pastikan sendiri, kan anda yang makan manggisnya.

Saya mengenal lagu dari radio. Andai jaman tahun 70-an, di rumah kala itu cuma ada kaset klasik koleksi bapak yang makin kusut masai karena dipake buat mainan. Pitanya di-olor-olor kemana - mana. Setelah duduk di bangku SMP baru-lah mendapatkan hadiah pemutar kaset, istilah kerennya 'tape-compo'. Perlu saya jelaskan disini, bahwa ihwal lagu ini terkait dengan radio dan televisi juga. Jadi begini, jaman saya kecil, media televisi menjadi ajang promosi lagu. Produser lagu membayar televisi untuk mengiklankan lagu - lagu bikinannya. Beberpa acara di televisi memang menyediakan slot promosi lagu, misalnya 'Aneka Ria Safari' atau 'Galarama'. Dan ini jaman sekarang juga, karena semenjak MTV, maka budaya iklan lagu semacam ini jadi semakin meledak. Istilahnya video clip. Hingga ada lagu yang berjudul 'Video Kill Radio Star' yang jadi tayang perdana MTV.

Itu urusan 'tape compo' dan klip di televisi. Bagaimana dengan radio ? Jaman saya kecil, stasiun radio mempunyai kupon untuk meminta lagu. Jadi pendengar setia radio boleh menelepon,-- atau datang sendiri-- ke stasiun radio tersebut untuk meminta lagu yang hendak diputar. Anak SMP banyak nongkrong di stasiun radio untuk mendapatkan kupon lagu ini. Kupon ini bisa saja ada harganya, bisa juga gratis. Singkat cerita radio lebih dominan memutar lagu - lagu yang diminta pendengar. Istilahnya lagu rikues. Untuk itulah beberapa stasiun radio berinisiatif membuat ranking mingguan --atau bulanan-- terhadap lagu - lagu yang paling laris dipesan pendengar. Istilah kerennya top-ten.

Dua tahun lalu saya sempat ngobrol bareng seorang teman ihwal lagu - lagu di radio. Dia menceritakan adanya sistem iklan pemutaran lagu di radio - radio. Jadi, singkat ceritera,-- lagu yang sering diputar di radio jaman sekarang ini belumlah tentu itu permintaan pendengar. Namun memang ada produsen - produsen musik yang membayar stasiun radio untuk selalu memutar lagu dagangan dia. Makin gede bayarannya, makin seringlah lagu itu diputar. Harapannya, lagunya dihafal orang, dan orang jadi membeli kasetnya. Atau bila ternyata bajakannya sudah rilis, setidaknya RBT-nya laris manis. Iklan.

Radio sudah menjadi mirip MTV. Siapa yang bayar, maka diputar. Advertisement memang memakan porsi besar, karena menjanjikan putaran duit.

Bagaimana dengan buku ? Saya mengenal buku semenjak TK. Dengan mengacak - acak koleksi buku Bapak. Dan saya memiliki koleksi buku pribadi semenjak kelas tiga SD. Jaman dulu ada beda antara percetakan dengan penerbitan. Percetakan bisa mencetak apa saja sesuai kemauan pemesan, asal ada duit. Sementara penerbit adalah menyortir naskah, mendapatkan naskah bermutu, lantas mencetaknya sebagai buku, dan kemudian dijual. Tentunya sebagian laba penjualan disetorkan kepada penulis.

Bagi saya sekarang, antara penerbit dan percetakan agak tersamar. Hampir mirip. Tak jarang buku yang kurang maknyus bisa terbit karena penulisnya memiliki modal. Penerbit memang masih menjalankan fungsi sortirnya, tapi tidak sekedar sortir redaksional dan topik, tapi ternyata soal pendanaan juga. Semakin besar dana yang disetor, maka peluang terbit akan semakin besar. Seorang teman dengan sinis berkata,"..jadilah penulis yang bermodal, atau jadilah orang kaya yang bisa menulis. Maka bukumu akan terbit..." [] haris fauzi - 9 maret 2011