Sunday, November 30, 2008

kenisah : "Krrrrk...!!!"

Krrrrrrk….!!!, telpon meja kerja saya berbunyi.

“Ya. Halo…”, saya angkat.

“Ini dari HRD, konfirmasi tentang acara nanti, tamunya dateng jam 10 ya, Pak, di ruang meeting direksi”, bunyi dari seberang, staff HRD berbicara.

“Ya”

“Makasih”

Klik

 

Menjelang pukul sepuluh, saya mengemasi buku kerja dan hand-out, flashdisc masuk kantong. Beranjak menuju ruang meeting direksi. Sesampai di sana ternyata ruangan masih kosong melompong. Komputer dan proyektor sudah siap, tapi belum ada orang. Saya iseng mencolokkan flashdisc dan mengemudikan komputer, menyalakan player –‘Huma di Atas Bukit’-nya GodBless berkumandang dengan megahnya.

 

Hari itu pikiran saya bercabang – cabang. Sambil menunggu acara, saya iseng membuka aplikasi notepad. Memang saya sangat suka dengan aplikasi ini. Enak dibuat nulis, hobi saya di kala iseng, dan kecil kapasitasnya. Ya. Pas itu saya iseng mencoba menulis alakadarnya, dan entah kenapa kali itu saya melancarkan jemari menulis tentang anak jalanan.

 

Sekitar pukul 10.20, staff HRD masuk ruangan. Dia yang menelepon saya tadi.

“Pak, acaranya diundur, sekitar jam sebelasan ya…”

“Ya. Saya disini aja, nunggu sambil iseng mainin komputer. Boleh kan ?”

“Boleh, Pak…”

Saya melanjutkan menulis paragraf demi paragraf. Kali ini lagu kenangan “Do You Dream Of Me” dari Michael W.Smith. Berikutnya lagu dari Yes “ And You And I”. Saya tetap iseng menulis.

 

Pukul sebelas, tulisan itu sudah mencapai halaman ketiga. Tamu mulai berdatangan. Mereka menyusun perlengkapan audio video. Ada peralatan pencahayaan segala. Saya masih asyik bolak – balik membaca dan menyempurnakan tulisan saya itu. Saat itulah saya terinspirasi sebuah judul untuk tulisan saya itu,”REMUK”. Entah kenapa tulisan ini menjadi seperti cerita pendek sepanjang empat halaman. Bernuansa cenderung kelam.

 

Tak lama kemudian saya membuka aplikasi dialog chatting. Saya klik nama seseorang yang saya kenal gemar membaca. Dan dia juga mengenal pola tulisan saya. Maksud saya, saya hendak coba asistensikan ke dia tulisan iseng barusan, untuk di koreksi tentunya. Saya teringat, bahwa dari media maya, saya pernah membaca akan adanya seleksi karya sastra untuk majalah budaya yang bakal terbit awal tahun 2009. Setelah saya timbang – timbang, bisa jadi tulisan saya barusan mungkin akan saya kirim ke dewan redaksi tersebut. Toh kriterianya nyerempet – nyerempet. Untuk itu saya butuh seseorang yang bisa mengoreksi dan memberi masukan. Dan dia bersedia. Segera saya kirimkan tulisan saya itu kepada rekan tadi.

 

Pukul 11.10 para peserta acara yang lain mulai berdatangan memenuhi bangku. Petugas juga sudah hilir mudik mengacungkan jempol tangan berkali – kali. Saatnya untuk meninggalkan pekerjaan iseng tulis – menulis ini. Saya menutup aplikasi notepad dan membuka aplikasi presentasi. Dan segalanya telah siap. Sekarang saatnya bekerja.

 

Acara kantor itu dimulai, dan selesai menjelang pukul dua belas, saat istirahat siang. Saya menutup semua aplikasi, mencabut flash disc, dan balik ke meja menenteng buku kerja. Menjelang makan siang, saya tanyakan pendapatnya tentang tulisan saya tadi. Beberapa masukan dia berikan. Segera saya koreksi tulisan saya sesuai katanya, walau nggak sepenuhnya saya kerjakan semuanya. Sempat saya lontarkan pertanyaan sederhana,

”...tulisan itu tentang apa ?”.

“Anak jalanan, bener ga ?”

“Bener”, tutup saya.

Beres. Sekarang saatnya membuka aplikasi surat elektronik.

 

Klik. Saya tekan tombol pengiriman. Tulisan itu terkirim via surat elektronik ke dewan redaksi majalah budaya tersebut. Saya mendapat konfirmasi penerimaan naskah dan jadwal pemberitahuan proses seleksinya. 24 Nopember 2008. Saya tandai hari tersebut di agenda kerja saya. Tak lupa saya sampaikan kepada rekan saya tadi tentang seleksi dan tanggal pengumumannya. Kepada dia, saya bilang bahwa pengumumannya akan dirilis tanggal 25 Nopember. Sengaja saya selang satu hari. Dia menjawab,”Mudah – mudahan lulus…” sambil senyum.

 

Senin tanggal 24 Nopember 2008, sejak pagi saya perbaharui kolom surat saya, dan hingga menjelang senja belum ada pengumuman soal itu. Tak sabar hati ini, tanggal 25 pagi hari, saya berkirim pesan pendek ke ponsel dewan redaksi, dan tidak dibalas. Baru pada sekitar menjelang siang, saya menerima sebuah suratelektronik yang pada kolom subyeknya bertuliskan :” INI DIA CERPEN DAN PUISI YG LOLOS SELEKSI –yangmana singkatnya—berbunyi seperti ini :
.....
10 Cerpen Pilihan:
1. Virus Politik karya Asyiah Nurul Fajri
2. Secawan Kopi Untukmu, Pacarku! karya Vin Vulaize Kumbang
3. Pada Suatu Akhir karya Anggit Saranta
4. I Love Bogor karya Windi Hastuti
5. Remuk karya Haris Fauzi
6. Soneta di Musim Hujan karya Indi Saragi
7. Biarlah Mendungnya Menjadi Hujan karya Dadi M.H.B.
8. Kota Masa Depan karya Helmy Fahruroji
9. Nafsu Bukan Cinta karya Wahyudimalamhari
10.Becak dan Prinsip Karya Janwar
.....
[] haris fauzi - 29 nopember 2008

MUSIK PROGRESIF DAN KITA

 

Musik Progresif

 

Banyak definisi tentang musik rock progresif (atau sering disebut dengan 'progresif' atau 'prog' saja), yang mana tersedia dalam berbagai literatur. Secara sederhana musik Rock Progresif adalah musik yang kompleks diisi banyak elemen musik mulai dari musik klasik hingga tradisional, simfonik, tidak monoton, mengandalkan kepiawaian memainkan alat musik, dan sering berdurasi panjang untuk menampung banyaknya ide dan cerita yang variatif serta komposisi yang berubah - ubah.

 

Ada tiga kelompok besar genre musik rock progresif yang cukup subur. Yakni Progresif Metal, Neo Progresif (Modern Progresif), dan Rock Progresif itu sendiri sebagai biangnya.

Rock Progresif sebagai cikal – bakal diawali oleh The Beatles dan terus berkembang di tahun 60-70-an. Genre ini nampak jelas dalam karya – karya Yes, Genesis, Peter Gabriel, ELP, King Crimson, dan Pink Floyd.Sementara progresif metal dan neo progresif baru mewabah sekitar belasan tahun terakhir, setelah kelompok musik pengusung rock progresif mulai meredup satu - persatu. Progresif metal dan neo progresif lebih tersegmen, tidak seperti buyutnya yang seakan – akan 'apa aja dimakan', tak kurang musisi rock progresif memanfaatkan alat musik tradisional, bunyi hentakan kaki, atau apa saja demi berkarya. Sungguh campur-baur.

 

Secara awam, mereka bisa dibedakan dari ciri – ciri permainan musiknya. Progresif metal adalah kelompok musik yang memainkan ciri progresif dengan sentuhan heavy metal. Ini sungguh kondang sekarang. Drum yang rapat, bunyi bass yang menggelora, sayatan keyboard yang berkelebatan seperti samurai, serta gitar yang menderu laksana kereta cepat dengan beberapa kali melodi yang menyayat – nyayat. Vokalnya juga menjelajah banyak oktaf, diimbangi durasi lagu yang panjang, sekitar belasan menit. Bagaimana musisi – musisi nordic dengan hebatnya memainkan genre ini. Namun, tentunya yang paling gampang dijadikan kiblat adalah Dream Theater,Rhapsody, atau Symphony-X. Bila anda menjumpai musisi heavy metal dengan dominasi keyboard, bisa jadi mereka pengusung genre ini.

 

Sementara neo-progresif, adalah genre musik rock yang menyenandungkan ritmis yang lebih simfonik, dengan melodi – melodi manis yang selalu tak lupa disisipkan dengan indahnya. Pengisian bunyi keyboard juga sangat mengena dengan manis, ketukan drum lebih mengisi ritmis yang pas, tidak menggebu – gebu. Bagi pendengar awam, maka bisa jadi mengira genre ini adalah fusion (salah satu cabang silang dari Jazz). Cukup banyak kemiripannya, salah satunya adalah interlude panjang penuh improvisasi dengan dua atau tiga duel perangkat musik, dan sering pula berkarya instrumentalia dengan dua keyboards. Perbedaan yang jelas dibandingkan dengan fusion adalah neo-progresif lebih memiliki power, karena dia sendirinya berada di jalur rock. Jaman sekarang ini, aliran ini cukup pupoler mengalahkan buyutnya sendiri, progresif rock. Yang mempopulerkan diantaranya adalah Spock's Beard, The Flower Kings, dan Trans-Atlantic.

 

 

Di Indonesia

 

Secara ringkas, musik Indonesia juga mengalami hal serupa. Bagaimana di awal karirnya GodBless terinfeksi genre yang demikian mewabah ini, yang sangat nyata di album "Cermin". Bukan hanya itu, album – album perdana dari penyanyi pop Chrisye-pun tak luput berkiblat ke genre rock progresif di album "Percik Pesona" dan "Pantulan Cita". Jaman 70-an  memang era-nya progresif seiring dengan berkembang suburnya rock n roll.

 

Bagaimana Indonesia sekarang ? Bila kita bicara kekinian, maka kita membicarakan neo progresif dan progresif metal. Dan di Indonesia, mungkin kita pernah mendengar kelompok Vantasma, kelompok pengusung neo-progresif  yang merilis album studio di tahun 2006 berjudul "Beyond Fallen Dreams". Ya. Indonesia memiliki musisi genre ini juga. Selain itu, Makara, dalam rangka re-born pertengahan tahun 2008 juga merilis album barunya berjudul "Maureen" yang diakui banyak pengamat bermain di mainstream genre neo progresif ini.

 

Dari sisi progresif metal Indonesia juga tidak absen. Awal tahun 2008 kita ketiban rilis album perdana The Miracle, pemuja Dream Theater ini menelurkan album progresif metal berjudul "TheM…" yang lebih soft ketimbang kiblatnya. Walaupun lebih poppy, namun tetap saja permainan mereka complicated dan dengan keahlian yang sempurna.

 

Vantasma, Makara, dan The Miracle tidak hanya memeriahkan bursa deretan album musik di toko – toko, namun mereka juga beberapa kali naik panggung. Dan sebagai ciri khas pengusung musik progresif yang sangat bergantung kepada keahlian musisinya memainkan alat musik, maka mereka juga sangat mumpuni ketika berada di atas pentas.

 

Bagaimana dengan restan orde rock progresif ? Untuk urusan ini, bangsa kita punya Discus. Kelompok musik yang memiliki dua album "1st" (1999) dan "…Tot Licht!" (2003) dan memiliki jadwal naik panggung di Eropa – Amerika yang cukup tinggi. Album - albumnya mendapat sambutan yang baik di Eropa, namun tidak sempat populer di tanah airnya sendiri. Di ajang dalam negeri Discus sempat meraih award untuk kategori Band Progresif terbaik 2004 dari AMI.

 

Discus

 

Berbeda dengan Makara atau Vantasma yang mengusung neo progresif. Atau Lord Symphony dan The Miracle yang berbendera progresif metal. Discus ber-akar dari "akar". Dan sungguh lebar ranah bermusiknya. Menilik dari punggawanya, Discus meramu segala aliran musik yang ada dari klasik, jazz, rock, hingga etnis layaknya Peter Gabriel, dan nggak canggung pula sesekali bermain keras ala heavy metal.

Dari catatan album "…tot licht!", tercantum nama Fadhil Indra (lead vocals, keyboards, electronic percussion, gongs, rindik, kempli, gender); Iwan Hasan (lead vocals, electric & classical guitars, 21 strings harpguitar, keyboard, guitalele & stummed violin); Kiki Caloh (lead vocal, electric bass); Anto Praboe (lead vocals, suling, flute, clarinet, bass clarinet, tenor saxophone); Eko Partitur (lead vocal, violin); Hayunaji (vocals, drums, kempli);Krisna Prameswara (vocal, keyboards), dan Nonnie (vocals). Betapa beragamnya alat musiknya, bahkan keyboards bertebaran dimana – mana. Belum lagi ada tambahan musisi dalam menyelesaikan album tersebut, diantaranya yang menarik adalah peran Ombat Nasution (vokalis grup heavy metal 'Tengkorak') yang ikut urun suara di lagu 'breathe'.

 

Ya, Discus mengusung rock progresif yang sudah uzur dan sangat kompleks itu. Walau uzur, genre ini masih ada disini, salah satunya adalah karena memang komunitasnya ada. Komunitas resmi musik progresif di Indonesiasalah satunya adalah Indonesian Progressive Society (IPS). Dan di bawah bendera IPS, telah banyak musisi progresif Indonesia yang lahir dan berkarya. Mulai dari pementasan hingga album rekaman. Diantaranya adalahVantasma, Pendulum, Anane, Discus, Imanissimo, dan beberapa lagi.

 

 

Discus di Salihara

 

Dalam medio November ini, Discus berkesempatan naik panggung di Komunitas Salihara. Tentunya sebuah produk entertainment yang memikat dan bermutu. Menunggu Discus manggung rasanya sudah seperti menanti bidadari turun dari langit. Jangan dikira Discus akan manggung layaknya musisi rock. Mereka lebih mirip musisi klasik atau orkestra. Penampilan panggung mereka harus ditunjang oleh akustik gedung dan sistem suara yang mapan. Penontonnya pun pasti santun seperti nonton konser klasik. Memasuki gedung mengingatkan akan beberapa tahun lalu saya nonton duet gitar akustik klasik di Erasmus Huis.

 

Format panggung adalah Anto Praboe ada di kiri depan dengan segala perangkat tiupnya, dan di belakangnya ada Krisna Prameswara bertopi merah berikut korg set keyboardnya.

Di tengah panggung, ada Iwan Hasan dengan menenteng gitar hijau, berkemeja hijau, berjaket krem. Agak belakang sedikit, dengan busana hitam, sang vokalis, Yuyun, sering lewat kesana – kemari sambil menari. Persis di tengah belakang, dengan perkasanya bercokol Hayunaji. Gebugannya benar – benar memukau. Di panggung depan agak ke kanan, ada Kiki Caloh berbusana setengah kimono, sering tersenyum sambil mencabik bass mengingatkan Chris Squire-nya YES.

 

Dari sisi kanan depan, si rambut gondrong Eko Partitur sesekali kebelit kabel biolanya. Sungguh menjadi penyihir dia malam ini. Di belakang Eko, berjubel Fadhil Indra dengan beragam perangkat gamelan dan tentu saja keyboard kesayangan Fadhil. Di tambah satu lagi, seorang gitaris yang saya ga tau namanya yang mainnya mirip David Gilmour-nya Pink Floyd.

 

Dalam panggung itu, dimana didedikasikan untuk para 'teman – teman Discus',--demikian menurut Fadhil Indra sebagai juru bicara,  Discus menampilkan kurang lebih sepuluh lagu. Beberapa saya nggak faham judul lagunya, karena memang ada yang meddley dengan aransemen yang sungguh berbeda. Atau lagu untuk pengisi album baru, dan ada satu lagu yang hanya dirilis di Jepang.

 

Setidaknya  yang saya hafal adalah lagu pembukaan konser yakni  Contrasts (dari album 1st), yang merupakan lagu adaptasi progresif dari lagu tradisional Gambang Suling. Formasi komplit Discus sungguh memukau pas lagu ini dibawakan. Lagu berikutnya langsung nge-prog total dengan  'verso kartini (door duisternis tot licht)', dan disambung 'breathe' dari album kedua, namun sayangnya nggak ada growl Ombat Nasution seperti di album studionya. Sang drummer, Hayunaji, keren bener mainnya. Mantap pukulannya, apalagi Kiki Caloh setia mengiringi dengan betotan bass-nya. Mereka berdua seakan punya energi cadangan hingga ditutupnya konser apik ini.

 

Discus, yang dalam narasi Iwan Hasan disampaikan bahwa kelompok ini semula ber-genre jazz, akhirnya menampilkan satu lagu yang bener – bener nge-jazz.Sebelum itu, Discus sempat ber-'sesi akustik' dengan tiga orang saja, Iwan Hasan, Anto Praboe, dan Eko Partitur merangkai meddley dari adaptasi akustik lagu mereka. Judulnya saya lupa.

 

Selain itu semua yang saya sebutkan, Discus nge-prog habis – habisan. Nge rock sampe Iwan Hasan kehabisan suara. Dan lucunya, dia mengakuinya. Lantas menyerahkan vokal kepada Kiki Caloh di lagu berikutnya, kalau nggak salah judulnya 'Misfortuner Lunatic'.

 

Pada dasarnya memang Discus adalah musisi rock, walau berangkat dari grup jazz. Pertunjukan malam itu di dominasi oleh dentuman musik rock yang memiliki kadar etnik cukup tinggi. Fadhil nggak jarang meninggalkan keyboard untuk memukul bunyi – bunyian tradisional. Juga Anto Praboe yang berkali – kali memanfaatkan alat musik tiup daerah. Seakan nggak cukup itu, Krisna juga piawai melahirkan bunyi – bunyian bernuansa 'world music' dan etnis dari perangkatnya. Di tengah ritmis musik rock yang padu, Discus dengan lihai mengkombinasikan segala pernak – pernik etnik tersebut.

 

Dalam panggung itu, semua bermain dengan baik, nggak terkecuali gitaris yang mojok di belakang Eko Partitur, walau dia berkesan pendiam, tapi kontribusinya sungguh berarti. Iwan dan Fadhil bener – bener nyantai, mereka berdua menjadi juru bicara yang nggak protokoler sama sekali.

 

Ada beberapa lagu baru yang katanya hendak dimuat di album mendatang. Cukup menjanjikan. Dan semoga, album baru itu terwujud. Sekaligus pembuktian, bahwa progresif di Indonesia masihlah ada, baik di panggung ataupun di cakram rekaman. []

 

CATATAN KAKI :

Cuplikan dari wikipedia sebagai catatan tambahan :

 

Progressive rock,

… atau sering disingkat prog adalah jenis musik yang mulai berkembang pada akhir dekade 60-an dan mencapai masa jayanya di tahun 70-an, menggabungkan elemen-elemen dari rock, jazz dan musik klasik. Kadang pengaruh dari blues dan musik tradisional juga terasa.

Berawal dari eksperimentasi musisi rock saat itu, diinspirasi oleh The Beatles dan The Beach Boys mereka mulai menggabungkan musik tradisional, musik klasik dan jazz ke dalam komposisi mereka. Beberapa band progressive rock terkemuka adalah Yes, King Crimson, UK, Pink Floyd dan Genesis dari sekitar tahun 1969, Rush dari tahun 70-an dan Marillion, Dream Theater dari 80-an.

Seperti halnya aliran-aliran musik yang lain, adalah sangat sulit untuk mendefinisikan musik rock progresif secara tepat. Karena inilah terdapat banyak perdebatan mengenai apakah satu kelompok musik prog atau tidak. Namun ada beberapa ciri khas musik prog yang biasanya dapat ditemui dalam karya-karya musisi prog. Di antaranya adalah ritme yang tidak konvensional (bukan 4/4 atau sinkopasi), penguasaan alat musik yang mahir dengan permainan solo yang rumit, dan lagu-lagu yang panjangnya melebihi normal (lebih dari 5 menit, biasanya sekitar 12-20 menit atau bahkan lebih panjang).

Banyak grup progressive rock yang menerbitkan satu album dengan lagu-lagu yang bertemakan sama atau sambung-menyambung menceritakan satu cerita (disebut album konsep). Contoh-contoh album konsep di antaranya adalah Metropolis 2: Scenes from a Memory dari Dream Theater dan The Lamb Lies Down on Broadway dari Genesis. Banyak pula group musik progressive saat ini yang mulai keluar dari stigma musik progressive sebagai genre dan kembali ke pemikiran inti musik progressive sebagai pandangan yang amat sangat kuat dipengaruhi pandangan Jazz.

 

 

Discus,

…adalah kelompok musik progressive rock asal Indonesia yang memadukan unsur-unsur musik rock, jazz, klasik, metal, dan musik tradisional Indonesia. Discus dibentuk pada tahun 1996 dan sampai saat ini telah merilis dua album.

Pembentukannya berawal dari pertemuan antara Iwan Hasan dengan Anto Praboe. Mereka lalu mengajak Fadhil Indra untuk bergabung.

 

Penampilan di Mancanegara

Discus sudah sering tampil di mancanegara. Antara lain dalam "ProgNight" di San Francisco, "Knitting Factory" diNew York, dan "ProgDay" di North Carolina. Semuanya digelar di Amerika Serikat.

Discus juga tampil dalam "BajaProg" di Baja, Meksiko tahun 2001, "Progsol" di Pratteln, Swiss tahun 2005, dan yang terakhir "FreakShow" di Wurzburg, Jerman tahun 2005 juga.

Sebenarnya, Discus juga dijadwalkan tampil di festival Zappalane di Bad Doberan, Jerman, tahun 2007. Sayang, karena tidak kebagian tiket pesawat, Discus batal tampil. Padahal, Discus tidak hanya mewakili Indonesia, tapi juga Benua Asia.

[sunting] Album

Discus telah merilis 2 album, yaitu "1st" dan "...Tot Licht!" yang terjual total sekitar 20 ribu keping.

Tahun 2004, Discus meraih penghargaan "AMI Samsung Award 2004" lewat lagu Anne di album "...Tot Licht!" dan "Band Rock Progresif Terbaik 2004".

Anggota

1.         Iwan Hasan - vokal, gitar, kibor, 21-string harp guitar

2.         Fadhil Indra - vokal kedua, perkusi, rindik

3.         Anto Praboe - klarinet, flute, saksofon

4.         Kici Caloh - bas, vokal kedua

5.         Eko Partitur - biola, vokal kedua

6.         Yuyun - vokal kedua, perkusi

7.         Krisna Prameswara - kibor

8.         Hayunaji - drum

Diskografi

•           1st (1999)

•           ...Tot Licht! (2003)






 

Monday, November 24, 2008

kenisah : relief

RELIEF

Andai boleh dimisalkan, maka apa yang kita alami setiap harinya mungkin bisa jadi berupa deretan relief yang demikian panjang, sepanjang jajaran umur kita menghirup udara di muka bumi ini. Peristiwa - peristiwa yang terjadi seperti relief yang berjajar demikian panjang karena dibikin setiap hari, setiap waktu. Tercetak dengan kadar yang berbeda - beda, ada relief yang demikian jelas, namun ada juga yang kabur.

Beberapa kejadian yang kita alami, entah menyenangkan atau tidak, kadang terpateri demikian kuat dalam relung hati, sehingga tertanam dan tidak terlupakan. Namun, beberapa kejadian kadangkala malah terlewati sebagai sebuah rutinitas biasa. Walau kadangkala bagi orang lain merupakan kejadian luar biasa. Apa yang membuat demikian adalah tergantung bagaimana kita menjalani peristiwa tersebut, atmosfir yang menyelimuti, dan tentunya tekad yang ada dalam dada.

Salah seorang rekan saya menyampaikan ihwal ini setelah kepulangannya dari Tanah Suci, Makkah. Beberapa tahun silam. Dia merasa suatu saat harus mengulangi kepergiannya ke sana, karena merasa kepergian yang sudah dia lakukan barusan hanya berada di tataran formalitas semata. Belum mencetak relief yang demikian nyata yang bisa mengubah hidupnya. Hanya pergi "membeli panasnya padang pasir", tulis Ali Syariati dalam bukunya yang terkenal "HAJI". Inilah yang disebut dengan "kegagalan memaknai sebuah kejadian".

Saya sendiri belum faham benar ihwal 'acara' naik haji, karena saya belum punya kesempatan menunaikan. Namun, rasanya, kegiatan itu 'harusnya' akan mengubah paradigma seseorang yang melakukannya. Andai setelah pulang dari perjalanan itu seseorang masih 'seperti biasa', maka, perjalanan ke tanah suci itu belumlah bermanfaat dengan baik. Demikian menurut banyak tulisan.
Dan merujuk dari sini, maka kejadian itu haruslah tertanam demikian kuat ke dalam benak seseorang. Reliefnya tercetak demikian jelas, sehingga mampu menjadi referensi dan mengubah paradigma hidupnya.

Apa yang membuat suatu kejadian dalam penggalan kisah hidup itu bisa demikian kuat tertanam ? Yang bisa mengubah seseorang ? Atau yang membuat terkenang demikian manis ?
Sekelompok musisi asal Inggris, Led Zeppelin, pernah menciptakan karya yang demikian hebat, sebuah lagu berjudul 'Stairway To Heaven'. Lagu yang sukses. Mengomentari kesuksesan lagu tersebut, Led Zeppelin mengatakan bahwa mereka tidak akan menciptakan lagu seperti itu lagi, karena proses kreatif mereka tidak hendak mengulang kejadian yang serupa. Kadang, kejadian itu menjadi demikian bermakna ketika tidak terjadi pengulangan. Demikian menurut Led Zeppelin.

Seperti di sampaikan oleh banyak penyair, manusia adalah musafir yang berjalan dengan kakinya, dan lantas mengukur kejadian di belakangnya, menatap kejadian di depannya, dan berkelakar dengan urusan di sampingnya. Karena perjalanan panjang itu adalah keniscayaan. Suatu perjalanan yang mungkin akan membawa ke suatu tempat yang sudah kita idam-idamkan, atau kadangkala penggalan perjalanan yang malah kita sendiri tidak tau dibawa kemana, dan tiba di tempat yang sama sekali tidak kita kira. Ini suatu peluang yang sangat mungkin. Karena kita menjalani hidup dengan banyak sekali direktori pilihan. Jalanan yang dilalui bukan jalan lurus, ada persimpangan - persimpangan yang harus dipilih. Mungkin suatu ketika kita sudah tau hendak memilih persimpangan yang mana, namun suatu saat kita akan berbelok menurut kata hati. Tanpa rencana.

Suatu saat kita merasa seperti dalam dunia yang terang benderang, berlarian kesana - kemari, namun suatu hari tak jarang kita seperti hendak menulis dalam kelam. Hanya hati kita yang tau apa yang kita tuliskan, sementara mata ini dibutakan oleh selubung gelap.
Kadang kita berlari menembus semak, kadang berteriak memberontak, namun kadang kita tertawa sepuasnya. Tak jarang berhenti terpekur, putus asa. Itulah perjalanan sang musafir tadi. Perjalanan yang pada akhirnya mencetak relief - relief yang berisikan suasana hati. Didokumentasikan sepanjang jalan. Sepenggal relief mungkin menjadi demikian berarti, dan tak jarang beberapa potongan relief itu berlalu begitu saja.

Namun, satu hal yang membuat kita bisa memaknai penggalan relief - relief itu adalah bagaimana kita menghargai kejadian tersebut. Membuatnya menjadi suatu yang berharga, dan membingkainya dengan ingatan yang tak hendak dilupakan.

Dengan menghargai dan menemukan maknanya, maka relief itu akan menjadi suatu hal yang mengubah paradigma hidup. Yang akan kita 'lihat' setiap saat, yang mana semakin sering dilihat akan semakin jelas dan nyata. Walau kejadian itu sendiri sudah terjadi beberapa tahun silam. Menjadi sebuah referensi yang mengarahkan paradigma.

Banyak hal yang mungkin terjadi. Apapun yang terjadi dalam perjalanan ini, maka yang terpenting adalah menghargai dan menemukan maknanya, serta menyebarkan hikmahnya. Itulah yang membuat relief itu menjadi kuat dalam kenangan, dan berpengaruh kepada langkah kita di perjalanan berikutnya. Karena kita adalah musafir.[] haris fauzi - 23 nopember 2008

---tulisan ini pendek, namun sebenarnya draft tulisan ini sudah lama sekali terserak, dan tak kunjung selesai hingga saya berdialog dengan seseorang dan membuat saya menyegerakan menyelesaikan tulisan ini, ...trims.. --


salam,

haris fauzi