Thursday, December 06, 2018

Tentang Reuni Akbar 212


Sekarang tanggal 6 Desember 2018, empat hari paska Reuni Akbar 212 yang menghebohkan itu. Benar kata senior saya, Lita Mucharom, bahwa "masih belum bisa move on". Reuni Akbar 212 di Monas Jakarta lalu memang terbukti dahsyat. Dari sisi peserta, saya tidak perlu menyebut angka, karena memang hanya perkiraan di kisaran sepuluh atau belasan juta orang. Dan angka ini selalu didebat kusir oleh mereka yang merasa dirugikan. Kok bisa sebanyak itu ? Yang membuat peserta membludak ada beberapa hal. Salah satunya adalah diksi "REUNI", bukan "AKSI". Ketika diberi judul "aksi", maka hanya orang bernyali yang ikut turun gunung. Namun ketika diberi label "REUNI", maka anak istri juga turun ikutan merayakan hal ini. Pada Aksi 212 tahun 2016, yang ke Monas hanya Bapaknya, kali ini --Reuni-- yang datang Bapak beserta istri dan dua anak. Logika ini menjadikan peserta naik empat kali lipat. Sebab kedua adalah 212 merupakan judul bermagnet tinggi. Mereka yang belum sempat merasakan kedahsyatan Aksi Bela Islam 212 tahun 2016, tentu ingin ikutan di tahun 2018. Jadi lucu juga, yang wisuda lima juta, yang reuni sepuluh juta. Sebab ketiga yang membuat peserta jadi berlipat adalah tempo masa. Setidaknya ada dua kloter besar, kloter pertama hadir jam satu dini hari, trus tahajjud hingga subuhan, dan mungkin pulang. Kloter kedua datang pas waktu dhuha hingga bada dzuhur. Saya termasuk kategori kloter dua. Jadi ada aliran masa datang dan pergi. Ini jelas mempengaruhi kepadatan. Andai mereka semua hadir disaat yang bersamaan, pasti sudah membludag sampai kemana - mana dan bikin stag.

Reuni itu gak perlu malu - malu. Kadang kita malas datang reuni gegara merasa jangan - jangan tidak ada yang kenal. Singkirkan jauh - jauh pikiran itu. Contohlah saya. Saya berangkat sendiri --istri saya tidak bisa berangkat karena sibuk mempersiapkan ujian anak - anak-- dari rumah pukul enam pagi naik ojek, ngobrol dengan tukang ojek, tukang ojek-nya malah pengen ikutan, tapi dia belum pamit istrinya. Sampai stasiun kereta Cilebut, masyaa Allah, satu stasiun isinya peserta 212 nyaris semua tumplek blek. Kebetulan saya tidak lama menunggu kereta, tidak sampai satu menit saya sudah bisa masuk ke KRL. Dan lagi - lagi, gerbong yang saya naiki, almost semua menuju Monas. Ya langsung ngobrol lepas saja kami di gerbong tersebut. Pertanyaan pertama yang sering terlontar bukan "Mau ke Monas, ya ?", tapi malah "Dari kafilah mana ?". Artinya, kami semua sudah sepakat tidak perlu bertanya tujuan, karena diantara kami sudah saling faham bahwa kami semua memang hendak reuni ke Monas. Melewati stasiun demi stasiun, nyaris semua peron dipenihi calon peserta reuni 212. Nyaris semua yang naik adalah bertujuan sama, Reuni Akbar 212 di Monas.

Sekitar pukul 7.30, KRL telah melewati stasiun Manggarai. Nampak peserta yang hendak menuju Monas masih saja berjibun di peron Manggarai. Peserta yang dari KRL melontarkan takbir, yang dari peron mengucapkan salam. Indah sekali. Lolos dari Manggarai, KRL lantas merayap untuk meluncur naik rel flyover. Urutannya adalah stasiun Gondangdia, lantas Gambir, lantas Juanda. Saya sengaja hendak turun di stasiun Juanda, dengan tujuan menghindari keriuhan. Maklum nyaris semua penumpang yang peserta 212 ini ternyata hendak turun di stasiun Gondangdia. Benar juga, betapa sesak penuh padat-nya stasiun Gondangdia. Dan lagi, bila turun di Juanda, saya punya kesempatan bisa melihat situasi Monas dari atas, yakni dari jalur stasiun Gambir. Dan ini terwujud, dari stasiun Gambir terlihat jelas menjelang pukul 8 pagi, betapa padatnya Monas dan sekitarnya. Tidak hanya Monas, sudah meluber kemana - mana. Memutih.

Tiba di stasiun Juanda, ternyata nyaris tidak berbeda dengan stasiun Gondangdia. Sama penuhnya. Turun dari KRL disambut shalawatan. Ternyata antrian tapping tiket KRL di lantai dasar telah mencapai peron lantai atas. Mereka semua --nyaris semua-- hendak menuju Monas. Antri sambil bershalawat. Sungguh membuat hati bergetar hebat. Saya lebur dalam antrian tersebut. Satu jam mengantri tapping tiket KRL, saya bisa keluar dari stasiun Juanda. Bayangkan, antri turun tapping saja sekitar satu jam. Berapa banyak antriannya ? Hitung saja sendiri berdasar kapasitas siklus proses tapping dan ada berapa pintu tapping yang dibuka saat itu. Jelas ribuan. Di lantai dasar stasiun Juanda, tidak sepadat antrian tapping, para peserta masih lantang ber-shalawat sambil mulai mengibarkan bendera tauhid dimana - mana. Dimana - mana ! Tidak mungkin ada yang berani melarang pengibaran bendera ini. Subhanallah. Pria wanita tua muda dewasa anak, semua tumpah ruah memuliakan acara akbar ini. Inilah yang membuat peserta reuni ini menjadi membludak. Pesertanya lebih banyak dari pas Aksi 212 tahun 2016 lalu. Saya yakin itu.

Berjalan beriringan dari stasiun Juanda ke Monas, menempuh sekitar 2 kilometer jalan kaki memakan waktu sekitar 20 - 30 menit. Kibaran bendera tauhid di mana - mana. Jadi, bila tidak silap, pada pukul 9.30 arus massa membawa saya mulai memasuki area Monas. Penuh sesak peserta reuni, walau beberapa spot banyak juga pedagang yang menawarkan makanan dan pernak - pernik 212. Nah, disinilah mulai rapat bin padat sekali barisan peserta Reuni Akbar 212. Serapat antrian tapping di stasiun Juanda. Hanya sejengkal jarak antar peserta. Mungkin membutuhkan waktu satu jam untuk bisa masuk area dalam Monas. Dan ini berupa antrian aliran arus manusia. Saya terbawa masuk, dan di dalam area dalam Monas sempat sekitar satu jam, namun gerakan arus manusia yang sedemikian besar ini tidak membawa saya menuju depan panggung, malah membawa saya ke arus pintu keluar berikutnya. Cukup membuat hati kecewa, namun biarlah, saya memang kesiangan datang ke Monas, wajar bila tidak bisa merapat ke depan panggung utama. Di area Monas, saya malah terbawa arus keluar. Ternyata, beberapa jamaah reuni yang datang malam, mengikuti kegiatan tahajud hingga subuh, sebagian mulai pulang pada pukul 8-10 siang. Dan saya terbawa arus ini. Arus masa ini membawa saya hingga stasiun Gondangdia. Yaelah. Saya terbawa arus pulang ! Arus masa ini beriringan memenuhi jalanan Jakarta. Di depan Gambir saya sempat bersua dengan rombongan dari Malang. Mereka baru masuk. Edun ini. Tiba - tiba saja saya disalami oleh rombongan yang berpapasan. "Assalamualaikum... kami dari kota Malang... baru tiba...". Saya kontan menjawab,"Waalaikumsalaam... saya juga asli malang Mas...". Percakapan tentu tidaklah bisa lama, karena saya terbawa arus keluar, dia terbawa arus masuk, saya tetap mengikuti barisan semula. Entah ke mana saya ikut saja, yang jelas orientasinya adalah stasiun KRL, karena itulah jalan pulang. Kira - kira sekitar satu jam sampailah di spot stasiun Gondangdia, lantas mengantri lagi untuk tapping masuk stasiun KRL Gondangdia, kira - kira menjelang pukul sebelas siang. Balik ke arah Bogor.

Reuni Akbar 212 ini acara spektakuler. Dan penuh keikhlasan. Sungguh mengherankan apabila ada fitnah yang dilayangkan bahwa para peserta Reuni Akbar 212 ini sebagai peserta bayaran. Dibayar seratus ribuan. Tercatat caleg PDIP Kapitra Ampera melontarkan fitnah itu. Harusnya Kapitra bisa belajar dari demo - demo atau aksi yang lain. Lihat saja demo Pecinta Binatang. Monyet saja dibela dalam sebuah aksi, kenapa kalimat Tauhid tidak ? Bukannya sudah seharusnya kalimat Tauhid dibela ? Belajarlah pak Kapitra, agar anda tak lantang jualan fitnah. Tak hanya soal peserta reuni yang di fitnah. Format acara-pun dinyinyir dengan muatan politik. Yaelah. Semenjak peristiwa reformasi 1998 yang dipimpin oleh Prof Amien Rais, pintu politik dan demokrasi dibuka lebar - lebar. Apalagi yang melibatkan banyak peserta. Banyaknya peserta tentu ekuivalen dengan banyaknya kepentingan. Tentu ini tidak salah. Maka, tidak salah juga bila ada peserta yang menyusupkan topik politik. Tak salah pula bila ada panitia yang bersumpah bahwa dia tidak bermuatan politik. Ini beragam. Adakah larangannya bahwa reuni tidak boleh bermuatan politik ? Tentu tidak ada. Peresmian mobil Esemka saja bermuatan politik, bahkan menjadi kendaraan politik untuk kepentingan pilkada DKI dan pilpres 2014. Ini mobil ya. Bisa bermuatan politik. Kenapa yang reunian harus steril dari muatan politik ? Ini namanya gak adil. Apakah semua kegiatan penguasa lantas boleh bermuatan politik ? Sementara oposisi selalu dilarang sana sini ?

Selama beberapa hari paska reuni, media sosial diramaikan dengan euforia reuni Akbar 212. Ada yang positif dan ada yang nyinyir. Kenyinyiran ditunjukkan oleh pengikut loyal penguasa dengan merendah - rendahkan jumlah peserta reuni, salah satunya dinyatakan oleh pejabat humas kepolisian bernama Dedi Prasetyo dan politisi PSI bernama Guntur Romli. Dalam lintas posting di media sosial mereka berdua seakan bersepakat menyebut jumlah peserta reuni sebanyak empat puluh ribu orang. Belum lagi imbuhan bahwa kelancaran dan damainya aksi adalah berkat peran dari kepolisian. Ini yang membuat kepolisian jadi bahan tertawaan. Guntur Romli sendiri mengalami serbuan bully di akun medsos-nya. Hancur lebur si Guntur Romli. Dia masif merendahkan peserta reuni, padahal dia tidak ada kepentingan sama sekali kecuali ketakutan politisnya. Ketakutan ini membuat analisanya ngawur, salah besar, namun ngotot. Ya sudah, biarkan saja, namanya juga politisi gurem lagi cari makan.

Satu lagi keanehan yang muncul. Yakni peliputan media. Hampir tidak ada media yang meliput acara akbar ini. Hanya tercatat TV One dan beberapa media yang saya tidak hafal. namun kebanyakan media mainstream tidaklah menurunkan berita atau meliput hal ini. Memang jamak difahami bahwa media - media mainstream sudah berada di pihak penguasa. Sementara acara reuni ini ter-label sebagai acara oposisi. Mangkanya media arus utama tidak meliput. Tidak meliput atau dilarang meliput ? Apapun alasannya, menurut saya media yang tidak meliput bisa jadi telah kehilangan idealisme jurnalistiknya. Bahkan mungkin sudah tergadai. Tapi itu urusan mereka dengan kebingungan antara idealisme dan kebutuhan perut mereka.
Posisi sulit sepertinya dirasakan oleh Harian Republika. Pembacanya kebanyakan adalah simpatisan 212, namun salah satu pimpinan Republika adalah ketua tim sukses dari calon presiden Jokowi, pemegang kekuasaan sekarang. Apa yang dilakukan Republika pada pemuatan berita edisi hari Senin 3 Desember 2018 menunjukkan pemilihan nilai tengah keadaan tersebut. Masih mendinganlah daripada media - media mainstream yang bungkam --mungkin karena tidak berani-- memberitakan hal ini. Pangamat politik Hersubeno Arief menilai kelalaian media tidak memuat peristiwa besar ini sebagai langkah bunuh diri massal pers Indonesia. Sementara cendekiawan Rocky Gerung menganggap hal ini sebagai peran media dalam menyembunyikan suatu sejarah. Gerung juga menyatakan bahwa media yang tidak menyiarkan acara tersebut hanyalah sebagai brosur pemerintah. Kartunis Mice Misrad juga heran dengan peran media. Dalam harian Merdeka tanggal 4 Desember, Mice menyindir dalam karikatur buatannya, bahwa pers lokal tertidur sementara pers luar negeri sibuk melakukan liputan. Menurut saya, apa yang dikatakan Hersubeno Arief, Rocky Gerung, dan Mice Misrad benar semata. Namun, menurut kubu penguasa tentu berbalikan. Gakpapa. [] haris fauzi, 6 Desember 2018.