Friday, December 15, 2006

kenisah : inreyen

INREYEN
 
Gimana nulis benernya saya nggak pernah tau. Mungkin istilah ini dari bahasa Belanda, suatu istilah untuk masa percobaan, biasanya untuk mobil baru. Dan saya punya mobil tua yang habis oversize dan di-korter mesinnya. Hampir seluruh jerohan mesinnya diganti. Selesai oversize, maka mesin itu harus dijalankan inreyen sepanjang seribu kilometer. Mirip mobil baru. Kecepatannya maksimum 75 km/jam.
 
Semula saya  memandang enteng tugas ini. Tapi kenyataannya sungguh menyesakkan. Seribu kilo itu lama sekali menempuhnya. Saya hampir nggak sabaran untuk menyelesaikan 1000 kilometer ini. Sesak dada saya di salip mobil lain terus - menerus, pengen saya injak pedal gas ini biar langsung 3000 rpm dan lari 100 km/jam. Tapi bila ini saya lakukan, maka proses oversize yang memakan dana lima juta rupiah itu akan sia - sia. Mesin yang masih inreyen itu akan rusak kembali. Akhirnya apa lacur, saya harus berusaha menahan diri.
 
Mungkin kita sudah terlalu terbiasa sesuatu;-- layanan dan konteks materi-- yang cepat, instan, dan 'grusa - grusu'. Contoh gampang ya itu tadi, saya terlalu grusa grusu pengen cepet menyelesaikan masa inreyen. Dan di banyak hal juga terjadi seperti itu. Contoh lain adalah oleh soal keinginan punya CD atau buku. Maka karena harganya mahal, bisa jadi saya akan mengkopi-nya. Ini cuma sekedar contoh buruk yang sedang saya hindari, jangan ditiru.
Contoh lagi urusan pembuatan KTP, SIM, dan sebagainya. Lha wong belum lulus ujian praktek nyetir kok sudah pengen pegang SIM. Ya lantas jadi berandalan di jalanan.
Lha wong ngurus KTP di Kelurahan yang cuma ada mesin ketik kok minta semalam jadi.
 
Yang samar  tetapi nyata adalah di masyarakat kita yang serba sulit ini ternyata ada paragidma pengen cepet kaya. Bayangan dari udik bila merantau ke Jakarta, maka dalam hitungan hari bakal menjadi orang berada. Kalau anaknya sudah lulus kuliah, atau kalau anaknya sudah lulus tes karyawan atau ujian masuk pegawai negeri, maka sudah jelas menjadi manusia mapan.
Seakan lupa berapa sih gaji pertama ? Apakah bayangan 'hidup mapan' yang bisa diwujudkan dengan  gaji pertama ? Jangan - jangan kita memang selalu over estimate terhadap hal ini. Seakan gaji pertama sudah menjawab semua apa yang kita inginkan. Sudah bisa dipake untuk membelanjakan mobil, rumah, pesawat terbang, dan kapal pesiar. Gila atau keblinger. Masih ada proses yang panjang untuk bisa menduduki jabatan yang tinggi, masih butuh waktu yang lama untuk bisa meraih standar gaji yang tinggi, yang cukup sebagai pembeli mobil dan rumah dan pesawat terbang dan kapal pesiar. Nggak kontan.
Dan untuk jawaban ini, karena 'keinginan sudah demikian menggebu', maka jadilah sikap grusa - grusu tadi. Jalan instan diambil untuk meraih pengharapannya.
 
Contoh lain yang cukup mencolok adalah dalam urusan sepak bola. Kalo sudah mengirim duapuluh orang anak muda ke Italia atau ke Belanda, maka kita dalam setengah tahun maka terbayang sudah memiliki para jagoan sepak bola yang siap untuk mendapat kalungan medali emas. Seakan kita lupa, bahwa dua puluh orang anak muda itu tidak akan menjadi apa - apa bila kita tidak mendukung dengan pembinaan dan sistem kompetisi yang baik.  Pengiriman dua puluh bocah itu adalah kopi instan, tinggal seduh bisa diminum. Kita lupa akan adanya  proses ditengah itu. Ini adalah masalah proses normal, bukan kasus quantum leap atau loncatan ke masa depan.
 
Ada beberapa alasan ditempuhnya jalan instan, salah satunya  adalah karena adanya kendala di tengah perjalanan. Hal ini bisa terjadi karena kita sudah terlalu terbiasa untuk mengestimasikan segalanya dengan mulus. Lha itu kan andai semua hitungan lancar. Mulus seperti calo pegawai menjanjikan track karir kepada para audiens-nya. Masalah yang utama adalah adanya faktor kegagalan yang kadangkala ternyata cukup besar. Dan, beberapa kali kegagalan bisa membuat orang kita terkejut dan tersadar bahwa apa yang diinginkan ternyata masih jauh. Oh, ternyata gaji PNS itu segitu toh ? Oh, ternyata lulus insinyur itu ternyata gak gampang cari kerja.... Oh, ternyata sepak bola di Italia itu nggak gampang tho...? Menyadari hal ini, kita sering jadi kehilangan kesabaran.
 
Mungkin saya salah bila menilai bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tidak sabaran. Salah besar ! Bangsa ini sudah terbukti menjadi bangsa penyabar, yang bisa dijajah hingga 300 tahun. Nggak banyak bangsa yang bisa sesabar kita dalam hal ini.
Tetapi, mungkin bisa jadi kita ini merupakan bangsa yang sering grusa - grusu, terburu - buru, dan selalu pengen instan. Lha kalo sudah terburu - buru pengen kaya karena sudah lulus tes kepegawaian, maka dua tiga kali sandungan sudah cukup membulatkan tekad untuk mencari jalan lain agar cita - cita menjadi orang kaya bisa mewujud. The Show Must Go On, Pakde !
 
Yang kuatir adalah bila secara langsung menyangkut kemaslahatan orang banyak. Contohnya adalah pemilihan Kepala Daerah. Semoga hal ini tidak terjadi. Soalnya untuk bertarung di ajang pemilihan seperti ini pastilah tidak gampang. Banyak usaha yang diperlukan. Tidak sedikit orang yang kuatir kalau - kalau ada cara instan dalam ihwal ini. Pas jaman pemilihan kepala desa sejak dulu sudah terdengar kisah yang miring tentang deviden pra dan paska pemilihan. Kayak bursa modal saja. Itu baru tingkat desa. Lha ini tingkat propinsi, lebih hot tentunya.
Dalam kasus ini masih ada satu harapan --walau susah sekali-- yakni  semoga masyarakat bisa memilih dengan tanpa grusa - grusu. Walau mungkin tiap pagi menyantap mie instan, semoga pilihannya tidak instan.  Dan yang lebih penting adalah bangsa ini harus lebih belajar untuk tidak grusa - grusu, belajar untuk menempuh proses normal, setidaknya belajar untuk inreyen. Tapi ya jangan kesuwen (terlalu lama).....[] haris fauzi - 15 Desember 2006


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Friday, December 08, 2006

kenisah : kaos kaki & korupsi

KAOS KAKI & KORUPSI
 
Saya dahulu sekolah di SMP Negeri 3 Malang. Termasuk SMP Negeri paling favorit di kota Malang. Kabarnya para orangtua akan bangga dan suka-ria bila anaknya berhasil lulus tes masuk dan melanjutkan sekolah disitu. Bangga karena sekolahan tersebut punya prestasi akademik yang bagus, sehingga anak  - anaknya bisa jadi bahan pameran para orang tua. Suka karena memang sekolah tersebut punya beberapa hal  yang tidak dimiliki sekolah lain. Salah satu yang utama yang dimiliki  sekolah kami adalah ketatnya peraturan sekolah. Kita tengok saja perihal sepatu. Sepatu yang dikenakan haruslah berwarna hitam. Hitam legam tanpa sejumput warna lain. Ireng thuntheng. Bila kita mempunyai sepatu dengan segaris warna putih, maka kita harus mengecatnya, atau menutup warna putih tersebut.
 
Pernah suatu masa sedang musimnya sepatu warrior. Kalao nggak salah sekitar tahun 1984 - 1986-an. Kala itu musik yang sedang populer adalah albumnya Genesis 'Invisible Touch', Europe 'The Final Countdown', dan Bonjovi 'Slippery When Wet'. Atau yang cukup progresif ada album trio 'Emerson, Lake, & Powell (bukan Palmer)'.
Hampir semua murid pria memakai sepatu warrior. Sepatu warrior adalah sepatu berbahan kanvas yang menutup sampai di atas mata kaki, dengan lingkaran putih pas di mata kaki bergambar kuda warrior. Ada tulisan latin 'W A R R I O R' sebagai merek disitu.  Sepatu ini juga memiliki tepi sol warna putih dan ujung sepatu berwarna putih pula. Nah, demi tegaknya peraturan sekolah, maka tak luput sepatu kayak gini juga musti di cat hitam kelam. Ada yang ditimpa tinta spidol hitam.
 
Entah karena lekang musim, sepatu - sepatu itu setelah sekian bulan muncul warna asli putihnya, cat hitam-nya pada mengelupas. Spidolnya pada luntur. Hampir semua pemakai sepatu ini mengalami hal ini. Dan.... mereka pada teledor  tidak melakukan pengecatan ulang. 
Maka tibalah masa inspeksi mendadak itu ! Pagi itu laksana teror dari polisi militer, dewan guru merazia kaki - kaki kami. Semua murid mendadak dikeluarkan dari kelas dan di bariskan. Murid yang tidak memenuhi aturan 'persepatuan' dipisahkan dan dibariskan tersendiri. Semua sepatu yang tidak hitam polos harus di lepas dan dimasukkan ke peti raksasa di tengah lapangan voli. Peti itu setinggi dua meteran, jadi harus dengan cara melemparkannya agar sepatu - sepatu itu bisa masuk ke dalam peti. Muridnya ya sekolah dengan telanjang kaki. Karena banyak, mereka sempat bersenda gurau cekikikan di sana - sini.
 
Ternyata pemakai sepatu itu bisa dua puluh orang dalam satu kelas. Ada lima belas  kelas yang belajar pagi itu. Berarti ada sekitar  lima ratus potong sepatu -- kanan kiri-- yang ditumpuk terhumbalang campur-baur dalam peti. Baunya bukan main.
 
Sepulang sekolah, mereka para pelanggar peraturan sepatu itu dijemur dan diwejangi. Bertelanjang kaki. Setelah itu mereka disuruh memilih sendiri sepatu yang berjubel dalam peti itu. Mbok ! Lima ratus sepatu yang hampir - hampir  mirip itu disuruh mencari punya masing - masing. Siang - siang. Panas terik, memanjat peti guna berebutan sepatu butut. Rasain ! Pasti saling tertukar tak terhindarkan lagi.....
 
Selain sepatu juga ada peraturan kaos kaki. Kaos kaki harus putih polos tanpa warna lain. Kalau putri harus separuh kaki - dengkul, bila pria seperempat kaki tapi harus menutup mata kaki. Jadi nggak ada kaos kaki yang cuma sebatas mata kaki doang. Yang melanggar ya dihukum jua.
 
Ada yang lucu pada razia kaos kaki ini. Ada seorang murid yang dihukum karena hanya memakai kaos kaki di kaki kiri. Kaki kanan tanpa kaos kaki. Selen, tetapi kaos kaki kirinya betul, putih polos. Ketika diklarifikasi mengapa dia tidak memakai kaos kaki, dia menjawab bahwa dia sudah mengenakan kaos kaki warna putih sesuai ketentuan. Kita semua yang nonton sambil lewat kegelian juga menyaksikan ini. Sang murid bukannya nekad, dia secara lugu sebenarnya berusaha memenuhi aturan yang ada, tetapi sayangnya, rupanya kaos kaki sebelahnya ketlisut.
Jadi, bila kaki kirinya sudah benar, maka kaki kanannyalah yang tidak memenuhi aturan. Karena tidak memakai kaos kaki juga nggak boleh. Kiri oke, kanan tidak ! Maka kaki kanannyalah yang dihukum. Menggelikan juga.
 
Ya begitu juga dengan kemarin lalu, yang katanya adalah hari anti korupsi. Kampanye satu hari tanpa korupsi. Rupanya ini perayaan tahunan anti korupsi. Tetapi jangan lupa, ini nih di Indonesia. Kaos kaki kiri bisa oke, tetapi yang kanan bermasalah. Demikian juga dengan hari anti korupsi. Satu hari berlalu benar, tanpa melakukan korupsi. Padahal dalam setahun masih ada tiga ratus enam puluh empat hari lagi. Gimana ? [] haris fauzi - 8 Desember 2006
 


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Wednesday, December 06, 2006

kenisah : tanya (II)

TANYA (II)
 
Suatu hari.... pulang kerja dari Karawang, hendak ke pusat bisnis Jakarta. Rencananya adalah mengambil buku hadiah hasil ikutan acara di radio. Musti naik kendaraan umum, ya seperti yang saya pernah tuliskan,-- mobil saya sedang opname : bongkar mesin dan ganti kaki.
Sudah lima tahun saya jarang naik bis umum. Dan entah sudah berapa tahun saya tidak pernah berkelana di jalanan Jakarta. Tapi saya yakin pasti bisa, yang penting siap receh dan banyak tanya. Pokok-e takon...
Dari Cawang nggak  perlu basa - basi lagi, pas ada sopir taksi mangkal --sedang bersiap membaca koran--, saya langsung tanya,' Pak, maaf saya mau nanya. Saya hendak ke Ratu Plaza, Sudirman. Bis nomer berapa ya ?'.
'Wah, saya nggak hafal, tapi jarang yang langsung ke sana. Mending ke Komdak dulu.. tuh.. tuh.. naik itu saja', katanya sambil nunjuk bis yang hendak melintas. Saya kontan berlari sambil mengucap terima kasih.
 
Ya elaaah... ternyata bis yang saya naiki tidak sampe ke Komdak. Beliau ini malahan belok kiri di Mampang. Untungnya saya sempat nanya - nanya dan mengklarifikasi arah perjalanan bis ini,'..Mas Emangnya bis ini lewat Komdak, ya ?', kata saya penuh selidik.
'Enggak.....Prapatan Mampang nanti Anda turun saja. Bis ini belok. Anda nyambung bis yang lurus...', papar seorang penumpang.
 
Begitu turun dari bis tersebut saya segera mencari halte bis, dan orang pertama yang saya jumpai segera saya beri 'kado' pertanyaan juga,'Pak.. kalo ke Sudirman musti naik apa ya ?'.
'Bisa ke Komdak dulu, biasa juga langsung. Kalao mau langsung naik Kopaja 66', jawab beliau.
Saya malahan ngelunjak,'..eeeengg.. ongkosnya berapa ya ?'.
'Dua ratus..eh.. dua ribu', jawab Bapak yang baik hati itu.
Tidak lama setelah itu Kopaja 66 kelihatan, saya segera meloncat masuk. Seperti biasa, saya memastikan bahwa bis yang saya naiki tidak berbeda arahnya dengan yang saya kehendaki. Yakin.
 
Saya belum pernah ke perkantoran Ratu Plaza. Yang saya tau, perkantoran ini dekat dengan supermarket, dan berada di kanan jalan sebelum patung bundaran yang membawa piring api itu.
Begitu sosok patung mulai nampak, saya segera bertanya lagi,'.. Mas....halte Ratu Plaza di mana ya ?'.
'Turun sini aja... tinggal nyebrang'.
'Makasih...', saya kabur kayak pencopet.
 
Saya keluar perkantoran Ratu Plaza dengan puas. Buku berjudul 'Psikologi Beragama' dengan tanda tangan asli Bung Komaruddin Hidayat sudah nyelip di dalam tas. Tinggal urusan pulang. Dalam urusan pulang saya nggak banyak nanya, soalnya rutenya hampir sama. Yang berbeda adalah biasanya saya dari cawang bakal 'nyengklak' bis arah Bogor, tapi kali ini tidak. Saya mencoba naik bis yang ke arah Cibinong. Nah, di dalam bis ini, --setelah pak Sopir membayar tol Cibinong,-- saya punya pertanyaan terakhir kepada penumpang di samping saya,'...Bis ini berhenti abis di mana ya ? Apakah sampe pangkalan angkot yang ke arah Pomad? [] haris fauzi - 5 Desember 2006


salam,
haris fauzi


Want to start your own business? Learn how on Yahoo! Small Business.

Tuesday, December 05, 2006

kenisah : tanya (I)

TANYA (I)
 
Awalnya sederhana saja. Saya mengikuti siaran resensi buku di suatu radio swasta. Dari acara ini 'ndilalah' saya 'bakal' mendapat hadiah buku, yang mana buku itu harus saya ambil sendiri ke kantor radio tersebut, di Jakarta. Lha karena kantor saya di Karawang, maka saya tidak terlalu gampang untuk mendapatkan buku dengan tanda tangan sang penulis tersebut.
 
Malu bertanya nggak bakal sampe tujuan. Itu pepatah orang Jakarta. Maka lewat fasilitas email, saya membuka pertanyaan ke beberapa rekan minta nasehat; 'mending bukunya diambil atau kagak ?'. Bukunya pasti gak mahal, tetapi kalo ada tanda tangan Bung Komaruddin --penulisnya-- kan jadi buku yang agak unik. Ini yang bikin geregetan. Dua jawaban teman --mBak Rina dan Mas Teguh-- cukuplah bagi saya untuk membulatkan tekad melanglang ke Jakarta untuk mendapat 'signed book' itu. Dan perjalanan mendapat buku itu akan saya tuliskan di bagian terakhir.
 
Hari Sabtu saya ada janji bertemu dengan seseorang di kawasan Sarinah -- Thamrin Jakarta. Zulficar - mobil tua saya-- sedang opname di bengkel. Jadi dari Bogor saya harus menempuhnya dengan kereta api listrik, suatu cara yang jarang saya lakukan --hampir tidak pernah. Ya karena masih gagap, maka saya musti banyak bertanya. Start dari stasiun Bogor saya sudah membuka pertanyaan pertama tentang kereta apa yang harus saya ambil seandainya saya musti ke kawasan Thamrin. Saya akhirnya naik kereta ekspress jurusan Gambir, karena kereta ekonomi tidak berhenti di Stasiun Gambir, stasiun kereta terdekat dengan kawasan Thamrin.
 
Lewat tanya beberapa satpam gedung akhirnya beres berurusan,  dan karena lokasinya --rasanya-- dekat dengan toko musik, ya saya musti mampir. Sempat berkenalan dengan seseorang, karena saya juga nanya - nanya albumnya Whitesnake. Rupanya dia juga penggemar suara hebat David Coverdale. Orang itu merekomendasikan untuk membeli CD Trapeze, seingat saya  album 'Medusa'. Dari situ saya membeli dua keping CD, Edane  album 'Time To Rock', dan Tasya 'Ketupat Lebaran'. Kortingan.
 
Mau pulang, saya sempat bertanya kepada seseorang,'Mas, mesjid yang deket dimana ?'. Maklum, sudah pukul setengah satu siang. Orang itu menjawab sambil menunjuk arah,'....Mesjid Cut Nyak Dien', lanjutnya. "Cut Mutia kali... ', koreksi saya. Dan dia mengiyakan. Saya sholat di mesjid Cut Mutia, dimana saya sempat sholat menjelang nonton konser Edane Agustus lalu.
 
Usai sholat, sambil ngobrol sejenak dengan penjaga sepatu, saya bertanya arah jalan Diponegoro dan jalan Surabaya. Pak Penjaga Sepatu menjelaskan bahwa kalo mau ke sana harus naik kereta ambil jurusan Cikini. Habis itu jalan kaki. Nasehat beliau saya jalani. Sesampai lokasi  Jalan Diponegoro saya sekilas melihat markas PDI yang sempat ribut beberapa tahun lalu. Sayangnya saya tidak bawa kamera. Masih suram, masih kusam, ada papan peringatan warna hitam.
 
Di Jalan Surabaya, tidak ada urusan lagi selain mencoba membeli CD seken. Saya bawa pulang CD Genesis 'Live', Album Gary Moore 'Victims of The Future', Deep Purple yang konser dengan iringan orkestra, dan album Boston 'Walk On'.
Sebetulnya semuanya saya sudah punya dalam bentuk kaset, dan khusus dua CD terakhir; Deep Purple dan Boston, kasetnya sempat menemani saya jalan - jalan ke Singapura di tahun 1996 lalu.
 
Pulang ke arah Bogor via kereta api listrik, saya naik dari stasiun Cikini dan turun di stasiun Bojonggede. Stasiun ketiga sebelum stasiun Bogor. Lebih dekat dengan rumah, dan katanya ada jalur angkutan kota yang langsung ke kampung saya, kawasan Pomad. Ini yang hendak saya coba. Turun dari kereta, saya bertanya lagi,'... dimanakah gerangan pangkalan angkot yang ke kawasan Pomad?'. [haris fauzi - 5 Desember 2006]
 
 


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.