Tuesday, March 25, 2008

kenisah : tentang raja (2)

Tentang Raja (2)
 
Naik kelas empat B, nyaris tidak ada perubahan, kecuali gurunya ganti jadi laki - laki, namanya Pak Paijan, jagoan matematika, meneruskan Bu Sutji. Chairil masih menjadi raja, bahkan dia juga makin pintar di akademis. Saya masuk kelas siang, kakak saya naik ke kelas 5B dan masuk pagi. Saatnya saya sendirian, dan harus mengambil keputusan sendiri.
Akhirnya yang berubah adalah diri saya. Ketika kelas 3, saya selalu diredam kakak supaya tidak perlu melawan bila ada acara kompas-mengompas. Tetapi di kelas 4, saya hendak bertanya ke siapa ? Kakak saya masuk pagi. Berhubung saya lebih brangasan ketimbang kakak saya, maka seringkali saya memutuskan untuk melawan. Dan jadilah acara berantem menjadi kegiatan rutin. Seminggu sekali pasti saya mengalami adu bogem mentah. Kebanyakan kalah, tetapi sesekali pernah juga menang. Curangnya, Chairil tidak pernah mau dilawan, dia mengerahkan bolo-nya. Dalam hitungan saya, lebih mudah mengalahkan Chairil karena badannya lebih kecil ketimbang bolo begundalnya, namun hal itu sangat jarang terjadi.
 
Suatu kali saya pernah kesampaian beradu bogem dengan dia. Saya kalah. Dia kesenangan. Lain waktu berikutnya, dia nggak mengajukan bolo-nya ketika kami bentrok. Begundalnya seperti biasa membuat lingkaran arena mengelilingi saya dan Chairil. Dan, entah keberuntungan apa, saat itu hampir saja saya memenangkan perkelahian itu, bila begundal Chairil tidak ikutan di saat - saat terakhir. Dia benar - benar marah karena saya tindih. Apalagi matanya sempat saya cap pake toples obat. Entah berapa hari dia memendam jengkel.
 
Yang perlu diingat, tidak selamanya saya bentrok dengan Chairil. Saat damai, saya suka berbagi kue dengan dia, dan dia juga sering bermain ke rumah. Kadang kami juga mengerjakan PR bersama. Namun di kelas empat inilah saya merasa paling sering di cegat ketika pulang, saya paling sering melawan, saya mulai sering berantem. Struktur kekuasaan raja dari asrama membuat saya cukup gerah, karena bagi anak luar seakan - akan tinggal ada dua pilihan, menjadi penjilat atau menjadi lawan. Saya keseringan memilih menjadi lawan. Dan, itulah akibatnya, brak-bruk-brak-buk. Kancing baju copot.
 
Kadang perkelahian itu diakibatkan oleh hal sepele, masalah PR atau yang lain. Bahkan, ketika Chairil ditanya oleh guru sebuah soal, dan dia tak bisa menjawab, lantas saya menjawab dengan benar, hal ini sudah cukup sebagai alasan menjadikan acara cegat - mencegat pulang sekolah. Sering saya merasa takut hendak menjawab soal yang dilontarkan guru karena hal ini. Belum lagi dalam setiap ulangan, saya nggak terlalu solider memberi contekan ke dia, dan inipun alasan yang cukup buat berantem, apalagi bila ulangan saya gemilang. Walah. Selembar kertas hasil ulangan sudah cukup bagi seorang Chairil menitahkan anak buahnya untuk mengeroyok saya. Dan lagi - lagi, pipi biru dan kancing baju putus.
 
Saya ingat benar kejadian yang membuat saya seram setengah mampus. Pada suatu sore, jam istirahat, saya bermain keluar kelas. Karena kecapekan bermain maka saya masuk kelas hendak minum. Saya selalu berbekal, termasuk termos berisi teh manis. Seorang teman sungguh kehausan, namanya Agus Hari Utomo minta air teh manis bekal saya. Dia nenggak duluan pake tutup termos. Langsung muntah di kelas, katanya air bekal itu bau potas. Saya tidak jadi minum Acara gila apalagi ini ?
 
Tak lama Pak Guru masuk kelas dan melihat ada tumpahan minum dalam kelas. Guru yang menyukai kebersihan ini risih dan bertanya kepada saya dan Agus Hari. Kami menjawab apa adanya, bahwa air itu adalah muntahan Agus Hari. Agus Hari bilang bahwa air minum Haris ada potas-nya. Segera di cek oleh Pak Paijan. Pak Paijan tau bila air itu sudah dibubuhi entah apa. Usut punya usut ternyata air termos itu dibubuhi serbuk kapsul obat sakit usus buntu, dan Hari Sucipto ketahuan yang memiliki dan membubuhkannya. Lewat interogasi di UKS, Hari menangis dan mengaku bila disuruh oleh raja kelas. Pak Paijan naik pintam. Mungkin di kepala beliau terbayang bila sampe ada yang keracunan dalam kasus ini. Chairil dan bolo-bolonya di-setrap.
 
Saya memang dalam masa bentrok dengan mereka saat itu. Saya juga emosi, karena tingkah mereka kali ini sungguh keterlaluan. Bila cuma nyolong pinsil, merajam setip, mematahkan penggaris, masihlah ditolelir. Lha ini hendak meracun ? Saya hendak tantangin berantem dan gampar mereka. Saya menganggap mereka penakut, beraninya nyolong belakang. Pak Paijan mencegah saya. Seluruh komplotan itu di skors. Jelas mereka dongkol, tapi saya juga marah. Mereka tak berani mencegat, karena ada litsus dari Pak Paijan, saya-pun ogah memulai perkelahian karena dicegah Pak Paijan.
 
Setahun berikutnya, kelas 5B, Chairil masih berkuasa. Pak Paijan ikutan naik kelas menjadi guru kami lagi. Chairil makin banyak pengikutnya, termasuk anak luar. Saya kadangkala bisa bermain dengannya, kadang bentrok. Ponco masih menjadi oposisi sejati, namun tidak mau berurusan dengan masalah saya. Huh. Susah bener diajak koalisi. Padahal posisi saya di mata dewan guru sungguh bagus. Ini yang dicemburui kelompok Chairil. Chairil bisa mengalahkan saya disemua bidang, kecuali akademis. Dia begitu emosi ketika saya 'masih' menjadi juara kelas. Segala cara dilakukan untuk meruntuhkan reputasi saya. Bahkan dia dan bolonya pernah meniupkan isu bila orang tua saya 'menyogok' agar saya jadi juara kelas. Pada saat itu, memang beberapa kali Ibu saya ke sekolahan, namun dia mempertanyakan perihal perkelahian saya. Mungkin saat itu belum banyak orang tua yang mau berkonsultasi soal kenakalan anaknya di sekolah.
 
Bahkan karena dewan guru sering mengirim saya untuk mengikuti lomba gerak jalan, pramuka, baca puisi, dan menggambar, dalam acara lomba seperti itu jadi ruwet. Anak asrama sering dipilih untuk tanding olah raga. Sementara anak luar diandalkan untuk hal - hal kepramukaan. Chairil dan bolonya dikirim untuk acara lomba sepak bola misalnya, tetapi gak pernah menang. Sementara baris - berbaris, baca puisi, dan menggambar, beberapa kali saya mendapat juara atau penghargaan. Kontan dewan guru lebih sering memberi hadiah kepada saya daripada ke raja kelas itu. Apalagi saya masih menjadi juara kelas. Chairil memprotes hal ini --tentunya dengan dukungan bolo-bolonya-- dengan jargon 'guru - guru pilih kasih'. Salahnya protes itu dilontarkan ke saya, bukan ke guru. Namun kali ini saya bukan anak kelas satu yang gampang dijitak. Saya malah tersenyum mengejek, memamerkan hadiah yang saya peroleh. Karena ini saya musti beradu bogem beberapa kali dengan salah satu mengikutnya, namanya Sutrisno. Huh.
 
Kelas enam B, Chairil pindah ke luar kota, pindah sekolah, pak guru juga berganti. Kepala sekolah menjadi guru kelas kami, namanya Pak Sidik. Pak Sidik adalah guru paling galak dan seram versi murid - murid dan alumni.
Sementara itu raja baru muncul, namanya Eko Setyo Budi, pengikut setia Chairil, dan anak sulung Pak Sidik ! Well. Kekhawatiran baru muncul. Anak - anak terpecah - pecah 'partai'-nya. Bagus mendirikan partai baru, tidak sekomplot Eko, namun tidak bermusuhan. Mungkin Bagus merasa dia yang lebih cocok jadi raja, ya, Bagus memang cekatan berolah raga, walau agak urakan ngomongnya. Ponco masih menjadi oposisi, dia nggak bakalan bisa mengalahkan reputasi Eko. Saya seperti biasa, introvert hanya berteman beberapa orang, nggak mau bolo-boloan, nggak mau komplot-komplotan.
 
Dalam masa ini saya jadi tau, bahwa para penjilat raja, akhirnya hanya menjadi penjilat raja berikutnya. Dia tidak akan menjadi raja. Sampe kapan-pun. Hari Sucipto, Sutrisno, Ivor Taruna, dan Yuli yang biasanya menjadi 'yes-men' raja Chairil, kali ini kelimpungan mendekati raja baru. Dalam setahun ini, Hari dan Sutrisno kebingungan mencari teman, sementara Ivor dan Yuli mengalihkan perhatiannya dari 'bolo-bolo'-an  ke akademis, dan hasilnya lumayan. Dia berdua pada akhir tahun ajaran menjadi anak rangking atas dalam kelulusan dan berhasil masuk SMP negeri pilihan, memberi kebanggaan SD kami. Ivor dan Yuli berubah.
 
Pada awalnya Eko hendak meneruskan kebijakan Chairil, tetapi tidak berhasil. Tapi malah asik, karena tidak sering terjadi adu jotos dan saling kompas. Lebih damai. Masa kelas enam lebih kondusif buat belajar. Setidaknya saya nggak perlu cemas pulang bakal dicegat dan berantem. Nggak ada penguasa yang terlalu kuat. Pak Sidik juga keras membimbing kelasnya. Bila lazimnya masuk kelas jam tujuh, maka ada hukum khusus dari Pak Sidik. Yakni sebelum masuk ada post-test yang dilakukan secara lisan. Untuk seluruh kelas dengan metode random. Bila dalam hari itu hasil tes kelas tidak memuaskan, maka hari besok harus masuk jam setengah tujuh. Karena post-test-nya diperpanjang. Walhasil, setiap hari post-testnya selalu jeblok, walhasil setiap hari dalam setahun itu kami masuk jam setengah tujuh.
 
Bagaimana dengan sang Raja ? Raja yang baru tidak pengen neko - neko, Bapaknya terlalu keras dan nggak pandang bulu. Siapapun yang bersalah, maka kakinya musti rela di-'saduk'. Di-'saduk' itu ditendang tepat di tulang kering. Nendangnya pake cocor sepatu. Eko sendiri telah mengalaminya beberapa kali, di-saduk bapaknya sendiri di depan kelas. Nyeri mbok, gurat memar birunya bisa bertahan lima hari. Mau ? [] haris fauzi - 25 maret 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

kenisah : tentang raja (1)

Tentang Raja (1)
 
Dinilai belum cukup umur, begitulah nasib saya ketika hendak didaftarkan oleh Ibu masuk SD. Disarankan untuk mendaftar Taman Kanak - Kanak (lagi) yang berada di belakang gedung SD. Saya menggeleng. Saya pengen masuk SD seperti kakak saya, saya sudah tamat TK selama 3 tahun. Titik. TK-pun dulu saya sempat kurang umur, jadi dimasukkan ke kelas nol kecil 'percobaan', jaman sekarang disebut playgroup.
Bersikukuh masuk SD, akhirnya saya dikategorikan sebagai murid percobaan, dalam pengawasan khusus.
Saya bersyukur bahwa kakak saya ternyata juara kelas, sehingga paling tidak, para dewan guru masih juga bisa diyakinkan bahwa adiknya gak bakal ketinggalan pelajaran, walau badannya terlalu kecil. Dengan badan paling kecil, saya duduk paling depan di kelas, kaki menggantung ketika duduk di bangku, keberatan membawa tas sendiri yang isinya ada roti dan minum segala. Kebiasaan bekal ini saya bawa sampai sekarang, sampai saya bekerja, bahkan ketika kuliah saya sempat menggembol nasi.
 
Selain kurus ceking kecil, saya juga termasuk anak yang cengeng. Sering menangis karena sedikit gangguan, bahkan ketika ada bentrok kecil saja sudah membuat saya menangis. Kabar bahwa sepulang sekolah nanti akan turun hujan dan sulit pulang, hal seperti itu sudah membuat saya menangis. Walhasil saya dipinggirkan dari komunitas kelas. Ngapain maen sama anak cengeng? Saya sendirian.
 
SD itu namanya SD Putra Rata-Tama, berada di komplek militer, dilingkupi asrama dan barak kompi angkutan bermotor angkatan darat. Yang daftar ya kebanyakan anak kolong, anak asrama situ. Saya masuk sekolah di kelas satu B, kakak saya naik ke kelas dua B. Situasi dekat dengan asrama, membuat sekolahan itu punya kekhasan tersendiri. Anak asrama cenderung berkelompok. Sementara anak luar, menjadi semacam komunitas informal. Dan seperti biasa, di setiap kelas terdapat raja, yang titahnya di-gugu murid yang lainnya, yang punya banyak pengikut.
 
Walau anak kolong, saya dianggap anak luar karena rumah saya tidak di asrama. Ya. Anak asrama menguasai kehidupan sekolahan tersebut. Namun anehnya, pas saya kelas satu (saya masuk kelas satu B), raja kelasnya bernama Hari Tranggono, anak luar. Sebabnya adalah Hari Tranggono memiliki kakak di sekolah tersebut, kalo nggak salah kelas enam, namanya Ulang. Sementara kelas satu A, rajanya bernama Nung, aslinya Nurhadi, anak luar juga. Nung bersahabat dengan Hari. Raja di kelas kakak saya bernama Gotri, nama lengkapnya Triono.
 
Di kelas - kelas A, dikuasai anak luar, sementara kebanyakan anak asrama yang identik dengan kebadungan anak kolong dimasukkan ke kelas B. Sungguh pasif saya di acara kelas yang diidentikkan dengan kebadungan itu. Jam istirahat saya tidak keluar kelas, hanya sibuk menghabiskan bekal, berharap segera lonceng berbunyi dan pelajaran mulai lagi. Beberapa teman meminta bagian bekal, tidaklah bermasalah. Mungkin karena raja-nya anak luar, maka saya tidak terlalu di-usik oleh anak asrama. Atau bisa jadi karena saya cengeng dan dalam pengawasan khusus guru, membuat anak lain tidak hendak mencari perkara. Sementara anak luar pengikut raja Hari Tranggono tidaklah terlalu badung. Bahkan tangan kanan Hari, Dodik, senasib dengan saya, demen bawa bekal. Apalagi kakak saya dekat dan sering pulang bareng dengan Gotri, raja kelas dua B.
 
Setahun, saya naik ke kelas dua B. Seingat saya masih belum terjadi suksesi. Rutin, senin selasa seragam putih - putih, rabu-kamis seragam putih coklat, jumat- sabtu seragam pramuka. Namun ada sedikit perubahan. Ada teman kakak yang tidak naik kelas dan bergabung dengan rombongan kami. Seingat kami ada beberapa, namanya Agus Pramono, Ponco Priyo, Haryanto, dan satu orang lagi yang saya lupa namanya.
Agus Pramono ini agak terlambat mengikuti pelajaran. Suka ngibul pula. Sementara Bu Min, guru kami dari kelas satu dan kelas dua  berkomentar,".....Haryanto terlalu diam, sementara Ponco nakalnya minta ampun....". Ponco memang spektakuler. Dia dipanggil 'Pele' karena jago main bola. Anak kelas satu, tapi kemampuannya bermain bola seperti anak kelas empat. Larinya kencang, tendangannya keras, sering bikin gol, bila di kelas tak mau duduk. Giliran jam istirahat melesat duluan. Ponco lima bersaudara lelaki semua, nakal semua, tinggal di asrama.
Dalam masa ini, sebenernya nama Hari Tranggono mulai surut dari tahta karena kakak sekaligus 'backing'-nya Ulang, sudah lulus. Dodik, tangan kanan Hari, karena anak orang kaya, sudah mulai menerima teror kompas oleh geng-geng kecil. Sementara Ponco ogah - ogahan menjadi raja. Seingatku begitu. Di otaknya hanyaada sepak bola.
 
Kelas tiga kami masuk siang, demikian juga kakak saya di kelas empat. Ada suksesi. Ponco hendak naik, tapi banyak yang nggak suka dengan kebadungannya, walau Ponco sangat cekatan berolah raga. Akhirnya muncullah raja baru, Chairil Fajar Roffi namanya. Karena kelas siang kami sering datang lebih awal jauh sebelum bel berdentang. Bel yang terbuat dari bekas bom itu dipukul pada pukul setengah satu, tetapi anak kelas kami sudah banyak yang berseragam pada pukul sebelasan. Menunggu waktu masuk, kami ngobrol di rumah Chairil, di salah satu ujung asrama. Dan disitu, teman - teman terpesona oleh kakak Chairil yang juga sering nimbrung, padahal dia sudah SMA, namanya Mas Pulung. Oalah. Oleh karena inilah, maka teman - teman menisbatkan Chairil menjadi raja kelas. Mas Pulung memang sering bercerita kehidupan sekolah dia, dan hal ini membuat anak - anak kagum. Apalagi dia berangkat sekolah pake celana panjang, hem dengan kancing atas terbuka sehingga terlihat kalung rantai. Wuih. Saya nggak kagum, karena saya punya tetangga yang sudah SMP namanya Wisnu. Saya lebih kagum kepada Wisnu karena tulisan tangan Wisnu jauh lebih bagus ketimbang Mas Pulung.
 
Masa ini, Ponco berhasrat menjadi raja, tetapi gagal. Akhirnya dia menjadi oposisi murni. Ini yang saya suka dari Ponco. Dia tidak menjilat kepada raja baru. Pada saat awal Chairil berkuasa, teman - teman berlomba menjadi pengikut setianya. Ada yang rela disuruh - suruh kemana-pun. Hari Sucipto sering melakukan hal ini, termasuk hal terkutuk juga, yakni menjadi tukang begal untuk anak yang melawan kebijakan raja. Saya sering dipukulnya.
Ya. memang pada awal Chairil berkuasa, dia melakukan banyak ke-otoriter-an. Minta jatah kue, minta dikerjain PR, minta pinsil, mematahkan penggaris, sampai mengancam anak yang mengerjakan PR, gara - gara dia sendiri gak ngerjakan PR. Untuk urusan ini saya sering melawan, walau sering kalah. Kendalanya secara nggak langsung adalah Ponco, walau oposisi, dia juga malas mengerjakan PR, jadi saya kesulitan berkoalisi dengan dia.
Saya tau bahwa setiap guru, baik Bu Min (guru kelas 1B - 2B) maupun Bu Sutji (guru kelas 3B) selalu berpihak kepada saya, tetapi saya bukan penakut yang terlalu sering mengadu.
 
Disamping ada backing Mas Pulung, Chairil juga punya tangan kanan yang handal. Beberapa diantaranya Bagus Setyo Hadi, Bambang Dipoyono, dan Eko Setyo Budi. Ketiganya anak asrama. Mereka cekatan. Dalam setiap tanding kelompok, seperti adu bentengan atau gobak sodor, Chairil selalu bersebrangan dengan Ponco. Dan minimal tiga orang cekatan itu harus menjadi bolo-nya Chairil. Ponco legowo harus memilih rekanan yang lain, namun dia tetap fight. Salut. Dia memang nakal, tapi dia punya jiwa melawan. Dalam adu permainan seperti ini, saya tidak ikutan, karena badan saya kecil dan sering kalah.
 
Semakin hari raja di raja Chairil semakin menjadi. Bahkan dia mulai menerapkan pencegatan pulang sekolah untuk anak yang melawan titahnya. Ketika saya tau hendak dicegat, maka saya pulang bareng kakak saya yang kelas 4B--kelas siang juga. Namun, dengan bolo yang banyak, kami berdua harus terbirit - birit menghindari kejaran mereka. Bahkan Chairil-pun berani mengusik kakak saya yang satu kelas di atas. Sekali lagi, dalam keadaan seperti ini saya tidak bisa mengandalkan kehebatan Ponco, karena dia anak asrama, sama dengan Chairil. Malah gawatnya, beberapa anak luar, menjadi bolo raja baru itu. Salah satunya bernama Ivor Taruna. Badannya kekar pula. Huh.[] haris fauzi-24 maret 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Thursday, March 13, 2008

kenisah : paranoia

PARANOIA
 
Dinegeri manapun, dimana aku bisa betah, maka itu adalah sebuah negeri yang tidak mengajarkanku apa apa.....(L'Envers et L'Endroit-Albert Camus)
 
Sekitar tahun 1997, saya ditegur Bapak, saya memanggil Ayahanda begitu. Ditegur gara - gara menggantung kunci gembok di pagar. Gembok induknya, bukan anak kuncinya. Gembok itu biasa saya cangklongkan begitu saja ke jeruji pagar. "Jaman susah, gembok nganggur gini bisa di curi orang. Kalo di curinya malam, maka rumah kamu gak digembok semalaman itu.....", seingat saya gitu katanya.
 
Awalnya saya menganggap itu sebagai kekuatiran yang berlebihan. Tetapi semua jadi seperti memutar film dokumenter setelah dalam seminggu ini --sepuluh tahun setelah teguran tersebut-- gembok rumah saya kecolongan. Dua kali malah. Memang posisinya digantung di pagar seperti yang dikuatirkan mendiang Ayahanda. Dicolong sekali sore hari, trus saya ganti. Belum genap seminggu sudah dicolong lagi. Dan lagi - lagi benar, sekarang memang jaman susah.
 
Saya biasa memegang satu anak kunci dan saya bawa kemana - mana. Praktis kalo pulang kantor, saya membuka sendiri pintu pagar. Tapi malam itu Istri saya menyambut dan membukakan pintu pagar. Begitu Istri membuka pagar dia lapor bahwa gembok pagar dicolong lagi. Lagi. Dua gembok dalam seminggu. Sekelebat saya teringat teguran itu, kecut, ada rasa khawatir dalam hati ini. Namun saya tidak menyampaikannya ke Istri.
 
Dalam cerita y ang berbeda, salah satu kekuatiran saya yang lain adalah bila arah tidak jelas. Arah apapun, arah kegiatan atau arah jalanan. Saya ingat ketika akan mudik jaman kecil dulu, selain mobil butut dicek oleh montir, biasanya ada hal yang dipandang sepele yang kelewatan. Yakni pengecekan lampu dan wiper. Untuk ini, Bapak saya sering melakukannya sendiri.
Dua hari lalu, ditengah guyuran hujan yang silih berganti mereda dan mengguyur tanpa pasti, penyapu jendela mobil --wiper-- mati mendadak sontak hingga berbenturan dan patah salah satu. Sekonyong - konyong saya kehilangan pandangan jalan. Jalan tol menjadi gelap gulita. Sekali lagi, saya teringat apa yang pernah dilakukan oleh mendiang Ayah saya tempo dulu. Mengecek lampu dan wiper. Saya menyalahkan dan menyumpah diri sendiri.
 
Dua rentetan ini membuat saya menjadi semakin kuatir. Memang, banyak kekuatiran saya yang belum tentu terjadi, tetapi dua hal ini sudah cukup untuk memaksa saya kecut hati, kekuatiran manalagi yang akan muncul.
Ada kegelisahan disana-sini. Apakah memang saya yang terlalu memiliki rasa cemas berlebihan. Ataukah memang baru kali ini saya bisa merasakan kekuatiran itu sendiri. Saya teringat, betapa mendiang Ayahanda begitu khawatir dengan segala hal yang terjadi dengan membabi-buta disekelilingnya saat itu, -- awal milenium. Negara berurusan dengan jaman reformasi, liberalisasi menggila, informasi semrawut, ekonomi ganjang - ganjing, panggung politik hiruk-pikuk kayak pasar hewan. Saya membayangkan mungkin kondisinya mirip jaman Billy The Kid. Masa sulit, susah menjadi 'manusia' di jaman seperti ini. Saya menangkap pandangan nyaris putus asa dari matanya. Saya tau, Bapak sudah terlalu capek, terlalu tua, dan dirongrong sakit jantung. Ya. Rumah Sakit jantung yang cukup kondang di Ibukota memvonis untuk dilakukan transplantasi, karena daya kerja jantung beliau tinggal dua puluh lima persen, itu tahun 2001-an. Akhirnya beliau hanya ingin mengobatinya lewat cara alternatif.
 
Bergelut dengan ancaman penyakit jantung di setiap detik aktivitasnya, bagi saya, dia masih bisa berpikir jauh ke depan. Diantara ritus fisik yang tertatih lemah, mata hatinya masih tajam meninjau persoalan. Walau, kadang membuat jantungnya terbebani. Ini mungkin yang membuatnya terlihat letih. Akhirnya beliau menyerah, memilih untuk mengikuti nasehat dokter. Acara berita, koran, dan radio --terutama urusan politik, negara, dan budaya-- stop. Perboden buat telinganya, karena hal - hal itulah yang memburatkan gelombang kecemasan kepadanya.
 
Saya ingat beberapa. Kekuatiran dan kecemasan yang kadang dilontarkan Bapak di hadapan saya, atau tercercah dalam pembicaraan di telepon. Kecemasan berbaur dengan tipis harapan. Di telinga saya, kecemasan masalah pribadi yang kadang terlontar hanyalah merupakan kerikil yang bisa dilanjutkan dengan derai senyum. Sementara ada kecemasannya yang lebih besar,  yang getir mengusik dan merongrong kesehatannya. Dan ternyata tidak hanya beliau. Siapapun berhak untuk cemas, apalagi dalam kondisi bangsa seperti ini. Farid Gaban, jurnalis idealis, pernah menyampaikan uneg - unegnya bahwa negeri ini semenjak perang dunia sempat dipimpin oleh dua orang raja yang dominan. Dan dengan ini, maka penataan bangsa seakan tidak meletakkan stuktur yang kokoh secara sistemik. Jaman feodal, struktur bangsa terkonsentrasi ke satu orang. Dari satu sisi, saya mengamini. Demokrasi terpimpin paska perang kemerdekaan malah membuat gesekan antara Presiden dengan Wakil-nya, gara - gara sang Wakil mempopulerkan bentuk demokrasi lain yang tidak terlalu 'mendewakan satu tokoh'. Sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sang Presiden menghendaki agar Majelis Parlemen mengamini dan mengikuti setiap kebijakannya.  Babak berikutnya, seorang Presiden yang berkuasa lebih tiga puluh tahun dan sangat paternalistis sehingga majelis parlemen-pun menjadi pengikut setianya, pas wafat dimakamkan laksana raja mangkat. Ya, itu dua raja yang dimaksud oleh Farid Gaban.
Harusnya diabaikan saja nostalgia lalu, sejarah hanyalah untuk memetik hikmah. Langkah berikutnya adalah memandang dan melangkah ke depan. Namun, saya pribadi masih kesulitan hendak memandang ke depan. Tidak punya kuasa, atau malah saya hanya diselimuti kecemasan yang berlebihan. Siapapun berhak atas rasa cemas dan bertanya, negara ini milik siapa.
 
Sudah lama Bapak saya wafat. Sudah lama pula saya mengubur kecemasan - kecemasannya. namun kali ini beda urusan. Bila terpikir ulang, maka akan menimbulkan kecemasan yang membuat kekelaman hati dalam diri saya. Seakan bangkit kembali kecemasan - kecemasan itu. Bisa jadi, kekuatiran semacam itu dalam diri saya belumlah ada sejak dulu. Bisa jadi. Jaman dulu kejadian ini senantiasa berjalan, namun karena saya tidak atau belum memiliki rasa cemas dan kuatir, maka hal - hal tersebut berjalan seperti aliran air sungai. Begitu akhir - akhir ini rasa cemas mulai berkecamuk, maka kejadian itu laksana gulungan ombak. Itu dugaan saya yang pertama. Bahwa mungkin saya baru akhir - akhir ini saja sensitif akan kekuatiran. Namun, bisa jadi juga, bahwa memang eskalasi kejadian - kejadian yang ada itu memang sudah mewujud dari aliran sungai menjadi gulungan ombak. Yang praktis menyinggung syaraf ketakutan dan mengusik sensitivitas rasa khawatir, rasa cemas.
 
Ya. Dalam kegelisahan - kegelisahan itu ada dua parameter. Apakah kejadian - kejadian itu memang memiliki skala bencana yang semakin tinggi, .....atau..... toleransi sensitivitas rasa khawatir dalam jiwa saya yang semakin merapat. Korelasi keduanya bisa berdampak lebih dahsyat. Kedahsyatan ini yang mungkin mencetak blue-print paranoia dalam diri saya. Lamunan ini menjadi kelam dan semakin kelam. Menenggelamkan saya.
 
Terlihat dari dinding kaca, mobil tua itu teronggok seakan ikut menderita dengan segala kecemasan yang merayap di tubuh ini. Di tangan masih asik menggenggam buku Albert Camus. Mata memandang keluar, ada stasiun pengisian bahan bakar nampak arogan bersisian dengan jalan tol nan bising. Ada pula mesjid yang berdiri gagah dengan berselendang cahaya lampu.
Kaki mengayun menendang - nendang pelan bangku kafe. Cokelat panas masih tersisa separoh setia menemani kesendirian ini. Saya berharap tidak sendirian, tapi di meja itu saya merasa sendirian berselimut kekuatiran. Kekuatiran ini mungkin hanya milik saya sendiri. Namun saya sadar, setiap manusia memiliki kekuatiran masing - masing, dengan skala yang belum tentu sama. Namun bisa jadi, yang dicemaskan adalah hal yang sama. Kali ini, senyap tak hendak menjadi saksi. [] haris fauzi - 13 maret 2008


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Wednesday, March 12, 2008

kenisah : manifestasi niat

MANIFESTASI NIAT
 
Saya kali itu termenung, sendirian di tengah lalu - lalang orang yang belum saya kenal. Entah kapan saya punya nyali untuk berkenalan dengan mereka. Terganggu dengan hal yang mungkin sepele. Hari - hari bekalangan ini saya lalui tanpa ada rencana yang matang, sementara sedikit rencana - rencana yang kebetulan sudah ada kebanyakan akhirnya carut - marut. Memang sudah lazim, urusan kerjaan sesekali mengundang kesibukan, beberapakali juga bahkan sempat gedabrugan karena kurang matangnya sebuah rencana. Urusan pribadi juga begitu.
 
Ada contoh gampang. Jauh - jauh hari saya bimbang, apakah memang hendak menonton konser kelompok musik Skid Row malam itu. Keputusan baru saya ambil dua hari menjelang pertunjukan, setelah jadwal acara pribadi bisa dihimpit - himpitkan dengan saksama. Alasan terkuat saya untuk nonton gampang dan terkesan dibuat - buat, saya kelewatan nonton Helloween tempo lalu. Saya merencanakan untuk nonton, dalam waktu mepet. Sudah tidak cukup waktu lagi untuk mencari daftar lagu yang bakan mereka nyanyikan, sudah tidak cukup lagi waktu untuk menghafal lirik lagu mereka. Hanya berbekal satu compact disc kompilasi, saya memutarnya beberapa kali di perangkat audio mobil. Beberapa kaset yang sebetulnya sangat potensial, akhirnya tidak terjamah.
 
Merenung soal niat. Merenung soal rencana. Merenung soal perwujudan. Saya tak hendak membicarakan ihwal konser musik cadas. Ini hanyalah kebetulan contoh yang saya ambil untuk mudah memperbandingkannya. Mudah bagi saya menuliskannya karena saya tengah mengalaminya. Entah bagi anda dalam membacanya.
 
Adalah sangat berbeda dengan akhir tahun lalu ketika saya hendak menonton konser kelompok yang lebih cadas : Megadeth. Asli saya kurang familiar dengan Megadeth. Karena tidak terlalu mengenalnya, maka jauh - jauh hari saya telah berusaha 'menjajal' musik mereka, mempelajari, browsing 'n' surfing, memutar lagunya berulang - ulang, bahkan sebisa mungkin menghafalkannya. Hasilnya sungguh memuaskan, saya bisa menikmati seluruh lagu, karena dari hampir dua puluh lagu saya cuma selip satu lagu saja. Akurasinya sembilan puluh lima persen. Itulah nonton Megadeth, menonton konser dengan bekal yang cukup. Sangat berbeda dengan Skid Row kali ini. Saya berniat menyaksikannya tanpa bekal yang cukup, tanpa rencana matang, menyimak lagu - lagu sekenanya. Beli tiketnya juga 'go-show', gak pake pre-order - orderan segala. Walhasil, saya gagal menonton. Padahal sore hari saya sudah menginjakkan bumi Ancol, lokasi konser itu bakal digelar.
 
Contoh lain adalah ketika saya harus mengerjakan skripsi belasan tahun lalu. Ya, bagaimanapun saya sempat menjadi mahasiswa, sempat mengalami skripsi seperti kebanyakan teman - teman sebaya. Saya sadar sepenuhnya bahwa skripsi akan selesai bila memang dikerjakan. Untuk mengerjakan, butuh rencana yang rapi dan rancak. Kalau mahasiswanya tidak punya rencana yang baik, maka pasti molor - molor selesainya. Bahkan mungkin drop-out. Lha kalo drop - out, apakah mahasiswa tersebut tidak punya niat menyelesaikan skripsinya ? Mungkin niat mahasiswa sangat tinggi untuk menyelesaikan skripsinya. Tetapi dia belum tentu punya rencana yang baik untuk menyelesaikan skripsi tersebut.
 
Rasanya juga sudah sejak sepuluh tahun lalu bangsa kita punya niat untuk menggorok korupsi. Namun, dengan rencana yang --menurut subyektivitas saya-- kurang pas, maka hasilnya juga kurang optimal. Untuk kasus ini atas segala keterbatasan saya kurang faham, mangkanya saya nilai sangat subyektif, tolong koreksinya. Hanya memperbandingkan dengan negara China, yang dalam hitungan bulan --dengan niat yang sama : memberantas korupsi-- bisa menunjukkan kemajuan yang sangat berarti, bukti tindakan nyata yang konkrit dan signifikan. Bukan berarti di Indonesia nggak ada tindakan nyata, tetapi dalam pandangan awam saya ini, bangsa kita tidak secepat negara China. Cukup lambat bangsa ini dalam urusan pemberantasan korupsi, maaf sekali lagi, tolong koreksi saya. Apa masalahnya ? Struktur bangsa ? Sumber daya manusia ? Kerumitan kasus ? Heterogenitas ? Atau ada hal lain ? Itu semua mungkin. Tetapi salah satunya adalah China memiliki rencana yang jelas untuk mewujudkan niatnya. Mudah - mudahan subyektivitas saya ini salah. Sebetulnya saya berharap demikian.
 
Ya. Itu tadi contoh. Sekali lagi saya tak hendak membicarakan musik, tak hendak memperpanjang urusan korupsi. Tema kali ini adalah relevansi antara niat dan rencana. Rencana memang harus bener. Baik urusan nonton konser, urusan sekolah, urusan rumah tangga, urusan membangun gedung, urusan kantor, urusan bangsa  apalagi. Namun kenyataannya kita sering meremehkan faktor ini. Semua unsur berkepentingan dalam hal perencanaan.
Supaya tidak terlalu panjang, maka saya akan mencoba menukikkan manouver tulisan ini. Dalam Islam banyak diajarkan bahwa keterkaitan rencana dengan niat sangatlah erat. Niat tidaklah menjadi nyata dengan mudah tanpa ada rencana yang baik. Berkenaan dengan ini, maka ibadah akan menjadi lebih sempurna, lebih nikmat. Ibadah bukan melulu adalah urusan transenden, bukan melulu urusan vertikal, walau memang di Islam disaratkan untuk berniat atas daras hubungan vertikal. Saya menekankan maksud sekali lagi, ibadah bukan melulu urusan ritual, bukan melulu urusan sholat. Semua urusan amal kebajikan adalah ibadah. Dan semua ibadah memiliki niat.
 
Coba kita pelajari eksistensi sebuah niat. Niat adalah berdiri sendiri, yang mungkin akan terkatung - katung dan melayang. Namun 'niat' punya untaian yang bisa dirangkaikan dengan 'rencana'. Bila niat itu kemudian dimanifestasikan kedalam rencana, tentu kendala untuk merealisasikan akan lebih mudah mengaturnya. Alangkah sulitnya mewujudkan sebuah niat bila kita tidak memiliki rencana yang jitu. Mungkin niat itu akan cuma sekedar menjadi bisikan hati atau hanya terucap di bibir.
 
Niat, adalah batasan pribadi, batasan hati. Rencana adalah pandangan kedepan terhadap jalan yang harus ditempuh berikut jajaran kendala, sementara realisasi adalah menapak jalan tersebut menuju tujuan yang telah di teropong dengan tepat. Niat tanpa rencana, kemungkinan besar hanya menjadi sebuah keinginan, tidak mewujud menjadi kenyataan. Ya. Rencana adalah manifestasi sebuah niat. Saya terbangun dari merenung. Beranjak. [] haris fauzi - 12 Maret 2008


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.