Tuesday, December 31, 2019

Tahun Suram

Awal tahun 2019 adalah masa panas menjelang helatan pemilihan presiden. April 2019, diselenggarakan pemilihan umum serentak, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Tepatnya tanggal 17 April. Singkat cerita, Pemilihan Umum Presiden memberikan hasil yang mirip dengan hasil pemilu 1997. Memberi kemenangan mutlak kepada petahana ditengah merebaknya isyu kontroversial ihwal kecurangan. Tak hanya itu, beberapa media mengabarkan pemilihan umum 2019 juga memberi catatan terdapat korban jiwa sebanyak 600 - 700 orang petugas pemilihan. Angka tidak pasti, karena tidak dibuka transparan. Keterangan setengah resmi, mereka yang meninggal adalah karena penyakit bawaan, ketuaan, atau terlalu lelah. Kaum kritis ada yang bilang bahwa mereka mati keracunan. Entah ulah siapa yang menebar racun.


Paska pengumuman hasil pilpres yang berkesan sembunyi - sembunyi, muncul gelombang protes dari masyarakat ihwal pelaksanaannya yang disinyalir mengandung kecurangan. Protes ini seharusnya berakhir setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa  tuduhan kecurangan ditolak. Gelombang massa yang menekan sidang sengketa hasil pemilihan presiden itu memuncak selama persidangan dan akhirnya menyurut pada akhir Juni 2019. Mirip hasil pemilu, pengendalian massa yang ber-unjuk rasa selama sidang MK tersebut juga mengikuti patron jaman  Orde Baru. Menggunakan represi dari kepolisian dengan cara - cara militer.
Namun ternyata aksi masyarakat tidak berhenti pada bab hasil pemilihan presiden. Kasus berikutnya yang membuat rakyat turun jalan bergelombang - gelombang adalah adanya keputusan pemerintah dalam rancangan undang - undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. RUU ini dinilai melemahkan KPK. Emak - emak, ulama, jamaah pengajian, mahasiswa, hingga siswa STM turun ke jalan. Puncak aksi massa ini terjadi pada akhir September 2019, melahirkan seorang tokoh viral bernama Luthfi Alfiandi. Luthfi akhirnya ditangkap dan sampai tulisan ini dibuat, masih berurusan dengan penjara. Surutnya rentetan aksi massa ini membuat pemerintah lebih leluasa dalam memberi grasi kepada penjahat korupsi, hukumannya didiskon drastis. Aksi operasi tangkap tangan yang biasa di gelar oleh KPK, kini ditiadakan.

Menjelang akhir tahun, setelah digelar pelantikan presiden terpilih dan pengumuman kabinet pada akhir Oktober 2019, ternyata situasi negara ini tetap membara. Kesabaran rakyat kembali diuji dengan Garuda Gate dan Jiwasraya Gate. Garuda, penerbangan plat merah, dimana pernah terendus adanya kejanggalan laporan keuangan semenjak Juni 2019, pada bulan Nopember kembali menjadi bulan - bulanan warga negara gara - gara direksinya dikabarkan menyelundupkan perangkat motor mewah. Direktur utamanya harus dicopot oleh Menteri BUMN. Padahal menteri tersebut baru beberapa hari menjabat. Luar biasa. Sementara asuransi plat merah Jiwasraya menjadi momok yang menyeramkan setelah ketahuan kebobolan 13 trilyun rupiah. Kasus ini mengingatkan bangkrutnya bank Bali tahun 1999 dan bank Century tahun 2009 yang merebak paska pemilihan umum, serta kasus BLBI yang meledak tahun 2002. Tak ayal, Jiwasraya pun dikait - kaitkan dengan pemilu 2019. Berbeda dengan kasus Garuda yang demikian cepat bertindak, menteri BUMN terkesan lamban dan takut bertindak dalam kasus Jiwasraya. Hingga satu hari menjelang pergantian tahun, kasus Jiwasraya ini masih menjadi bulan - bulanan dan bahan nyinyiran rakyat Indonesia.


Soal ekonomi tentunya banyak parameter dari masa ke masa, namun sepertinya paling mudah dengan parameter harga. Harga emas. Saat paska reformasi 1998, harga emas adalah di kisaran Rp 40.000 / gram, kini berharga di kisaran Rp. 700.000 / gram. Sepertinya harga emas-lah yang meroket.

Yang agak aneh adalah dari sisi kehidupan beragama. Semenjak orde baru, tidak ada gejolak ihwal sepele. Misal termudah adalah dalam perayaan Natal umat nasrani. Memang dalam ajaran Islam, beberapa ulama melarang kaum muslimin untuk berucap selamat natal. Ini sudah semenjak jaman dulu tidak bermasalah. Entah kenapa akhir - akhir ini terjadi kebalikannya. Kebalikan itu maksudnya begini, kaum muslimin yang tidak mengucapkan selamat natal, malah jadi bulan - bulanan di media sosial. Umat Islam yang diam saja terhadap perayaan natal maka di-cap sebagai tidak toleran. Ulama yang melarang ucapan natal akan di-cap sebagai radikal. Luar biasa dagangan "radikal" ini. Dekade lalu kaum kapitalis berdagang isu terorisme dengan maskot boneka Osama dan ISIS, kini mereka meng-asong "radikalisme". Entah sampai kapan. [] haris fauzi - jatiasih, 31 desember 2019