Friday, December 17, 2021

SUKA SAMA SUKA ATAU BAGAIMANA



Agak bingung saya dengan rencana adanya perlindungan kekerasan seksual. Yang dipermasalahkan adalah bagaimana hukum melindungi tindak kekerasan seksual. Ini saja. Ini ada apa ? Saya setuju, tindak kekerasan harus dihukum. Nah, tindak kekerasan seksual dimasukkan ke pasal ini saja. Anggap saja sebagai kekerasan sebagaimana kekerasan yang lain, penodongan, keroyokan, misalnya. Bukan lantas membuat aturan tersendiri ihwal kekerasan seksual.

Masalahnya, bila diwacanakan ihwal adanya kekerasan seksual, pemaksaan seksual, relasi kuasa seksual. Bila "hanya itu" yang dianggap kesalahan, maka artinya ada tindak seksual lainnya yang sebetulnya di-ijin-kan oleh hukum. Kita sepakat bahwa di kalangan dunia liberal dikenal dengan istilah seksual sama sama suka, free sex, apakah ini yang bakal dilindungi hukum ? Inilah yang lantas sebetulnya menjadi problem besar lainnya. Mungkin free sex ini tidak menjadi problem di amerika sana, basis liberalisme. Tapi ini di Indonesia, disini, agama belum menyerah. Agama Islam belum mau di-sekuler-kan. Saya kurang faham agama lain.

Kekerasan seksual yang sering diberitakan ada dua hal, yakni hal dalam rumah tangga, yang mana diatur oleh hukum ber-topik KDRT. Sisanya adalah kasus kekerasan sejoli yang berpacaran. Bukan pasangan sah, namanya juga pacaran. Ini bisa jadi malah lebih dominan dibanding kasus KDRT bahkan dibanding kasus perkosaan sekalipun. Kenapa ? Karena orang pacaran jumlahnya lebih banyak daripada orang yang berprofesi sebagai pemerkosa. Lihat saja di sekolah - sekolah, di kampus - kampus, dimana-pun, terutama saat malam minggu. Hitung saja mereka yang berpacaran. Berapa jumlahnya ? Apakah lebih sedikit daripada kaum pemerkosa ? Tentu mereka yang hobi pacaran jauh lebih banyak daripada mereka yang hobi memerkosa.

Dalam agama Islam, tindakan zina, seksual diluar nikah, adalah terlarang. Baik dipaksa maupun suka sama suka. Bila dipaksa, diperkosa, ini sang korban tentu malah dilindungi oleh hukum Islam. Namun, untuk tindakan zina, seksual tanpa nikah, sekali lagi : t-e-r-l-a-r-a-n-g. Dosa. Trus, apa gunanya bangsa ini merencanakan hukum tentang kekerasan seksual ? RUU seperti ini riskan dicatut oleh penganut liberalisme. Selama tidak ada pemaksaan, berarti tidak terjerat hukum. Berarti free sex itu boleh.

Bagaimana cerminan masyarakat sekarang ? Adanya kasus aduan dari seorang wanita, korban kekerasan seksual, mengakunya begitu, menggambarkan gagapnya hukum mengambil keputusan. Sekali lagi, wanita itu mengaku korban kekerasan seksual dari seorang lelaki, dan lelaki itu ternyata pacarnya. Nah kan. Setelah ditelusuri ternyata wanita tersebut telah berpacaran lama dengan pria yang diadukan, yang ternyata memang pacarnya. Bahkan mungkin sudah beberapa kali berhubungan intim dan aborsi, namun baru kali ini sang wanita merasa di-zholim-i.

Kasus seperti diatas ternyata bisa membuat hukum tergagap - gagap menyikapinya. Coba bayangkan apabila hukum yang berlaku menyatakan "hubungan diluar nikah adalah zina dan wajib dihukum". Tentu masalah ini jadi beres. Pihak pria dan wanita tadi sama - sama bersalah.

Saya pernah memberikan analogi dengan tindakan perampokan. Ada sekumpulan perampok yang berhasil menjarah rumah orang kaya. Trus mereka berbagi hasil rampokan. Ketika usai pembagian, ternyata ada sesorang perampok yang merasa tidak adil dalam pembagiannya. Lantas seorang ini melapor kepada polisi, bahwa dia di dzholimi oleh kawan-kawannya, diperlakukan tidak adil, karena dia merasa --seharusnya-- mendapatkan lebih banyak lagi hasil rampokan. Dalam kasus cerita ini, bila "merampok" tidak dilarang oleh hukum, maka perampok yang rugi tadi pasti dibela oleh hukum untuk mendapatkan keadilan, agar mendapatkan hak - haknya. Namun kenyataannya adalah, merampok itu sudah melanggar hukum. Maka, janganlah merampok. Gitu pesannya.

Demikian juga dengan hukum kekerasan seksual. Untuk mempermudah masalah, agar hukum tidak gagap menyikapi keadaan, maka tetapkanlah bahwa berzina itu melanggar hukum. Itu dulu. jangan melegalkan pacaran tetapi berlagak ingin melindungi korban kekerasan seksual. Tengok baik - baik. Kekerasan seksual banyak terjadi karena mereka berzina. Kalo memang serius ingin mengurangi korban atau kejadian kekerasan seksual, berpikirlah jernih, larang perzinahan. Semoga faham. [] haris fauzi, 17 desember 2021

Wednesday, September 22, 2021

Sesuai Metode Nabi

 

Saya perlu membuka laptop lagi untuk menulis. Sejatinya saya sudah tutup laptop untuk hari ini. Sepenting apakah tulisan yang hendak saya bikin ? Sama sekali kurang penting, tetapi bukan berarti tidak penting, tapi bagi saya cukup berarti. Setidaknya jadi arsip ihwal sepercik kekhawatiran.

Jadi begini. Sekarang alhamdulillah marak pengajian tahsin. Bagus sekali. Setiap pengajian tahsin ada guru dan buku pedomannya. Tentu ada muridnya. Intinya adalah bagaimana mengaji sesuai dengan cara Rasulullah SAW. Setiap masjid, nyaris selalu ada kajian seperti ini. Diadakan secara rutin. Umumnya lebih banyak jamaah ibu - ibu. Jamaah akhwat. Seribu masjid, seribu kajian, seribu guru. Alhamdulillah.

Trus, masalahnya dimana ? Ya nyaris tidak ada masalah. Semua baik - baik saja. Bagus malah. Masalahnya cuma satu. Yakni, kebanyakan kajian tahsin ini mengaku merujuk kepada metode mengaji -- membaca-- al Qur'an cara Rasulullah SAW. Ya, semua mengaku demikian. Pasti bagus sekali. Namun ini potensi riskan akan saling klaim, bahwa merekalah yang paling benar, paling sesuai dengan Rasulullah SAW. Gawatnya, trus mem-vonis orang lain yang mengajinya berbeda dengan dia, sebagai kesalahan, menganggap kajian lain tidak sesuai dengan Rasulullah SAW. Menyalahkan. Salah karena tidak sama dengan cara mengaji kelompok mereka. Kebayang ruwetnya bila setiap kelompok seperti itu, dan saling menyalahkan kelompok atau orang lain yang bebeda. Potensinya seperti itu. Semoga tidak terjadi.

Saya ingat dua tahun lalu juga pernah ada pengajian seperti itu di masjid kami, untuk bapak - bapak. Ada seorang bapak, yang mengaku sudah pernah ikut kajian tahsin dengan guru yang berbeda, dan ada item yang berbeda, akhirnya merasa saling benar antara guru dan murid. Ujungnya menyalahkan orang lain. Jadinya muncul ketidak-cocokan antara guru dan murid tersebut. Ya harusnya muridnya ngalah. Memang akhirnya muridnya mengalah. Mengalah untuk undur diri dari kajian tersebut karena merasa yakin dengan kajian sebelumnya, dengan guru sebelumnya. Namun dampaknya, murid - murid lain ikutan mundur. Berabe deh.

Ya mungkin tidak semua pengajian rutin tahsin berbuntut seperti itu. Namun ada satu hal yang patut dijadikan pegangan. Jangan sampai merasa paling benar dalam mengaji. Jangan merasa paling sesuai dengan Rasulullah SAW, kemudian lantas menyalahkan cara mengaji orang lain. Ini bisa jadi problem besar. Sekitar tahun 2010-an, sempat marak pelatihan "Metode Sholat Sesuai Rasulullah SAW". Dan tidak cuma satu. Ada banyak pelatihan yang meng-klaim sesuai dengan Rasulullah SAW. Setiap pelatihan, ternyata ada bedanya, bisa beda tipis, bisa beda tebal. Trus siapa yang salah ? Ya gak perlu salah - salahan. Gak perlu merasa benar sendiri. Saya kembali ingat saat diadakan kajian sholat ala Rasulullah di masjid kami. Pernah juga. Kemudian ada peserta --pria berumur kisaran 60 tahun-- yang berdiri dan mengemukakan pendapat. Seingat saya, beliau berkata demikian," Kita ini pengajian. Topiknya adalah sholat sesuai Rasulullah SAW. Tapi saya tadi ikut jamaah sholat isya, pak Ustadz jadi imamnya. Namun, rasanya sholatnya tadi tidak sesuai dengan sholat Rasulullah". Peserta langsung recok. Rupanya beliau sudah pernah kajian ihwal sholat ala Rasulullah dengan guru yang lain. Dan guru dia kebetulan berbeda dengan guru kali ini. Rame.

Gak hanya mengaji, gak hanya tahsin, gak hanya sholat. Saya pribadi sependapat bahwa semua hal harus merujuk ke metode Rasulullah Muhammad SAW. Namun, bila ada perbedaan, tidaklah harus diperuncing dengan saling menganggap mereka yang berbeda adalah salah. Cukup menganggap sebagai hal yang "berbeda". Titik. Gak perlu merasa benar sendiri. Efek dari merasa benar sendiri, jumawa, ujungnya menyalahkan orang lain dan sangat mudah di adu domba. Akibatnya adalah perpecahan umat. Ingat selalu pesan Rasulullah SAW sebelum wafat, "Ummat..Ummat...Ummat...".[] haris fauzi, 22 september 2021.