Thursday, September 10, 2015

Coret - Cemoret Sketsa II


"waroeng rakjat"


"secangkir cokelat panas di teras kafe"


"oret-oret parkir"


"toko donat"


Coretan sekitar tahun 2008
Media kertas buku saku dan bolpen tulis tinta biasa

Tipe sketsa stroke tipis...
Digambar di lokasi kejadian, live...
Obyek asli-nya nyata...


http://kenisah.blogspot.com

Coret - Cemoret Sketsa

"menara komunikasi"

"distribusi tenaga listrik"

"panggung prog-night"

"di balik gedung perkantoran"



Coret - cemoret sekitar tahun 2008-2009.
Media kertas buku saku, dgn bolpen tinta tulis hitam.
Dulu diunggah ke web multiply, sayangnya web-nya shutdown....

Sekarang di-kais-kais lagi,
....


http://kenisah.blogspot.com

Wednesday, September 09, 2015

numpak sepur

Tahun 1995, saya mulai berkenalan naik Kereta Rel Listrik, disingkat KRL. Sekarang populer disebut dengan Commuter. Pas itu saya numpang tinggal di rumah PakLik saya di Bojong Gede, dekat dengan stasiun kereta api Bojong Gede, sementara kebetulan saya ketrima kerja di lingkungan Sunter. Jaman itu ada dua kelompok besar KRL yang berangkat dari Bogor menuju Jakarta, yakni yang kelas Ekonomi, tanpa AC, tumplek blek dengan pedagang, boleh membawa pikulan masuk gerbong. Kelas satunya strata eksekutif ber-AC, namanya Pakuan. Atas pertimbangan harga dan banyaknya kereta, saya biasanya untuk ngantor atau apapun, memilih naik KRL ekonomi menuju Gambir, turun disitu --sekarang Gambir sudah tidak melayani turun naik penumpang KRL-- , trus saya ngelanjut naik bis kota PPD no 52 dan turun di prapatan Kokakola, trus jalan kaki sedikit ke kantor di Astra. Sekitar dua tahun saya menjalani rutinitas seperti itu, walaupun gak rutin setiap hari karena saya juga pulang mondok di sekitar lokasi pabrik, tapi bisa terbilang kerap.

Exit gate, stasiun KA Bogor
Dan lantas rutinitas naik KRL ini lenyap seingat saya ketika tahun 1997, saya pindah ke rumah kakak di Bekasi, otomatis moda ke kantor berubah dari KRL menjadi bis. Semenjak itu, jarang sekali saya naik kerata KRL. Mungkin pada tahun 1999, pernah sekali dua naik KRL menuju arah Jakarta. Seingat saya pas ada kondangan di daerah Jalan Merdeka, trus pas ngelanjut dari Pasar Minggu karena ada hajatan di Kebayoran. Dan sepertinya pada tahun 2004 juga pernah naik KRL dari Bogor ke Depok, trus balik lagi. Pas itu acaranya 'mengenal-kan' KRL ke anak sulung yang berumur 4 tahun.

Dua hari ini, saya kembali naik KRL, tak lain tak bukan karena saya ada urusan pelatihan di Jakarta Kota. Sekarang tahun 2015. Beda sekali dengan tahun 1995. Sehari sebelumnya, saya sudah browsing melalui googlemaps, lokasi pelatihan berikut rute terdekat dengan stasiun kereta api, yakni stasiun Sawah Besar. Malamnya, saya cari info harga dan cara pembelian tiket. Ternyata, saya lebih cocok beli tiket harian. Pagi harinya, saya naik ojek dari rumah ke stasiun terdekat rumah, Cilebut. Di loket peron saya jelaskan tujuan tersebut, saya membayar 10.000,- untuk kartu jaminan dan 4.000,- untuk ongkos jalan. Pukul 5.30 KA berangkat dan pukul 06.40 saya landing di Sawah Besar. Pas turun saya sekalian beli tiket balik, dari Sawah besar menuju Bogor seharga 5.000,- rupiah. Lantas saya jalan kaki menyusuri Jalan Sukarjo Wiryopranoto menuju lokasi di jalan Hayam Wuruk. Berjalan kaki di daerah klasik seperti ini, pagi hari pula, alangkah menyenangkannya. Badan berkeringat tidaklah masalah. Saya teringat jalan - jalan pecinan di Pontianak dan di Singapura. Pagi hari, sepanjang jalan banyak yang berjualan sarapan ala rakyat, mi, nasi bungkus, jajanan goreng.
Bajaj vs Bemo di Mangga Besar
Lha ndilalah ternyata sasaran saya salah walaupun di jalan yang sama. Lokasi pelatihan ada selisih dua halte busway dari lokasi yang saya perkirakan. Untungnya saya punya kartu transjakarta. Dan saya melanjutkan dengan bis tersebut. Tibalah di lokasi, yang ternyata juga dekat dengan stasiun kereta api, tapi berbeda, yakni stasiun Mangga Besar, bukan Sawah Besar. Dalam hati saya berpikir, wah, ini pasti pulangnya bisa masalah, karena tiket saya take off dari Sawah Besar.

Selama masa jeda pelatihan, beberapa petugas hotel saya tanya ihwal dua hal, pertama memastikan stasiun terdekat yang bisa ditempuh jalan kaki. Petugas ada yang bilang stasiun Kota, tetapi kebanyakan menyatakan stasiun Mangga Besar. Akhirnya saya tetapkan pulang nanti akan menuju stasiun Mangga Besar. Pertanyaan kedua adalah masalah perbedaan tiket Sawah Besar tadi, apakah bisa digunakan berangkat melalui stasiun Mangga Besar. Sebagian orang menjawab "bisa".  Karena itulah mangkanya saya saat pulang cukup percaya diri berjalan kaki menuju stasiun Mangga Besar.

Mangga Besar, pagi hari
Pukul 17.25 saya memulai jalan kaki dari lokasi pelatihan menuju stasiun Mangga Besar. Saya menyukai jalan kaki, terutama di daerah khas seperti ini. Saya jalan menyusuri Jalan Mangga Besar raya, yang ada THR-nya segala. Ada pangkalan bemo, dan ada apotik dengan model rumah kuno. Daerah pecinan ini saya menjumpai beberapa hal unik, seperti penjual daging ular kobra. Dalam perjalanan saya bertanya kepada tiga orang ihwal lokasi stasiun Mangga Besar, pertanyaan pertama kepada petugas sekuriti ketika menempuh sekitar lima menit berjalan kaki. Beliau tidak faham. Bagi saya agak sedikit aneh kenapa petugas sekuriti tidak faham lokasi stasiun kereta api terdekat. Pada sat sepuluh menit jalan kaki, saya bertanya kepada pengelola warung mie. Di lingkungan pecinan, dia menjelaskan dengan dialek tionghoa yang kental," kalo ke kiri, stasiun Kota, kalo ke kanan Juanda". Tetapi dia ternyata tidak tau ihwal stasiun kerata Mangga Besar atau Sawah Besar. Baru setelah lima belas menit jalan kaki, seorang sekuriti yang saya tanya menjelaskan dengan detil dan pasti," Stasiun kereta itu tuh pak... 50 meter lagi stasiun Mangga Besar...". Ya jelas detil, wong tinggal 50 meter. Alangkah keterlaluannya bila jarak 50 meter saja seorang sekuriti tidak bisa mengidentifikasi detil lingkungannya.
Pangkalan bemo Mangga Besar
Dalam satu menit saya memasuki stasiun Mangga Besar, dan ternyata kartu saya tidak bisa scanning karena sudah diidentifikasi di stasiun Sawah Besar. Saya menuju peron dan menanyakan ihwal tersebut. Ternyata saya harus membeli tiket ulang, tiket dari Sawah Besar hangus. Gak papa-lah. Lima ribu ini. Dan pada pukul 18.10 saya naik KRL menuju Bogor. Perjalanan pulang tidak selancar berangkat, dan baru tiba di Bogor pukul 19.25. Dan lantas saya naik angkot menuju rumah. Sejatinya ada trayek angkutan kota yang bisa direct ke perumahan, tetapi kata sopir, kalo malam pada mangkal di Warung jambu dan tidak meneruskan menuju Ciparigi. "Ciparigi biasanya trayek pagi saja, Bang...", kata sopir angkot-nya. Jadinya saya nyambung angkot, walhasil saya pukul 20.35 baru bisa masuk rumah.

Esoknya, pagi harinya, saya mengulangi hari sebelumnya, namun dengan destinasi yang berbeda, yakni ber-commuter dan lantas turun di stasiun Mangga Besar, dan kemudian berjalan kaki pagi menyusuri Jalan Mangga Besar, berjumpa bemo. [] haris fauzi, 09 sept 2015

Friday, September 04, 2015

untungnya faham

Malam itu saya mampir ke suatu tempat dimana beberapa rekan biasa 'nyangkruk' untuk ngobrol, diskusi, atau yang sering sih bercanda dan berdebat. Namanya juga 'informal' meeting. Beberapa orang sudah terlihat cangkruk disitu. Akhirnya, menjelang tengah malam pembicaraan mengerucut ke soal persoalan agama Islam. Kebetulan ada yang alumni pesantren dalam diskusi itu.

Pada jeda obrolan entah keberapa, sang alumni pesantren menyatakan bahwa dalam Islam, seorang pria itu tidak mengapa mengenakan perhiasan emas. Alasannya adalah," ... yang tidak diperbolehkan adalah membeli perhiasan dengan cara riba, hutang.... Bukan emas-nya,.. ini yang saya fahami dari pesantren lho yaa....", gitu katanya. Wah, ini sih tujuannya mempengaruhi audiens, kata saya dalam hati.

Alumni pesantren itu, setahu saya memang berpikiran sedikit liberal, dan lebih mengutamakan prinsip ber-demokrasi dibanding prinsip beragama. Sementara saya berbalikannya. Ketika ada pertanyaan "apakah anda orang Indonesia ataukah orang Islam ?", maka saya menjawab, "saya Islam", sementara beliau kemungkinan akan menjawab, "Orang Indonesia". Itu andai ada pertanyaan seperti itu. Untungnya saat itu tidak. Tetapi sang alumni pesantren itu faham positioning saya, demikian juga saya faham posisi pandangan beliau.

Dengan posisi pandangan semacam itu, sang alumni pesantren suatu ketika bertanya kepada saya,"..oke lah... sekarang saya tanya... makhluk apakah itu 'khamr' yang diharamkan dalam al-Qur'an ?".

Mendengar intonasinya berbicara, saya menduga ini jebakan. Pada umumnya, dalam merespon pertanyaan seperti ini orang akan menjawab dengan "bir". Dan, jawaban ini akan mudah dipatahkan dengan argumen bahwa "bir ga ada jaman nabi, jadi bir halal dong...". Begitu.
Saya butuh sekian jenak sebelum menjawab. Saya lihat alumni itu tersenyum menang melihat saya ragu menjawab.

Waktu sekian jenak itu saya pergunakan untuk mencari jawaban yang langsung mematahkan pertanyaan dalam sekali jawab. Lantas saya menjawab," ...khamr adalah sesuatu yang memabukkan..."

Dia kaget mendengar jawaban yang tidak dia duga. Dia mengulang pertanyaannya,"...apa itu 'khamr'...?"
Saya menjawab makin tegas...,"Sesuatu yang memabukkan....!".
Inilah untungnya saya membaca Al-Qur'an berikut terjemahannya. Hal itu ada di Al-Qur'an. Sehingga saya faham betul, dengan memberikan jawaban berdasar Al-Qur'an tentunya tidak ada lagi perdebatan dan dalih.

Melihat alumni pesantren terkejut dan gamang, temannya berusaha membantu,".... berarti kalo gak sampe mabuk, gak masalah dong...?".

Kini giliran kubu mereka yang masuk jebakan saya. Lontaran semacam itu sangat memudahkan saya dalam menjawab,".... dalam dalil --entah yang mana-- disebutkan bahwa bila dalam jumlah banyak memabukkan, maka dalam jumlah sedikit-pun statusnya haram...".

Maka selesailah pembicaraan.

------

Maksud tulisan saya begini, sebenarnya, dengan memahami terjemahan Al-Qur'an, itu sangat membantu kita dalam menyelesaikan banyak hal. Salah satunya adalah perdebatan di atas. Juga, dengan sedikit pola filosofis, dengan menggabungkan dua dalil, saya juga dengan mudah mementahkan pertanyaan kedua, walau saya tidak hafal dalil penguatnya. Tapi dua jawaban itu cukup untuk membungkam lontaran - lontaran yang memang bertendensi untuk menyudutkan atau memanipulasi dalil Islam. Jaman sekarang jamak sudah dalil - dalil Islam dipermainkan, dianggap kuno, dibuat bahan olok-olok, dinomer dua-kan, bahkan mungkin nomer kesekian. Istilahnya, terbawahkan. Padahal sejatinya dalil - dalil akidah Islam sudah seharusnya dimuliakan, di-nomer-satu-kan. Dan, masalah terbesarnya adalah, mereka yang merendahkan dalil - dalil Islam itu kebanyakan malah pemeluk Islam sendiri, beberapa dari mereka adalah orang yang berilmu, sehingga malah memelintir segala hal karena dia memiliki ilmu tersebut, kondisi semacam ini bisa menggiring masa awam menjadi apolojis terhadap hal - hal yang semula dilarang menjadi 'boleh' dilakukan. [] haris fauzi - 4 Sept 2015