Wednesday, June 18, 2008

kenisah : sebuah buku berjudul 'haji'

SEBUAH BUKU BERJUDUL 'HAJI'
 
 
...Demikian pula : pengetahuan agama yang dimiliki oleh pendakwah - pendakwah terhormat yang mengabdi kepada seorang khalifah adalah sama dengan yang dimiliki oleh pendakwah - pendakwah yang dipenjarakan oleh khalifah tersebut.
Sesungguhnya bukan 'pengetahuan' tetapi 'kesadaran'-lah yang membuat seseorang menjadi algojo atau martir, menjadi penindas atau pecinta kemerdekaan ....
("Haji" hal 72-Ali Syariati, penerbit Pustaka 1983)
 
Mungkin cukup aneh bila paragraf tersebut di atas ternyata dijumpai dalam buku berjudul 'Haji'. Dari puluhan --mungkin ratusan-- buku yang bertutur mengenai ibadah haji, mungkin buku karya Syariati ini terbilang unik. Dalam buku ini konsentrasi penulis adalah menanamkan suatu ideologi untuk mencapai kesempurnaan ibadah haji, bukan bertutur terhadap ritual - ritual yang musti ditepati. Belum lagi adanya pembahasan ideologi kapitalis, komunis, tokoh Zoroaster, filsuf Aime Cesaire, Erich Fromm, atau apalah, sesekali berseliweran dalam untaian kalimat dalam buku 'agama' ini.

Memang, sebagai filsuf dan sosiolog, Ali Syariati tanpa sungkan mencampur pemikiran politik dan sosiokulturnya dalam buku ini. Namun, inilah kelebihan buku ini. Dan secara fundamental Ali bertutur mengenai esensi - esensi ibadah dalam rangkaian Haji itu sendiri. Yang menurut Syariati adalah konsentrasi manusia kepada Tuhannya. Mengakui dan menyadari sesadar - sadarnya bahwa ibadah haji adalah meng-esa-kan Tuhan. Bersiap menjadi prajurit-Nya, dan kembali ke tanah air untuk menjadi penerang bagi ummat dan masyarakat sekitarnya.
 
Kenapa di Miqat seluruh manusia menjadi satu ? Ada apa dibalik penggunaan pakaian ihram ? mengapa harus menginap dalam tenda pada malam hari ? mengapa tidak boleh mengenakan wewangian ? mengapa harus berkeliling Ka'bah ? mengapa berhenti sejenak untuk kemudian melemparkan batu ? mengapa sebelum kembali ke tanah air harus berkumpul dahulu ? ada makna apa dibalik kisah air zam - zam ?
Berderet pertanyaan berikut alasan yang sangat filsafati akan ditampilkan dengan gamblang oleh Syariati. Sehingga, tidak heran bila seorang tokoh yang bernama M.Amien Rais pernah berujar,"....walau saya telah menunaikan haji beberapa kali, setelah membaca buku ini saya merasa belum ber-haji sekalipun".
 
Contoh yang sederhana ada dalam halaman 39. Soal pelaksanaan shalat dua raqaat di Maqam Ibrahim. Menurut Syariati, dengan berdiri di Maqam Ibrahim, berarti kita mengambil alih posisi nabi Ibrahim. Fiuh...!!! Tau siapa Ibrahim ?
Dan bagaimana secara logis Syariati menjabarkan keterkaitan Thawaf dan Sya'i, antara cinta dan akal, antara term 'Dia' dan term 'engkau', antara mencari 'dahaga' dan mencari 'air'. Dan banyak lagi hal - hal seperti itu yang bakal dituangkan Syariati untuk mengisi otak kita.
 
Obsesi Syariati dalam memusuhi tiga hal tertuang jelas - jelas dalam buku ini, seperti juga dalam buku - buku tulisan Syariati yang lain. Memang Syariati membenci tiga hal : penindas-kapitalis-munafik, yang biasanya dia identikkan dalam tiga tokoh durjana : fir'aun-karun-balam. Inti dari buku ini adalah penyadaran seorang manusia untuk menjadi hamba-Nya, mengorbankan apapun untuk-Nya, dan menjadi penerang bagi orang lain. Haji adalah juga merupakan ucapan janji dan sumpah manusia untuk meneruskan perjuangan Ibrahim yangmana janji itu disaksikan langsung oleh Tuhan. Itu misi haji menurut Syariati. Terasa berat nian.
 
Memang sebuah buku yang cukup lawas. Saya di-'kenal'-kan pada buku ini oleh mendiang Bapak saya, kira - kira jaman saya masih SMP. Saya baru tertarik beberapa tahun setelah itu. Buku kala itu, sekarang ada dalam genggaman saya. Banyak sekali notifikasi dan garis bawah yang ditorehkan Bapak dalam buku ini, menandakan bahwa banyak catatan yang musti diperhatikan. Memang Syariati adalah salah satu tokoh idola Bapak. Like father like son, dalam hal ini, saya jadi ikutan mengagumi Ali Syariati, tokoh Revolusi Iran yang kontroversial itu... [] haris fauzi - 18 juni 2008


salam,

haris fauzi

Tuesday, June 17, 2008

kenisah : keajaiban

KEAJAIBAN KITARO - ANDERSON
 
 .....

You are the sea

You are the sky

You are the ocean

I am the Earth

I am the Island of your Love

....

('Island of Life' - Dream Album - Kitaro)

 
Kitaro, musisi, perkusionis ekspresionis asal Jepang. Dia mengaku belajar menciptakan karya musik dari alam, dari desah cemara, dari percik air, dari awan - awan yang bergerak menyelimuti angan dan mimpinya.
Jon Anderson, rocker yang puitis asal Inggris, memimpin kelompok musik progresif rock terbesar sepanjang sejarah dunia, YES, yang eksis semenjak akhir dekade 60-an hingga kini. Walau dia sekarang juga sudah mulai sepuh, Anderson terus berkarya di jalur ini, sekaligus melukis dan mencipta puisi. Maklum, selain memiliki suara yang demikian jernih laksana dewa, Anderson juga pintar menyusun lirik dan prosa.
 
Anderson dan Kitaro, keajaiban Jepang dan kedahsyatan Inggris yang berkolaborasi di tahun 1992, merilis album 'Dreams'. Dalam album ini, kekuatan musik alam sebagai ciri khas Kitaro, muncul bukan hanya dalam format bunyi, namun lirik dan judulnya sungguh mencengangkan. Terlebih ketika Anderson menjajarkan kalimat karyanya, --salah satunya dalam lagu 'Island of Life',-- terlihat jelas bagaimana kedua kekuatan itu bersinergi. Dari sisi judul, kita bisa pastikan bahwa segmentasi musik yang lahir dari alam semesta tak bisa dipungkiri akan mencuat dengan kuat. Judul lagu seperti ' Symphony Of The Forest ', dan 'A Drop Of Silence' membuktikan hal itu. Itulah musiknya Kitaro.
 
Ketika dalam karya - karya sebelumnya Kitaro banyak  didominasi bunyi perkusi, dalam album ini Kitaro lebih suka bercengkrama dengan bunyi keyboard dan ayunan gitar yang memiliki mainstream progresif, kubu Anderson. Sayatan gitar Hiroshi Araki  nggak jauh dari pola permainan David Gilmour, gitaris Pink Floyd.
Seakan turun dari surga, suara bening Jon Anderson mengalun masuk telinga, mengisi relung hati, dan mengusik jiwa. Andai bukan suara yang berasal dari kerongkongan Anderson, mungkin lagu - lagu dalam album ini tak akan sedahsyat ini.
Ketika kita harus mencerna lagunya dalam lamunan, dalam pancaran surya timur, maka terasa jelas bahwa kita menjadi bagian dalam lagu - lagu karya mereka berdua. Dawai gitar yang menyusur pelan, tegas, dan santun menambah nuansa agar kita lebih merasuk ke alam terbawah pikiran kita, mengajak berkontemplasi.
 
Selain dalam lagu 'Island of Life' yang begitu mengadopsi nuansa semesta, Jon Anderson berkontribusi penting dalam lagu yang lain: 'Lady Of Dreams'. Entah kenapa lirik buatan Anderson kali ini bagi saya mengingatkan kepada prosa - prosa karya pujangga India,  Rabindranath Tagore.
Dan dalam lagu tersebut kelihaian Anderson menyusun kata sekaligus melantunkannya laksana laskar langit yang berkarya demikian sempurna. Untuk itu, saya  bisa bilang bahwa Anderson sejajar dengan Tagore. Indah. Seindah malam. Seindah cinta.
...
save me a place in the heart of your hearts
when you think of love never forsake me
wanting and dreaming you
each time i think of you
....
Only a lady of dreams
she will bring magic
to sing to your heartstrings....
 
[] haris fauzi - 17 juni 2008


salam,

haris fauzi

Saturday, June 14, 2008

kenisah : apakah curang

APAKAH CURANG

 

Suatu hari, komputer di rumah lambat sekali melakukan 'boot'-ing. Sumpek sudah jelas. Rupanya ada permasalahan di pembagian memori-nya, atau mungkin permasalahan di hard disk. Atau manapun. Tapi, yang jelas, memori di komputer itu memang cuma 256MB, sudah ketinggalan jaman. Jaman sekarang sudah lumrah memakai memori mendekati 1 giga. Yah, dengan asumsi dugaan dan kebutuhan untuk melakukan up-grading memori (RAM), maka saya mengunjungi toko reparasi komputer. Saya berharap peningkatan memori bisa membatu proses booting berjalan lebih cepat, dan tentunya meningkatkan performa komputer itu secara keseluruhan. Toko itu ada di sebuah pertokoan.

 

Saya langsung menanyakan harga untuk kebutuhan komponen yang saya maksud itu, strike aja, memori 1 giga. Yang jualan menyebut harga setengah juta. Saya buka ponsel saya, disitu ada dokumentasi pesan pendek dari kakak, isinya tentang harga - harga memori 1 giga. Saya termasuk orang yang malas tawar - menawar. Jadi, pesan pendek itu saya jadikan kartu truf, dan akhirnya kami menyepakati harga empat ratus ribu untuk merek memori kelas menengah, cukupanlah. Mepet dengan referensi dalam pesan pendek dari kakak.

 

Sebelum melakukan istalasi memori, perlu dicocokin dulu spesifikasi komputernya. Apalagi saya tidak hafal spesifikasi komputer yang sudah saya beli beberapa tahun silam itu. Daripada ribet, komputernya saya boyong ke mereka dan ternyata cocok. Lantas dipasang dan dicoba. Nah, disinilah teledornya saya. Seharusnya mungkin tidak perlu membawa - bawa komputer tersebut. Dampaknya muncul permasalahan kedua, entah kenapa tiba - tiba Windows-nya bermasalah, harus di instalasi ulang, dan saya kena tarip delapan puluh ribu, silahkan saja. Komputer itu hendak segera dipakai, segera, dan saya tidak punya installer windows-nya. "Saya tinggal bentar, solat dulu ", gitu kata saya. Saya cabut.


Sehabis dari musola, terjadi rangkaian percakapan. Ringkasannya sih menyebalkan benar. Untuk melakukan istalasi windows, mekaniknya bilang harus mengecek hard disk-nya. Dan entah kenapa, saya jadi merasa nggak sreg ketika dia menyampaikan bahwa separoh data di hard disk rusak. Harus diperbaiki hard disknya. Untungnya saya membawa hard disk lain, jadinya hard disk kedua itulah yang akhirnya dilakukan instalasi windows. Hard disk awal saya coba pelajari, dan ternyata ada hal aneh, dokumen - dokumen yang semula bisa saya buka, kali itu --setelah di-oprek sang mekanik-- malah nggak bisa ke buka sama sekali. Saya mencoba tenang dan memasukkan hard disk tersebut ke kantong.

 

Jadi, permasalahan yang semula ingin nambah memori, menjadi bertambah dua menjadi tiga buah : permasalahan semula yakni memori, kini ditambah windows, dan hard disk. Setelah mekanik yang bernama Tio itu melakukan pemasangan memori dan instalasi, saya pulang membopong itu komputer. Sampai di rumah baru saya coba itu komputer. Sudah lewat maghrib. Saya langsung buka identifikasi memorinya, dan sungguh takjub, ternyata memorinya yang terpasang cuma 256MB, bukan 1 giga. Saya segera menelepon toko tersebut, dan diangkat oleh sang mekanik sendiri, Tio. Lewat sedikit perdebatan, Tio mengakui bahwa salah pasang. Alasan yang bikin puyeng. Saya segera minta memori yang 1 giga dikirim ke rumah, namun dia mengatakan bahwa pembelian dengan pesan antar akan dikenakan biaya tambahan."Ada biaya delivery...dan lagi di rumah saya akan ada hajatan", gitu kilah Tio. Saya balik tanya,"... andai saya ambil sendiri, apakah saya mendapat potongan harga ?". Dengan nyengir dia berkata bahwa tidak ada potongan harga, itu sudah resiko pembeli. Saya meradang. Segera saya ke toko tersebut, untungnya dekat rumah. Setengah saya banting memori itu dihadapan Tio dan para konsumen lainnya. Para pengunjung tau bahwa ada penukaran memori karena ditukar oleh mekaniknya. Salah seorang pengunjung berkata sinis tentang kemungkinan kecurangan yang disengaja oleh si mekanik. Saya senyum mengiyakan dengan getir.

 

Malam itu, saya mulai mengutak - atik hard disk yang bermasalah setelah di-oprek sang mekanik. Saya jadi curiga kepada ulahnya. Soalnya, sebelum di-oprek oleh si mekanik untuk instalasi windows, hard disk itu tidak bermasalah sama sekali. Hanya lambat booting saja komputernya. Tidak ada tanda - tanda kerusakan file atau direktori yang terkunci. Lha kok sekarang malah ada direktori yang terkunci. Setelah kasus memori tertukar itu, nyali saya makin curiga kepada Tio. Di akhir kisah, hard disk itu sendiri akhirnya diselamatkan oleh teman kakak saya, seorang berjanggut yang ternyata jamaah mesjid di daerah Tambun.

 

Urusan hard disk bukan urusan terakhir. Ketika suatu hari saya hendak melakukan browsing menggunakan komputer itu, ternyata aplikasi internet explorer-nya nyangkut di sistem. Kembali saya mencari kartu nama toko tersebut dan kali itu sekali lagi saya menelepon Tio, orang terakhir yang melakukan instalasi dan memasang tarip delapan puluh ribu. Saya keluhkan bahwa instalasi dia masih bermasalah. Tio mengusulkan agar komputer tersebut dibawa ke toko untuk diinstalasi ulang, dengan tarip korting, enam puluh ribu. Saya jelaskan bahwa saya tidak melakukan apapun terhadap sistem windows, dan istalasi mekanik itulah yang tidak sempurna, sehingga saya tidak mau dikenai tarip tambahan. "Saya instal kemaren sudah bagus, dan dalam dua hari bisa saja penggunaan mengakibatkan windows-nya rusak ", gitu kata Tio. Saya heran, apakah mungkin suatu pekerjaan instalasi perangkat lunak akan bermasalah dalam dua hari saja ? Saya masih berkeyakinan bahwa Tio-lah yang salah dalam melakukan instalasi. Akhirnya saya menutup telpon, pembicaraan terhenti. Kartu nama itu masih di tangan, dengan jelas tertulis nama toko itu: "INK Computer" Plaza Jambu Dua Lantai I Blok B5 no 7, Warung Jambu, Bogor. Ada tiga hal tercatat dalam otak saya. Memori yang tertukar dengan spesifikasi yang lebih rendah, hard disk yang mendadak terkunci direktorinya, dan terakhir adalah instalasi sistem windows yang tidak sempurna sehingga harus dilakukan istalasi ulang. Apakah dia melakukan kecurangan ? Daripada bertanya - tanya, mending saya robek saja kartu nama tersebut.[] haris fauzi - 14 Juni 2008


Friday, June 06, 2008

kenisah : walk out

WALK OUT
 
Though my eyes could see I still was a blind man
Though my mind could think I still was a madman
.....
And if I claim to be a wise man
It surely means that I don't know
("Carry On Wayward Son" - Kansas)
 
"Mas, tarip jemputan sekolahnya Salma naik", gitu suatu petang istri saya bilang.
"Berapa ?", saya nanya ogah - ogahan.
"Dari dua ratus ribu jadi dua setengah". Maksudnya pasti menjadi dua ratus lima puluh ribu.
"Ya.Oke..masih mending. 'Kan dua puluh lima persen, sementara bensin naiknya tiga puluh persen. Gapapa". Tukas saya.
 
Begitulah. Salma berangkat sekolah menggunakan fasilitas antar jemput, bareng temen - temennya. Kali ini tarip jemputannya naik. Setelah pembicaraan kami sore itu, tak lama kemudian telpon di rumah tak kunjung berhenti berdering. Sesama orang tua saling telpon untuk memperbincangkan kenaikan tarip jemputan anak tersebut. Ada yang berhitung dan menentukan harga versi masing - masing, namun pada intinya  kebanyakan 'berkeberatan' dengan kenaikan tarip tersebut.
 
Selidik punya selidik, ternyata ada keputusan untuk melakukan aksi "walk out".  Maksudnya, para pelanggan jemputan tersebut walk out alias nggak melanjutkan langganan. Pasalnya gara - gara naik lima puluh ribu sebulan.
 
"Kayaknya tinggal Salma yang gak keberatan dengan kenaikan itu. Ibu - Ibu yang lain pada keberatan dan gak pada ngelanjutin langganan jemputan", gitu papar Istri saya.
Saya spontan tertawa. Menertawakan kecerobohan saya yang gak terlalu peduli dengan kenaikan lima puluh ribu rupiah itu. Yang jelas saya menertawakan Salma. Dalam jemputan itu, Salma terbilang paling sedikit uang jajannya. Salma dalam seminggu bawa uang sangu cuma seribu perak, yang lain ada yang lima ribu sehari.
 
Saya mencoba berpikir realistis, dan berkaca bilamana saya menjadi pengusaha jemputan itu. Kenaikan harga yang relatif rasional menurut saya. Saya masih mampu juga membayarnya. Dan dalam pandangan saya, menilik dari uang jajan anak - anaknya, menilik dari gonta - gantinya mobil orang tuanya --bahkan ada yang menyindir mobil saya agar segera di ganti karena sudah ketuaan--, menilik dari rumah - rumah mereka yang bahkan ada yang berharga sepuluh kali lipat rumah saya. Saya jadi bingung, mengapa mereka keberatan dengan kenaikan lima puluh ribu rupiah sebulan ? Membuat reaksi walk-out ? Tidak meneruskan langganan dan hubungan yang terjalin baik selama ini ? Ah, entahlah.
 
Bicara tentang walk-out, minggu lalu ada siaran dialog di televisi, bicara soal aksi mahasiswa kontra kenaikan BBM. Dihadiri banyak mahasiswa, dan beberapa tokoh pemerintah dan kepolisian. Entah kenapa, para mahasiswa yang mengikuti dialog tersebut akhirnya banyak yang walk out keluar studio televisi. Saya lihat presenternya cukup kecewa dengan walk out-nya puluhan mahasiswa itu.
 
Saya jadi membayangkan, betapa perasaan tetangga saya yang mengusahakan jemputan itu pastilah kecewa. Dari ukuran operasional, dia menaikkan tarif di bawah biaya konsumable yang harus ditanggung. Masih ditambah walk out para pelanggannya. Ah.
 
Tulisan ini agak beralih. Maaf. Dalam sehari, tukang sayur bergantian lewat bisa lima kali. Mereka kepanasan dan biasanya pake payung atau kerudung handuk. Saya beberapa kali menegur Istri saya supaya jangan terlalu menawar rendah dagangan mereka, "..mereka sudah kepanasan....", dalih saya. Memang kala tulisan ini dibuat para pedagang sayur juga telah menaikkan harga dagangan mereka, sekitar sepuluh persen.
Menurut pengakuan mereka, keuntungan mereka memang turun gara - gara harga kulak naik, dimana kenaikan harga kulak tersebut belum sempat diimbangi dengan kenaikan harga jual mereka. Mereka takut para pelanggan bakal walk-out, karena hal ini membuat dagangan mereka malah gak laku sama sekali. Dan ujung - ujungnya membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Keputusan yang bijak, sabar, dan legowo. Para pedagang sayur itu ternyata memiliki jiwa berkorban lebih unggul.
Para pedagang sayur mungkin adalah komunitas yang paling buta terhadap berita dan statistika gejolak ekonomi dan harga yang tidak menentu ini. Namun, mungkin karena ketidak-tahuannya inilah, karena kekurang - tahuannya inilah, saya merasa bahwa merekalah yang paling bijak dalam menyikapi kasus ini.[] haris fauzi - 5 Juni 2008


salam,

haris fauzi

Monday, June 02, 2008

kenisah : ketemu

KETEMU
 
Pas tahun 1997-an-lah kira - kira. Awal - awal saya numpang tinggal di rumah kakak saya di Jatimulya, Bekasi Timur. Pas itu teman kuliah saya yang jadi teman se -kantor, Hari Badrun namanya, juga beli rumah di Tambun, Bekasi Timur juga. Biasanya dia berangkat ngantor naik motor, saya milih naik bis. Milih begitu karena memang Badrun punyanya motor, dan saya juga gak punya motor gak punya mobil. Naik bis.
 
Akhirnya suatu hari sepakat berangkat bareng. Sekitar jam enam pagi, motor itu muncul lantas minggir ke halte. Setelah memastikan bahwa Hari Badrun yang mengendarai,  saya nyengklak naik. Kita berangkat ngantor, lewat jalan raya Bekasi. Eh, baru menjelang Pondok Ungu, pagi itu hujan tercurah. Daripada basah kuyup, mendingan telat. Kita memutuskan minggir dan berteduh di emper toko jualan kayu bangunan. Banyak bener yang berteduh, motor berderet - deret, orangnya kedinginan sambil celana tergulung lengan terlipat rokok berkepul - kepul.
 
Entah iseng kenapa, Badrun berniat melepaskan tas cangklongnya dan meletakkan di tumpukan kayu - kayu dagangan itu. Dan walhasil, ketika hujan mereda, kita berdua terburu-buru langsung cabut dan melupakan tas milik Badrun yang teronggok di tumpukan kayu. Dasar pelupa, kita sadar hampir lima belas menit setelah itu. Terpaksa putar balik sambil ngebut. Dan bisa diduga, tas itu sudah nggak ada. Orang - orang juga sudah sepi, sudah nggak ada lagi yang berteduh. Yah, sekarang acaranya mengumpat - umpat sejenak. Tas buluk hasil minta paksa dari seorang teman kos itu raib. Di cari di kolong - kolong juga nggak ada.
Entah kerasukan setan apaan, kita berdua memutuskan untuk mencari di jalanan. Gak peduli mau telat berapa jam ngantornya, pokoknya musti berusaha cari tas itu dulu. Keputusan yang gak masuk akal blas, mengingat kita juga gak tau siapa yang nyamber itu tas, tadi kan banyak banget orang. Arahnya juga gak tau pada kemana, kan di jalanan banyak bener belokan. Mau di cari satu persatu ?
 
Atraksi di mulai. Saya dibonceng sambil berdiri sesekali, seperti mualim kapal. Kasih intruksi setengah ngawur. "Kayaknya belok kiri", atau, " coba kita inget-inget apa orang itu yang berteduh juga ?", sambil nunjuk motor orang yang berhenti di lampu merah. Badrun juga kadang - kadang secara feeling membelokkan motornya sambil bergumam pasrah,"...orangnya kali belok sini". Ah, analisa ngawur.
 
Sekitar jam sembilan pagi,  menjelang daerah Pulogadung, kita hendak nyalip sepeda pancal yang ada keranjangnya. Kaya orang jualan singkong gitu. Tanpa di duga, ternyata di dalam keranjang di sepeda itu ada tas-nya Badrun, warna biru buluk. Binggo..!!! Langsung kita paksa berhenti itu sepeda. Sebelum dia sempat komentar protes, Badrun bersicepat mengambil tas buluknya, membuka kantung, mengambil dompet, dan setor selembar lima ribuan ke pengemudi sepeda tadi. Kita trus ke kantor meninggalkan tukang sepeda yang terbengong - bengong.
 
Kemaren, hari Minggu saya mengantar anak ke toko buku. Toko buku ada di lantai dua, parkiran mobil ada di basement, di antaranya ada lantai satu di isi supermarket. Setelah parkir, anak - anak berhamburan sama istri saya masuk pertokoan, saya nge-tem sejenak ke lapak DVD, beli 'Forbidden Kingdom", "No Country for Old Men", dan "Asterix-Olympiade" yang dibintangi Alain Delon itu, lantas nyusul anak - anak ke lantai dua.
 
Di lantai dua, entah setelah berapa lama saya baru sadar bahwa karcis parkir mobil tidak lagi menempel di kunci kontak seperti biasanya. Dirogoh ke seluruh kantor juga nihil. Walah. Ini gimana nih. Akhirnya saya memutuskan untuk menyusuri lantai - lantai di pertokoan itu. Mata jelalatan mirip penyapu ranjau.
 
Pertokoan itu memiliki atap tinggi, dan untuk lantai dua hanya berada di pinggir bangunan, jadi tengah bangunan bolong ke atas. Dari lantai dua bisa liat aktivitas lantai satu lewat bolongan itu. Jelas berpagar biar orang gak kecemplung ke lantai satu.
Singkat cerita, dari pagar lantai dua itu saya bisa melihat ada kertas kecil terlipat. Tergeletak sendirian di lantai satu, mepet deretan kulkas dagangan, dekat eskalator ke basement. Saya mempercepat langkah segera turun. Dan memungutnya. Saya segera buka kertas terlipat itu. "Sim Salabim... !". Sebuah karcis parkir , disitu tertera F1300BG, plat nomer mobil saya. Alhamdulillah....[] haris fauzi - 1 Juni 2008


salam,

haris fauzi