Thursday, September 17, 2009

kenisah [featuring Mr Aji Surya] : Puasa Merana

PUASA MERANA ALA INDONESIA *)

Puasa merupakan salah satu ibadah dalam agama Islam yang beranjak dari kosakata Bahasa Arab 'shaum' atau "menahan". Sebagai ibadah yang amat populer, puasa memiliki tingkatan berdasar kondisi pelaksanaannya. Beberapa teori ahli fiqih sempat muncul, tapi tampaknya menjadi kurang membumi karena perkembangan zaman. Benarkan puasa orang Indonesia lebih tinggi dari semua teori puasa Imam Ghazali?

Sebagaimana sering dikhotbahkan di masjid dan surau, melalui buku 'Ihya Ulumuddin', ulama tersohor Imam Ghazali mengklasifikasi tingkatan puasa menjagi tiga; yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan bersebadan. Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah.

Puasa tangga paling puncak adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Sedangkan puasa medium level adalah puasanya orang-orang salih - yang mana puasa tingkat ini yang seharusnya kita tuju untuk mencapainya. Sementara puasa “kelas permukaan” adalah puasa amatiran. Untuk mencapai level di atasnya, seseorang harus meningkatkan kesempurnaan dan kualitas puasanya

Selanjutnya Imam Al Ghazali menjelaskan beberapa hal untuk mencapai kesempurnaan puasa yang belum berkualitas. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.

Kedua menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya.

Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Dan kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan.

Puasa sangat Khusus ala Indonesia

Kalau dikaji secara lebih mendalam, aneka tingkatan yang diteorikan oleh Imam Ghazali dibatasi pada hal-hal yang bersifat umum dan hanya teraplikasikan pada kondisi masyarakat yang sangat normal. Ia belum memperhitungan hukum pasar dan fakta - fakta kekinian yang terjadi dalam sebuah masyarakat dimana bisa jadi suatu ritual saat puasa akan menjadi demikian spesifik, atau bahkan kondisi masyarakat dapat menyebabkan puasa semakin tinggi tingkatannya. Karenanya pula, puasa di Indonesia, dalam batas-batas tertentu, bisa lebih tinggi dari semua level yang tertera dalam buku 'Ihya Ulumuddin' tadi.

Mengapa kondisi pasar dan masyarakat bisa mempengaruhi tingkatan puasa? Tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan buku legendaris 'Ihya Ulumuddin". Mungkin korelasi inilah yang belum sempat terpikirkan oleh Imam Ghazali. Dalam kelakar seorang teman, bila Imam Ghazali sekarang masih hidup dan berkesempatan menjelajah Indonesia --baik secara nyata ataupun melalui dunia maya--, sang Imam pastilah merumuskan tingkatan puasa yang sangat khusus bagi umat islam di Indonesia, atau mungkin puasa yang lebih khusus lagi, semacam puasa wabil khusus ala Indonesia.

Sebagai ilustrasi, kita sedikit banyak harus melakukan arus balik kepada krisis ekonomi yang tengah melanda dunia semenjak ‘Black Friday’ Nopember tahun lalu. Dan, walau kini para ekonom dunia telah bersepakat mengeluarkan fatwa bahwa resesi ekonomi global sudah lewat, ternyata badai krisis ekonomi itu masih krasan di negeri muslim Indonesia dan beberapa negara lainnya. Entah diakui atau tidak, di tengah fatwa ulama yang menyatakan tanggal 1 Ramadhan sebagai awal dimulainya puasa, fenomena pasar lokal di Indonesia masih menunjukkan gejala krisis ekonomi.

Bu Gito asal Lamongan yang sudah bertahun – tahun setiap malam membuka tenda berjualan menu makan malam ala Jawa-Timur-an (nasi dengan lauk pecel lele – ayam goreng dan soto ayam) misalnya, merasa puasa ini adalah masa paceklik. Sambil asik mengulek sambel, ibu itu mengeluh bahwa menjelang puasa harga ayam potong mencapai duapuluh ribu rupiah perkilo. “Padahal dua hari yang lalu cuma tujuh-belas ribu rupiah per-kilo,” imbuhnya.

Hal ini dikuatkan lagi ketika seorang tukang jual daging ayam keliling,--yang biasa menjajakan dagangannya di komplek perumahan. Memasuki bulan puasa dia membandrol dagangannya seharga dua puluh delapan ribu per-kilo. Artinya, dalam menyambut bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia bersiap - siap untuk 'puasa' menyantap ayam goreng, atau mengurangi kualitas hidup. Harga yang berkaraokeria dan riang gembira itu juga terjadi pada cabe keriting hingga tiket pesawat terbang.

Sialnya, awal bulan puasa pas jatuh pada minggu ketiga bulan Agustus 2009. Menyerempet masa pendaftaran murid baru yang bermain di tenggang bulan Juli. Biaya sekolah di republik yang barusan ber-ulang tahun ke-64 ini memang cukup melangit dalam sepuluh tahun terakhir. Warga banyak yang mengeluhkan tentang besarnya biaya sekolah dan kuliah meskipun pemerintah telah merespon dengan meng-gratis-kan beberapa level dan jenis sekolah.

Maka tak ayal lagi, paska masa pendaftaran sekolah, beberapa kelompok masyarakat Indonesia memasuki bulan puasa dengan kantong kempes, atau bahkan ada yang berbekal hutang yang menumpuk. Dengan keadaan demikian untuk kelompok masyarakat tertentu, alih - alih berpikir membeli ayam, selama bulan puasa ini bila makan sahur kenyang saja sudah alhamdulillah.

Lihatlah betapa hebatnya puasa orang Indonesia, bahkan di saat - saat setelah berbuka-pun mereka masih setengah ber-'puasa'. Benar - benar puasa dalam arti fisik. Ketemu nasi di saat berbuka puasa, artinya bersahur seteguk air. Mengharap bersahur kenyang, berarti berbuka alakadarnya. Mungkin seperti ini yang di-kelakar-kan seorang sobat dengan "Puasa Merana".

Ada juga teori fiqih menjadi kurang valid dengan keadaan Indonesia. Para kaum ulama menyarankan agar orang yang berpuasa melengkapi ibadahnya dengan ritual sosial dan memakmurkan mesjid. Orang yang berpuasa diharapkan mengurangi porsi kegiatan yang berurusan dengan mengumpulkan nafkah. Harus memperajin ber-tafakur dan ber-tadarus.

Di bulan - bulan normal ketika seseorang bisa melakukan lembur banting – tulang sehari semalam saja, tidak sedikit yang 'nafas kantongnya' masih kembang - kempis. Entah bagaimana ceritanya bila porsi kegiatan mengais rejeki ini dikurangi. Ketika mencari nafkah dapat sejengkal, harga - harga melonjak sepuluh langkah. Mungkin ini salah satu tantangan terberat puasa ala Indonesia.

Di tengah-tengah itu semua, pemerintah merencanakan beberapa kenaikan yang berefek domino, diantaranya adalah kenaikan gaji Pegawai negeri Sipil dan harga gas elpiji dua-belas kilo. Tak bisa dipungkiri bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil dan gas adalah salah satu parameter ekonomi tanah air yang diyakini cukup akurat oleh masyarakat sehingga harga barang saling lari berkejaran. Itulah sebabnya harga cabe, beras, telur, hingga sapu ijuk bisa jadi akan ikutan naik. Apalagi menjelang lebaran seperti ini.

Dalam teori sosial, ditengah situasi puasa "perut-lapar-leher-tercekik-kantong-bolong" akan sulit sekali menghindari puasa dua hal: memaki dan berbuat kriminal. Seperti lazimnya teori Brooklyn bahwa semakin sulit kondisi ekonomi, maka para penyanyi rap jalanan semakin sering mencaci, dan semakin tinggi pula tingkat kejahatan. Leher yang tercekik akan dengan mudah memuntahkan cacian, sementara perut yang lapar akan menggelapkan mata orang bertindak nekad.

Dua elemen itulah yang bisa membuat 'puasa merana' ala Indonesia turun kualitasnya. Mau lebih "merana" lagi ? Tolong saksikan bagaimana kaum hedonis dan para pejabat (walau tidak semua) melakukan acara - acara buka bersama dengan seringkali memboroskan menu makanan, berfoya - foya, malah bisa jadi berupa pesta mewah. Sangat ikonik, sangat njomplang. Kontras dengan kondisi ketercekikan rakyat kecil, namun di-"lumrah-lumrah"-kan. namanya juga orang kaya.
Di sisi lain, tantangan – tantangan dalam krisis seperti ini bila bisa diatasi maka bakal meningkatkan prestise puasa khusus ala Indonesia. Dalam kondisi pasar dan masyarakat yang spesifik seperti itu, ada baiknya para ulama melakukan ijtihad untuk menemukan teori baru tentang tingkatan puasa sangat khusus orang Indonesia pada Ramadhan tahun ini. []

*) Dimuat di harian Surabaya Post : http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=cd2641acda3609cf9eeb2ca8b8fd50a7&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0

-------

M. Aji Surya adalah pengamat sosial senior alumni Pondok Gontor yang bermukim di Moskow sehingga dijuluki 'Mbah Modin Ajimoscovic'. "Lihatlah dari sudut pandang yang berbeda", demikian kiatnya.

[]

Surabaya Post adalah koran regional Jawa Timur. Mendiang Bapak pernah berlangganan surat kabar ini di era tahun 80-an. "Sebagai orang Malang, sebaiknya mengerti berita - berita aktual Jawa Timur", demikian alasan beliau.

[]

Paragraf terakhir di edit Juni 2016 atas inspirasi dari Yudhidayak Ariadi. Thx
-------

Friday, September 11, 2009

kenisah : membaca dunia

MEMBACA DUNIA
 
"Kita membaca dunia secara keliru dan mengatakan bahwa dunia menipu kita"
(Rabindranath Tagore-"Burung-Burung Nyasar-75")
 
Menurut beberapa pakar motivasi, cara memandang atau membaca dunia ini terdapat dalam sebuah perspektif bernama paradigma. Ringkas ceritera, paradigma yang salah, membuat pondasi pikir kita bermasalah. Sehingga seringkali menganggap sesuatu yang seharusnya benar, malahan salah kaprah. Kata orang, dijaman edan kalo ga edan gak akan kebagian. Jadinya yang pada edan malahan kelihatan normal.
 
Saya ingat ketika di tahun delapan-puluhan saya gemar mengunjungi toko kaset. Kala itu kaset musisi luar negeri --istilahnya adalah 'kaset barat', walau sebenarnya kadangkala berasal dari negeri timur seperti Jepang misalnya, tetap saja dijuluk 'lagu barat'--- bertaburan direkam di negeri kita. Sak-ombyok pokoknya. Memang kala itu belum jamannya royalti. Tentunya hal ini terjadi sebelum musisi kenamaan Si rambut Kusut Bob Geldof ngamuk - ngamuk meng-kusut-kan beberapa kaset 'LiveAid" bajakan yang beredar dengan riang gembira di negeri kita.
 
Ya. Jaman itu kaset seharga kira - kira dua ribu lima ratus rupiah. Karena belum kena ongkos royalti, disebutlah sebagai barang bajakan. Dan syahdan siapapun boleh membajak dan mendistribusikan ke toko kaset dengan sakkarepe dhewe. Tercatat beberapa label rekaman yang cukup kondang adalah Aquarius, Team, Atlantic, atau Billboard.
Saya sendiri menyukai rekaman Aquarius karena pas dengan selera kuping saya, sementara kakak saya menyukai rilisan team karena bunyi treble yang bening.
 
Istimewanya jaman kaset bajakan adalah bila ada satu musisi menelurkan album, maka keempat 'pengganda' itu juga membuat rekamannya, jadi sebagai konsumen kita bebas memilih enaknya membeli yang rilisan label mana.
Tentunya hal tersebut tidak terjadi untuk album karya musisi lokal yang jelas - jelas dilindungi hak cipta. Jaman itu memang masih kayak gitu, rekaman musisi lokal dilindungi hak ciptanya, musisi luar negeri belum. Walau kaset musisi lokal menerapkan banderol yang sama, sekitar dua ribu lima ratus rupiah, mereka mendistribusikan rekamannya berdasar hak cipta, jadi tidak semua label rekaman bisa menggandakan. Dan praktis, cuma satu label yang lazim merilisnya. Seperti album 'Semut Hitam'-nya GodBless, hanya dicetak oleh Billboard, tidak oleh Aquarius.
 
Berhubung paradigma saya adalah kaset barat yang kala itu masih dibajak oleh banyak perusahaan rekaman dan tersedia banyak pilihan label, maka pas hendak membeli kaset musisi lokal jadi bias. Menurut saya, yang lazim ya kayak kaset barat gitu, tersedia dalam berbagai pilihan rekaman. Tak ayal, kesalahan pola pikir saya ini berakibat perbincangan konyol. Kala itu, saya dan adik ingin membeli album baru GodBless. Musisi lokal tentunya. "Mbak, GodBless yang keluaran Aquarius ada ga ?", gitu tanya saya. Tentu saja jawaban penjaga adalah "Tidak".
 
Itulah. Kesalahan yang jamak oleh Jayasuprana diistilahkan sebagai 'kelirumologi'. Dan ini tidak hanya mendera saya pribadi. Tentunya banyak yang mengalami, dan mungkin juga Anda. Dan dalam kasus yang berbeda tentunya.
Setidaknya urusan 'keliru-keliru-an' seperti ini ada dua hal. 'Keliru' yang disengaja, ataukah 'keliru' karena memang keliru.
 
Jangan dikira sedikit kekeliruan yang di sengaja. Mungkin malah lebih banyak. Dan bisa jadi hasilnya akan konyol. Mungkin salah satunya terjadi di Amerika. Konon para ilmuwan di benua tersebut sangat mengkhawatirkan isu 'global warming'. Secara singkat, global warming adalah kejadian yang mengakibatkan dan berakibat timbal balik karena rusaknya ozon. Ada sebab lain yang bisa berkontribusi terhadap global warming ini, namun untuk tulisan kali ini cuekin saja. Konon, penyebab utama kerusakan ozon adalah gas karbondioksida yang berlebihan. Tentunya gas ini diakibatkan oleh banyak sumber, dan yang paling dominan sebagai terdakwa adalah knalpot kendaraan bermotor dan cerobong pabrik.
 
Yang saya identifikasi sebagai kekeliruan para ilmuwan itu mungkin adalah kejadian di pertengahan tahun ini. Para ilmuwan Amerika merilis hasil temuan terkini bahwa ada gas lain yang menyebabkan ozon bertambah buruk, yakni gas metana. Dan, gas metana yang paling merusak ozon adalah gas metana hasil sendawa sapi. Ya, sapi hewan berkaki empat. Fantastik. Saya semula menganggap sapi bisa saja menjadi terdakwa bila dia menjadi komisaris puluhan pabrik penghambur polutan.
 
Namun ternyata bukan seperti itu. Bukan hanya sapi jutawan pemilik pabrik yang dituduh menjadi biang kerok, bahkan sapi kere yang setelah dewasa bakal dipotong-pun termasuk terdakwa utama kasus perusakan ozon. Karena semua sapi --baik kaya ataupun miskin-- bersendawa dan mengeluarkan gas metana.
Inilah yang membuat saya untuk sementara ini menganggap para ilmuwan ini keliru. Karena seingat saya, sapi - sapi itu sudah hidup semenjak dulu, sementara kasus 'global warming' baru marak sepuluh tahun terakhir. Alangkah kasihannya para sapi, karena semasa hidup mereka menjadi tertuduh, dan setelah itu disembelih.
 
"Badut, anak - anak, dan musisi berbicara sebenarnya", begitu kata Bono, vokalis band U2 yang sering mengkritik para pejabat, politisi, dan kaum ningrat lainnya. Menurutnya, mereka sering melakukan kekeliruan yang sering disengaja, mungkin seperti kasus 'pengkambing-hitam-an' para sapi tersebut. Tentunya pendapat Bono ini tidak terkait dengan dakwaan yang dijatuhkan para ilmuwan terhadap para sapi. Pendapat Bono itu disampaikan jauh hari sebelum kejadian mengenaskan yang menimpa para sapi - sapi. Kala itu Bono mungkin kesal dengan segala kekeliruan yang banyak bertebaran.
 
Singkat cerita. hendaknya kita jangan lupa, bahwa manusia memang tempatnya khilaf. Biangnya salah. Namun, tentunya tidak harus berlarut - larut dan berakibat konyol. Hal itu tak boleh terjadi, karena manusia sejatinya adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Manusia adalah khalifah yang bertahta untuk mengemban misi Tuhan mengelola bumi. Bayangkan, apa jadinya kalo sang khalifah salah melulu dalam memandang / membaca dunia sehingga pola pikirnya salah. Tentunya ini bisa mengakibatkan kesalahan dalam bertindak, entah salah yang tidak disengaja; apalagi kesalahan 'njarag' (disengaja). Dan, bukankah sebuah lelucon apabila dalam suatu bencana malah menyalahkan pihak lain yang mungkin hanya bisa 'nrimo' sambil 'melenguh' ? Mooooooo................[] haris fauzi - 11 September 2009


salam,

haris fauzi

Wednesday, September 09, 2009

kenisah : ijtihad bagi pemula

IJTIHAD BAGI PEMULA

Aturan atau hukum dalam agama Islam pada dasarnya dibuat untuk mempermudah pelaksanaannya. Agar segalanya lancar, tidak berantakan, dan bermanfaat. Kata "agama" seingat saya berasal dari bahasa sansekerta yang artinya "tanpa kekacauan". "A" artinya 'tanpa' seperti a-nonim yang berarti 'tanpa nonim', dan "gama" artinya 'kekacauan'. Begitu menurut guru SMP saya.

Namun, dalam menyikapi pedoman – pedoman dalam agama Islam, seringkali secara awam kita akan melihat sebagai sesuatu yang saling bertentangan yang akan mempersulit pelaksanaannya. Sehingga tak jarang timbullah silang pendapat bersengketa tak keruan ujung - pangkal.

Sekali lagi, pendapat seperti ini seharusnya diluruskan, karena aturan dibuat bukan untuk mempersulit sebuah perkara. Dan, apabila memang pada akhirnya melahirkan sebuah kesulitan, maka bisa jadi sumber kesulitan itu adalah diri kita sendiri, bukan bermuasal dari hukum yang ada.


Taruhlah contoh dalam keutamaan sholat. Dalam Islam ada beberapa pedoman keutamaan pelaksanaan sholat. Yang sangat umum adalah bahwa sholat diutamakan dilaksanakan pada awal waktu. Di sisi hukum yang lain sholat dianjurkan untuk dilaksanakan berjamaah. Ada pula, pendapat yang menyampaikan bahwa seorang ibu diperkenankan menunda sholatnya apabila anak bayinya merengek minta disusui.

Nah, kejadiannya adalah seperti berikut. Adalah tiba waktunya azan dan saya sudah bersiap untuk mengambil air wudlu. Istri-pun demikian juga. Dan tiba – tiba anak bungsu kami yang masih bayi terjaga dari tidurnya dan minta disusui.

Tengoklah, dalam kasus ini, ketiga konstrain di atas akan saling bersilangan. Andai saya menjalankan sholat duluan, maka saya tidak akan berjamaah. Andai saya buru - buru berangkat ke mesjid, maka istri saya tidak akan bisa melaksanakan sholat jamaah karena di rumah kemungkinan berjamaah adalah dengan saya.

Namun, apabila saya dan istri nekad menjalankan sholat saat itu juga dengan berjamaah, maka 'hukum yang ketiga' dimana bayi harus disusui akan terlantar.


Untuk menyikapi hal diatas, kita perlu berpikir. Inilah gunanya otak. Maka setelah berpikir sejenak saya memutuskan untuk menunggu di ruang sholat, sementara istri harus mengenyangkan bayi dahulu sehingga bayi tersebut tenang dan bisa ditinggalkan sejenak untuk kemudian istri melaksanakan sholat berjamaah dengan saya. 

Waktu pelaksanaan sholatnya memang sedikit tertunda barang sekitar lima belas menit. Tetapi inilah yang saya putuskan untuk dikerjakan setelah menimbang – nimbang dan memaknai semua hukum yang ada. Sholat tersebut akhirnya memang tertunda, dan saya 'menunggu'. Dalam keadaan seperti ini, --menunggu orang lain untuk pelaksanaan sholat,-- pahalanya sama dengan sholat itu sendiri. Begitu ujaran guru spiritual, bukan pendapat saya pribadi.

Memahami sebuah hukum dalam konteks kekinian dan aplikasi keseharian memang bisa jadi mutlak diperlukan. Untuk itulah Tuhan meng-anugerah-kan otak kepada manusia. Pemahaman seperti ini mungkin yang biasa disebut sebagai 'ijtihad'.

Tentunya 'ijtihad' yang dijalankan oleh para alim-ulama tidaklah sesederhana apa yang saya lakukan di atas. Ijtihad, menurut kamus besar bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta artinya kurang lebih adalah "memahami dan menafsirkan menurut pendapat pribadi". Sementara menurut pakar Islam Profesor Abubakar Atjeh dalam bukunya "Salaf" sekilas arti 'ijtihad' adalah "mengambil pengertian dan memahami sumber hukum yang akan dijalankan".

Menurut ulama besar, berijtihad dengan otak ini berpahala ganda. Pahala yang pertama adalah telah menjalankan ijtihad itu sendiri dengan mendayagunakan otak secara optimum sebagai karunia Tuhan. Dan bila keputusan 'ijtihad'-nya benar, maka dia mendapat pahala kedua. Inilah pahala ganda itu.
Namun bila keputusannya salah ? Dia cuma mendapat satu pahala dari hasil 'panen' ber-ijtihad, Sementara kesalahan yang terjadi adalah akibat ketidak-tahuannya.

Kekurangan terbesar dalam urusan pemahaman pribadi seperti ini adalah adanya subyektivitas yang kadang – kadang menjurus kepada pembelaan sepihak. Dijalankan untuk mencari pembenaran. "Dipelintir", gitu istilah orang sekarang. Ini yang salah dan bakal menimbulkan masalah besar. Bila kita merujuk pada paragraf awal tulisan ini, maka, tengoklah, bahwa permasalahan terbesar adalah berasal dari kita karena 'mengulik' hukum yang ada untuk mencari keuntungan pribadi secara sepihak. Mencari pembenaran yang sejatinya adalah kesalahan.

Untuk mengantisipasi ini, sejatinya jangkar manusia dalam bertindak adalah pada nurani. Hati nurani seseorang secara fitrah memiliki kemampuan mengatakan 'benar' untuk hal yang benar, dan mengatakan 'salah' bila memang hal itu salah.

Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Muhammad tentang bagaimana caranya mengetahui bahwa sesuatu tindakan itu 'benar' atau 'salah'. Muhammad hanya berujar," Jawaban pertanyaanmu itu tidak ada dalam diriku. Jawabannya ada dalam dadamu. Apabila dadamu menolak tindakan tersebut sehingga bergejolak dan membuatmu tidak tenang, maka tindakan itu adalah kesalahan…". [] haris fauzi – 9 september 2009




salam,

haris fauzi