Saturday, July 21, 2018

Habibie, Presiden Tanpa Ambisi

Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan sosok yang begitu istimewa. Bisa jadi lantaran Pak Habibie adalah seorang insinyur. Namun, bagi saya tidak hanya itu. Bila ada survey ihwal presiden idola, mungkin nyaris sebagian besar rakyat Indonesia mengidolakan proklamator sekaligus Presiden pertama RI, Bapak Ir. Soekarno. Bisa saja rakyat Indonesia kini mengidolakan presiden petahana, bapak Joko Widodo. Namun, bila disuruh minta memilih salah satu, maka Habibie-lah idola bagi saya.

Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden RI pada bulan Maret tahun 1998, menjadi wakil dari Presiden Soeharto. Dan tak lama kemudian pada bulan Mei 1998 terjadilah gerakan massa di bawah komando Amien Rais menentang pemerintah yang disebut dengan gerakan reformasi. Gerakan ini memaksa Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama lebih 32 tahun. Gerakan massa yang masif tersebut anehnya hanya melengserkan Presiden Soeharto, tidak melengserkan Wakil Presiden yang kala itu dijabat Bapak Habibie. Bahkan setelah Pak Harto turun dari jabatan Presiden, maka tampillah Pak Habibie menjadi presiden menggantikan Pak Harto. Bila orang suudzon, bisa jadi menuduh Pak Habibie melakukan kudeta. Karena, impak dari reformasi malah membuatnya menjadi seorang presiden.

Baiklah. Salah satu hasil gerakan reformasi adalah tampilnya Habibie menjadi Presiden, dan Habibie menjadi presiden tanpa wapres. Ini kejadian luar biasa. Cepat dan tak terduga. Seakan bangsa Indonesia membuka lembaran baru yang benar - benar baru. Habibie tidak pernah berkampanye ataupun bermimpi untuk menjadi seorang presiden. Siapa menyangka akan ada gerakan reformasi ? Siapa mengira gerakan reformasi tidak serta - merta melengserkannya ? Siapa mengira bangsa Indonesia paska reformasi bisa menerimanya sebagai presiden menggantikan Pak Harto ? Bahkan Habibie-pun --saya kira-- tidaklah mengira sama sekali semua hal tersebut. Malah, mungkin bisa jadi Habibie menganggap suatu kebetulan semata bahwa dia menjadi presiden. Ini bukti pertama bahwa Habibie sama sekali tidak berambisi untuk menjadi seorang presiden. Habibie menjadi presiden di luar dugaannya sendiri.

Pada medio akhir 1999, tibalah masa pertanggung-jawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kala itu, MPR yang dimotori oleh lokomotif reformasi Pak Amien Rais, mendesak Presiden Habibie untuk "berjanji" agar melaksanakan pengadilan kepada Pak Harto, presiden sebelumnya yang telah lengser. Atas pertimbangan banyak hal, akhirnya Presiden Habibie pada pidato pertanggung-jawabannya tidak memuat "janji" tersebut. Otomatis hal ini membuat MPR tidak bisa menerima pertanggung-jawabannya, Amien Rais terus mendesak untuk dilaksanakannya pengadilan tersebut, namun Habibie tidak berubah pikiran. Dan kejadian ini membuat kans Habibie untuk melanjutkan jabatan kepresidenan menjadi tertutup. Apakah ini bermasalah ? Ternyata tidak bagi Habibie. Dan pilihan Habibie ternyata sangat benar. Pilihan Habibie terbukti beberapa tahun kemudian. Ketika akhirnya Habibie tidak lagi menjadi presiden, dan digantikan oleh KH. Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid, toh Gus Dur dalam masa jabatannya sebagai presiden selama dua tahun juga tidak melakukan pengadilan atas Pak Harto. Demikian juga pada masa kepresidenan Megawati selama tiga tahun, pun tidak terjadi.

Pilihan Habibie untuk tidak berjanji ihwal pengadilan ini, dengan resiko jabatannya sebagai presiden tidak bisa dilanjutkan, --dan akhirnya memang demikian--, menjadi bukti kuat bahwa Habibie sama sekali tidak berambisi menjadi Presiden. Pak Habibie, yang tidak berjanji mengadili Soeharto, bukannya berpihak kepada penguasa lama, klan Soeharto. Bila Habibie berat sebelah kepada penguasa Orde Baru, tentu dia ikut di-lengser-kan dalam gerakan reformasi.  Andai Habibie kemaruk kekuasaan, tentu dalam pertanggung-jawabannya Pak Habibie bakal mencantumkan "janji" tersebut, entah bisa terealisasi atau tidak.

Habibie memiliki hati dan otak yang jernih. Yang mampu membuatnya bijak dalam menentukan keputusan diantara pilihan yang membingungkan. Ini semata pilihan terbaik. Dan Habibie berhasil memilih dengan baik. Karena Habibie tidak memilih berdasarkan ambisi. [] haris fauzi - 21 Juli 2018


foto : merahputih.com

Saturday, July 14, 2018

Freeport itu Pilihan

Salah satu hiruk pikuk yang tak kunjung usai di nusantara ini adalah persimpangan masalah Freeport. Setelah sukses beberapa kali menjadi top hits, kali ini Freeport kembali mencuri perhatian masyarakat Indonesia dengan aksi yang dilakukan oleh Menteri Jonan, Rini, dan Presiden Jokowi yang melakukan pembelian saham Freeport melalui salah satu perusahaan milik negara bernama PT. Inalum. Dalam dekade terakhir, Freeport mencuri perhatian karena selalu terjadi tarik ulur ihwal kontrak karyanya. Berbeda tahun ini. Kali ini Freeport di-beli oleh pemerintah RI melalui pintu divestasi saham. Dibeli coy !

Ihwal kontrak Freeport, sejatinya tahun 2021 katanya bakal stop, dan bila putus kontrak itu terjadi maka Freeport bakal jadi milik RI. Sebagaimana pemain sepak bola dengan istilah bebas transfer. Itu plot tahun 2021 kelak. Tetapi pemerintah kini --tiga tahun sebelum kontrak habis-- memilih bersegera merogoh kocek 55 trilyun rupiah -- tentunya dengan disokong belasan bank nasional-- untuk melakukan divestasi saham. Membeli saham Freeport dari partisipasi RioTinto dan Indocopper Investama. Rio Tinto dan Indocopper ini semula dikuasai Freeport-Mc.Moran. Posisi saham Freeport-McMoran mungkin tetap, namun effort ini membuahkan hasil menaikkan kepemilikan BUMN bernama PT. Inalum atas saham Freport hingga 51%. Jadi dominan. Tidak hanya itu. Pemerintah juga bersepakat jidat memperpanjang kontrak Freeport dua puluh tahun lagi. Konon hingga tahun 2041. Itu harga yang dibayarkan oleh pemerintah. Tampaknya Freeport-Mc.Moran cukup puas dengan perpanjangan 20 tahun dan tukar - menukar saham senilai 55 trilyun tersebut. Skema pembayaran masih dalam proses negoisasi.

Membeli sesuatu, berarti ada yang diharapkan dari yang dibeli. Harapannya adalah pada deposit --sisa cadangan emas yang ada. Untuk ini memang masih perlu kepastian, karena tentunya tidak mudah menerawang sesuatu yang berada di dalam perut bumi. Karena bila cadangan masih melimpah, harusnya Freeport tidak rela dan tidak dengan mudah melepaskan saham - sahamnya. Dan pula, bila bicara ihwal saham, maka bila deposit mencukupi seharusnya saham Freeport tidaklah perlu melorot. Namun aktualnya saham Freeport sudah turun memudar pada medio 2016, entah ini dipengaruhi deposit atau tidak, wallahu'alam. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. 

Sebaiknya begini. Jangan percaya begitu saja ihwal deposit ini, ada yang bilang masih banyak, ada pula yang bilang tinggal sedikit. Disisi lain ada yang bilang kilaunya telah memudar, namun di sisi lain beberapa laporan menyampaikan bahwa cadangannya masih lebih separuh. Ini masih perdebatan. 

Faktor berikutnya adalah seni berbisnis. Inilah contoh kongkrit seni dalam berbisnis. Bisnis itu ya pilihan seperti ini, mengambil keputusan dengan data yang diyakini. Dengan mantab. Bukankah begitu ? [] haris fauzi - 14 juli 2018