Wednesday, September 15, 2010

kenisah : matriks kartun

MATRIKS KARTUN

Saya bukan pengamat dunia kartun, namun saya menyukai urusan kartun. Umumnya kartun ada yang berupa komik strip banyolan, ada yang berupa karikatur, ada juga yang berupa komik panjang berlembar - lembar. Sangat menarik dan lucu. Yang disebut kartun ada juga yang berupa film seperti kegemaran anak – anak semacam Naruto, Kapten Tsubasa, Scooby Doo, Yogi Bear, dan sebangsanya – jaman saya kecil dulu yang kondang adalah bikinan Hanna Barbera Film--. Namun, kali ini saya tidak membahas kartun yang berupa film.

Dan karena bukan pakarnya, mangkanya saya membuat satu matriks yang terdiri dari garis vertikal dan horisontal yang mana kedua garis itu bertemu di tengah - tengah. Garis melintang horisontal untuk variabel kata. Ujung kanan maksimal kata, ujung kiri untuk minimal kata. Di tengah – tengahnya ada garis vertikal, tepat di titik nol. Titik tertinggi garis vertikal untuk maksimal gambar, titik terendah untuk minimal gambar. Sisi kanan atas berarti maksimum gambar dan maksimum kata. Sisi kiri bawah berarti minimal kata dan minimal gambar. Setelah ini, mari kita bicara ihwal kartun atau komik.

Beny - Mice merupakan duet kartunis Indonesia yang royal dalam penulisan kata. Untuk menjelaskan keadaan, mereka menggunakan limpahan kata deskriptif. Di era kini, hal ini menimbulkan wabah kartun baru di Indonesia.
Larry Gonick dan Joe Sacco juga cukup royal menghamburkan kata, ini tak lain karena mereka lebih saya kenal dari buku – buku komiknya, bukan sekedar kartun pendek. Yakni komik “peradaban” dan “Palestina”. Bedanya dengan Beny-Mice, Gonick dan Sacco bahkan juga menghamburkan tintanya dengan demikian dahsyatnya. Tak jarang pekat dan penuh sesak. Beny-Mice sejatinya juga cukup royal dalam menggambar, namun dalam pengamatan saya Gonick dan Sacco sepertinya punya stok tinta lebih untuk menggambar.

Gonick maupun Sacco agak beda dengan Beny-Mice, karena kisah komik Gonick maupun Sacco yang panjang –bahkan berjilid – jilid--, tidak pendek-pendek seperti kisah karya Beny-Mice. Mungkin kartun ‘Petruk – Gareng’ -yang sering saya nikmati ketika kecil- lebih mewakili komparasi ini ketimbang Beny-Mice.

Lat, kartunis Malaysia, tidak terlalu banyak berkata – kata, tidak juga berlebihan dalam menggambar. Satu halaman bisa jadi satu cerita yang proporsional, sepeti halnya ‘Tomat’ karya Libra. Setidaknya begitulah menurut saya yang cuma pernah menikmati karya Lat dari kumpulan komiknya, beberapa belas tahun silam. Entah buku itu kemana sekarang. Yang saya ingat, bahwa Lat kadangkala menyisipkan lagunya KC & Sunshine Band, “That’s The Way … Aha… Aha.. I Like It..Aha.. Aha…”. Librasendiri benar – benar memanfaatkan ‘Tomat’ dengan menggambar ‘ala cepat’. Asal – asalan, tak jarang tangan si Tomat berjemari lebih dari lima karena saking asal – asalannya.

Sementara kartunis yang hemat dalam gambar adalah kartun ‘Ferd Nand’ karya Henning Dahl Mikkelsen dan ‘Dilbert’ karya Scott Adams. Mereka berdua menggambar berkesan seadanya, polosan saja. Bedanya adalah Dilbert masih ada sedikit kata – kata, sementara ‘Ferd Nand’ yang sangat minim dalam gambar –gambarnya seperlunya sahaja— ternyata juga minim menggunakan kata – kata. Namun hebatnya, ‘Ferd Nand’ bisa mengocok perut kita dalam gaya minimalisnya itu. Gaya komik tanpa kata ini dikenal dengan gaya ‘kartun pantomim’.

Aragones ? Dia sangat royal dalam gambar seperti halnya Joe Sacco dan Larry Gonick. Sergio Aragones bahkan berkesan lebih detil dalam penggambarannya, banyak personifikasi dan gambar pendukung yang ditumpahkan dalam karyanya, seperti gambar lalat, daun, debu, dan asap. Bahkan ketika menggambarkan jet-coaster, Aragones juga melengkapi dengan detil konstruksi tiang - tiang lintasan jet coasternya. Sepertinya, tangan Aragones tak kenal henti dalam menggoreskan tintanya. Pokoknya Aragones seakan berusaha sepenuh-penuhnya memenuhi kertasnya dengan gambar. Konon tangan Aragones selalu menggambar bahkan ketika sedang telpon atau makan sekalipun.
Bedanya dengan Sacco adalah Aragones miskin kata – kata. Bukan hanya miskin, tapi bisu seperti ‘Fed Nand’. Karya – karya Aragones adalah pantomim. Walau karyanya bisu, namun yang membuat buku kompilasi komik-nya berjargon “Louder Than Words” adalah karena kepekaannya mengangkat isu yang cemerlang, dan tentunya didukung banyaknya gambar yang tertuang.

Joe Sacco, Larry Gonick, dan Beny-Mice berada di sisi kanan atas matriks. Ferd Nand berada di kiri bawah. Lat, Libra, dan Scott Adams berada di kisaran tengah, cuma Adams karena lebih ‘irit’ maka lebih condong ke kiri bawah, sementara Lat condong ke kanan atas. Sergio Aragones berada disisi kiri atas. Ini tak lain karena berhamburannya gambar tanpa kata sama sekali.
Karena dunia kartun adalah dunia gambar, mangkanya jarang ada kartunis yang sedikit menggambar tetapi banyak berkata – kata. Bahkan mungkin tak ada kartunis seperti itu, mangkanya dalam matriks ini tak ada penghuni sisi kanan bawah.

Tentunya tak semua kartun bisa saya peta-kan seperti ini, mungkin sebaiknya anda sendiri yang menambahkan. Yang jelas, kartun itu menyenangkan dan membuat hidup senang. Tak jarang kartun membuat senyum getir karena menohok. Kadangkala kartun terasa perih, karena menyuarakan nurani. Percayalah. [] haris fauzi – 15 september 2010

Friday, September 10, 2010

kenisah : setuju tiga hal

SETUJU TIGA HAL

 

Setidaknya saya menyetujui tiga hal. Hal pertama adalah bahwa sehebat apapun seseorang, dia adalah tetap manusia yang mempunyai keterbatasan. Hal kedua adalah bahwa dunia dan manusia ini diciptakan Tuhan sebagai suatu kesatuan yang diikat oleh saling bergantung antara satu hal dengan yang lainnya. Sementara hal yang ketiga adalah, sekarang musimnya untuk merasa sebagai orang jawa yang sering ketahuan biar keserempet motor, masih untung karena masih hidup. Yakni berusaha menenangkan hati dengan memandang bahwa banyak kejadian yang lebih parah ketimbang bencana yang menimpa.

 

Ada suatu cerita tentang sebuah mobil, bengkel bonafid, dan empat orang mekanik yang demikian pakar. Ringkas cerita, keempat mekanik tersebut memiliki keahlian dalam bidangnya masing – masing. Namun kali ini, mereka berempat harus menunaikan tugasnya bersamaan untuk membenahi satu buah mobil. Gitulah. Satu mobil dibongkar lantas dibenahi empat pakar yang ahli dalam bidangnya masing – masing.

 

Ingatlah hal pertama, bahwa setiap manusia –juga pakar mobil—memiliki keterbatasan. Beragam keterbatasan, yang mana salah satunya adalah peluang untuk 'gagal'. Bedanya antara pakar dan bukan pakar adalah, seorang yang bukan pakar akan kerap gagal, sementara sang pakar jarang sekali gagal. Jarang gagal. Artinya tidak selalu berhasil. Karena tidak seorang-pun yang selalu berhasil.

 

Inilah cerita, mobil tadi dibenahi keempat pakar. Ketika tugas dinyatakan usai, ternyata ada satu ketidak-beresan yang belakangan ketahuan diakibatkan oleh ke-apes-an salah satu mekanik. Repotnya, apa rupa kesalahan yang terjadi terletak demikian 'dalam' sehingga keempat pakar tadi harus bekerja dari awal. Keempat – empatnya. Satu pakar berlaku memperbaiki kesalahannya, sementara ketiga pakar mekanik lainnya –yang semula tidak melakukan kesalahan-- harus mengikhlaskan dirinya untuk bekerja ulang karena kesalahan seorang temannya. Inilah ihwal yang kedua, bahwa semua orang—termasuk pakar mobil—tidak hidup sendiri, mereka juga tidak berkarya sendiri. Sehebat apapun seseorang, mereka semua saling bergantung. Dan mobil itu akhirnya dibongkar ulang.

 

Adalah kebetulan semata ketika ternyata pada usai reparasi kedua, ternyata baru ketahuan bahwa kini pakar yang lain ketimpa 'giliran' untuk melakukan kesalahan. Dan memang seperti yang kita duga, hanya kebetulan semata ketika akhirnya mobil itu musti direparasi ulang untuk ketiga kalinya.

 

Mungkin setelah untuk ketiga kalinya mobil itu dibongkar pasang, mari kita menengok kepada ihwal ketiga. Mencoba menghibur diri. Bisa jadi keapesan bertubi – tubi turun satu – persatu itu masihlah mendingan ketimbang turunnya keapesan secara bersamaan. Ya sejatinya saya juga tidak terlalu faham mana yang lebih mengenakkan, apakah keapesan yang berurutan, ataukan keapesan yang turun bersamaan. Tentu saya tak hendak memilih salah satu pun. Namun, setidaknya, keapesan yang berurutan –walau memang mengakibatkan ketidak-enakkan—semoga masihlah bisa membuat bersyukur dan menghibur diri bahwa masih banyak yang lebih apes ketimbang hal tersebut.

 

Kehebatan memiliki keterbatasan, saling bergantung, dan menghibur diri. Akhirnya mobil itu memang nyata – nyata dibongkar pasang tiga kali untuk kasus keapesan yang berurutan. Ini cerita tentang mobil. Entah bagaimana bila menimpa manusia. Fiuh. [] haris fauzi - 1 syawal 1431 h.

 

"semoga cepet sembuh…amin…"

 

Ilustrasi dari garisline.com



salam,

haris fauzi