Saturday, October 10, 2020

Omnibus

Omnibus Law yang penuh kontroversi itu baru saja disahkan, minggu lalu. Saya jadi teringat tahun 2006. Mungkin tahun 2007, lupa saya tepatnya kapan. Saat itu perusahaan dimana kami bekerja mulai mengalami resesi. Resesi keuangan yang berat. Seakan lebih besar pasak daripada tiang. Dalam suatu rapat darurat manajemen, entah kenapa saat itu ada voting. Dari semua dewan manajemen yang hadir, menyatakan bahwa perusahaan jalan terus. Hanya saya seorang yang bilang "tutup". Saat itu saya bilang," hati saya ingin perusahaan ini jalan terus, tetapi otak saya bilang tutup". Tak lama setelah itu, saya tidak diperkenankan lagi mengikuti jalannya rapat. Manajemen bersepakat untuk maju terus, menyusun program kerja. Di sisi lain, para pekerja optimis kembali, bahwa bakal lolos dari lubang kebangkrutan.

Singkat ceritera, pada tahun 2010 perusahaan kami tutup. Ternyata akhirnya tutup beneran, sesuai apa yang saya bicarakan di rapat beberapa tahun sebelumnya. Saat pabrik benar - benar tutup, saya salah satu yang terakhir keluar dari gerbang biru yang memorabilia tersebut. Saat itulah kepanikan mulai melanda. Manajemen memutar otak untuk mempersiapkan dana 'penutupan pabrik'. Bagaimana-pun perusahaan membutuhkan dana untuk bayar hutang termasuk pesangon PHK. Padahal dana lagi nol. Hutang bejibun. Beberapa bulan terakhir bisa dikata tak ada gajian. Sementara saat - saat seperti itu terjadi kekagetan berjamaah, pekerja seakan tidak percaya. Tergagap sementara. Padahal tanda - tanda sudah ada, setahun sebelumnya ada gelombang PHK. Namun kali ini, PHK belum tentu ada dananya. Hanya ada kaget - kagetan sahaja. Ini yang membikin tergagap. Geledek di tengah siang buntu.

Tak perlu waktu berminggu - minggu. Ditutupnya gerbang pabrik pertanda jelas - jelas bubaran. PHK. Beberapa pekerja menuntut pesangon. Ada yang berkirim pesan ke direksi, menelepon, atau sambang ke kantor pusat, guna meminta kejelasan ihwal pesangon. Ada perorangan, ada kelompok kecil, ada rombongan rame - rame. Pekerja kumpul sana kumpul sini, bicara strategi menagih pesangon. Berkerumun, lantas berangkat, entah kemana. Ada juga yang mengadu peruntungan ke lembaga tenaga kerja.

Sebetulnya, semenjak rapat darurat pada 2006, asli saya sudah penuh was-was. Perusahaan ini bakal tutup. Apalagi saya tidak disertakan lagi dalam sidang hari itu. Untuk itulah saya mulai bersiap. Saya punya waktu selama tiga tahun. Saya sadar betul, bila ternyata harus tutup, maka perusahaan kami tidak lagi punya dana. Bila-pun ada, tidak banyak. Hutang sudah menjerat terlalu erat. Memang akhirnya ada sebagian hak pekerja yang bisa dicairkan. Namun tak ada separuhnya. Mungkin sepertiga atau seperempatnya. Bagi saya ini sudah lumayan, daripada nol. Namun, ini tentu saja belum memenuhi hak. Banyak karyawan yang terus mendesak manajemen, mereka menuntut sisa hak yang belum jua terbayarkan. Entah sampai kapan. Namun saya tidak fokus disitu. Saya faham, 2006 saja sudah tidak ada duitnya. Apalagi 2009. Percuma juga di-demo. Wong ga ada duitnya. Saya lebih memilih menyibukkan diri mencari rejeki, bekerja di tempat lain agar tetap mendapatkan duit. Daripada kehilangan waktu dan kehabisan duit.

Antisipasi itu penting. Dengan melakukan kewaspadaan tiga tahun sebelumnya, saya tidak terlalu pusing dengan ditutupnya perusahaan tempat kami bekerja. Bagi mereka yang gagap, ya akhirnya tergopoh - gopoh. Demikian juga dengan hebohnya pengesahan RUU Omnibus Law. Sinyalemen RUU Omnibus Law ini sudah muncul tiga atau empat tahun. Sekitar 2016. Maraknya kedatangan pekerja asing, terutama dari China. Hubungan khusus pemerintah dengan pemodal dari luar negeri terutama dari China. Perlakuan - perlakuan khusus bagi pelancong dari China. Menjamurnya biro - biro atau lembaga yang berurusan dengan China. Dugaan kolaborasi One Belt One Road. Isyu penyediaan lahan bagi imigran dari China, dan sebagainya Sebetulnya dari sinilah --seharusnya-- sudah muncul kecurigaan. Ada apakah gerangan. Saya pribadi sudah menduga akan adanya hal - hal yang bakal membuat para pendatang dari China ini mendapat kemudahan, prioritas. Mereka mendapat keutamaan, rakyat lokal cenderung dirugikan. Walaupun saat itu saya nggak faham wujudnya.

Ternyata wujudnya --salah satunya-- adalah Omnibus Law. Omni ini maknanya 'bermacam ragam'. Law artinya 'hukum'. Kata Dahlan Iskan, Omnibus ini artinya bus yang bisa diisi bermacam - macam. Jadi singkat ceritera, Omnibus Law artinya sumber hukum bermacam - macam topik dibundel dalam satu kemasan. Konon seribu halaman tebalnya. Luar biasa. Posisinya bisa menganulir topik UU yang telah ada. Boleh dikata posisi Omnibus Law ini berada di atas UU lain. Dari komposisi topik dan kedigdayaannya, jangan - jangan mirip UUD 1945. Ada bocoran cerita, bahwa kelak kerjasama yang efektif antara Eksekutif dan Legislatif semacam ini akan memproduksi belasan Omnibus Law (lagi). Untuk menggantikan UU yang telah dianggap usang. Posisinya semua Omnibus Law ini cukup powerful. Digdaya.

Harusnya tiga tahun yang lalu kita sudah bisa faham bakal kelahiran Omnibus - Omnibus ini. Tiga tahun lalu saat yang tepat untuk protes, bukan sekarang. Kalaulah baru hari ini protes, kemungkinan besar anda terlambat. Kalau sudah palu diketok, ya masalah jadi lebih ruwet. Apalagi pemerintah sekarang cenderung menutup telinga, sementara legislatif cenderung menutup mata. Padahal ini produk hukum, yudikatif sendiri menutup hati, cenderung pilih - pilih. Suara - suara keberatan dan penentangan terhadap rencana UU ini sudah nyaring semenjak lama. Suara nyaring. Suara doang, tanpa bakar - bakar. Kalau toh ada demo, tidaklah destruktif. Namun pihak eksekutif, legislatif, yudikatif sejauh ini konsisten untuk tutup mata tutup kuping tutup hati. Omnibus Law tak terhentikan.

Dan kini kaum proletar bergolak. Periuk nasi mereka terancam. Kaum buruh menggelar demonstrasi. Terlambat, bisa jadi. Omnibus Law sudah terlanjur di-sah-kan. Omni yang memang omnivora, segalanya dimakan. Bentrok sana sini, fasilitas umum rusak dan terbakar. Rasanya kurang elok dilihat. Namun mereka memperjuangkan perut. Ini posisi serba salah. Rekan saya bilang, di negeri ini selalu saja demikian. Atau jangan - jangan rezim ini memang harus diluruskan dengan cara bakar - bakar ? Ini bar-bar. Tidak intelek. Dan tentu saja mengenaskan. [] haris fauzi, 10102020


gambar : au pied de cochon

Monday, October 05, 2020

KONTROVERSI COVID 19 : RUANGAN BER-AC

Ada yang bilang bahwa ruangan ber-AC akan lebih beresiko menularkan virus Covid 19. Ini sangat benar. Karena ruangan ber-AC biasanya memiliki siklus ventilasi udara yang relatif tertutup. Tetapi bila ruangan yang seharusnya ber-AC, lantas AC-nya dimatikan tanpa melakukan pembukaan jalur ventilasi udara, maka ruangan akan menjadi pengap. Ruangan yang pengap ini menjadi lebih beresiko menularkan dibanding dengan ruangan ber-AC.

Penjelasannya begini. Ruangan tertutup beresiko menjadi pengap. Semakin padat orang di dalamnya, semakin cepat menjadi pengap dan makin pengap. Apa sih pengap itu ? Kekurangan udara. Betul, sederhananya seperti itu. Dalam udara yang penuh orang, sehingga pengap, maka kandungan air dalam udara itu akan naik. Karena orang bernafas mengeluarkan udara lembab. Semakin pengap, semakin lembab. Demikian.

Kelembaban udara ini mempengaruhi berat jenis udara. Udara secara normal memiliki berat jenis yang lebih kecil dibanding air. Air lebih berat dibanding udara. Jadi, bila ada udara di dalam air, maka normalnya udara tadi cenderung naik, karena lebih ringan. Demikian juga bila ada air yang cenderung turun / jatuh dalam udara. Bila udara lembab penuh air, maka adanya air akan melayang - layang tak kunjung jatuh. Seperti kita ketahui, virus covid 19 adalah droplet. Artinya cair. Maka, bila udara sekitarnya terlalu pengap dan sangat lembab, maka virus itu tak kunjung jatuh, dan beresiko terhidup orang. Kebalikannya, bila udara sekitarnya tidak pengap dan tidak lembab, maka bila ada orang yang terinfeksi Covid 19 bersin, maka virus itu tak lama langsung jatuh ke tanah, karena berat jenisnya lebih tinggi dari udara. Tak sempat terhirup oleh orang lain.

Disinilah fungsi AC. AC kepanjangannya adalah Air Conditioner. Dalam bahasa teknis disebut "Mesin Pengkondisi Udara". Tugas utamanya adalah menurunkan kelembaban suatu udara sehingga udara tetap segar. Cara menurunkan kelembabannya adalah dengan --salah satunya-- menggunakan freon yang mampu mengikat kandungan air di udara. Produk buangan dari AC salah satunya adalah tetesan air. Itu hasil serapan freon. Dengan diturunkannya kelembaban, maka udara lebih mudah dikondisikan saat menurunkan temperaturnya. Jadi, udara hasil kerja AC itu cenderung kering, dan dingin. Maka, bila dalam ruangan tertutup, dengan dimatikannya AC malah meningkatkan resiko penyebaran virus. Karena udara menjadi lembab dan pengap. Apakah suhu ruang berpengaruh ? Katanya begitu. Memang ada rentang suhu yang dianjurkan agar virus tidak mudah menyebar.

Untuk ruangan tanpa AC, salah satu cara menetralisir kelembaban atau kepengapan yang terjadi adalah dengan membuka sebanyak - banyaknya jendela ventilasi. Sehingga udara tidak sempat pengap, sudah berganti dan ter-netralisir dengan aliran udara yang terjadi. Dengan selalu terjadi pergantian udara, maka kelembaban bisa diminimalisir. [] haris fauzi, 05 Oktober 2020

 

ilustrasi : rumah.com

Saturday, October 03, 2020

Kerajaan di Ujung Neraka


Ada suatu kerajaan di ujung neraka. Kerajaan itu sedang memiliki banyak hutang, penduduk kerajaan itu sedang mengalami wabah. Wabah yang sangat menular dan sangat mematikan. Para punggawa dan petinggi kerajaan tentunya kebingungan. Ditengah wabah yang merajalela, banyak korban bertumbangan menemui ajal. Tak hanya itu, rakyatnya menjadi kere. Kerajaan yang banyak hutang, kesulitan uang. Rakyat disergap penyakit. Orang - orang tidak hidup normal. Ekonomi morat - marit.

Terbiasa hidup dalam hutang, akhirnya sang Raja memutuskan berhutang lagi. Singkat kisah kas kerajaan kini telah terisi lagi. Terisi harta hasil hutangan. Hutang tentunya harus dibayar. Maka Raja mengumumkan kenaikan pajak untuk membayar hutang. Maksud hati harta hutangan tersebut hendak dijadikan biaya untuk mengatasi wabah. Maka disusunlah segala perangkat dan peraturan untuk hal tersebut. Dasar kerajaan di ujung neraka yang memang ber-akhlak rendah. Begitu dana keluar, punggawanya bancakan. Walau tidak semua. Demikian berjalannya waktu, dana tersebut rutin turun, dan senantiasa mengalami penyunatan sana - sini. Begitu melulu yang terjadi. Rakyat hanya bisa gigit jari. Ada beberapa pemuda yang gagah berani berusaha mempertanyakan keberadaan dana tersebut, berniat menguak keterbukaan. Namun para 'tukang sunat' telah memiliki koneksi dengan pasukan bertombak. Pasukan bayaran. Walhasil nasib para pemuda ditangan pasukan bertombak. Pasukan bertombak dengan mudah meringkus para pemuda tersebut. Beres. Sebelum praktek kekerasan ini menyebar, pasukan woro-woro bergerak. Mereka menyebar berita palsu ihwal diringkusnya para pemuda pemberani tadi. Berita palsu yang mengelabui, namun istana seakan membiarkan saja. Selalu begitu.

Sekian tahun berjalan, masih saja wabah itu mencabut nyawa warga kerajaan. Rakyat bergiliran antri dikubur. Petinggi kerajaan tidak sedikit yang tewas. Entah wabahnya yang memang dahsyat, ataukah perangkat kerajaan yang tidak bisa bekerja dengan baik. Yang jelas wabah masih merajalela. Dana yang di-hutang sudah habis, penyakit masih gentayangan. Rakyat makin sengsara. Bekerja tidak bisa. Mereka menunggu para tabib yang mencoba meracik ramuan penyembuh. Obat. Para petinggi berkirim surat kepada para kolega diluar kerajaan, hendak membeli ramuan yang ada disana, bila ada, bila bisa.

Suatu hari ada petinggi yang rupanya mempunyai berita gembira. Dan lantas dia berniat mendatangkan ramuan dari luar kerajaan. Biayanya mahal sekali. Terpaksa kerajaan berhutang lagi. Pajak kerajaan dinaikkan lagi. Rakyat yang sudah kere, mendapat tugas tambahan, membayar pajak tambahan. Pokoknya, Sang Petinggi tadi harus mendapatkan keistimewaan, karena membawa obat istimewa dengan harga istimewa. Bila perlu para tabib diharuskan berhenti meracik ramuannya. Tabib yang ngeyel meracik ramuan, akan berhadapan dengan pasukan bertombak yang sudah terkenal kekejamannya. Kerajaan hanya perlu mendatangkan obat dari luar. Sebanyak-banyaknya.

Sedemikian hendak membeli, harga naik kembali. Entah kenapa. Dengan sukarela kerajaan merogoh kocek lebih dalam lagi. Kocek hutangan. Menutup harga yang luar biasa. Mungkin ada yang bermain harga disana. Raja tersenyum, petinggi tertawa - tawa. Ketika ramuan berharga mahal itu tiba, pasukan woro-woro bergerak lagi. Mewartakan kehebatan ramuan sebagai obat, tanpa mempermasalahkan permainan harga. Dana kerajaan telah habis banyak. Hutang makin menggunung, rakyat menyiapkan punggung, karena pajak harus ditanggung.... ternyata kerajaan akan membuka panggung.

Panggung apa ? Di tengah menggunungnya hutang, ditengah wabah yang merajalela, di tengah penderitaan rakyat yang makin kere, tibalah saat-saat yang ditunggu-tunggu. Raja dan para petinggi kerajaan mengadakan panggung pesta pengangkatan para punggawa baru. Ini kegiatan berkala tahunan. Raja menunjuk para punggawa baru. Benar - benar baru. Mereka adalah anak cucu keluarga famili dari Raja dan para petinggi. Kerabat pejabat ditunjuk menjadi pejabat. Dulu mereka masih anak kecil, kini sudah dianggap cukup dewasa untuk menjadi pejabat. Punggawa baru, dengan segala fasilitas dan kemewahan. Hutang masih mencekik, wabah masih mendera, rakyat makin kere. Kehadiran pejabat baru diharapkan bisa melipur penderitaan rakyat. Rakyat harus memahami warta kerajaan dari pasukan woro-woro. Yang mempertanyakan warta penguasa, akan dipertemukan dengan pasukan bertombak. Selalu begitu. [] haris fauzi, 3 oktober 2020


gambar dari pinterest

Thursday, October 01, 2020

Politik Adi Luhung Prof. H. Amien Rais

Mungkin, berbekal kesuksesan penerapan konsep Tauhid Sosial, maka paska gerakan reformasi 1998, Amien Rais mencanangkan Politik Adi Luhung. Sejatinya, konsep Tauhid Sosial ini mengacu kepada konsep utama Muhammadiyah. Organisasi dimana Amien Rais pernah menjadi pemimpin. Bergerak di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan kemaslahatan rakyat banyak, sedikit banyak bersentuhan dengan politik. Prinsip utama dalam Tauhid Sosial ini adalah konsep Ke-Tuhanan. Ber-Tuhan untuk ber-sosial. Bersosial dengan pegangan ber-Tuhan. Habluminallaah Habluminannaas. Teori Tauhid Sosial ini terbukti sudah implementatif bagi Muhammadiyah. Dan bagi Amien Rais juga tentunya. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi berbasis Islam (ber-ke-Tuhanan) yang membangun banyak sekali rumah sakit dan sekolahan. Inti kegiatannya adalah kegiatan sosial, bukan politik. Ruang aktivitas Muhammadiyah ini membuktikan kesuksesan implementasi konsep Tauhid Sosial.
 
Mengadopsi relevansi Tuhan pada aktivitas sosial dalam skema teori Tauhid Sosial, Prof. Amien Rais menggagas konsep Politik Adi Luhung. Seiring demokratisasi di era reformasi tahun 1998, Amien Rais sebagai lokomotif reformasi Indonesia, menggulirkan konsep Politik Adi Luhung dengan slogan Amar Ma'ruf melalui Nahi Munkar. Jadi bukan Amar Maruf saja. Begitu singkat ceritera uraian Amien Rais. Yang munkar harus diberantas.
 
Politik Adi Luhung adalah konsep berpolitik berketuhanan dalam skema permainan sistem demokrasi. Tantangannya disini. Sebagaimana kita fahami, konsep demokrasi modern yang kini populer, tumbuh berkembang dalam ranah filsafat materialisme paska renaissance, yang mana telah terjadi garis tegas demarkasi bernama garis sekularisasi. Konon bangsa Amerika adalah contoh kongkrit kisah sukses penerapan demokrasi modern (yang sekuler) ini. Nah. Garis sekularisasi inilah yang sepertinya menjadi pengganjal utama implementasi konsep politik Adi Luhung. Dalam konsep demokrasi ala sekuler, Tuhan tidak dilibatkan dalam ber-politik. Politik murni urusan manusia-manusia dan materi - materi. Berwujud.
 
Dalam teori politik adi-luhung, Amien Rais terkesan memaksakan teorinya dengan mengaitkan kebenaran konsep Tuhan, konsep Agama Islam, dan lantas melaksanakan slogan Nahi Munkar, memberantas yang salah. Salah versi apa ? Disini timbul perbedaan signifikan. Berdasar teori Politik Adi Luhung, yang salah adalah mereka yang menyalahi aturan Tuhan. Ini konsekuensi Tauhid. Namun berdasar teori demokrasi sekuler, belum tentu demikian. Ingat, dalam demokrasi, Tuhan seakan sudah dimasukkan kamar khusus (ruang privat, menurut istilah kaum renaissance) dan tidak terlibat dalam percaturan politik. Inilah perbedaan mencolok antara implementasi Teori Politik Adi Luhung dan Teori Tauhid Sosial. Terjadi perbedaan karena 'arena permainannya' memang berbeda atmosfir. Atmosfir politik demokrasi di Indonesia, sepertinya benar - benar mengadopsi garis sekularisasi, sebagaimana induknya di filsafat meterialisme. Sementara atmosfir sosial masyarakat dalam penerapan Tauhid Sosial tidaklah menerapkan garis sekularisasi. Norma etika yang diterapkan dalam nilai Tauhid dan Sekuler bisa jadi berbeda. Masyarakat Indonesia itu masyarakat sosial yang ber-Tuhan, tapi politik demokrasi Indonesia itu sekuler. Nampaknya seperti itu.
 
Bila kembali memperbincangkan kenapa teori Tauhid Sosial bisa berjalan sukses sementara Politik Adi Luhung terkesan terseok-seok, sejatinya Amien Rais hendak menyampaikan bahwa ber-Tauhid dalam kegiatan Sosial itu bisa, maka seharusnya ber-Tauhid dalam berpolitik itu juga bisa. Tapi tentunya tidak mudah. Tidak mudah. Garis sekularisasi-lah kendalanya. Dari semula memang terjadi 'blur' di ranah ini. Hal ini menjadikan keniscayaan sebuah kesangsian terhadap teori Politik Adi Luhung ala Prof Amien Rais ini, terutama berkaitan dengan kontra produktif antara kubu Tauhid dan kubu Sekuler.
 
Hingga tulisan ini dibuat, dua puluh tahun sudah teori Politik Adi Luhung ini digulirkan, dan ternyata konsep tersebut belum bisa terimplementasi. Dalam politik praktis, sejauh ini Pak Amien Rais sepertinya masih tetap kukuh hendak mendorong teori ini, walaupun harus keluar dari PAN, partai politik yang dibidani sendiri kelahirannya. Pilihan Pak Amien tetap. Adalah konsep ber-Tauhid dalam ber-politik, walaupun bisa kita saksikan dalam meng-kreasi sebuah partai politik, Partai Amanat Nasional, kala itu Amien Rais tidak mencantumkan azas islam sebagai azas tunggal. Rupanya Amien Rais faham juga, bahwa aktual arena politik demokrasi cenderung ber-sekulerisasi ria.
 
Namun bukan berarti politik Adi Luhung ini salah. Hanya masih salah kamar. Konsekuensi yang mungkin dihadapi Prof. Amien Rais adalah mengubah salah satu parameter penting, yakni merubah konsep dengan melakukan 'take out' --menghilangkan-- elemen Tauhid, dan sekalian menceburkan diri ke ranah demokrasi sekuler. Ini sepertinya lebih mudah dibanding opsi berikutnya, yakni menggiring masyarakat politik Indonesia agar siap ber-Tauhid. Para politisi ini sudah terbiasa dengan konsep politik sekuler. Ini memang agak unik. Masyarakat Indonesia itu masyarakat sosial yang ber-Tuhan, tetapi ketika berpolitik menjadi sekuler.
 
Dalam suatu forum filsuf Rocky Gerung pernah berujar bahwa prostitusi secara mendasar adalah "transaksi". Bila demikian, apakah benar bahwa demokrasi politik itu adalah hal kotor sebagaimana prostitusi ? Bukankah transaksi adalah hal - hal yang juga dilakukan dalam ber-politik disini ? trus bila demikian, bagaimana akan menerapkan konsep Adi Luhung ? Saya rasa Amien Rais harus bersiap - siap ... []haris fauzi, 01 oktober 2020