Sunday, August 24, 2008

kenisah : menyindir setan

MENYINDIR SETAN
 
Kadangkala kita saling sindir dengan rekan. Bercanda dengan jalan mengungkapkan cerita yang lucu, yang mungkin membuat rekan itu malu. Mungkin suatu kali kita ingin menyakiti hari seseorang, dengan jalan menceritakan keburukan sifatnya. Atau apalah.
Ya. memang ada beberapa hal atau kejadian dari riwayat seseorang yang bila diungkap akan membuat dia malu, atau sakit hati, atau bersedih durja. Semua orang pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan, dan sungguh pahit bila diungkit - ungkit kembali. Dan bila hal itu diungkit, mungkin akan membuat kita sakit hati.
 
Suatu hari, pernah Tuhan bertitah kepada makhluk-Nya untuk melaksanakan sebuat perintah. Kala itu Tuhan usai mencipta karya makhluk 'terbaru'-Nya, yang kemudian kondang dengan sebutan "manusia". Adapun titah Tuhan berikut kejadian yang menyertainya itu tercatat dalam kitab suci sebagai berikut :
 
Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan kamu (Adam),
lalu Kami bentuk tubuhmu,
kemudian Kami katakan kepada para malaikat:
"Bersujudlah kamu kepada Adam",
maka merekapun bersujud kecuali iblis.
Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.
Allah berfirman:
"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?"
Menjawab iblis:
"Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api,
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." 
(QS 7:11-12)
 
Inilah salah satu pengalaman pahit setan. Menentang Tuhan. Dia merasa peristiwa ini terus membayanginya, dan akan nyeri hatinya bila teringat.
 
Lantas, apa hubungannya ? Yah. Kadangkala kita sering merasa seakan setan ini ga ada 'takut-takut'-nya dengan kita, jail melulu. Dan nggak henti - hentinya.
 
Beberapa hari yang lalu saya mendengarkan radio , dan kebetulan menyiarkan hal ini, entah oleh siapa nara-sumbernya. Intinya, untuk mengurangi ke-jail-an setan, maka kita harus membuatnya sakit hati atau setidaknya menyindirnya hingga terdiam. Dan salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyindir si setan adalah dengan melaksanakan 'Sujud Tilawah'. "Sujud Tilawah" ini adalah respon ketika kita mendengar ayat sajadah. Ada beberapa ayat dalam al-Qur'an yang digelari ayat sajadah, salah satunya berbunyi :
 
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud (QS 7:206)
 
Ayat ini memerintahkan kita yang membaca atau mendengarnya, untuk segera meresponnya dengan melaksanakan sujud. Sujud ini populer disebut dengan "sujud Tilawah". Dimana dilaksanakan sesegera mungkin. Entah apapun kerjaan kita saat itu.
Konon, bila setan melihat manusia begitu segera dalam bersujud, dia akan berkecil-nyali, karena dia akan teringat kasus-nya dulu. Setan merasa tersindir, malu setengah mati, dan akan menjauhi kita. Setan tidak akan pernah lupa pengalaman buruknya itu.Yakni ketika membantah perintah Tuhan, dan tidak bersedia bersujud walau itu perintah-Nya.
Bukan hanya sujud tilawah, menyegerakan sholat juga akan membuat setan berkecil nyali, karena menyegerakan sholat berarti juga menyegerakan ber-sujud. Benar - tidaknya, silakan pelajari kembali. [] haris fauzi - 24 agustus 2008

salam,

haris fauzi

Wednesday, August 20, 2008

kenisah : permainan donnay

PERMAINAN 'DONNAY'
 
Betapa saya merasa, ketika jaman SMA sifat jail ini merajalela. Jail ber-'jamaah' maksudnya, kami semua satu kelas. Pernah suatu ketika di kelas itu musimnya menyembunyikan tas. Maksudnya gini, kalo suatu saat saya teledor, meninggalkan bangku, maka dalam sekejab tas saya bisa ilang. Entah diumpetin, dilempar ke kelas sebelah....atau tak tentu rimbanya. Pernah tas seorang teman disembunyikan, entah dimana, dan baru ketemu esok paginya.
 
Awalnya sih gara - gara sebagian dari kami adalah pengurus OSIS, --saya tidak--, bahkan rekan kami, David, adalah Ketua OSIS, yang sering rapat dan melakukan kegiatan dengan meninggalkan kelas. Tas David sepertinya adalah collector's edition untuk perangkat olah raga tenis, mereknya 'Donnay'. Ada tulisan  'Donnay' besar - besar seakan pamer merek.
 
Kegiatan David di luar kelas, meninggalkan kelas, tentunya dengan meninggalkan tas 'Donnay'-nya teronggok sendirian. Nah, atas kejadian inilah maka sebagian teman merasa iba dan berinisiatif agar tas yang 'merana' seperti ini perlu diberi 'acara tambahan', mumpung pemiliknya ga ada. Maka jadilah tas David ini menjadi obyek 'permainan rahasia'. Semula cuma disembunyikan, --mungkin di kelas sebelah-- tapi belakangan gak cuma itu. Disinilah awal istilah permainan 'Donnay' di mulai. Jadi setiap ada tas yang disembunyikan, sebagian kami bersuara saling sahut,"Donnay..!! .....Donnay...dimana kamu ...?". Ditimpali cekikikan.
 
Atas kejadian ini, akhirnya kami masing - masing mengamankan masing - masing tas kami. Saya membawa gembok. Jadi ring tas saya belitkan kemudian saya gembok di bangku. Bangku saya ya kursi itu. Bukan bangku sekolah umumnya yang menyatu dengan meja. Bukan. Hanya kursi kayak kursi di restoran padang, dengan sandaran tentunya. Mejanya terpisah. David juga sering ikutan membelitkan tas 'Donnay'-nya ke bangku saya minta nebeng gembok. Semula saya mengira prosesi gembok - menggembok ini adalah hal yang aman. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Ketika teman melihat tas saya tidak berkutik dan terikat mesra di bangku, mereka membuka tingkapnya --dengan tetap terikat di bangku-- lantas mengambil buku - bukunya, menukarkan ke dalam tas teman yang lain, atau meletakkan buku - buku itu dimana saja. Bisa di meja guru, di atas papan, atau diletakkan berurutan di lantai seperti jejak penjelajahan. Saya pernah menyaksikan Chamid melakukan hal tersebut kepada tas Reno dan Imam.
 
Kelas kami berada di lantai dua, kala itu pergantian guru kelas --pergantian pelajaran,-- saya menyaksikan ada beberapa anak di deret bangku paling belakang sibuk di mulut jendela yang menghadap ke lapangan voli. Saya menoleh dan hanya melihat sebagian punggung dan bokongnya saja, bercelana abu - abu. Mereka memunggungi saya. Lebih tepatnya membokongi  saya. Mereka lantas teriak dan tertawa - tawa. Saya penasaran dengan apa yang mereka lakukan. Ternyata mereka adalah Atmo, Yandi, dan Deded. Setelah melongok lebih jauh lagi, saya saksikan ada tas yang terbengkelai dan dilontarkan dari lantai dua ke lapangan voli. Mereka terbahak ketika tas ransel carrier berwarna hijau tersebut mendarat di samping comberan. Saya tengok, wahahahahahahahahahaa... tas milik Budi teronggok dibawah sana. Hampir kecemplung comberan. Sebagian isinya sudah nongol keluar dari tas. Korban kali ini tidak hanya tas 'Donnay'. Semua musti waspada. Permainan 'Donnay' telah menjalar.
 
Kembali ke masalah tas yang di gembok tadi. Suatu siang, saya musti menggembok tas saya, dan saya tinggalkan sebentar. Saya keluar kelas karena suatu urusan. Saya harus menggandakan jadwal khotib jumatan sekolah. Ya, saya takmir di badan Dakwah islam sekolahan....agak beda urusan dengan OSIS. Untungnya dalam urusan itu saya tidak terlalu lama sudah muncul lagi di pintu kelas. Terperangah saya menyaksikan ada tiga orang yang dengan susah payah hendak membuang bangku saya keluar jendela. Mereka mengangkat tas saya dan menggotongnya menuju lubang jendela. Nampak tas saya terikat erat di bangku yang tengah mereka angkat itu. Kontan saya mencegah perbuatan edan itu. Dan kami akhirnya terpingkal - pingkal bersama. Kelas edan.
 
Dan sebagai bentuk siaga, maka akhirnya kami mencangklong kemana-pun tas itu dibawa. Ketika jam istirahat, ketika harus pindah laboratorium, ketika berurusan dengan kantor guru. Jadi terlihat menggelikan. Di saat semua murid kelas lain meletakkan tas-nya di bangku masing - masing dan bisa bersantai saat istirahat, kami malah menentengnya kemana - mana, termasuk ke warung atau kedai bakso. Apalagi Reno yang memiliki tas baru mirip yang di pakai Andre Agassi, --petenis flamboyan itu. Satu merek dengan sepatunya, Nike. Reno sungguh kuatir bila tas tercintanya itu masuk comberan. Kami semua saling waspada sambil tertawa, sambil curi kesempatan bila ada yang lengah. Kemudian terbahak.
 
Atas permainan itu asli lucunya dimana saya kurang jelas.  Namun entah kenapa kami semua tertawa terpingkal - pingkal hingga bercucuran air mata. Tapi yang jelas adalah apapun yang kami lakukan, merugikan siapa, menguntungkan siapa, kami melakukan itu semua untuk kesenangan semata. Kesenangan bersama. Yang melakukan jelas - jelas tertawa, yang menyaksikan kegelian, korbannya juga terpingkal. Mungkin yang marah adalah para guru. Dasar anak SMA. [] haris fauzi - 20 agustus 2008
 
*)....untuk sekolah kami 'Bhawikarsu - Malang' yang bulan ini berulang tahun entah yang ke berapa
 


salam,

haris fauzi

Tuesday, August 19, 2008

kenisah : kuburan

KUBURAN
 
Dalam bukunya, Seno Gumira membeberkan tentang beberapa wali yang memiliki makam lebih dari satu. Sunan Bonang dan Syech Siti Jenar misalnya. Ada beberapa pembelaan kenapa suatu tempat dianggap menjadi kuburan seseorang, makam sunan. Salah satunya adalah karena dianggap sebagai petilasan --tempat singgah. Jadi aslinya akte tanah lokasi itu bukan makam, dan karena suatu hal petilasan hendak di-'keramat'-kan, makanya dianggap saja sebagai kuburan. Agar memberi makna spiritual, agar di-ziarah-i. Tidak ada kejelasan yang gamblang soal ini, dan lagi saya tidak hendak membahas jejak telusur makam para wali. Namun, bila memang ada petilasan yang lantas disebut sebagai makam, maka bagi saya itu sungguh keputusan yang nekad.
 
Bayangkan, hanya petilasan, dimana sang tokoh pernah memberi wejangan kepada para muridnya, maka tempat itu sudah bisa dianggap sebagai tempat sakral. Oke, saya setuju perihal 'penghargaan' kepada tempat - tempat pengajaran seperti pesantren dan kelas - kelas. Tapi bukan lantas nekad mengakuinya sebagai makam. Ini sudah kesalahan akte dan hak guna tanahnya. Halah. Saya tak hendak pula membicarakan soal sengketa tanah. Apalagi perijinannya.
 
Setelah saya timang - timang, ternyata memang benar. Hal paling sakral dalam budaya masyarakat jawa salah satunya adalah makam, kuburan. Baru membaca dari sebuah buku saja, bisa membuat kita terbawa arus magisnya, kalo ga bisa jadi malah merinding bulu kuduk. Tentunya buku yang menceriterakan ihwal kuburan. Baru membaca, baru nonton film-nya. Belum benar - benar berada di lokasi kuburan. Kuburan jawa tentunya.
 
Saya juga masih ingat, bagaimana makam keluarga dimana leluhur saya dikubur. Ketika memperbincangkan tempat ini, saya selalu terbawa atmosfer sakral kuburan Jawa yang cenderung bermuatan magis. Padahal makam itu ada di Kaliurang - Jogjakarta. Sementara saya dan adik saya ngobrolnya di Malang - Jawa Timur. Dan, atmosfer ini menjadikan suasana lebih eksotis,....dan mungkin kesan inilah yang akan mendorong kita untuk menziarahi tempat itu.
 
Gak bisa dipungkiri, unsur eksotis ini memang bisa mendorong orang untuk lebih menghargai dan lantas men-ziarah-i. Atas dasar inilah, maka petilasan, tempat mengajar, atau bahkan ruang sholat, bisa di-'tingkat'-kan ratingnya untuk di-ziarahi layaknya makam, layaknya kuburan. Mungkin itu alasannya. Mungkin.
 
Bila kembali ke urusan mendatangi kuburan, maka saya bisa tambahkan. Mungkin sekitar lima puluh meter dari kuburan, kita sudah terbawa atmosfer magisnya. Kita sudah mengurangi intensitas pembicaraan dan mengecilkan volume suara, berganti dengan berbisik seperlunya. Bila ada tawa yang meledak, tentu ada yang mengingatkan. Dua puluh lima meter kemudian mulai celingukan tengok kiri - kanan- belakang. Begitu kita masuk gerbang sambil berucap salam, maka walaupun tanpa aroma kemboja, kita akan semakin waswas. Melangkah seperlunya, lantas memasang sikap tunduk. Bila kita sudah terduduk di samping pusara, maka kita bersikap takzim.
 
Pengalaman lain saya dapatkan ketika harus penasaran dengan keberadaan makam tentara nazi. Entah kenapa ada makam tentara nazi (anak buah Hitler el Jermani) di dekat kampung saya. Dan saya membuktikan bahwa memang ada kuburan di sana, nggak tau isinya beneran tau enggak. Yang jelas ada 10 makam serdadu Jerman, kembar nisannya. Nisannya terbuat dari beton, membentuk tanda penghargaan yang sering diberikan oleh Pak Hitler kepada anak buahnya yang berjasa, bentuk Palang Baja. Dari nisannya, nama - nama yang di ukir disitu nama orang Jerman Eropa Aria, bukan orang Jawa.
 
Mencarinya agak kerepotan, maklum komplek itu adanya di bukit. Dan begitu memasuki komplek makam, kok tidak ada rasa magis bin sakral sama sekali. Yang ada rasa kuatir akan pencoleng yang hendak mencuri sepeda motor Kang Bagja, yang kebetulan motornya memang harus ditinggal diluar kompleks makam karena memang ga bisa masuk. Hilir mudik saya diantara sepuluh makam, tidak ada jua ketemu dengan rasa magis itu. Boro - boro sakral. Padahal di situ cuma saya berdua dengan Kang Bagja. Memang sih, saya kesana pas siang hari, pas waktu zuhur. Mungkin agak bergetar juga nyali ini ketika malam hari harus kesana. Tapi saya yakin, saya lebih gentar bila harus menghadapi begal disitu, ketimbang aura magis yang biasanya berpendar dari area pekuburan. Cukup banyak pohon tua dan besar rindang di sana, namun sekedar pohon, --tidak ada bumbu - bumbu magis. Ya. Kuburan serdadu Jerman itu ga ada magis - magis-nya blas. Ga sakral. Ga tau entah kenapa.
 
Juga ketika saya berbincang dengan juru rawat kompleks itu. Dia membeberkan aktivitasnya dengan santai. Muatan opini modern, --walaupun dia sudah berumur tua dan kesulitan berbahasa Indonesia--  misalkan membersihkan makam, trus menerima tamu, dan lainnya. Aktivitas normal.
 
Adalah sangat berbeda dengan ketika saya menemui penjaga makam Syech Quro di PuloBata, misalnya. Dia tidak berbicara, hanya menatapkan mata sayupnya --karena kantuk--, lantas dia berujar,"..ucapkan salam sebelum masuk...". Hanya itu, dan hal itu cukup membuat saya langsung merinding. Belum lagi hawa menyan yang makin menyengat menambah daya magis. Padahal saya nggak tau korelasi langsung antara bau menyan dengan tingkat kesakralan. Yang jelas bikin paru - paru ini 'nggreges'.
 
Berbicara dengan orang sekitar makam Syech Quro juga mengundang rasa magis. Apalagi memang aktivitas yang diceritakan cukup menohok. Dia bercerita tentang gimana membersihkan makam (ini sih normal), dan memelihara agar asap menyan tetap menyala (haiya..), berkala membersihkan pusaka dengan ritual tertentu, kapan harus membacakan doa dan sebangsanya. Dan kalau-pun saya melebih - lebihkan, membuka - buka foto kuburannya sudah memberi nuansa magis yang berbeda dibandingkan dengan membuka - buka foto dokumentasi kuburan serdadu Pak Hitler.
 
Rupanya atmosfer itu diciptakan. Hati orang yang hendak berjalan ke sebuah pemakaman, atau yang hendak memperbincangkan, atau yang sekedar membuka bacaan dan foto - foto, --terbawa oleh atmosfer ini. Hingga tindak - tanduk-nya juga terbawa serta. Gimana ritual menabur bunga, gimana para penjaga memberlakukan hal - hal yang spesifik kepada nisan yang dijaganya. Bayangkan perbedaan antivitas antara penjaga makam serdadu nazi dengan penjaga makam Syech Quro.
 
Gak cuma urusan kesakralan kuburan. Urusan kesakralan hal lain juga begitu. Urusan peringatan juga begitu. Peringatan apa-pun. Entah ritual berkala memandikan pusaka, entah peringatan kelahiran, entah bisa pula peringatan kemerdekaan. Tingkat kesakralan tergantung atmosfer. Dan sekali lagi, atmosfer itu di ciptakan. Lha bila sekarang peringatan proklamasi kemerdekaan lebih difokuskan ke panggung dangdut dan panjat pinang, apa yang salah ? [] haris fauzi - 19 Agustus 2008

*) of course, petilasan itu bahasa arab-nya adalah maqom, ini yang membikin mirip dengan istilah makam (kuburan)....thanks buat bung haris fuadi (namanya mirip nih) buat masukannya.
 
salam,

haris fauzi

Thursday, August 14, 2008

kenisah : stranger

STRANGER
 
You better watch out, there's a stranger in town
You better watch out when he comes around
You better watch out..
Who's this man who fell out of the sky?
What's he done and where's he live?
How can a man who's a criminal be a hero to the kids?
('Stranger In Town' - Isolation#1984 - Toto)
 
 
Secara kebetulan saya sempat menjumpainya sebentar. Walau sudah kenal dekat, entah kenapa tatapannya kala itu seperti 'asing'.
"Apa yang kamu pikirkan ?", lontar saya mencoba mencari kesimpulan.
Tidak ada jawaban. Lantas bersimpang jalan. Saya melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian ponsel saya menerima pesan pendek, "...afraid...".
 
Ada sedikit keanehan malam itu. Kebetulan saya berada di suatu tempat, walau tidak jauh, tapi atmosfernya berbeda sekali. Dan ini membuat saya merasa sangat asing, dan merasa diawasi oleh banyak mata. Tapi bagaimana-pun saya harus jalan - jalan bentar, sendirian. Dasar pengen tau.

Mobil terkunci ganda, teronggok di atas rumput. Saya berjalan kaki, tas kecil berisi kamera-saku, batere, ponsel, dompet, dan kunci mobil saya bawa  serta.
Sayup terdengar celoteh bocah ribut mengaji menanti saat isya. Saya ingat jaman saya kecil, mengaji setelah maghrib, tapi lebih banyak bercandanya. Mushola itu ada di tikungan gang, menanjak. Saya belok ke arah mushola, yang dindingnya tidak di aci --batu batanya terlihat semuanya, dan jendelanya bolong begitu saja. Saya angkat kamera saya, mau ubah set menu-nya. Tak sadar saya ternyata sedang berdiri di tengah gang. Ada motor hendak lewat mengagetkan saya. Motor itu mengaum seiring tanjakan yang dia tempuh. Nyali saya jadi hilang, saya matikan kembali kamera. Urung memotret. Saya bukan fotografer, tapi saya membawa kamera saku, untuk apa ?
 
Saya menuruni tanjakan. Jalanan itu pas seukuran mobil, pasti kalo bersimpangan akan kesulitan. Apalagi malam gelap seperti ini. Sayup terdengar kereta api mendekat. Jalan kecil ini memang sejajar dengan rel kereta api. Kamera itu tidak akan menganggur kali ini. Mungkin empat kali lampu kilat kamera menyambar kereta itu. Lantas saya turunkan kamera, celingukan, merasa di awasi oleh orang - orang. Memang, malam itu saya tidak sendirian. Beberapa orang nampak duduk di beranda, di beberapa rumah. Saya segera berlalu.
 
Jalan ini bersua perempatan, bersimpang dengan jalan yang lebih lebar. Yang mana jalan itu menerobos bawah rel. Ada terowongan, mungkin sudah tua juga, soalnya kecil sekali terowongannya. Mobil nggak bakalan bisa berpapasan di kolongnya.
Ada dua anak kecil yang mencoba jadi pengatur jalan berbekal ember penadah duit. Saya mengambil gambar jembatan itu. Beberapa kali jepretan. Salah seorang anak --yang kecil-- mendekat dan bertanya;
"Motret apaan, kak ?"
"Motret kamu...hehehehe...", saya berkelakar
"Jembatan itu kalo dipotret ada setannya..", nasehat dia
" ...kamu takut setan ?"
"hihihihihihi..."
 
Si Kecil selalu menghindar bila saya bidikkan kamera, tetapi temannya yang lebih besar --sekitar 8 tahun-- mau diambil gambarnya. Tak lama kemudian lewat motor dan berhenti di seberang kami, si pengendara --umurnya sekitar 45 tahun-- memanggil si Kecil. Mungkin kerabatnya, dan mungkin bilang,"..don't talk to stranger...". Si Kecil ikut motor tersebut dan tidak kembali ke terowongan.
 
Bosan di samping terowongan, saya menyusur jalan utama. Di kiri - kanan dominan rumah dengan pagar bambu. Sebagian dindingnya tidak ber-aci, batu bata nongol kemana - mana. Ada yang berpintu papan di sandarkan, atau berpintu bilik. Ada pintu yang bertirai. Sekilas nampak nenek - nenek di antara pintu, lantas lenyap. Sekali lagi, saya tidak punya nyali memotret rumah - rumah itu. Merasa diantara batu bata itu ada ribuan mata yang mengawasi. Saya orang asing di sini.
 
Kaki ini membawa ke warung 'surabaya' di pinggir jalan. Waktu mendekati pukul delapan malam. Iseng memesan minuman jeruk hangat. Sempat disapa seseorang yang berkalung rantai,
"kerja di pabrik A ?".
"pabrik B ", jawab saya berusaha ramah
"...pabrik yang di daerah C, ya ?", selidiknya. Dia menyebut daerah yang tidak jauh dari warung ini. Jawaban dia salah. Saya tersenyum. Dia preman, namun daerah operasinya nggak terlalu luas, nggak sampe pabrik dimana saya bekerja.
" asli mana ?", tanyanya lagi.
"..Malang, Jawa Timur...", saya merasa aman berada di warung surabaya ini.
"...orang jauh....musti bisa bahasa sunda biar ga ditipu...", nasehatnya sebelum pergi.
 
Menyusur tikungan yang penuh tukang ojek tertawa keras - keras. Dugaan dalam hati, menjelang larut pasti sudah bergelimang minuman keras murahan. Mungkin. Semoga saya salah.
Di seberang pangkalan ojek itu ada bengkel kayu. Masih terlihat dua tukang kayu yang sibuk menggergaji dan menyerut manual. Di bawah cahaya lampu pijar di antara tumpukan keping kayu. Saya melewati antara pangkalan ojek dan bengkel kayu untuk mendapatkan sudut yang bagus di bengkel kayu. Sungguh sayang, untuk memotretnya saya harus mundur sampai ke pangkalan ojek itu. Ini yang membuyarkan nyali. Urung lagi. Goblog.
 
Lunglai saya melangkahkan kaki, melewati kandang kambing, melewati pangkalan drum. Makin ogah memotret. Sesekali mengeluarkan buku kecil dan mencatat. Merasa asing sekali. Merasa diawasi banyak mata. Malam juga mencekik, menambah rasa terkucil. Sekali memotret ujung gang. Sudah. Lantas masuk mobil. Merasa sedikit tenang dengan duduk di jok. Menyalakan player. Jimmo bersenandung dengan karakter vokalnya yang indah:
...senyumlah kasih
buailah fikiranku
lenyapkan keraguan
dalam batinku
kukuhkan hatiku
aku cinta kamu
....

[] haris fauzi - 14 agustus 2008
 

 
salam,

haris fauzi

Monday, August 11, 2008

kenisah : kaos biru itu

KAOS BIRU ITU
 
 
 

Rasanya gak akan ada yang protes bila saya menyukai karya - karya gitaris Kanada, Bryan Adams. Sederhana. Itu alasan saya. Salah satu yang paling saya sukai adalah lagu "Summer of '69" dan "Heaven". Kakak saya menyukai lagu "Straight From The Heart", yang video klip-nya Adams lagi naik bis di perjalanan rangkaian konsernya.
 
Suatu hari --tahun 1999, di Solo, saya sedang jalan - jalan di pertokoan dengan Dani, Istri saya. Saat itu saya sedang santai, daripada bengong dan ngobrol di hotel mlulu. Saya melintas deretan baju dan kaos. Dan melihat ada kaos warna biru kusam. Saya hampiri. Lhadalah. Ini kan mirip dengan kaos yang dipakai Bryan Adams di salah satu konsernya, di tahun 1993-an kalau gak salah. Saya ingat, karena saya memiliki rekaman konsernya. Adams berduet dengan gitarisnya, Keith Scott. Adams mengenakan kaos biru seperti ini, Scott mengenakan rompi gelap.
 
Saya tunjukkan kaos itu ke Dani, dan saya ceritakan bahwa Bryan Adams mengenakan kaos seperti ini dengan setelan celana jeans biru. Saya beli kaos tersebut setelah Dani senyum - senyum saja mendengar uraian saya. Saya-pun berhitung terka, soalnya saya juga punya celana jeans biru. "Mungkin klop nanti. Lihatlah !", desis saya dalam hati.
 
Bukannya sok jadi selebritis. Saya suka akan 'keterkaitan' seperti ini. Bapak saya pernah menganjurkan saya agar sesekali mengenakan baju muslim dan dirangkap jas --" Pakaian Ali Syariati ", gitu kelakar Bapak. Demikian juga dengan baju ala Bryan Adams, --yang ternyata karena kesederhanaannya malah diangkat menjadi kerabat kerajaan Inggris oleh mendiang Lady Diana.
 
Dalam konsernya, Bryan Adams juga pernah mengenakan baju kemeja lengan panjang flanel motif kotak - kotak. Lengan digulung, dengan kancing terbuka semuanya. " Merdeka banget ", pikir saya. Dan karena saya juga memiliki baju flanel seperti itu, maka saya mematutkan kepada Adams. Namun ternyata motif baju flanel saya tidak mirip. Mungkin punya kakak saya yang lebih mirip. Walau tidak mirip, cara mengenakannya saya sering mencontoh Adams, dengan kancing terbuka dan lengan tergulung. Sayangnya kakak saya tidak menggemari cara berpakaian Adams ini. Kakak mengenakannya dengan rapi, kancing penuh terpasang, dan kadang dimasukkan.
 
Lucunya, kemeja flanel itu saya beli bebarengan dengan kakak dan Mas yan. Kami bertiga membeli kemeja flanel motif kotak - kotak, di suatu hari di tahun 1997-an, saya kira. Bahkan kami bertiga bernah mengenakannya bersama - sama, pada saat jalan - jalan ke Jakarta, naik bis kota.
 
Celana jeans biru itu ? Saya membelinya antara tahun 1997 - 1998-an-- seminggu sebelum saya berangkat ke Solo, hendak saya gunakan untuk menemui Dani, yang kala itu belum menjadi istri saya. Dan kini jarang saya gunakan kecuali untuk jor - joran kalau hendak nonton konser. Sesering apa sih nonton konser ? Paling setahun juga tiga kali. Sekarangpun saya hanya memiliki dua celana jeans. Ya itu, sudah gak muda lagi soalnya.
 
Ketiga potong baju itu: kaos biru, kemeja flanel, dan jeans biru -- merupakan salah satu ikon Bryan Adams, dan kebetulan saya memilikinya, --dalam arti cuma mirip doang, --mereknya pasti gak sama. Saya sebut ikon karena dalam salah satu sampul albumnya, ada beberapa foto Bryan Adams mengenakan kedua baju itu.
 
Minggu kemarin, iseng - iseng saya membuka situs Bryan Adams. Dan biasa, ritual setelah membongkar diskografi, maka saya akan surfing ke album foto konser. Dan, ternyata, masa kejayaan Bryan Adams cukup di dominasi oleh tipe baju tersebut. Terbukti sudah dengan cukup kuat, bahwa ikon itu memang identiknya Bryan Adams kala itu. Entah kenapa setelah menemukan foto - foto itu saya kegirangan, sampai - sampai  saya bercerita kepada seorang teman tentang kemeja flanel dan kaos biru itu. "Saya punya kaos model seperti itu", ungkap saya. Dan dia cuma menjawab senyum."...apa artinya...", mungkin begitu dalam hatinya berkata.
 
Terus terang saya sudah jarang mengenakan kemeja flanel dan kaos itu. Celana jeans juga lebih banyak parkir di lemari sekarang. Umur sudah mepet empat puluh tahun, jadi saya lebih sering mengenakan baju putih - putih, selain seragam kantor tentunya.
Walau jarang dipakai, bagaimanapun pakaian itu memiliki arti buat saya, setidaknya saya ingat bagaimana serta alasan apa dibalik peristiwa proses pembelian pakaian - pakaian itu. Artinya saya ingin menghargai momen - momen sederhana seperti itu.
 
Konon, pancar hikmah sering muncul bila kita bisa menghargai sebuah momen. Namun kita kadang --atau sering-- merasa kesulitan untuk mengenang sebuah momentum, dikarenakan ekspektasi kita terhadap suatu momentum adalah suatu peristiwa besar nan bersejarah yang menggoyang dunia. Namun sebenarnya tidaklah seperti itu. Tidak perlu peristiwa besar untuk mendapatkan sebuah hikmah yang berharga. Peristiwa jalan - jalan dengan Dani saat membeli kaos biru, peristiwa kami bertiga ke Jakarta mengenakan kemeja flanel, dan ribuan peristiwa sederhana seperti itu, --yang kita lalui setiap detik dengan biasa lalu begitu saja-- bisa saja menyimpan momen yang indah dan berharga bila kita berusaha untuk menghargainya. Walau toh itu cuma urusan baju atau pakaian. Ya. Di balik kondisi 'fisik' baju itu, ada peristiwa yang patut saya kenang dan saya berusaha untuk menghargai sebaik - baiknya. Itu alasan utama. Apalagi mirip dengan pakaian yang sering dikenakan Bryan Adams. Hahahahahaha....[] haris fauzi - 12 agustus 2008


salam,

haris fauzi

kenisah : di antara deru sang waktu

DI ANTARA DERU SANG WAKTU
.....
Time waits for nobody
time waits for no one
we all must plan our hopes together
or we'll have no more future at all
.....
(dave clarks's TIME - freddie mercury)
 
Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Kelompok musik progresif rock lokal, Mystical-8, menggelar lagu terakhirnya di panggung tanggung itu. Awalnya, band ini bermain agak kagok dan kurang percaya diri. Grogi mungkin. Dan baru di lagu terakhir ini mulai nampak karakternya. Bassist-nya bermain di nada - nada yang variatif dan dengan kuat menggebuk dada seperti Steve Harris, dedengkot kelompok heavy metal Iron Maiden. Gitarisnya dari awal sudah kelihatan ayem dengan sound yang berciri hard-rock 80-an. Drummer dan Keyboardis-nya terinfluensi progressive metal. Jadinya ya gado-gado.
 
Sebelum itu, sorenya, ada acara sepak bola ria di kantor. Saya melewatkan kesempatan ini, karena saya tak hendak melepaskan kesempatan langka : ikutan acara launching album grup band Makara. Sempat menyantap sate bareng mas Suryo dan mas Luky (dan mbak....siapa lupa saya namanya). Ketemu mas Suryo, pasti ngobrolnya nyerempet - nyerempet komik. Joe Sacco lagi, Joe Sacco lagi. Selain itu mas Suryo menganjurkan agar saya nonton Kick Andy, "Ada saya duduk bersebelahan dengan Donny Fatah....hahahahaha..."

Mas Suryo dan rombongan sudah datang sejak sebelum maghrib ke lokasi konser ini, di Viky Sianipar Music Center. Kami bebarengan memasuki gedung, setelah rombongan resepsi kawinan menyisakan jalan. Panggung Progressive Nite kali itu bakal di gelar di lantai 2, dan di lantai satu ada resepsi kawinan. Maka jadilah berebut lahan parkir. Berebut kesempatan parkir di dalam pagar, dan saya beruntung mendapatkannya.
 
Mystical-8 menyelesaikan tugasnya di atas panggung yang berasap itu dengan baik. MC naik lagi. MC yang semula menganjurkan kepada para penonton untuk mereduksi rokok karena panggung sudah penuh asap nan membahana kayak warung sop konro, namun dia sendiri saat di bangku kayaknya juga menyalakan rokok. Mudah - mudahan saya silap.
 
Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Saat rencana launching album Makara itu dikumandangkan lagi. Makara adalah kelompok musik yang mengeluarkan album pertama pada 22 tahun silam. Dan kini, hendak merilis album kedua. Sungguh perjalanan yang melelahkan saya kira. Andy Julias, dedengkot Makara, sempat beraktivitas ke sana kemari, men-'didik' masyarakat akan musik progresif, mendirikan perkumpulan, membidik grup baru, dan merilis album mereka. Bukan album Andy Julias sendiri.
 
Seperti tumpengan, rasanya plong. Itu kesan yang saya tangkap dari para personil Makara. Termasuk wajah Adi Adrian, personil awal Makara yang lantas ngetop bareng Katon di KLA Project. Adi nggak ikutan di album kedua ini.
Gimana nggak plong ? Penantian 22 tahun. Bahkan ada lagu yang sudah diciptakan pada tahun 90-an, dan baru di rekam sekarang. Waktu yang cukup lama untuk menahan rasa.

Sentuhan terakhir sudah siap. Saya menyaksikan dari bangku terdepan, berderet dengan mas Danang dan mas Vin. Panggung kecil itu terasa sesak oleh tujuh personil Makara. Ule terlihat sibuk dengan menenteng gitar dan mengendalikan tuts di keyboard sisi kiri. Fadhil Indra seperti pertapa di keyboard sisi kanan. Andy Julias memegang komando dari balik perangkat drums. Kiki Caloh seakan menghindari spotlight, mepet speaker di belakang Ule. Kalem. Rifki Rahmat bermain dengan indah di samping Fadhil. Duet vokalis, Kadri dan Jimmo, menguasai lapangan tengah. Kadri mengeraskan karakter suaranya, agak beda dengan pas album 'Laron - Laron'. Jimmo santai banget, agak sableng, muncul dari tengah penonton. Menggenggam mikrofon cordless dan menenteng botol minuman air mineral.

Seperti kereta api, sang waktu melaju tanpa henti, memakan tanpa pandang bulu, termasuk kepada kelompok musik ini. Rifki dan Jimmo adalah jawabannya. Dan itulah salah satu kesempatannya.
 
Deru sang waktu seakan menantang kita untuk berpacu mendapatkan sejumput kesempatan. Kadang kereta waktu itu demikian rapat, sehingga kita tidak memiliki celah untuk menembus dan menyeberanginya. Bila demikian, maka kita harus berpacu seiring jalannya kereta, bukannya menabraknya. Hanya bila kereta itu memiliki celah yang lega, maka kita bisa menerobos persimpangannya. Kesempatan itu kadang datang dengan cepat, atau seakan tak kunjung tiba. Atau kadang persimpangan itu begitu terbuka sehingga membuat kita lalai bahwa itulah sebetulnya kesempatan kita untuk bergerak. Tinggal bagaimana kita mencermatinya. Semua berjalan seperti itu. Ketika kita mendapatkan sebuah kesempatan, dan bila kita menghargai kesempatan tersebut, maka keindahan adalah milik kita.
 
Makara masihlah tangguh. Dalam talk show, sempat disinggung genre apa yang termuat dalam album baru berjudul 'Maureen' ini. Andy Julias mengatakan, "ada yang bilang neo-progressive, namun itu sih terserah anda". Jawaban bijak.

Kesempatan malam itu memang milik Makara. Kelompok ini masih dipuja, walau hanya memiliki satu album dalam dua puluh tahun. Sang waktu tidak menggilasnya begitu saja.
Entah berapa lagu Makara manggung, saya tidak mengamati dengan baik. Makara bermain bagus. Walau ada satu hal yang cukup mengganggu, yakni pada saat bintang tamu Reynold memainkan solo piano di lagu 'Unfinished Song', entah mengapa Jimmo menyalakan keyboard hingga berbunyi kacau. Reynold kaget. Untungnya dia tetep bermain indah, hingga di over-lap dengan bagus banget oleh Fadhil Indra. Yang nggak kalah mengganggu adalah adanya bunyi radio yang masuk ke amplifier. Sisanya adalah atraksi yang indah. Walau musti kehilangan ciri vokalis yang lama, Harry Mukti, namun duet vokal Jimmo-Kadri hebat nian. Makara benar - benar bisa memanfaatkan kesempatan, setelah menunggu dua puluh tahun. Dua puluh tahun diganjar dengan duet vokal, duet keyboard, dan duet gitar. Aplus penonton melimpah.
 
Sebelum panggung di tutup, Vantasma memberikan atraksi memukau. Welly Siahaan seperti tukang sihir di belakang keyboard. Vantasma menampilkan beberapa lagu baru, plus lagu lama dalam album 'Beyond Fallen Dreams'. Ciri khas dari Vantasma adalah permainan kompak dan rapi. Berkali - kali Vantasma menunjukkan hal ini, dalam jeda setengah ketuk sekalipun. Salut.
 
Bicara kesempatan, kadang kita tidak menyangka ada hal yang terjadi di belakang. Saat acara berburu tanda tangan, selain mendapatkan tanda tangan para personil Makara di sleeve album 'Maureen', saya juga mendapatkan tanda tangan mas Welly, personil Vantasma, yang dia coretkan di sleeve CD Vantasma 'Beyond Fallen Dreams' yang baru saya beli di even itu juga. Asli saya terlambat memiliki album Vantasma ini, namun karena terlambat, saya malah bisa mendapatkan tanda tangan mas Welly ini. Yah. Begitulah. Kadang kesempatan tidak berpihak, tetapi bukan berarti tidak ada kesempatan sama sekali. [] haris fauzi - 9 agustus 2008
salam,

haris fauzi

Thursday, August 07, 2008

kenisah : dengan satu kipas (II)

DENGAN SATU KIPAS (II)
 
Lewat pukul tujuh malam saya berhasil menepikan kendaraan. Hazard bisa saya padamkan. Sayup terdengan azan. Kemacetan masih menggila. Saya menunggu kedatangan Kakak sambil menulis.
Setengah delapan saya menelepon Pak Hengki, dia montir langganan. Pak Hengki menganjurkan untuk memanfaatkan kipas AC agar menyala non-stop. Caranya dengan memutus kabel kompresor AC, sehingga kipas bisa berputar tanpa ada beban kompresor terhadap kerja mesin. Saya setuju, namun kesulitan mendapatkan kabelnya.

Tak lama kemudian Kakak datang menepi, bersama montir. Saya segera kemukakan usul pak Hengki, dan dia setuju. Namun, tetap saja dia kesulitan menemukan kabelnya. Akhirnya dibuat kabel tambahan secara manual, langsung dihubungkan ke batere (aki). Di silang cahaya senter, Montir itu menarik dan memasang kabel segera. Jadi cara menghidup-matikan kipas AC ini dengan cara memasang-mencabut koneksi kabel. Kipas AC berputar kencang. Kipas ini akan bekerja keras sendirian. Satu kipas.

Sebentar kami menguji fungsi kipas tunggal itu, menambah air radiator, dan menunggu kemacetan mereda. Pukul 20.18 kemacetan usai dan kami saling berjabat tangan. Saya memutuskan untuk berangkat. Kami berpisah bersilang arah. Saya berusaha memacu kendaraan sekencang-kencangnya untuk mendapatkan tiupan angin agar mesin tidak segera panas. Ya, satu kipas itu saya paksakan untuk mendinginkan mesin mobil tua ini, tentunya harus dibantu oleh tiupan angin lalu. Untuk mengurangi beban mesin, saya tidak menyalakan AC.

Mata saya tak pernah lepas dari jarum indikator temperatur mesin. Jarum itu naik perlahan, seiring degup jantung.Untunglah jalan tol lingkar luar ini cukup lega, tak ada hambatan. Hanya bunyi roda yang mengganggu karena jalanan ini terbuat dari beton, tidak dilapis aspal. Sekitar tiga puluh kilometer berjalan lancar. Yang ribet ketika memasuki tol Jagorawi. Berjejal-jejal. Dan lagi, Zulficar sudah dipacu selama duapuluh menit, 30 km.Temperatur menunjukkan pada skala 4/10. Batas riskan adalah pada skala 8/10. 10/10 berarti kerusakan total.

Saya berusaha mencari celah agar Zulficar bisa dipacu. Namun sebelum Cibubur, segalanya memang macet seperti itu. Jarum bergeser ke 5/10. Sedikit gusar, namun saya kala itu tepat menembus gerbang tol Cibubur. Dan lantas bisa memacu Zulficar di jalur kanan. Temperatur turun lagi ke 4/10.

Menyusun rencana, itulah yang saya lakukan sekarang sambil mata tak lepas dari jarum indikator. Dari Cibubur jarak tempuh masih 30 km lagi. Karena saya harus menembus kota Bogor untuk menarik uang tunai dari salah satu anjungan. Itu artinya saya melesat 10 km dari rumah. Atas alasan inilah saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Untuk dua hal. Yang pertama adalah istirahat sejenak agar temperatur bisa turun ke 0/10. Yang kedua adalah menanti agar kemacetan kota Bogor ditelan kesunyian malam. Karena bila Zulficar harus macet di jalanan kota Bogor, tentu temperatur akan naik dengan pesat.

Tepat pukul sembilan, saya menepi di rest area Sentul. Saya berencana istirahat sekitar 30 menit. Sambil melanjutkan draft tulisan ini. Tiga puluh menit kemudian, saya menyalakan mesin dan mendapati jarum bertengger pada skala 2/10. Tidak terlalu bermasalah, saya bisa memasuki kota Bogor sambil mendengarkan lagu fusion 'Celebrate'. Lantas tak lama kemudian saya menyelesaikan misi mengeruk anjungan tunai. Lalu lintas kota sudah bersahabat, hanya satu dari tiga lampu lalu-lintas yang menghambat saya cukup lama, namun itupun cuma 20 detik. Dua sisanya cuma menahan laju mobil saya selama 7 detik. Pukul sepuluh lebih lima menit, saya tiba di rumah, membuka kap mesin dan mencabut kabel kipas manual tadi. Lantas masuk rumah untuk menyantap nasi rawon yang disediakan Istri.[] haris fauzi - 6 Agustus 2008 - 00.07am


 
salam,

haris fauzi

Wednesday, August 06, 2008

kenisah : dengan satu kipas

DENGAN SATU KIPAS

Jalan bebas hambatan Cikampek arah Jakarta tampak padat. Saya mengendarai Zulficar (nama mobil saya) dengan santai. Mendengarkan album lama gitaris Nordic, Yngwie Malmsteen, 'Eclipse'.
Mendekati km 15, sekitar Bekasi jalanan makin saja memadat. Saya sedang berusaha menuju ke arah pintu gerbang tol Cikunir, kira - kira di km 12. Saya hendak melanjutkan ke tol lingkar luar, trus melaju di tol Jagorawi, hendak pulang ke Bogor. Ternyata antrian menuju gerbang itu cukup panjang. Saya harus merayap sekitar sepuluh menit untuk membayar, dan terbebas dari antrian. Terbebas ? Ternyata tidak. Astaga. Tiga puluh meter setelah membayar, nampak antrian yang meng-ular, macet merayap. Mobil bertumpuk rapat maju secara 'stop and go'. Saya mengarahkan moncong Zulficar ke kiri. Di depan ada persimpangan, ke kiri menuju Bogor, ke kanan menuju Cakung. Ke kiri macet hebat.

Entah mungkin karena sudah delapan tahun saya mengendarai Zulficar, maka saya cukup faham karakternya. Dan sore itu, menjelang maghrib, ada bunyi asing diantara dengung mesin. Saya mematikan stereo mencoba menajamkan telinga, guna menangkap bunyi gemeretuk itu. Terkesiap, saya segera membelalakkan mata ke arah dashboard. Benar saja, temperatur mesin naik hingga mencapai skala 7 dari 10, mendekati zona merah. Kontan saya mematikan mesin dan menyalakan hazard. Saya terjebak di tengah kemacetan, jalur ketiga dari delapan jalur.

Saya membuka pintu dan turun, berusaha untuk tenang, karena itulah yang terbaik. Mempersilakan mobil belakang menghindar ke kanan seraya meminta maaf dengan tangan seperti Dalai Lama. Sang Sopir tersenyum kepada saya.

Kemudian saya membuka kap mesin. Seperti sudah saya duga, salah satu kipasnya mati. Motornya macet dan dudukannya meleleh. Sebenarnya sudah dua hari lalu pengkondisi udara (AC) mobil ini lambat berfungsi, mungkin karena daya kipas ini sudah melemah. Gejala awal.

Biar saya jelaskan. Zulficar memiliki dua kipas. Satu kipas mesin dan satu kipas AC. Kipas mesin terletak antara mesin dengan radiator. Kipas AC lebih kecil terjepit antara radiator dengan grill. Kipas AC ini biasa disebut dengan kipas tambahan (extra fan). Disebut kipas AC karena urutan kabel tenaganya menyatu ke panel AC. Lucunya, aliran pipa AC sebetulnya malah didinginkan oleh kipas mesin, karena filter instalasi AC ada di muka kipas mesin. Itulah kenapa dalam dugaan saya, bila kipas mesin sudah soak, maka AC akan terganggu fungsinya. Kipas mesin inilah yang kini macet.

Saya berdiri di depan mobil, di tengah jalan, diselimuti asap knalpot. Di rimba kemacetan. Menjelang maghrib. Saya angkat ponsel dan menghubungi Kakak. Saya jelaskan duduk perkara dan posisi saya mogok. Kakak menyanggupi datang dengan membawa montir. Dan duit. Kakak dari Bekasi, sekitar lima belas kilometer dari lokasi saya mogok. Sekali lagi saya tegaskan,"..overheat karena kipas mesin mati...".

Sambil menunggu Kakak saya mencoba peruntungan untuk menepikan mobil. Di tengah kemacetan gila seperti itu, ternyata tidaklah gampang mencari celah. Saya sempat berkirim pesan pendek ke Istri menjelaskan hal ini, mungkin bakal pulang kemalaman.

Beberapa pengendara menaruh simpati dengan menanyakan ada apa gerangan. Ada yang tersenyum. Kebanyakan sopir truk. Namun ada seorang ibu tua, sipit, dengan wajah penuh bintik yang mengoceh dari balik jendela mobilnya,"..kasian deh lo...". Saya tersenyum sambil berkata pelan,"...semoga malaikat mencatat hal ini". Lantas masuk mobil dan menyantap 'dunkin donut' peroleh dari teman. Tak lupa minum secukupnya. Saya selalu membawa bekal. Aroma asap dan kopling menyengat.[]haris fauzi - 5 agustus 2008 - 23.54pm

salam,

haris fauzi

Monday, August 04, 2008

kenisah : komik dalam hidup

KOMIK DALAM HIDUP
 
Anda tau 'komik' ? Ya itu, buku cerita yang terdiri dari kotak - kotak trus ada gambar dan gelembung kata. Semua orang setidaknya mengenal istilah 'komik' ini. Sebenarnya banyak sekali komik yang menggelantung dalam setiap perjalanan hidup saya, utamanya pas saya masih kecil. Dimana Ayah saya membelikan majalah 'Kawanku' secara berkala. Di majalah Kawanku, ditampilkan komik dua halaman seperti seri Baron von Munchaussen --serdadu edan, Wan Kobar --cerdik cendekia, Mr. Cipua --sang ilmuwan, dan tentunya komik Tomat karya Libra yang selalu nongol di satu halaman belakang. Tomat ini anak sok jagoan. Lucu dan apes melulu.
 
Majalah 'Kawanku' ini terus melekat dalam impuls - impuls otak saya, juga komik Tomat tersebut. Yang mana pada akhirnya ditahun 2003, terbitlah kompilasi komik ini dalam dua jilid. Dikeluarkan oleh penerbit M&C. Bukan hanya saya. Anak saya, Salma, yang kala itu masih berusia tiga tahun, juga sayang dengan dua buku komik karya Libra --yang bernama asli Rachmat Riyadi-- ini.
Goresan Libra sungguh lugas. Khas. Disukai anak - anak, karena gayanya sungguh spontan. Tengok bagaimana Libra seringkali menggambarkan tangan Tomat dengan jari sekitar tujuh atau delapan, semau - mau dia.
 
 
 
Seri Tintin, Asterix, dan komik wayang karya RA Kosasih, --seperti anak - anak yang lain, saya juga melahapnya dengan penuh rasa penasaran seperti ketika membaca buku - buku karya Enid Blyton, seperti rasa ingin tahu dalam tulisan misteri Alfred Hitchcock, atau dalam petualangan detektif Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, dan rasa pening setelah membaca ulahdetektif Hercule Poirot karya Agatha Christie. Namun, rasa penasaran itu menjalar kembali ketika saya membaca komik karya Keiji Nakazawa. Saya membeli seri komik ini dalam pameran buku di penghujung masa lajang saya, tahun 1997-an.  Sungguh mencekam membaca kisah perang dunia kedua itu. Bagaimaa seorang seniman berusaha mencintai dan mencita-citakan perdamaian, dan berujung dengan konflik terhadap kepatuhan kepada kaisar. Sungguh, peperangan menebarkan derita dalam tiap petak di komik karya Nakazawa ini.
 
 
Suatu hari  sekitar lima tahun lalu saya berbincang dengan seorang teman, mas Suryo, kritikus musik rock--  yang pada akhirnya membuat saya demikian takjub. Bukannya kenapa. Beliau ini serius sekali bila membicarakan soal komik. Komik adalah sesuatu yang penting.
Saya terlambat menyadarinya. Ketika tak lama kemudian saya membeli dan membaca komik karya Joe Sacco, berjudul 'Palestina', barulah saya menyadari, betapa komik bisa menyampaikan pesan kepada dunia. Sebuah corong yang demikian hebat.
 
 
Kemaren, saya sempat melintas diantara jajaran rak buku di sebuah pertokoan di daerah Sentul. Ujung mata saya menatap komik Joe Sacco ini, yang kini dicetak ulang dengan format yang berbeda, dengan cover yang berbeda. Saya jamah dan saya buka lembar demi lembar. Setiap petak menyuarakan kepedihan. Menyuarakan derita. Menyuarakan kesangsian. Ya. Ini yang paling terasa. Kesangsian. [] haris fauzi - 4 Agustus 2008
 
 
salam,
haris fauzi

Friday, August 01, 2008

kenisah : calling all stations

CALLING ALL STATIONS
Had i the courage to tell you
i'd promise you this
If that's what you need
I'll be the river
i'll be the mountain
always beside you
If that's what you need
I will be stronger
i will be braver
than ever before
........
Menjelang akhir tahun 1997, saya naik bis kota menuju kawasan blok M, targetnya adalah toko kaset Aquarius. Tahun itu memang saya masih sering membeli kaset, bukan format digital. Berdasarkan referensi yang kasak - kusuk nggak jelas, saya membeli album terbaru Genesis, judulnya "Calling All Stations". Sebuah album yang diliputi misteri, tentang keruntuhan grup akbar ini.
Bagi saya "Calling All Stations" adalah album fenomenal. Karena dua hal, yang pertama adalah kenyataan bahwa album ini dirilis setelah album "WeCan't Dance" yang terpuruk. Alasan kedua adalah album ini digarap setelah grup itu ditinggalkan frontman-nya, Phil Collins. Posisi ganda Phil Collins sebagai drummer digantikan drummer part timer, dan posisi sebagai vokalis diganti Ray Wilson.
Entah kenapa katanya album ini jeblok. Tetapi, secara subyektif saya menilai album ini keren. Vokal Ray Wilson malah berkesan progresif ketimbang suara Phil Collins yang poppy itu. Suara serak Wilson mengingatkan kepada suara Peter Gabriel, vokalis sebelum Collins. Juga dalam urusan aransemen lagu, ketika Phil cabut, maka peran dominan aransemen lagu diambil alih oleh Tony Banks, sang keyboardis. Banks lebih kompleks dalam menyusun nada ketimbang Collins, lebih padat. Mengingatkan era album "Duke", "Abacab". Atau mengingatkan akan album - album solo Banks "Bankstatement" atau "Soundtrack". Saya pribadi menilai lagu - lagu semacam "Congo", "Calling All Stations", dan "There Must Be Some Other Way" lebih dekat ke album - album solo Banks.
Mungkin sangat subyektif saya menilai album ini. Kalau ada yang harus subyektif, adalah dari sisi kesan pribadi saya. Kesan yang sangat mendalam. Pasalnya adalah album ini pernah menemani sepanjang perjalanan menyusuri rel, naik kereta dari Jakarta menuju Solo. Memang masa itu saya sering melakukan perjalanan ke Solo, menemui pacar saya yang tinggal di Solo. Biasa, saya ditemani dua karib, walkman dan buku. Dalam suatu perjalanan, kala itu berteman album "Calling All Stations" ini.
Album ini mengisi telinga saya melintasi entah berapa stasiun kereta, --dengan kemiripan judul yang tanpa disengaja--, menembus kelam malam, dan sesekali hantaman batu yang menghajar sisi badan kereta. Saya hendak menuju belahan hati saya di sana.
Andai sedang mendengarkan album ini, maka saya selalu teringat bagaimana kereta itu berjalan menuju Solo, dengan detak roda besi dan guruh lokomotif, membawa hati dan perasaan saya yang diliputi kangen. Mengiring hari - hari indah.
Juga bagaimana ketika Minggu malam dari balik jendela kereta saya menyaksikan dia melambai melepas kereta yang membawa saya kembali ke Gambir. Lambaian yang indah, yang membuat hati ini seakan hendak menyuruh saya melompat dari kereta untuk berada di sisinya kembali.
Saya melihat dia segera meninggalkan lintasan kereta. Membuat saya tertegun. Masa itu. Setiba rumah di Bekasi, saya menelepon dan menanyakan hal itu. " Saya nggak tahan lihat kereta yang membawa kamu pergi...saya nggak tahan...", begitu katanya. Saya tercekat. Hati saya tertaut.
Karena diputar berulang - ulang, saya akhirnya familiar dengan beberapa lagu. Salah satu yang paling dominan seiring dengan perjalanan saya itu adalah lagu "If That's What You Need". Begitu indah syairnya, berpadu dengan nada dan bunyi pilihan Tony Banks yang mengalir seperti angin pagi. Menyongsong embun dan cahaya mentari. Hampir terkesima seperti melayang saya mendengarkan lagu ini.
Dan setiba di rumah, saya segera mencabut kaset dari walkman dan memindahkannya ke perangkat stereo yang ada. Menyalakannya dengan volume sedang. Lantas memanjat tangga menuju loteng, membuka papan beserta penyangganya dan menggelar beberapa lembar kertas lebar. Saya mulai menggambarkan perasaan saya dengan menggores - goreskan crayon di kertas nan lebar itu. Dengan dominasi warna jingga, biru, lembayung, merah jambu, dan kuning. Crayon itu berganti - ganti bertengger dalam genggaman saya, memburatkan perasaan yang ada dalam hati, menciptakan wujud perasaan. Perasaan yang entah terwakili atau tidak. [] haris fauzi - 1 Agustus 2008


salam,

haris fauzi