Wednesday, November 21, 2007

kenisah : jalan siapa

JALAN SIAPA
 
Saya tinggal di rumah - rumah berderet. Orang menyebutnya dengan kompleks perumahan. Nggak cuma rumahnya, ternyata kompleks juga permasalahannya. Kompleks tersebut memiliki dua akses jalan utama, yang gerbang utama menuju jalan raya, yang pintu 'belakang' menembus jalan kampung. Nah, marilah kita baca bersama - sama ceritera tentang tembusan jalan kampung tadi, saudara - saudara sekalian.
 
Jalan belakang tadi akhirnya menyatu dengan jalan kampung. Dan pihak pengembang ikut berpartisipasi dalam perbaikan jalan tersebut. Sejauh ini tidak masalah.  Namun, jalan kampung itu sendiri cuma pendek, hanya berkisar 200 meter, yang mana lantas tiba di pertigaan dan menyambung dengan sebuah jalan. Jalan terakhir ini merupakan jalan akses ke barak militer dari arah jalan raya. Ya, jalan belakang kompleks saya akhirnya bisa menjangkau jalan raya juga, namun harus melewati dua ruas jalan lainnya, yakni jalan kampung dan jalan akses militer.
 
Problem muncul ketika di barak militer tersebut ada proyek pengerukan tanah. Puluhan truk tanah melewati jalan akses militer tersebut tiap harinya. Walhasil jalan tersebut hancur lebur babak belur. Sungguh tersiksa mobil tua saya melewatinya.
 
Ditilik dari sejarahnya, memang gak gampang. Katanya tukang ojek, dulu jalan itu gak ada. Baru setelah barak militer itu mulai ada, maka jalan itu ada. Saya kurang sepakat karena tukang ojek itu ada setelah kompleks mulai banyak penghuninya. Sementara jalan kampung dan jalan militer itu sudah lama ada sebelum para tukang ojek mendominasi daerah ini. Dan lagi menurut penjual buah, jalanan itu dulu sudah ada tetapi berupa jalan kampung. Kecil dan nggak beraspal. "Seperti jalanan dekat kuburan itu", gitu jelasnya. Di kuburan itu ada jalan semi setapak. Namun kini sudah di aspal. Dulunya ya jalan tanah kalo boleh dikata malah semi makadam.
 
Dengan kiprah militer dalam merenovasi jalanan tersebut, maka terjadi petakompli. Soalnya kini jalanan tersebut hancur lebur, juga karena proyek militer. Beberapa tetangga yang senantiasa melewatinya mungkin bertanya-tanya,"...kok jalanan ini jadi hancur, begini, ya... siapa yang musti benerin....?", sambil garuk - garuk kepala. Warga ditepian jalanan tersebut mungkin menggaruk kepalanya lebih keras, sambil berjalan manggut - manggut mengukur jalan seperti Sokrates,"..ini jalan siapa ya ?..ini jalan siapa ya ?".
 
Lain lagi rumah orang tua saya di Malang. Karena membeli tanah di kapling kampung, dimana lokasinya berada di tengah, maka harus menyediakan tanah membujur sebagai jalan. Membujur hingga menembus ke jalan kampung. Ya kalau semua di bangun rumah tentunya malah gak bisa masuk. Apalagi masih terhalang satu kapling punya orang lain. Jadinya janjian dengan tetangga kapling tersebut."Pren, ntar kalo bangun rumah, You musti sisain tanah buat jalan kita - kita nih...Ogut juga gitu...", mungkin deal-nya seperti itu.
 
Walhasil semakin pembangunan merangsek ke tengah, maka jalanan itu bertambah panjang jua seiring pembangunan rumahnya. Akhirnya setelah genap beberapa rumah, maka jalanan itu sudah panjang. Jalan ini menembus ke jalan kampung sebagai semacam gang. Rumah orang tua kami berada di posisi kedua dari ujung gang yang menjadi akses ke jalan kampung tadi. Tetangga kapling menjadi rumah pertama dalam gang tadi. Jalan ini namanya jalan wakaf. Istilah di kampung sono seperti itu. Mungkin hampir sama dengan tempat tinggal PakLik saya di Bandung. Beliau ini membangun rumah dan tinggal di pemukiman yang semula tanah kapling. Saya rasa begitu. Akhirnya mereka membuat jalan - jalan seperlunya --makin banyak penghuni maka jalanan juga makin panjang--, dan diberi nama seperlunya juga.
 
Rumah kakek saya ada di desa Gentan. Kakek dari pihak Ibu. Pekarangannya luas, mungkin seluas lapangan sepak bola. Rumahnya juga cukup besar --mungkin berkamar 10. Pekarangan seluas itu tidaklah berpagar. Kanan - kiri berpagar batas dengan tetangga, tetapi depan - belakang tidak berpagar. Blong - blongan begitu saja. Orang lalu lalang dari tepi warung depan nembus ke tepi kombong. Memang Nenek saya punya warung terletak di ujung halaman depan, dan kandang ayam (kombong) di belakang rumah. Dua sisi ini sengaja tidak berpagar,"...Biar orang banyak lewat sekalian menambah pahala. Dan lagian kalau di pagar repot musti nge-gembok segala...", gitu alasannya.
Ternyata rumah Nenek saya dari pihak Bapak juga begitu. Ada dua sisi yang tidak berpagar dan boleh dilewati siapapun termasuk maling. Bahkan di pekarangan rumah ini orang bisa melintas dari kiri ke kanan rumah...melewati depan pendopo sekalian. Bisa saja sekalian ngembat jemuran.
 
Dan rumah itu sudah berusia lebih lima puluh tahun, otomatis jalan itu juga sudah jamak. Jalan itu tidak beraspal, hanya tanah liat yang mengeras berselaput pasir khas gunung Merapi. Karena memang aslinya kan pekarangan, ngapain juga di aspal - aspal segala. Yang lewat sudah banyak sekali, anak sekolah, pedagang, kadangkala pick-up sayuran juga menyempatkan lewat. Ya, bahkan kendaraan bermotor-pun boleh berseliweran lewat. Soalnya jaman sekarang sudah sedikit yang mengendarai sepeda kayuh. Bayangkan, halaman depan tembus halaman belakang, bebas merdeka. Kalau suatu saat jalan itu akhirnya harus ditutup, entah gimana jadinya. Atau akan muncul Sokrates lagi ? [] haris fauzi - 21 Nopember 2007


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Tuesday, November 20, 2007

kenisah : kisah kuno

KISAH  KUNO
 
Saya anjurkan anda membaca buku komik bertajuk Serial Peradaban karya Larry Gonick. Bila anda masih terlalu kecil, tunggulah setelah dewasa --17 tahun lah kira - kira -- . Komik itu kayaknya diperuntukkan untuk orang yang sudah mapan pola pikirnya, karena banyak guyonan yang perlu pemikiran jernih. Bukannya saya menganggap anak - anak gak jernih pikirannya,  tapi saya khawatir bila sajian komik tersebut malah mengacak - acak pikiran bocah yang sedang ditata. Malah terjadi kekacauan. Soalnya komiknya celelek-an, termasuk celelek-an soal agama, para nabi, dan kitab suci. Nabi buat guyonan. Gebleg pokoknya. Dan, kayaknya Gonick memang hobi mempermainkan cerita nabi -nabi yang dulu pernah hidup. Mempermainkan dengan semau - maunya. Dituntut pikiran yang lebih tenang untuk membaca komik ini. Namun, bila memang pengen, batasan usia tidaklah bermasalah.  Soal resiko ditanggung masing - masing pembaca.
 
Kenapa saya anjurkan membaca komik gebleg tersebut ? Yang jelas urutan tahun kejadiannya lumayan enak untuk diikuti, jadi skenario melompat jarang ditemui. Kisah berbingkai gak terlalu banyak, cuma musti diimbangi dengan catatan kaki yang cukup berlimpah. Nah, jangan dilewati, lahap juga catatan kaki tersebut.
 
Namun, disini sebetulnya saya cuma pengen nulis tentang satu hal ihwal komik tersebut. Dalam buku pertama (ada tiga buku dalam satu seri) di bab kisah - kisah kuno Mesir, Gonick menyajikan hal yang bagi saya penting ini : Bahwa jaman Mesir kuno, para penduduknya menyembah berhala yang diletakkan dalam kuil. Semakin banyak kuil --tentunya banyak berhala atau patung juga. Demikian juga semakin banyak patung, menuntut sebaliknya. Maklum, orang Mesir  jaman itu memang kemaruk bikin patung. Patung itulah perlambang dewa pujaan mereka. Tuhan bikinan. Patung - patung itu diletakkan di dalam kuil. Disetiap kuil ada petugas pengelola kuil, layaknya marbot atau takmir mesjid gitu lah.....
 
Dalam komiknya, Gonick menyampaikan bahwa kuil - kuil tersebut saling berlomba - lomba untuk memper-indah patungnya, memeprhebat bangunannya, dengan harapan makin banyak pengunjungnya. Semakin banyak pengunjung yang memuja tuhan berhala, berarti semakin banyak koin yang bisa diambil oleh marbot, baik demi kelestarian kuil, atau perutnya sendiri. Jadi, praktek pungutan dalam tempat ibadah sudah berlaku kala itu. Dan tidak sekedar untuk kemaslahatan tempat ibadah mereka saja. Bisa jadi untuk perut dan kekayaan pribadi masing - masing pengelola kuil. Ya. Terjadi komersialisasi tuhan disini.
 
Alkisah, --masih dalam komik gebleg tersebut-- suatu ketika ada Raja yang muak dengan komersialisasi sesembahan ini. "Masa tuhan berhala kita dikomersialisasikan, sih ?", gitu gerutunya. Menurut Gonick, sang Raja ini lantas menghancurkan seluruh kuil dan tuhan - tuhan berhala yang ada. Sampai tibalah saatnya seluruh patung itu musnah. Dan, masyarakat Mesir menginginkan sesembahan. Mereka masih butuh sesuatu untuk disembah. Dan, dengan bijaksana sang Raja menganjurkan untuk menyembah matahari. Sesembahan yang tidak bisa dikomersialisasikan. Deal.
 
Begitulah salah satu episode Mesir kuno menurut Larry Gonick. Gonnick menyajikan dalam satu halaman, dan menurut saya sangat berarti. Benar salahnya, mari kita telusuri bersama - sama. Tidak kali ini, saat yang lain juga boleh.
 
Kembali ke ihwal komersialisasi dunia spiritual tadi. Mungkin kita sering mendengar adanya istilah 'penjualan ayat - ayat suci',.....kebanyakan terjadi di masa kampanye bila ada sebuah partai yang menyitir ayat suci berlebihan demi kemenangan partai mereka. 'Menjual ayat suci'. Kasusnya mirip dengan komersialisasi tuhan berhala orang Mesir tadi. Keduanya komersialisasi dunia spiritual. Kayaknya lebih aman saya meng-istilah-kan dengan seperti ini. Yang satu menarik untung dari tuhan, yang lainnya pemperdagangkan ayat Tuhan. Tuhan dengan huruf besar dan kecil disini tidaklah saya jadikan problem. Intinya ada jembatan komersialisasi antara dunia spiritual dengan dunia material.
 
Kita sering menjumpai para penagih sumbangan mesjid yang selalu ada di ruas jalan, yang selalu berjalan menyusuri perumahan, yang kadang melayangkan surat proposalnya. Mereka membuat kita bertanya - tanya dalam keraguan. Antara komersialisasi mesjid ...dan kerelaan bersedekah. Saya sungguh absurd dalam memutuskan hal ini. Ketika anak saya menanyakan hal ini, saya bersekukuh diam seribu bahasa. Ada  sebersit kecurigaan. Hampir sama ketika mendengar kampanye partai politik yang lantang meneriakkan yel - yel diimbuhi ayat suci. Ya. Curiga.
 
Kakak saya juga pernah cerita bahwa di suatu negara ada juga yang orang - orangnya saling 'adu-gengsi' dalam mengunjungi tempat ibadah. Maksudnya gini, mengunjungi satu tempat ibadah tertentu memiliki makna lebih bergengsi daripada tempat ibadah yang lain. Analoginya gini : "jum'atan di mesjid Istiqlal lebih bergengsi daripada jum'atan di mesjid Baiturrahman....". Ada - ada saja. Menghadap Tuhan kok gengsi - gengsian. Rupanya pikiran seperti ini sejak jaman Mesir kuno hingga sekarang masih subur. Walaupun nggak sama persis. Ah, sudahlah...[] haris fauzi - 19 Nopember 2007


salam,
haris fauzi
 


Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

Wednesday, November 14, 2007

kenisah : bukan kita

KETIKA BUKAN KITA
 
Ide tulisan ini sejatinya sudah lama ada, draftnya sudah tercecer - cecer entah kemana saja, namun tetap saja belum saya anggap selesai. Alasan saya, bisa jadi modal saya belumlah cukup untuk menuntaskannya. Ilmu saya belum nyampai. Atmosfirnya terlalu luas dan kurang terkendali. Tapi, seperti alasan saya selama ini, biarlah akhirnya saya menuliskannya. Kalau menunggu sampai saya menjadi jagoan, .....kapan ?
 
Anda ikut kelompok diskusi ? Anda ikut milis ? Saya sarankan anda untuk mengikutinya, bila mungkin beberapa. Ada banyak hal yang bisa anda pelajari dan dapatkan dari situ. Yang jelas, bisa jadi beberapa informasi yang berguna akan ada di ranah itu. Bila anda ikut milis resep masakan, maka mudah - mudahan anda menemukan resep yang selama ini anda cari. Demikian juga untuk urusan mobil, resto, buku, atau yang lainnya.
Dan yang menggelikan, setelah anda bergabung dengan salah satu milis misalnya, maka anda bisa beranggapan bila tidak akan terlalu kolot atau udik. Modern-man. Ha.. ha.. ha.. Namun, anggapan seperti ini bila dipublikasikan malah menobatkan disi anda sendiri sebagai orang kolot. "Wong ikut milis aja kok bangga bener...", mungkin gitu celetuk orang lain.
 
Bukan itu yang ingin saya tulis. Seringkali kita ngobrol, kumpul - kumpul, arisan, nongkrong, ...atau berdiskusi melalui jalur maya : milis, --aslinya bernama mailinglist,--. Dalam forum - forum itu ada interaksi banyak orang dalam satu forum.
Seringkali kita bisa cuek apabila ada sekelompok orang berdiskusi tanpa melibatkan kita, padahal sosok kita ada dalam ruang tersebut. Namun, seringkali kita dibikin cemberut oleh hal itu. Cemberut karena kita tidak tertarik obrolan tersebut, cemberut karena kita nggak diajak, cemberut karena obrolan itu bukan tentang 'kita'. Kita kadang risih gara - gara hal seperti ini. Banyak alasan untuk risih, kalau di dunia milis, bisa jadi ada pokok bahasan yang menyimpang dari ketentuan milis tersebut. Misalkan milis otomotif kok ngobrolin pisang goreng. Milis musik rock kok ngobrolin sepakbola. Ini bisa dicibiri.
 
Namun ada etikanya untuk hal itu. Khususon wabil khusus ihwal milis, yakni dengan kode OOT. Artinya 'out of topic', diluar topik. Semacam permit. Dengan kode ini hal - hal yang biasanya tercibirkan jadi lancar - lancar saja. Walaupun nggak seluruhnya.
Suatukali, --ini pengalaman pribadi sebagai contoh yang gamblang-- dalam suatu milis dimana saya tidaklah terlalu aktif berdiskusi, -- suatu ketika saya begitu tertarik dengan suatu pembahasan. Yangmana pembahasan tadi kebetulan juga dilontarkan oleh seseorang yang pasif juga, seperti saya. Langka. Catat :  dalam dunia diskusi, kebanyakan anggotanya adalah pasif.
Dalam bahasan tersebut saya merespon terlalu berlebihan, mungkin dalam sehari saya mengomentari bisa lima - enam kali,  tetapi tetap mengikuti aturan. Beberapa rekan yang semula pasif, akhirnya tertarik, dan mereka merespon juga dalam intensitas yang cukup tinggi. Dan walhasil pembicaraan itu menjadi ramai. Ramai oleh orang - orang yang selama ini pasif. Bagi saya, milis tersebut seakan memiliki gairah baru. Orang - orang baru bermunculan.
 
Namun gairah itu ternyata bisa menggerahkan orang lain. Sampai akhirnya membuat risih beberapa rekan lain yang tidak tetarik dengan bahasan tersebut. Masalahnya mungkin berawal dari posisi rekan ini, dimana sebelumnya beliau selalu terlibat aktif dalam seluruh pembahasan yang lainnya selama ini. Dan, sekarang ada bahasan intens yang sama sekali tidak terkait dengannya. Dan bermunculan wajah - wajah baru yang asing, yang mungkin bakal menggesernya.
Dan pada suatu ketika  terlontarlah sebuah 'teguran', bahwa bahasan tersebut sudah terlalu hiruk - pikuk. Seperti sang dosen masuk kelas lantas menggeram dan mendesis,"Sssstt!!!". Sebagai anggota yang 'pupukbawang' --pasif, saya akhirnya tidak lagi melanjutkan diskusi tentang hal itu. Dan rekan - rekan lain yang semula pasif, luntur kembali dan menarik dari peredaran. Kembali pasif. Puret.
 
Bila saya berada dalam posisi 'pak dosen penegur' tadi, maka mungkin saya tidak akan segampang itu melakukan teguran. Karena apa yang dibahas tidaklah menyimpang. Semua sesuai aturan. Hanya, pembahasan tersebut tidak menyangkut diri si penegur. Tidak melibatkan orang - orang yang selama ini dominan. Selama ini sang penegur selalu dominan terlibat dalam pembicaraan atau pembahasan yang ada, dan dengan adanya bahasan yang baru tersebut, dia merasa tidak dilibatkan. Karena bukan ihwal dia, maka beliau ini menjadi risih, atau terancam dominasinya. Mungkin seperti itu. Maaf kalau saya menuduh.
 
Di arisan, di komunitas tongkrongan, dimanapun, kejadian ini acapkali kita temui. Ketika di pos gardu, ketika sekelompok orang bermain gaple, bisa jadi --walau nggak selalu-- mereka akan selalu me-'rendah'-kan orang lain disekitar situ yang tidak ikut bergaple. Demikian juga sebaliknya.  Obrolan satu kelompok membuat risih kelompok lain. Di arisan, ketika pembicaraan berkutat soal perabotan rumah tangga, maka penggemar alat elektronik akan tersisihkan. Demikian juga sebaliknya. Forum yang bisa jadi menyiksa. Atau lebih tepatnya saling siksa. Mungkin siksaan batin. Atau.....waduh, saya cukup kesulitan mencari kata untuk penggambarannya. Anda tidak usah terlalu serius menanggapi kalimat - kalimat disini.
 
Contoh lain yang saya ingat dengan baik adalah ketika saya SD. Yakni acara upacara bendera. Seluruh guru berkelompok dalam barisan. Seluruh siswa berbaris menurut kelasnya masing - masing. Apabila ada barisan yang berisik --biasanya karena mengobrol, biasanya kejadiannya dikelas tanggung, biasanya barisan putra deret belakang. Maka --biasanya juga--salah satu dari guru akan mendatangi lantas menegurnya.
Pernah saya mengamati, ternyata kaum guru ini juga mengobrol. Dan, bisa jadi lebih berisik dari murid - murid. Dan semuanya bukan masalah. Cukup aneh, kan ?
 
Ketika bukan kita. Semua berawal dari titik ini. Ketika bahasan tersebut bukan perkenan kita, maka kita akan risih. Mengapa risih ?
Mungkin saya sekedar mengusulkan, andai kedewasaan harus diukur dari beberapa hal. Maka ihwal ini saya usulkan untuk diikut-sertakan. Namun, sekali lagi, saya belum mampu menuntaskan masalah ini. Ilmu saya belum cukup. Mohon maaf. Tulisan ini belum jua selesai, menunggu saya siap, atau anda yang mampu untuk menyelesaikannya. Atau cukup layak masuk tong sampah. [] haris fauzi - 14 Nopember 2007


salam,
haris fauzi
 


Get easy, one-click access to your favorites. Make Yahoo! your homepage.

Monday, November 05, 2007

kenisah : puzo

PUZO

Sekitar tahun 90-an, seorang kerabat membawa dua buku ke hadapan saya. "Wuaapikk iki, Ris", kerabat bilang gitu. 'Apik'. Tapi dalam bahasa Malang ditekankan menjadi seperti itu, diimbuhi huruf 'w' dan 'u', serta vokal 'a' yangdipanjangkan. Buku ini berjudul 'Orang - Orang Sisilia -buku satu' dan 'Orang - Orang Sisilia -buku dua'. Penulisnya seorang Amerika pelancong bernama Mario Puzo. Judul aslinya 'The Sicilian'. Sejak agak lama saya sudah mengetahui bahwa novel ini bagus, tetapi saya tidak kesampaian untuk membacanya.

Saya meminjam kedua buku tersebut, dan membacanya dengan secepat mungkin agar secepat itu pula bisa dikembalikan. Isinya yang paling membekas di benak adalah problem vendetta, balas dendam. Suatu rangkaian intrik antar gangster yang selalu memiliki milestone balas dendam, dalam bahasa Sisilia disebut dengan 'vendetta'. Dunia mafioso. Hanya itu yang dulu saya rekam dengan baik, bahwa Sisilia berlumuran vendetta. Dan buku itu segera saya kembalikan.

Seingat saya tahun 1995, ---ketika teknologi VCD merajalela, saya kedatangan kerabat lain lagi, "Ini pesanan kamu, jagoan kamu, Al Pacino...", begitu dia bilang sambil mengulurkan tiga bungkus VCD. Judulnya 'Godfather part 1-3'. Kumplit. Mungkin total sekitar 9 keping. Kabarnya nggak ada yang bilang bahwa film ini buruk. Saya menontonnya begitu ada kesempatan. Memang tidak 'khusyuk', tapi saya bisa mengambil beberapa hal yang mengesankan, bahwa ternyatadunia mafia itu rapi, tertib. Dan jelas, mereka mengejar kekayaan. Mempertahankan reputasi dan keluarga bisnis mereka sampai darah penghabisan. Benar - benar sekuel yang wajib tonton, apalagi bagi yang sudah pernah membaca 'The Sicilian', karena kisah Godfather ini adalah lanjutan dari buku tersebut. Keduanya karya Mario Puzo.

Kalau ini mungkin lebih presisi. Tahun 1997, atau tahun 1998, atau mungkin tahun 1999, ketika saya harus beberapa kali bepergian ke Solo, saya berusaha menyempatkan untuk menonton mini seri yang diputar di televisi swasta --yang kadangkala berbenturan jadwal dengan kepergian saya itu. Judulnya 'Tha Last Don'. Film-nya digarap modern berdasarkan tulisan Mario Puzo juga. Keren abis, namun sayangnya saya hanya menikmatinya ketika menonton di rumah, tidak ketika bepergian. Sungguh tidak masuk akal untuk menikmati film itu dengan baik selagi kita bepergian atau sambil berleha - leha di hotel, ketika harus menginap. Atau ketika mengenakan kemeja premium lantas memasuki resto sambil makan malam bareng pacar saya.

Film seri itu bercerita tentang suksesi di tubuh organisasi mafia. Hingga kepemimpinan terakhir. Don terakhir, seperti ekor kadal. Mereka memang ada, tapi taringnya makin meredup. Film 'Tha Last Don' menyisakan titik bagi saya, titik itu bernama 'kekuasaan'. Kekuasaan itu seperti pusaran air. Mereka berusaha memusarkan air kehidupan mereka sekencang - kencangnya supaya air memusar makin lebar dan makin lebar. Namun suatu kala pusaran itu mengecil.
Sudah setengah mati saya berusaha mendapatkan seri film ini. Namun tak kunjung juga mendapatkan. Yang saya tau, saya pernah sekilas melihat bukunya yang bersampul hitam di sebuah toko buku, namun saya tidak membelinya walau sempat menimang - nimangnya.

Seminggu lalu saya menyempatkan membeli buku 'The Sicilian', ya buku yang saya ceritakan di atas tadi, 'Orang - Orang Sisilia'. Cetakan baru, digabung jadi satu setebal hampir enam ratus halaman. Saya membelinya karena ingin membacanya ulang. Ternyata membaca buku pinjaman berbeda dengan milik sendiri. Dan, jauh lebih banyak yang menarik bagi saya karena saya bisa membacanya step-by-step, dan mengulang apa yang tidak saya fahami. Bolak - balik depan belakang, mencari titik temu dan benang merah. Mencoba mencari tau mengapa satu hal terkait dengan yang lain lewat rajutan yang mana dan bagaimana. Mengapa seorang pahlawan Sisilia bernama Guiliano harus bertempur melawan mafia, dan lantas berkolaborasi. Turi Guiliano mirip lakon dalam film Braveheart, yang muncul secara tidak sengaja karena ketertindasan yang kebetulan.

Mario Puzo memang edan. Dia bisa merangkai hubungan mafia, pemberontak, keuskupan, pemerintah, koruptor, dan partai politik untuk berkusut - kusut ria menjadi satu ditimpali vendetta dan muntahan lupara yang berdarah - darah. Jalinan romantisme juga dilibatkan, tapi bisa kita kesampingkan.
Tengoklah kisah Don Croco dalam buku ini, yang mana memiliki adik pendeta bernama Benjamino. Croco banyak menerima informasi penting dari Benjamino. Benjamino menyampaikan kepada kakaknya, bahwa ada seorang pembunuh yang mengaku membunuh orang kepercayaan Croco, mungkin karena perselisihan bisnis. Pembunuh ini hanya mengaku lewat bilik pengakuan dosa kepada Benjamino yang pendeta. Tak salah Benjamino menginformasikan kepada Don Croco, karena Don adalah kakaknya. Lantas Don Croco mengumumkan vendetta, dan tak lama kemudian mayat pembunuh itu tergeletak di persimpangan jalan dengan daging tercincang ratusan peluru dari lupara, malam tadi.

Memang vendetta menguasai jalannya cerita, balas dendam. Seperti apa yang saya baca dari buku pinjaman. Tapi di buku pinjaman, saya hanya mencari siapa membalas siapa, mengetahui siapa membunuh siapa. Berbeda. Dalam buku yang saya beli, walau saya yakin isinya sama,-- saya menemukan lebih banyak ketimbang sekedar pembunuhan balas dendam. Bahwa konflik kepentingan bisa berujung pengkhianatan. Dan di dunia mafia berbeda dengan kalangan bandit. Mafia tidak pernah berbohong, walau kepada musuhnya. Mereka bisa mengobrol sambil berbagi cerutu dan saling menuangkan capucino di restoran mahal dengan baju jahitan London atau Roma, ... sementara nanti malam para kepercayaan mereka merencanakan untuk saling membunuh. Mereka merestui, dan lantas mengumumkan perhitungan dengan jantan tanpa menunggu fajar merekah. Dunia yang penuh perhitungan.

Bagaimana sebuah negara ditentukan oleh partai politik, dan bagaimana mafia mengendalikan partai politik, bagaimana kaum mafia menjalar hingga barisan eksekutif dan kepolisian, dan lantas mereka mengajak mafioso kompetitor menjadi sekutu dalam satu kepentingan tertentu, dan mungkin saja mereka lantas bertempur lagi begitu meninggalkan meja pejamuan. Kehebatan Puzo tidak berhenti disitu sahaja. Puzo menjalin kata bagaimana seorang bandit pegunungan bernama Turi Guiliano bisa melumpuhkan hukum kepolisian, hingga masyarakatpun begitu terganggu oleh derap jalan patroli polisi. Rakyat Sisilia lebih menyukai rombongan pemberontak ini yang berjalan dengan rokok-nya melintas jalan desa. Rakyat melindungi pemberontak bernama Guiliano itu.

Diceritakan bagaimana jalan karir bandit Guiliano sehingga dia menjadi perhitungan kaum mafia tertinggi, sehingga dia membuat calon Perdana Menteri gusar. Ditingkahi adu tawar - menawar soal kepentingan, juga tak kurang sering disela oleh salak lupara. Dahsyat. Peluru berhamburan sebanyak hitungan nyawa dan geram balas dendam. Moncong lupara --senapan otomatis tanpa laras-- suatu saat berbicara lebih banyak ketimbang pemiliknya. Ini semua rasanya tidak saya jumpai ketika saya membaca buku pinjaman pertama kali. Mungkin karena tegesa - gesa.

Tentang sisa Trilogi-nya, 'Godfather' hingga 'The Last Don', akhirnya saya membuat skenario tersendiri. Bahwa saya harus membeli buku 'Godfather' terlebih dahulu, melahapnya sampai habis, lantas menonton filmnya. Kemudian saya membeli buku 'The Last Don', dan membacanya dengan baik, lantas.....bila saya tidak jua menemukan film-nya, maka saya hendak mengobrolkan akhir trilogi ini dengan anda. [] haris fauzi - 3 Nopember 2007

Untuk ulang tahun adik bungsu saya, ... juga untuk Fao, yang menyodorkan buku Puzo ke hadapan saya.

Friday, November 02, 2007

kenisah : Yu Tini

YU TINI
 
Saya tidak tau nama lengkapnya, saya selalu memanggilnya dengan Yu Tini. 'Yu' kepanjangan dari 'mbakyu', artinya kakak perempuan. Panggilan 'Yu' ini sering dilontarkan kepada wanita yang lebih tua daripada kita, namun tidak terlalu tua. Karena stratanya sepadan dengan 'kakak'. Julukan 'Yu' juga diberikan kepada perempuan setengah baya yang berprofesi sebagai pengasuh, pengurus, atau pembantu rumah tangga.
 
Yu Tini adalah pengasuh masa kecilku. Ketika saya berumur sekitar tiga sampai empat tahunan. Daya ingat saya lemah memang, harap maklum. Seingat saya, dia mengasuh saya tidak terlalu lama. Rumahnya berada dekat rumah Kakek saya, di kaki gunung Merapi, Jogjakarta  sana. Atas rekomendasi Nenek, maka Ibu merekrut Yu Tini untuk mengasuh kami. Maka diboyonglah beliau ini ke kampung kami di Malang. Tiga ratus empat puluh kilometer dari kaki gunung Merapi, daerah asalnya.
 
Dia bekerja sebagai pembantu di rumah kami. Dan Yu Tini harus tinggal bersama kami di rumah dinas tentara. Beberapa pekerjaan menanti kiprahnya. Namun porsinya lebih ditekankan mengasuh saya dan kakak, ...ketika Ibu saya harus ke pasar atau pergi mendampingi Bapak untuk suatu urusan. Maklum, kala itu Bapak adalah tentara baru yang musti ngalor - ngidul untuk urusan - urusan yang belum saya ketahui. Dan juga, saat itu adik saya masih terlalu kecil untuk ditinggal oleh Ibu. Ah, tentang hal ini lupa - lupa ingat. Apakah adik bayi saya --perempuan-- sempat berkenalan dengan Yu Tini kala itu. Ataukah Yu Tini sudah pulang kampung ketika adik kami itu lahir. Itu kejadian yang terlalu lama, terlalu jauh untuk  dijangkau ingatan saya. Yang jelas, yang mengasuh saya dan kakak adalah Yu Tini.
 
Urusan bersih - bersih rumah memang pekerjaan dia, tetapi entah karena kecerdikan Ibu atau bagaimana, rumah kami tidak terlalu berantakan, sehingga tidak terlalu melelahkan untuk mengurusnya. Perabotannya juga seadanya, bahkan minim sekali. Pendapatan Bapak tidaklah cukup untuk membeli mebel - mebel besar dan boros tempat itu. Kondisi ini memungkinkan Yu Tini untuk mengasuh kami lebih baik, mendongeng tentang berbagai ceritera jawa, kisah pewayangan, hingga kadangkala tentang macem - macam tanaman, bunga,  dan buah - buahan.
 
Seingat saya, Bapak naik pangkatnya dan musti pindah rumah dinas. Sementara rumah dinas yang lama akan di tempati tentara lain. Rumah baru itu ada di bilangan Kesatrian, nggak jauh dari rumah lama. Rumah baru ini tetep aja rumah dinas yang belum bisa dimiliki hingga kini. Singkat cerita, di rumah baru suasana memang baru dan berubah. Termasuk Yu Tini. Saya tidak terlalu ingat, tetapi Yu Tini sudah tidak pernah ada di rumah baru kami itu. Dia mudik ke gunung Merapi. Sejak itu, nama Yu Tini hanya disebut dua atau tiga tahun sekali, karena kami masih beberapa kali menjumpainya ketika sungkeman ke Nenek-Kakek di kaki gunung Merapi sana. Nama itu makin lama makin jarang di sebut, apalagi ketika saya menginjak bangku SMA dan kuliah, atau ketika saya mulai merantau ke Ibukota nan bising ini.
 
Hingga suatu hari, tanggal 15 Oktober 2007 pagi hari, saya harus memundurkan semua memori saya. Ketika itu saya sedang mencuci mobil dan memeras kain gombal di rumah Kakek saya di Jogjakarta, di kaki gunung Merapi. Ya. Ketika itu memang saya sekeluarga sedang sowan sungkem ke Kakek, mumpung lebaran sekalian. Pagi itu anak sulung saya sedang bermain bunga bareng adik dan istri saya di pekarangan yang luasnya seluas lapangan sepak bola itu.
 
Ada bunyi derik rantai sepeda yang melintas sejenak lewat tepi mobil yang masih mengantuk kelelahan. Mobil saya dalam rangka mudik ini telah menempuh lebih seribu kilometer sampai dengan hari itu. Penumpang sepeda yang lewat itu wanita pendek agak gemuk. Dia berkerudung, memarkir sepedanya, lantas menyapa BuLik;Adik Ibu saya --sebagai pengganti nenek yang biasanya melakukan hal itu, menerima salam dari setiap orang yang hendak bekerja padanya pagi itu.
Kebiasaan keluarga Kakek-Nenek saya ya seperti itu. Setiap pagi hari beberapa orang berdatangan untuk deal pekerjaan tertentu, mulai menyapu rumah, membersihkan pekarangan, memcuci baju, memasak, urusan beras dan sawah, dan berbagai pekerjaan yang saya tidak hafal berikut orangnya. Karena bila satu orang tidak hadir, maka orang lain otomatis mengganti posisinya, Mereka kerja harian. Pekerjaannya juga tidak selalu ada, seringkali hanya ada satu orang yang datang seharian, ya karena urusannya cuma satu itu saja. Seperti hari itu, haya wanita agak gemuk pendek bersepeda itu saja yang nongol di sambut BuLik.
 
BuLik dan wanita itu segera masuk untuk membicarakan pekerjaan apa yang mesti dituntaskan pagi itu. Namun sekonyong-konyong BuLik berbalik lari keluar lagi, menyapa saya dengan keras dan mengagetkan,"Ris... masih ingat ga ? Ini Yu Tini....yang dulu momong kamu...!".
Sebetulnya saya sudah menduga, karena beberapa orang yang bekerjadi rumah Kakek adalah loyalis sejati, dan saya pasti banyak yang mengenalnya walau sekilas, karena memang selalu disempatkan untuk berkenalan. Tapi ritual berkenalan itu dilakukan ketika Nenek masih sehat wal afiat beberapa tahun lalu, ...dan sekarang, ketika posisi itu digantikan BuLik, dia tidak mengenalkan seluruh pekerja yang datang kepada saya. Walhasil kala itu saya hanya sekilas tebak -  tebak buah manggis. Dan saya akhirnya sedikit terperanjat ketika mengetahui bahwa dia itu adalah Yu Tini.
 
Saya segera menghentikan pekerjaan mencuci mobil, toh mobilnya juga masih mengantuk. Segera saya salami Yu Tini yang sudah menggenggam sapu ijuk. Saya minta dia menunda sejenak pekerjaannya untuk berbincang serta saya kenalkan kepada Istri dan kedua anak saya.
Istri saya tersenyum - senyum dan mengenalkan Yu Tini kepada anak sulung kami,"Salma, ini Yu Tini, dia yang momong Ayah pas kecil...ayo salaman...". Salma dan Adiknya segera memburu salaman tersebut dan memandang dengan penuh tanya. Tatapan Salma dibalas tatapan akrab mata Yu Tini, khas pengasuh anak kecil, sehingga kedua anak saya tidak menganggapnya sebagai orang asing. Yu Tini berkomentar ramah," Mas Haris.. saya tidak mungkin lupa... Mas Haris tidak pernah berubah karena dari dulu tidak pernah bisa gemuk...". [] haris fauzi - 2 Nopember 2007


salam,
haris fauzi
 

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Thursday, November 01, 2007

kenisah : mustaine,...blow me away !

MUSTAINE,... BLOW ME AWAY !
 
Lepas dari masalah pekerjaan kantor yang hampir - hampir membuat mati kutu, bulan Oktober  tahun 2007 ini ternyata menyisakan banyak hal yang mengesankan. Salah satunya adalah ke-khusus-an bulan Ramadhan dan Syawal. Saya memang senang --dan selalu berusaha menyenangi-- bulan Ramadhan dan Syawal. Katanya banyak amalan ber-obral pahala disitu. Ya. Ini salah satunya yang membuat hati girang.
Selain itu juga banyak acara yang menyenangkan. Contohnya di awal minggu ke dua Oktober, saya melancong ke Solo, Malang, Jogjakarta, dan Tegal dalam rangka menunaikan ibadah mudik. Bertemu dengan Ibunda semua saudara kandung di Malang, jumlahnya sih empat keluarga, tapi komplit. Dan tentunya berdo'a di pusara Ayahanda.
 
Walau saya cuma empat hari di Malang --sampai rela melepaskan jadwal berkangen - kangenan dengan para aktivis pers mahasiswa--, acara selebihnya ternyata menyenangkan. Karena dalam sehari semalam, saudara kandung saya ngumpul full team plus anak - anak kami. Ruuuaaaame pol sampe musti tidur di ruang tengah segala bertempur dengan sejumlah nyamuk yang nggak kenal menyerah itu. Anak adik saya yang lucu - lucu, dengan dialek Jawa Timuran-nya membuat saya tak henti terpingkal.
 
Lantas saya ke Jogjakarta sungkem dan memohon restu ke Kakek, mengunjungi makam nenek dan leluhur, mengunjungi desa leluhur kami. Saya sempat berfoto di kompleks makam Rejodani, di daerah Kaliurang kaki gunung Merapi Jogjakarta. Dan yang paling berkesan, saya sempat berfoto di masjid tua desa itu, dimana konon leluhur  ikut andil mendirikan mesjid yang bernama Sulthony tersebut.
 
Di Rejodani saya juga sempat berfoto di rumah dimana Ayah dulu pas kecil tinggal. Rumah tersebut sudah hampir tak tahan diterjang umur. Ingat saya dulu pernah menyaksikan bagaimana Ayah menghajar ular yang mengganggu kami bermain, ingat saya bagaimana Ayah mengajari membuat perahu dari daun bambu yang lantas di hanyutkan di sungai.
 
Sebagaimana di Malang, di Jogja-pun banyak agenda yang musti ditinggalkan karena keterbatasan waktu. Biarlah menjadi agenda mudik mendatang. Di Solo, saya juga tidak sempat menapak trotoar para penjual buku bekas, padahal dekat dengan kampung Istri saya. Dan, juga di Pekalongan saya memupus harapan Istri  untuk belanja kain batik seperti yang pernah saya tawarkan padanya. Sekali lagi karena keterbatasan waktu.
 
Agenda mudik kami jalani dengan sangat sumringah. Anak saya juga begitu gembira bercanda dengan para handai tolan-nya. Sampai larut malam gojeg melulu. Saya sendiri sampai sakit perut melihat ulah dagelan mereka. Istri saya sampai menangis karena terlalu banyak tertawa. Kakak saya terguncang - guncang tangannya memegang handy-cam. Dan yang cukup mengagetkan, ternyata kamera digital saya yang pernah saya vonis rusak ternyata sedikit demi sedikit menjadi lebih baik gambarnya. Entah kenapa. Mungkin dulu ada embunnya dan sekarang mulai hilang.
 
Pulang dari mudik, kami memasuki rumah disambut hujan ala Bogor, mantab dan segar. Tanaman meneteskan bulir - bulir air, lantai teras basah - dingin. Puji Tuhan, alam ini bersahabat sekali, menyejukkan hati dan pikiran. Mungkin saya kangen air hujan Bogor.
 
Halal bi-halal di kantor yang berlangsung di hari pertama masuk paska liburan--  cukup sederhana dan cepat. Pada dasarnya saya memang menyukai kegiatan yang simpel dan tidak terlalu gemebyar. Maka cocoklah sudah acara halal bi-halal kantor yang sederhana itu. Well. Kalao bicara urusan kantor, memang kerjaan nggak ada habisnya.
 
Minggu ke tiga bulan Oktober, bahkan sudah mulai menjelang pulang dari mudik, saya disibukkan dengan persiapan nonton konser di Senayan. Banyak - banyak menyimak lagu-lagu yang bakal ditampilkan dalam konser tersebut, ya cuma itu persiapan saya, nggak kurang nggak lebih. Yang manggung grup dedengkot heavy-metal asal Amerika : Megadeth. Grup ini sudah merilis ratusan lagu. Sudah cukup tua juga, jelas berumur hampir dua puluh tahun di atas saya, lha wong mereka sudah begitu populer saat saya masih SMA. Pasti yang nonton juga berumur pula.
 
Seperti dalam prediksi, bahwa sebelum dan sesudah konser pastilah saya berkesempatan bertatap muka dengan para temen - temen milis yang juga berduyun - duyun datang nonton. Bener juga, di event konser tersebut saya sempat berjumpa dengan beberapa teman milis sesama penggemar musik cadas, yang karena saya nggak terlalu aktif, maka disinilah saya berkesempatan mengenalnya lebih baik. Dan pertunjukan Megadeth ini menjadi sarana tatap muka sekalian melengkapi jadwal musim halal bi-halal.
 
Dan tanggal 25 malam hari sekitar pukul sembilan, konser itu memang terjadi dengan dahsyatnya di depan mata kepala saya sendiri. Sekali lagi; terjadi dengan dahsyatnya. Hanya satu lagu idola saya yang tidak kesampaian ditampilkan, tetapi belasan lagu lainnya tidak saya biarkan berlalu begitu saja. Emosi saya terlarut dalam irama gitar dan drum yang membahana.
 
Konser Megadeth membuat saya bersemangat sepanjang pertunjukan. Kalau ada kesempatan bernyanyi, maka saya ikut berteriak - teriak. Kalau berkesempatan yel-yel, maka saya mengikutinya. Walaupun saya nggak ikut lunjak - lunjak di depan panggung, tetapi sang gitaris sekaligus vokalisnya, Mr. Dave Mustaine telah menyihir saya selama satu setengah jam. Sejak lagu pembuka hingga lagu penutup, melengkapi kebahagiaan di bulan Oktober ini.
 
Pada awalnya saya cukup sangsi dengan konser ini, apakah bakal menyenangkan ataukah cuma berlalu sebegitu saja. Kabar bahwa kampung halaman Mustaine diancam kebakaran hutan dan juga awan mendung yang bergayut di langit Jakarta membuat saya tidak menaruh banyak harapan. Detik - detik menjelang  awal konser --ketika para teknisi masih hilir mudik melakukan persiapan terakhir,--  saya sempat berdoa semoga pertunjukan ini tidak mengecewakan. Di bawah tenda sound-mixer saya berharap - harap cemas, ".....Mustaine, ....blow me away ! ".  [] haris fauzi - 31 Oktober 2007


salam,
haris fauzi
 

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com