Thursday, July 25, 2013

target



Berikut simpulan yang saya dapat dari para guru ngaji saya, --- ihwal bagaimana kita harus mengaji al-Qur'an. Setidaknya ada empat 'target' utama dalam mengaji al-Qur'an. Pertama adalah khattam, kedua menghafal / hafiz, ketiga adalah memahami makna, yang keempat adalah pengamalannya.

Jaman saya kecil dulu, saya selalu di-motivasi untuk mengaji sebanyak - banyaknya, sesering - seringnya, sehingga bisa khattam secepat - cepatnya. Bapak seringkali bilang bahwa membaca al-Qur'an itu berpahala huruf per-huruf. Semakin banyak yang dibaca, maka semakin banyak pula pahalanya. Singkat cerita, seseorang yang meng-khattam al-Qur'an akan memperoleh pahala yang besar dan banyak. 

Ketika mulai beranjak SMP, barulah saya disuruh menghafal beberapa surat dalam Juz Amma. Nah, inilah keteledorannya, hingga kini belum lengkap itu hafalan juz 30, apalagi 30 juz. Pahala menghafal al-Qur'an ini adalah jaminan masuk surga. Jelas sekali  saya dengar dari guru ngaji. Seorang penghafal al-Qur'an, hafiz, haruslah senantiasa menjaga kelakuannya. Apabila dia tidak konsisten mendaras, maka akan hilang beberapa hafalannya. Pun pula ketika dia berkelakuan buruk, maka akan ada beberapa memori hafalan yang hilang. Singkat cerita, seorang hafiz akan memperoleh imbalan surga, dan tentunya akan berkelakuan mulia selama hidupnya demi menjaga memori hafalan tersebut.

Sekitar lima belas tahun lalu, saya mulai mencoba cara baru dalam mengaji al-Qur'an, yakni berikut membaca terjemahannya. Ketika seorang ustadz - hafiz memuji cara tersebut, barulah saya yakin benar tentang cara baru mengaji tersebut. Mengaji dengan cara ini memberikan makna dan kemudahan dalam aplikasinya. Berbeda dengan mengaji khattam yang tidak mengerti makna.

Mulai-lah anak saya metodologi demikian, pun-pula Ibu saya saya anjurkan mengaji cara baru tersebut. Semula Ibu sempat mengeluh bahwa mengajinya lambat progres-nya gara - gara harus mengerti terjemahannya. maklum, mengerti terjemahan al-Qur'an tidaklah mudah, harus dibaca berulang - ulang. Namun setelah mendapatkan guru terjemahan, Ibu merasakan manfaat mengaji cara baru tersebut, pun-pula Istri melakukan hal serupa dengan bantuan guru ngaji. Mengaji cara seperti ini mendapatkan pahala pemahaman, dan tentunya bila diterjemahkan kepada kehidupan sehari - hari akan menjadi amalan yang berpahala dan bermanfaat bagi sekitar.

Dari sisi pengamalan, jelas mengaji cara terjemahan mendidik seseorang untuk ber-akhlak mulia, sementara mengaji hafalan demikian pula. Pengamalan ini bukan perkara mudah, karena seseorang yang meng-khattam-kan al-Qur'an berulang - ulang tentunya tidak akan mudah menerapkan peri hidup ajaran al-Qur'an bila dia ternyata tidak faham maknanya. Jadi, pilihlah semua target tersebut, bila tidak terkejar, maka pilihkan salah satu atau dua target. Oke ? [] haris fauzi - 25 Juli 2013

ilustrasi : cover buku karya Ir. Awang Surya
(ilustrasi-ne gak onok hubungane langsung karo artikel iki)

Tuesday, July 16, 2013

kiasan abunawas

"hamba seakan tidak patut masuk surga,
namun hamba tidak tahan akan siksa neraka,
ampunilah hamba ini ya Tuhan..."



Kurang lebih seperti itulah apa yang pernah diajarkan oleh seorang seniman cendekia Abunawas. Bait itu pula yang pernah dilantunkan oleh para kiyai - kiyai yang mencoba menanamkan religi kepada masyarakat dengan keindahan ber-prosa.

Seorang penceramah pernah menyampaikan bahwa bait tersebut ambigu. "Andai ingin masuk surga maka mohonlah masuk surga, andai ingin masuk neraka maka bilang saja pingin masuk neraka. Tidak usah plin-plan seperti itu", begitu argumennya.

Bagi orang yang mencerna secara hitam putih, mungkin akan terlihat seperti itu. Dalam tataran awam kesan ambigu itu bisa muncul. Artinya, untuk mencerna sesuatu kadangkala memang butuh ilmu lebih, tidak asal apa adanya saja. Bahasa setidaknya mempunyai empat sisi yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaannya. Yang pertama adalah tingkatan. Dalam bahasa jawa mengenal tingkat 'ngoko' untuk bahasa kasar rekanan sejawat, dan tingkat 'kromo inggil' untuk tingkat kesopanan tertinggi. Suatu bahasa dikatakan makin bagus bila bahasa tersebut juga memiliki beberapa kata ganti, misalkan dalam bahasa Inggris ada "he" dan "him". Yang ketiga adalah bahasa ada yang memiliki kemampuan makna sayap seperti dalam pantun. Faktor terakhir bahasa adalah kemampuannya menyampaikan makna dalam kurun waktu yang lama dan selalu bisa diterima dengan baik. Keempat faktor tersebut ada ketika suatu masyarakat mengembangkan budaya berbahasa. Ada masyarakat yang memiliki bahasa yang kompleks sehingga keempat aspek itu semua terpenuhi. Namun ada juga yang tidak.

Al-Qur'an menggunakan basis bahasa arab karena memang memiliki semua hal diatas. Bahasa dalam Al-Qur'an juga bermakna bersayap. Contoh yang paling ekstrem adalah penggunaan kata "Kami" untuk Tuhan. Bila teks dalam Al-Qur'an ini kita cerna secara hitam - putih seperti halnya penceramah diatas, maka makna dari "Kami" artinya Tuhan itu jamak, banyak. Padahal dalam Pancasila sudah jelas bahwa sila pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa", bahwa Tuhan itu satu.

Sekali lagi, dalam mencerna dan mempergunakan suatu bahasa, ada baiknya kita menggunakan kaidah - kaidah kebijaksanaan. Karena latar belakang, kultur, kondisi masyarakat, dan aspek lainnya juga membentuk bahasa yang dipergunakan. Ini yang harus dipertimbangkan. [] haris fauzi - 16 juli 2013

ilustrasi : siradel.blogspot.com

Saturday, July 13, 2013

butuh pengalaman

Jaman ini informasi mengalir dengan derasnya. Semua pengetahuan nyaris bisa didapat dengan mudah. Akses publik terbuka lebar. Namun tetap saja, ada beberapa hal yang tidak bisa dicerna hanya melalui teori. maksud saya, pengalaman - pengalaman tertentu juga masih dibutuhkan. Contohnya adalah mengemudi, berenang, menggambar, dan lainnya. Karena dengan pengalaman ada hal - hal yang lebih mudah diyakini dan dijalankan. Dan tidak hanya itu, dari sisi pengambilan analisa, pengalaman juga dibutuhkan untuk memberikan masukan paradigma yang benar. Setidaknya dua contoh yang nanti saya uraikan setidaknya bisa menggambarkan bahwa pengalaman - pengalaman itu dibutuhkan untuk menjadi dasar analisa.

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya setiap hari bepergian dari Bogor ke Karawang melalui tol Cikampek. Dalam beberapa kali, tak jarang tepian jalan tol Cikampek itu terbakar. Maklum, rumputnya kering menguning selama musim kemarau. Kala itu saya melintas menumpang boss saya, pangkatnya direktur lulusan kampus terkemuka Bandung. Pinter ? Jelas-lah. Suatu ketika kami membicarakan ihwal kebakaran rumput di pinggir tol tersebut. Menurut boss, kebakaran rumput itu terjadi karena fenomena savana, yakni batang kering yang bergesekan sehingga timbul api. Data - data cukup jelas, rumput kering, cuaca panas, angin juga kebetulan besar sekali. Ketika saya tanya detil, beliau menjelaskan dengan detil pula fenomena savana ini. Dan mengulang - ulang statemen bila batang kering bergesekan maka bisa timbul api. Seorang teman dalam mobil -biasanya dia hanya menumpang sampai bekasi- ikut mengiyakan kebenaran analisa pak direktur. Entah maksudnya menjilat atau memang dia memiliki analisa yang sama. Apakah ini analisa yang salah ? Menurut saya, analisa beliau salah.

Saya, semasa kecil sering menjadi pembakar lapangan. Saya dan teman - teman sering membakar rumput di lapangan yang kekeringan karena kemarau. Dan ketika api-nya membesar, kita bersuka ria, hingga kita terbirit - birit dikejar serdadu. Maklum, lapangan yang dibakar rumpunya adalah lapangan tangsi tentara. Atas dasar pengalaman itulah, maka saya menduga kebakaran yang terjadi adalah karena dibakar, setidaknya ada penyulut api, bukan karena faktor gesekan batang rumput.

Saya kemukakan postulat berdasarkan pengalaman bakar - membakar tersebut. Namun tetap saja direktur dan teman saya beranggapan bahwa itu adalah fenomena savana, bukan karena dibakar. Tentunya saya diam saja. Apa perlunya membantah. Hingga akhirnya suatau saat jalanan itu begitu macetnya, dan kebakaran membahana. Kami satu mobil berpikiran bahwa kebakaran membuat jalanan macet. Ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Macet-lah yang membuat rumput - rumput itu terbakar. Karena lagi macet, maka sopir iseng merokok dan membuang putung rokok ke tepian yang pada akhirnya menciptakan kebakaran. Melihat fenomena tersebut, masihlah pak direktur dan teman itu bersikukuh dengan teori fenomena savana, sampai akhirnya tibalah kami menjumpai suatu jalan tol dengan spanduk besar yang bertuliskan "Jangan Membuang Puntung Rokok karena Mengakibatkan Kebakaran".

Pengalaman kedua adalah ketika berkendara bersama anak kedua, Norma. Suatu ketika ada tikus berseliweran melintas jalanan. Norma bilang, "Hati - hati, ntar tikusnya terinjak...". Saya bilang bahwa tikus tidak mungkin terinjak, dia lincah dan bisa menghindari roda mobil. Tak dinyana Norma berargumen,"...kan sering ada bangkai tikus terlindas di jalanan...".

Saya baru sadar, bahwa memang sering kita jumpai bangkai tikus di jalanan. Namun tikus itu bukan mati terlindas, melainkan tertangkap dan dibunuh di suatu tempat, mungkin di dapur, dan kemudian dilempar ke jalanan. Jadi, bukan mati terlindas. Pengalaman ini yang tidak ada dalam diri Norma. Norma tidak pernah melihat ada orang melemparkan bangkai tikus ke jalanan, maka dia berpikiran bahwa bangkai tikus yang ada di jalanan adalah karena tikus mati terlindas.[]haris fauzi - condet, 13 juli 2013