Saturday, November 23, 2019

Hutang, Riba, dan Kredit

Hutang adalah sebagaimana pinjam. Wabil khusus pinjam uang. Atau sudah membeli barang tetapi belum kuasa untuk membayar saat transaksi. Meminta tempo bayar. Dalam Islam, hukum berhutang adalah "boleh". Hutang bisa disertai dengan jaminan atau tidak. Dalam sebuah riwayat Imam al-Bukhari dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah berhutang kepada seorang Yahudi dengan jaminan. Yakni membeli makanan namun menunda pembayaran dengan jaminan baju perang. Versi lain mengatakan bahwa baju perang tersebut digadaikan. Dalam surat Al-Baqarah disebutkan bahwa pinjam - meminjam sebaiknya dicatat dan ada saksi.

Riba adalah penetapan nilai berlebih saat pengembalian hutang. Riba hukumnya haram. Pemakan riba dihukum dengan dosa besar. Peminjam riba juga dikenai dosa besar, karena menjerumuskan diri kepada hal yang negatif. Dalam dunia sekarang, yang disebut riba adalah bunga dalam urusan keuangan. Penerima bunga dan pembayar bunga keduanya terlibat riba.

Kredit adalah membeli barang dengan pembayaran bertahap. Mencicil. Dalam Islam hukumnya "boleh" dengan ketentuan harus dilaksanakan tanpa riba. Tanpa bunga. Kredit disertai bunga berarti riba.

Kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk belanja atau bertransaksi. Dengan pembayaran dilakukan tidak kontan. Biasanya ditagihkan akhir bulan, ditagihkan beberapa hari berselang setelah transaksi. Bila saat ditagihkan langsung dibayar kontan, maka tidak kena riba, tidak kena bunga. Selama belum dilakukan pembayaran, statusnya adalah "hutang", bukan "riba". Bila dilakukan pembayaran pertahap (kredit) tanpa bunga, maka statusnya adalah mencicil. Hukumnya "boleh". Bila terlambat bayar dan kemudian dikenai biaya tambahan serupa bunga atau denda, maka hukumnya haram sama dengan "riba". [] haris fauzi, 23 nop 2019

Tuesday, November 12, 2019

Ada Orang

Kalimat pendek, terdiri dari dua kata, "Manusia Merdeka" bagi kita terdengar ideal dan seakan punya ketetapan bahwa semua orang-pun menganggap hal yang sama : "semua orang faham begitulah memang seharusnya". Bahkan ketika kita membaca tulisan "Merdeka"-pun, maka yang kita sumsikan adalah "manusia". Jadi, dalam frasa tersebut bermakna semua orang adalah "manusia merdeka" dan semua manusia-pun menolak penjajahan.

Demikiankah ? Memang teks seperti itu mudah dibaca, terdengar sangat ideal dan dimana - mana ada saja menemukan justifikasinya. Semacam hitam - putih. Ini nilai ideal. Penjajahan harus dihapuskan. Semua manusia dilahirkan merdeka. Semua negara mengutuk perbudakan, ... atau apalah narasi - narasi populer yang ada berseliweran senantiasa.
Suatu ketika mungkin kita jangan terlalu idealis. Cobalah berpikir praktis dan sederhana. Saya punya ceritera ihwal rekan kerja bernama Mr.X. Sebut saja begitu. Dia tipe manusia rajin, namun tidak terlalu pintar dalam bekerja. Mungkin baru pertama kali dia melakukan pekerjaan tersebut. Dalam kuadran tipe pekerja, dimana dikenal empat kategori, yakni kategori pertama adalah pekerja star, yakni pekerja kasta kanan atas dalam kuadran pintar-rajin. Dalam kuadran kedua adalah pekerja bad-boy, yakni pekerja yang pintar, namun pemalas, pekerjaannya bikin onar. Kuadran ketiga yakni pekerja kayu mati, yakni pekerja yang malas dan bodoh. Kuadran keempat dihuni pekerja yang rajin namun bodoh, biasa disebut dengan kuda penggiling gandum. Mr.X ini kuadran keempat. Namun pada posisi tidak bodoh. Mr.X rajin, namun tidak pintar melakukan pekerjaannya. Bisa diduga, dia butuh latihan dan coaching, karena latihan dan masukan sangat membantu agar segera menjadi 'pintar'.

Memahami pekerja tipe kuadran keempat, saya berusaha mendekati dari sisi pekerjaan yang butuh kerajinan, karena memang kerajinan itulah modal utama Mr.X. Orang yang rajin. Misal mendokumentasikan kejadian, mencatat keuangan kecil, dan pekerjaan dokumentasi lain. Sebetulnya saya faham, Mr.X ini memiliki potensi besar untuk bergeser menjadi kuadran pertama. Untuk itu makin saya gosok dengan memberinya pekerjaan - pekerjaan yang mengandung unsur tanggung-jawab dan pengambilan keputusan, walau bisa jadi itu berada di luar lingkup kerja kepangkatannya. Sifatnya yang pendiam dan pasif, kadang tidak mendengarkan dan kurang peduli dengan orang lain, membuat Mr. X sulit berinteraksi dan mendapatkan "value" dari komunikasi yang harus dia jalin. Bagaimana mendapat "value", wong ngobrol aja males. Mr.X memang cenderung pendiam, namun rajin. Padahal komunikasi adalah salah satu kunci dalam pengambilan keputusan.

Sejauh ini saya tidak menyerah untuk melakukan upgrading buat Mr.X. Saya terus menambahkan skill dan something valuable untuk dia pelajari dan kerjakan. Agar dia mampu menggeser posisi kuadran-nya, dengan cara menguasai pekerjaannya dengan makin baik. Bagaimana kelanjutannya ? Sebetulnya saya tidaklah bosan melakukan ini semua. Kerap saya bangga dengan anak buah yang berhasil melewati masa coaching dan lantas moncer di pekerjaannya. Namun ternyata perjalanannya tiap anak buah bisa berbeda-beda. Dalam kasus ini sejatinya saya tidak menyerah, namun Mr.X-lah yang berubah haluan. Hingga akhirnya pilihan Mr.X lah yang membuat saya menyerah.

Mungkin Mr.X merasa "coaching" yang saya berikan tidak berguna --padahal itu merupakan kisi praktis untuk pekerjaan yang dia lakoni--. Dan tak hanya itu, Mr. X mulai menolak kisi - kisi yang saya maksud. Beberapa task yang saya berikan tidak dikerjakan, dan lama - kelamaan Mr.X menolak dengan disertai alasan. Alasan utamanya adalah "pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan job kepangkatan". Memang saya kadangkala memberi pekerjaan yang kurang sesuai dengan SOP, contohnya saya suruh adzan. Namun, dalam pengalaman saya, tampil sebagai muadzin ini bisa menumbuhkan rasa percaya diri. Ini menurut saya. Namun bisa jadi berbalikan bagi Mr.X.

Oke. Saya berhenti. Saya kira semua normal saja. Namun ternyata disini saya merasa ada yang janggal. Mr.X yang biasanya pendiam dan malas mengobrol, menjadi pemberontak kecil dengan menolak tugas dari saya. Saya mengira ini adalah ekspresi dirinya sebagai manusia merdeka. Berarti ini hal bagus. Orang penurut dan pendiam memang biasanya rajin. Kali ini dia menolak. Berarti telah tumbuh rasa keberaniannya. Itu dugaan saya. Mudah - mudahan dengan menolak pekerjaan yang saya berikan, Mr.X semakin percaya diri dan semakin lihai dalam mengambil keputusan. Namun dugaan saya ternyata keliru. Ada yang janggal, namun itu apa, saya belum ketemu.

Saya baru faham beberapa minggu kemudian setelah sempat menjumpainya dalam beberapa forum terbuka. Disitulah saya baru yakin bahwa  Mr.X memang pingin melepaskan dari pola coaching saya, rupanya kepincut dengan kawan - kawan barunya. Memang lebih modern pergaulannya sekarang, lebih macho. Namun dalam pengamatan saya, Mr.X disitu hanya sebagai bahan lelucon, guyonan, dan bully-an semata. Dalam komunitas barunya Mr.X sering menjadi bahan olokan. Nyaris setiap detik dijadikan guyonan. Dan Mr.X tertawa - tawa saja dengan ikhlas.

Beberapa minggu kemudian, saya kembali berjumpa dengan Mr.X beserta komunitasnya. Kali ini terjadi perubahan. Bukannya membaik tetapi malah makin parah. Mr. X bukan sekedar bahan candaan dan bully-an, .... dia kini jadi kacung di komunitas-nya. Disuruh beli rokok, disuruh menyalakan lampu, dan sebangsanya. Namun anehnya, ini pilihan yang Mr.X lakukan dengan sukarela dan tersenyum. Atau entah dengan imbalan apa. Yang jelas, dalam benak saya, sejatinya apa yang saya ajarkan malah sedapat mungkin menjauhi apa yang dia pilih kini. Semula saya mengajarkan hal yang terbalik dengan apa yang dia pilih sekarang. Coaching yang saya lakukan dasarnya adalah agar Mr.X melesat memiliki citra kepemimpinan dan mampu mengambil keputusan.  Bukan malah menjadi manusia yang selalu didikte dan disuruh sana - sini untuk mengerjaan hal remeh. Ya sudahlah. Kini Mr.X malah memposisikan diri sebagai bawahan, disuruh - suruh, dan apa yang dia lakukan adalah hasil keputusan orang lain.

Disinilah saya keliru. Semua saya mengira dia akan membebaskan diri dari coaching saya karena Mr.X ingin merdeka. Namun salah, dia malah memilih dirinya untuk menjadi kacung. Mungkin saja dia enjoy dengan kondisi tersebut. Silakan saja. Namun saya cukup menyayangkan. Karena dia malah menjauhkan diri dari kemandirian. Bahkan saya melihat seringkali harga dirinya direndahkan teman - temannya. Dari sini saya belajar, rupanya memang ada tipe manusia yang memilih untuk menjadi "terjajah", asalkan senang, walau tidak lagi menjadi "manusia merdeka". Wallahualam. [] haris fauzi, 12 nopember 2019.