Monday, May 25, 2020

KONTROVERSI COVID 19 : ATURAN


Kalo dibilang salah, bisa jadi Pemerintah tidak salah. Karena Pemerintah sudah merilis aturan - aturan. Aturannya jelas, tidak boleh keluar rumah. Di sisi lain ada juga aturan mall dan toko ditutup. Sepi sekali. Beberapa bulan lalu seperti itu.

Alih cerita, dengan perkembangan berjalannya waktu, setelah beberapa bulan sepi pengunjung, rupanya para pemilik bisnis toko dan mall ini mengajukan dispensasi agar diperbolehkan untuk membuka mall dan toko - tokonya. Dan ini diperbolehkan. Trus, kini beberapa mall dibuka, di tengah aturan 'tidak boleh keluar rumah'. Aturan larangan keluar rumah ya otomatis masih berlaku. Pemerintah memperbolehkan mall dibuka, namun melarang masyarakat keluar rumah. Aturannya jelas, kan ?

Sama dengan aturan mudik. Mudik jelas - jelas dilarang. Pada awalnya juga begitu, sarana transportasi umum juga dilarang beroperasi, minimal dibatasi. Lantas beberapa minggu lalu 'petinggi urusan transportasi' mengumumkan diperbolehkannya moda transportasi beroperasi kembali. Tentunya yang begini ini dikehendaki oleh para pemodal / pemilik bisnis angkutan umum. Bisa jadi para pengusaha inilah yang mengajukan dispensasi agar bisnis mereka jalan lagi. Agar transportasi umum boleh beroperasi. Dan hal ini akhirnya diperkenankan oleh Pemerintah. Orangnya ? Masyarakat tetap dilarang mudik, harus tetap di dalam rumah. Aturannya jelas, kan ?

Dua fenomena di atas sepertinya bisa menimbulkan banyak interpretasi. Ada yang bilang Pemerintah gagal dalam mengatur rakyatnya, karena aturannya saling tidak singkron. Ada yang bilang pejabat tidak kompak. Namun dari sisi lain, masyarakat juga tidak kompak. Ada yang tergiur untuk berbondong - bondong ke mall, seakan tidak peduli terpapar virus corona. Atau malah menganggap bahwa dengan dibukanya pusat perbelanjaan, berarti wabah sudah berlalu. Asumsi sendiri-sendiri.

Bayangkan saja. Pemerintah menghimbau rakyat harus tetap di rumah. Pemerintah mengijinkan mall dibuka, dan langsung tancap gas dengan segala diskon yang menggiurkan. Kondisi menjelang lebaran dimana THR sudah ditangan. Normal. Rakyat memilih menyerbu mall. Bersenang - senang dengan mall dan tidak peduli adanya wabah. Inikah yang dinamakan berdamai dengan covid 19 ? Atau inikah yang disebut dengan 'NewNormal' itu ? Wallahualam. Yang jelas memang normalnya adalah pusat perbelanjaan akan penuh sesak saat menjelang lebaran. New, adalah baju baru, mungkin.

Trus, ternyata wabah masih gentayangan. Ratusan orang kembali tumbang, masuk Rumah Sakit. Tim dokter dan medis yang sudah tiga bulan bekerja non stop, masih harus menunda istirahatnya. Dokter itu sekarang tidak lagi memikirkan lebaran atau apapun. Mereka bekerja mati - matian. Resikonya kematian. Kondisi ini membuat tidak seorang-pun bisa mem-prediksi kapan tim medis ini beristirahat.

Maka, dengan aturan yang ada, jelaslah rakyat yang salah, melanggar aturan. Walau tetap saja aturannya gak karu-karuan, tapi kan sudah ditetapkan adanya larangan. Sudah dilarang, masih nekad nge-mall. Walaupun mall diijinkan buka, bukan berarti rakyat diperbolehkan jalan - jalan ke mall, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Walaupun bis dan angkot sudah diijinkan beroperasi kembali, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Pemerintah mengijinkan bis dan mall beroperasi, tetapi pemerintah melarang warga keluar rumah. Hayo, mau apa ? Aturannya seperti itu. Andai ada warga negara yang nekad pergi ke mall, nekad mudik, jelas resiko ditanggung dia sendiri. Siapa suruh pergi belanja ? Semua diserahkan ke masing - masing orang. Terserah.

Kemudian ada tim medis yang lelah dengan kondisi ini. Mungkin bukan saja lelah secara harafiah. Namun juga lelah yang ditimbulkan karena unpredictable condition ini. Kapan kelarnya ? Tidak ada yang bisa menjawab dengan jelas. Bahkan data yang hendak di analisa-pun masih belum jelas. "Selegenje" kata teman saya. Deviasi. Tim medis ini sekarang berjibaku --entah sampai kapan-- untuk menyelamatkan para korban, yangmana  bisa jadi adalah mereka yang beramai - ramai ke mall, ke toko, dan berdesak - desakan naik transportasi umum. jalan - jalan bahkan mudik. Bersukaria belanja ke mall, lantas tumbang masuk ruang isolasi. Merepotkan tim medis yang sudah lelah.

Yang salah siapa ? Ada yang bilang bahwa tim medis tidak boleh mengeluh karena tugas tim medis adalah menyelamatkan korban. Ya ini pendapat ngawur. Kalo korbannya banyak, fasilitas kurang, tenaga sedikit, ya harusnya masyarakat secara kolektif sadar bahwa mereka harus ikut berpartisipasi menahan laju serbuan virus, bukannya malah bersuka - ria tanpa beban, dimana hal tersebut malah meningkatkan resiko jatuhnya korban. Pesta pora semacam ini hanya membuat kerja tim medis seakan tidak efektif, padahal tidak demikian.

Bagi saya sih, ini namanya salah kaprah. Semua salah. Aturan yang dibuat pemerintah tidak komprehensif. Terlepas dari adanya kepentingan dan segala conflict of interest, urusan simpang siurnya regulasi ini jelas kesalahan pemerintah. Sehingga membuka celah, bahkan memicu pergerakan dan aktivitas masyarakat ke arah yang tidak seharusnya. Banyak orang berbondong - bondong bepergian, bagi mereka yang mencari nafkah, okelah. Tapi tidak semudah itu. Mereka banyak juga yang mudik, traveling, shoping, nge-mall. Seakan tidak mengenal resiko virus corona. Ini yang salah masyarakat, karena tergiur mall, tergiur bepergian. Atau mungkin mereka sudah bosan terkurung selama tiga bulan. Tapi jangan salah, andai toko dan mall dibuka, para pemilik toko dagang dan kios di mall adalah mereka sedang mencari rejeki lebaran juga, mengharap pembeli berlimpah. Problemnya disitu juga. Pedagang pasar juga cari rejeki. Cari nafkah. Andai pembeli tidak ada, repot juga. Trus, maunya gimana ?

Oke deh, pemerintah punya kontribusi kesalahan. Masyarakat juga punya kontribusi. Dari semua ini, yang 'paling salah' siapa ? Dalam kondisi 'salah kaprah', biasanya yang paling bersalah adalah iblis. [] haris fauzi, 2 syawwal 1441 H.

ilustrasi : inibaru.id; tempo web

Friday, May 15, 2020

Jin Tarawih

Ramadhan 1439 H, Tanjung.

2018. Saat itu saya sedang dalam penempatan di sebuah proyek.  Proyek pembangunan fasilitas migas di Tajung, Kalimantan Selatan. Layaknya kerja proyek seperti itu, kami menyewa dua buah rumah untuk penginapan pekerja, saya menginap di salah satunya. Rumah sewa seperti ini kami biasa menyebut dengan 'mess'. Saya dan beberapa rekan pria menginap di lantai dua, staff wanita di lantai dasar.

Saat itu bulan ramadhan. Beberapa kali saya sholat tarawih di masjid, beberapa kali saya melaksanakan di mess, berjamaah bersama rekan - rekan. Suatu malam, kami bersepakat melaksanakan tarawih di lobi lantai dua, yang biasa digunakan pramuwisma untuk menyetrika pakaian, juga biasa digunakan oleh rekan - rekan untuk kongkow. Peserta tarawih seingat saya ada dua atau tiga orang karyawati, Diaz dan Fida. Satunya saya lupa. Di depannya ada barisan pria. Adrian, Eko, entah siapa lagi. Lupa. Yang jelas ada Rully di ujung kanan shaf pria. Harusnya Rully ini paling ujung kanan. Kebetulan saya didaulat menjadi imam. Saat sholat, karena kegerahan maka lampu di matikan, hanya pintu menuju teras dibuka agar ada cahaya dan hembusan angin masuk dari luar.

Selama saya menjadi imam, baru kali itu setiap ruku seperti melihat bayangan putih di ujung kanan, sebelah kanannya Rully. Namun setiap salam, yang mana saya berkesempatan untuk melihat dengan lebih jelas, otomatis bayangin itu menghilang. Saat salam saya hanya melihat sepersekian detik lantas lenyap dalam sekejap. Pada saat ruku berikutnya, saya bisa melihatnya lagi, namun keterbatasan sudut pandang posisi ruku tidak bisa membuat saya yakin dengan jelas atas pengelihatan saya. Yang jelas konsentrasi saya terganggu, ga perlu penjelasan lagi. Setelah mengganggu pengelihatan saya,  bayangan putih itu melenyap lagi saat salam. Demikian terjadi setiap rokaat dan setiap salam. Saya menahan diri untuk tidak bertanya kepada jamaah selama prosesi sholat hingga sholat witir berakhir.

Setelah usai witir, berdoa, kami bubar menuju kamar masing - masing. Sekitar seperempat jam setelah itu barulah saya mengetuk kamar Rully. Saya hendak menanyakan ihwal bayangan tersebut. Apakah mata saya yang silap, ataukah memang ada sesuatu. Rully ini orangnya memang setengah faham dunia ghaib. Konon sering melihat atau bercengkrama dengan makhluk ghaib. Maka, sepertinya cocoklah orangnya dengan bakal pertanyaan saya. "Rul, tadi disebelahmu ada apaan sih ?". saya membuka percakapan dengan tanda tanya. Mendengar pertanyaan saya, Rully yang hobi kopi Aceh ini lantas menyahut,"... yang baju putih ya ?". Tanpa panjang lebar kami langsung sepakat. Kami melihat hal yang sama. Saya belum menyebutkan warna, Rully telah mengonfirmasi warnanya. Setelah itu kami membicarakan kopi Aceh bawaannya, dan anehnya kalo yang menyeduh Rully maka rasanya lebih enak daripada seduhan saya atau teman lain. Bahkan seduhan Rully pernah saya duga sebagai biang yang membuat saya halusinasi saat tidur. " Ini ada ganjanya ya ?". Kontan Rully menolak pernyataan saya tersebut.

-----

Ramadhan 1441 H, Bekasi.

2020. Sebelum ramadhan saya sudah menyelesaikan tugas on site. Jadi kembali bekerja di kantor pusat. Lokasinya di Jatiasih Bekasi. Suatu hari saya berkesempatan ngobrol sejenak dengan beberapa rekan, termasuk Fida, rekan satu tim dua tahun lalu di proyek Tanjung. Entah kenapa saat itu pembicaraannya bertopik hal kendala yang terjadi di lokasi - lokasi proyek. Namun karena pembicaraan santai saat jam istirahat, jadinya yang dibahas adalah topik kendala 'aneh - aneh', termasuk hal ghaib. Saat itu entah ingat dari mana Fida berkata,"... itu ... di mess Tanjung, pas tarawih di-imam-i pak Haris, ada yang ngikut. Bayangan putih. Dari tempat saya kelihatan jelas ...". Jreng. Pertanyaan dua tahun lalu yang saya tanyakan ke Rully, tekonfirmasi dengan jelas kini. Fida sholat di shaf belakang Rully, jadi dia bisa melihat dengan lebih jelas daripada saya. [] haris fauzi, 15 mei 2020

Wednesday, May 13, 2020

KONTROVERSI COVID 19 : HARAPAN


Dalam masa pandemi Covid-19 ini banyak orang --bisa dikata rakyat Indonesia terlalu sering menyalahkan pemerintahan. Saya juga begitu, terlalu banyak menyalahkan. Pokoknya pemerintah banyak salahnya. Pemerintah tidak sigap lock-down. Pemerintah tidak siap dana. Pemerintah meloloskan WNA. Pemerintah bingung keputusan mudik. Pemerintah tidak kompak satu suara. Para pejabat berbeda - beda instruksinya. Pemerintah membiarkan mall beroperasi. Pemerintah membuka transportasi umum beroperasi. Pemerintah tidak antisipasi krisis ekonomi. Pejabat pemerintah lebih mementingkan kepentingan RRC. Pemerintah tidak mempersiapkan korban PHK akibat pandemi. Pemerintah tidak tegas menutup jalanan. Dan segala macamnya. Kenapa hal ini terjadi ? Kenapa kita menyalahkan pemerintah ?
Ada dua hal menonjol yang menyebabkan adanya sikap menyalahkan pemerintah. Yang pertama adalah adanya peran oposisi yang praktis semakin menguat semenjak era pemerintahan Orde baru runtuh dan digantikan Era Reformasi. Patut disadari, reformasi memberi ruang yang cukup luas untuk peran oposisi, membentuk atmosfir yang demokratis. Apalagi semenjak reformasi 1998 ruang pers dan media juga dibuka lebar pintunya. Dan secara kebetulan menjelang tahun 2000 merupakan masa pertumbuhan media sosial yang luar biasa.

Dua puluh tahun paska reformasi, dua puluh tahun paska pergantian abad, kita bisa rasakan sekarang bagaimana informasi sedemikian derasnya, sedemikian bebas dan demokratisnya, sedemikian ngawurnya (juga). Jurnalisme menjadi hak dan pekerjaan semua orang. Terjadi banyak dinamika informasi dan jurnalisme. Baik media main stream maupun media sosial. Media main stream bisa beralih menjadi media apa saja, bebas sesuai keinginan dewan redaksi dan dewan pemiliknya. Memuat apa saja tanpa perlu takut sensor ala Orde Baru. Bisa jadi dan bisa saja menerima pesanan. Siapa tau. Bahkan boleh saja membiarkan saja apa cibiran rakyat.

Di sisi lain rakyat makin bebas mengemukakan apa saja, apalagi di media sosial. Ngoceh di media sosial tanpa perlu menyamar seperti saat Orde Baru. Walaupun bila terlalu norak mencela pemerintahan masih saja ada ancamannya. Tidak bebas 100% sih.Yang bebas 100% hanya buzzer - buzzer pemburu oposisi. Dia berhak mencela apa saja, dan tidak akan dihukum. Karena mereka mencela oposisi, bukan mencela pemerintah. Aman. Bila ingin bebas mencela, maka cela saja oposisi. Beres.

Hal kedua yang menyebabkan banyak orang --termasuk saya-- menyalahkan pemerintah, karena sepertinya kita terlalu bersandar kepada mereka, terlalu berharap kepada pemerintah. Ini kesalahan fatal manusia sebagai makhluk Allah SWT, yang seharusnya --diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Atas segala hal, dua sebab di atas, rasanya hal ini lebih penting untuk direnungkan. Kita bisa melihat, bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengendalikan wabah ini. Sungguh sangat kepayahan. Lantas, kita masih terlalu berharap kepada makhluk sebagaimana mereka ? Mereka kini lagi sempoyongan, apalagi banyak kepentingan. Makhluk memiliki banyak keterbatasan, banyak kekurangan. Karena itulah Ali bin Abi Thalib pernah berujar, bahwa berharap kepada manusia adalah kepahitan.

Lantas, kita harus berharap kepada siapa ? Dalam sehari ummat Islam puluhan kali membaca surah Al-Fatihah. Minimal tujuh belas kali dalam sehari saat sholat wajib tujuh belas rakaat. Itu bila kita melaksanakan sholat. Dan bila kita faham makna bacaan dalam surah Al-Fatihah. Dalam ayat lima disebutkan bahwa "Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan". Nah. Artinya, kita harus berharap ke siapa ? Jelas 'kan ? [] haris fauzi - 13 mei 2020