Tuesday, February 26, 2008

kenisah : takdir (sepertinya) mengecewakan

APA YANG MEMBUAT
TAKDIR (SEPERTINYA) MENGECEWAKAN
 
Kadangkala kita menyindir sinis terhadap keputusan yang diambil oleh Tuhan. Dalam banyak hal, kadang kita merasa suatu hasil sebuah usaha tidaklah sesuai dengan penilaian kita, penilaian orang lain, atau penilaian kolektif. Seakan kita sudah babak belur berusaha berlimpah darah terburai, namun hasil yang dipetik tidaklah kita rasa sepadan dengan usaha yang terah dicucurkan.
Kebalikannya, apabila sekonyong - konyong kita mendapat keberuntungan 'besar' karena suatu usaha 'kecil', maka dengan mudah kita melupakan apa yang berada dibalik hal itu. Alih - alih malah kadang kita menganggap itulah hasil kerja 'cerdas' kita. Mereduksi peran Tuhan dan takdir-Nya.
 
Tapi repotnya, bukankah kita merasa lebih sering di-dzalim-i oleh takdir ketimbang merasa beruntung. Kenapa ini ?
 
Sering pula kita menyindir kepada Tuhan, bahwa apa yang dilakukan seseorang, tidaklah patut mendapat reward sebanyak itu. Kita sering berprasangka bahwa rejeki maling lebih besar dari rejeki ulama. Pada dasarnya kita mempertanyakan takaran keadilan Tuhan. Adakah yang salah dengan sistem 'reward' dan 'punishment' yang sedang diatur oleh Tuhan dan para malaikat di atas sana ? Ah, kita jadi sok analis disini.
Sejujurnya, dunia ini memang letak para penggemar ideologi 'muskil'. Termasuk muskil keadilan yang paripurna. Namun bukan berarti di dunia ini tidak ada keadilan. Ya. Karena di dunia ini tidak sepenuhnya adil, maka ada janji keadilan di alam akherat kelak. Percaya nggak percaya silakan. Siapa yang janji ? Tuhan, demikian bila memang kita menganggap Tuhan ada.
 
Hal kedua, adalah paradigma kita yang terkungkung bahwa nikmat itu selalu dan dominan identik dengan materi dan kekayaan. Nikmat itu adalah es krim yang memiliki gundukan stawberry yang padat dengan ujung yang meleleh siap di jilat. Naif sekali. Adalah hal yang wajar berpikiran seperti itu bila memang kita belum memahami fungsi manusia dalam menempuh perjalanan spiritual di masa akhirat paska perjalanan dunia fana ini usai.
 
Apabila memang seperti itu, --kita hanya beranggapan bahwa kita hanya akan 'hidup' di dunia semata,-- maka paradigma bahwa nikmat adalah selalu identik dengan materi tentu tak akan bisa ditepiskan. Dengan ideologi seperti ini, maka tuntutan akan merengkuh nikmat sebanyak - banyaknya di dunia ini, pasti tidak terhindarkan lagi. Maka, apa akibatnya ? Carut - marut yang pasti terjadi.
 
Itulah. Nikmat tidaklah selalu identik dengan materi. Beberapa ulama dalam sepanjang masa banyak yang menyitir, bahwa nikmat terbesar dari seorang muslim adalah Islam itu sendiri. Islam adalah bentuk ideologi, jalan hidup, dan juga jalan spiritual.
 
Seyogyanya orang yang beranggapan bahwa dunia adalah segalanya, akhir dari semua perjalanan,  akan memuliakan dunia ini, memelihara, dan mendamba keadilan. Karena mereka tidak berharap ada keadilan setelah ini. Tapi Tuhan jauh lebih pintar. Bayangkan bila memang dunia ini adalah akhir segalanya. Bukannya keadilan yang terwujud, maka perebutan habis - habisan yang akan terjadi. Bukankah begitu ?
Untungnya, Tuhan juga merencanakan adanya alam akhirat kelak. Ya. Sekali lagi, Tuhan lebih pintar. Sayangnya kita sering merasa lebih pintar.
 
Demikian juga dengan takdir. Takdir rejeki apalagi. Takdir akan nikmat. Tuhan sudah memiliki porsi. Dan, termasuk porsi komplit dunia akhirat. Jadi, cobalah ukur dari dua porsi ini. Kita tidak bisa menerawang seperti tukang ramal, namun setidaknya kita bisa menakar antara keadilan nikmat di dunia ini, dan menimang dacin  timbangan untuk porsi akhirat kelak. Ya memang hanya berdasar janji Tuhan semata. Hanya janji yang bisa kita hadapi, tapi itu janji Tuhan.
 
Lantas bolehlah kita tutup kecewa kali ini dengan pemanis bahwa mungkin tahun depan kita akan mendapatkan rejeki yang kita inginkan. Tetapi sebelum kita menginjak tahun depan, bolehlah sejenak kita mematut dan berkaca sejenak. Apakah patut kita berharap terhadap rejeki itu ? Sekaligus mematut usaha kita, doa kita, dan selintas introspeksi terhadap semua keterkaitan tersebut ?
Ya. Itu semua terangkai, dan masih banyak serabut halus yang menjalin satu sama lain membentuk tilam kehidupan kita. Merajut namun mungkin tak kasat mata oleh kita. Rejeki, nikmat, dunia, akhirat, usaha, doa, dan sebagainya. Adalah sebuah kenikmatan sendiri untuk mengamati dan menikmati hal ini. Setidaknya, dengan mengikuti jalinan halus ini, kita bisa lebih banyak mengerti apa yang membentuk hidup kita, apa yang menjadi latar belakang takdir terhadap diri kita, lantas kita menginsyafinya. Jauh lebih nikmat menginsyafi hal ini daripada menggerutu bahwa kita di-dzalim-i oleh takdir. Ah, sebaiknya saya sudahi saja tulisan ini. Saya bukan ahlinya mengobral fatwa soal takdir. [] haris fauzi - 26 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Saturday, February 23, 2008

kenisah : arah sajadah moncil

ARAH SAJADAH MONCIL
 
"...dalam banyak hal, agama itu mengecewakan. Tidak hanya Islam, tentu saja. Fundamentalisme Kristen di Amerika saat ini juga menakutkan....Juga fundamentalisme Yahudi...
Sebetulnya yang disebut perang agama ini kan selamanya adalah perang dengan argumen agama. Perang ya perang saja...." (Goenawan Mohamad, Majalah Madina no.02,hal 36, Februari 2008)
 
 
Moncil anak kedua saya berumur hendak empat tahun , nama aslinya Nourmadani, artinya cahaya peradaban. Acapkali dia ikut sholat bersama saya dan mamanya. Lucunya, kadangkala dia mengubah - ubah arah sajadah yang dipakainya. Kadang malah berbalikan. Istri saya pernah setengah mati berusaha menyuruhnya agar Moncil ber-sholat dengan hadap yang benar, tetapi ketika mentok, maka kami membiarkannya saja.
 
Saya teringat puluhan tahun lalu, mungkin sekitar tahun 1978, ketika kami sekeluarga sholat di lapangan Rampal. Sholat Ied. Karena kami berada di shaf terdepan, maka kami kebagian dapat kejepret oleh juru foto mesjid. Saya nggak tau, apakah juru foto itu sholat atau enggak. Demikian juga dengan Ibu dan dek Ifah,--adik perempuan saya-- yang berada di shaf terdepan, kejepret pula.
 
Lucunya, pas dalam foto itu, adik saya yang masih berumur tiga tahun, dia sholat menghadap utara. Karena kasus inilah saya dan kakak sering meledek dia karena posisi sholatnya salah. Ya karena foto itu semata. Bapak juga mengetahui foto tersebut. Bocah sholat menghadap utara, Bapak tidak komentar hanya tersenyum simpul.
 
Tahun 1999, ketika saya membeli sebuah 'rumah bekas' di Bogor Utara, Bapak dan Ibu saya ajak meninjau rumah 'bekas' tersebut. Setelah memutar anak kunci yang rada keras, kami meninjau berkeliling dengan cepat. Di kamar tidur utama Bapak langsung mengintruksikan agar kami berada dibelakangnya. Tanpa wudhu tanpa alas kami bertiga sholat syukur mengikuti Bapak. Lantai berdebu itu kami biarkan aja menjejak tanda di  telapak tangan dan jidat kami.
Tambahan lagi, Ibu hanya berkerudung tidak mengenakan mukena. Setahu saya, mukena adalah syarat. Saya jadi teringat jaman masih SD, ketika Bapak sering mengajak saya jalan - jalan ke mesjid - mesjid. Kami juga pernah diajak ziarah ke mesjid - mesjid walisongo. Karena masih SD, tentu saya mengenakan celana pendek. Memasuki mesjid, Bapak selalu menginstruksikan agar melakukan sholat tahiyyatul-masjid. Penghormatan kepada Rumah Tuhan, walau toh hanya mengenakan celana pendek yang tentunya tidak memenuhi syarat menutup aurat. Saya pernah memprotesnya,"..saya kan pake celana pendek, Pak ?". Dan Bapak cuma tersenyum sambil menggiring kami ke shaf terdepan.
 
Ternyata tidak hanya lantai berdebu atau mukena yang tidak ada saat itu. Arah kiblatnya-pun salah. Melenceng sekitar tigapuluh derajat. Kami mengetahui hal tersebut sekitar satu jam setelahnya. Ketika saya pamer keahlian baru untuk mencari arah kiblat dengan menggunakan silet magnet. Kemelencengan ini  saya konfirmasikan kepada Bapak, beliau cuma tersenyum sambil ngomong,"...Dek Ifah dulu sholat Ied menghadap Utara...". Kami semua teringat foto itu dan jadi ikutan ngakak.
 
Secara logis, memang tidak bisa tidak, arah kiblat bisa diarahkan dengan menggunakan peralatan yang canggih. Tetapi, seringkali kecanggihan ini membuat congkak sehingga meninggalkan esensi. Ya. Teknologi dan peralatan canggih yang merupakan produk dari ilmu-ilmu logika seringkali membuat kita congkak. Dan ini sudah sering terjadi bahkan semenjak jaman dahulu. Al-Ghazali sudah jelas sangat mengkhawatirkan hal ini. Logika bisa membelokkan nilai-nilai esensi Islam. Logika akan menikam bila digunakan secara otoriter.
 
Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan kekhususan soal keterbatasan logika,"...andai Islam mengandalkan logika semata, tentunya kala berwudlu Rasulullah akan mengusap dasar sepatu, bukan bagian atasnya...". Sebuah peringatan akan keterbatasan logika, bahwa logika bukanlah segalanya.
Saya sendiri belum pernah berwudlu dengan mengenakan alas kaki. Konon, tuntunannya adalah seperti itu. Berwudlu boleh sambil mengenakan alas kaki, tetapi yang dibasuh adalah mukanya, bukan dasarnya. Tolong koreksinya.
 
Ali bin Abi Thalib adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Demikian Nabi Muhammad menjulukinya. Memang Ali terkenal memiliki intelegensi yang tinggi, khulafaur rasyidin yang paling jago berfilsafat dan berlogika. Kita bisa nikmati kehebatannya dalam kumpulan khutbahnya di "Nahjul Balaghah". Namun, Ali sadar bahwa logika memiliki keterbatasan. Kita malah sering congkak berlogika melayang ke langit ke tujuh, dan lantas terjerembab.
 
Membaca kembali komentar Goenawan Mohamad di atas, seakan jadi tersadar, bahwa selama ini kita sering terkontaminasi oleh euphoria dan meninggalkan esensi. Dari hal sepele, dalam bahasa sansekerta 'agama' adalah kata terdiri dari dua 'a' dan 'gama' yang berarti tanpa-kekacauan. Tetapi apa buktinya ? Malahan sekarang jadi alasan buat berperang, setidaknya begitu menurut Goenawan Mohamad.
Memang banyak alasan berperang, dan lagi, saya bukan 'pakar perang' yang bisa berdebat dengan hebat masalah ini. Namun saya hanya bisa mensinyalir bahwa ada yang salah dalam pemahaman agama. Pemahaman yang melenceng ini berarti  'salah arah'. 'Salah arah' dalam arti yang sangat 'esensial'. Ketika seseorang menjalankan ibadah sholat, masjidnya menghadap kiblat, sajadahnya-pun diukur derajatnya menggunakan google-earth. Tepat. Antara kedua kaki dan jidat ditarik garis lurus  tepat akurat ke arah tengah - tengah kiblat karena memang menggunakan alat navigasi kelautan.....Tetapi hatinya tidak menghadap ke Tuhan. Tuhan yang mewahyukan agama. Agama, tanpa kekacauan. Hatinya menghadap ke nafsu angkara, niat kotor, fitnah, kebusukan. Dan, bisa kita lihat, atmosfir manusia sekarang penuh kebencian dan keributan.
Mungkin kita sering kehilangan esensi seperti ini. Kita terlalu berkutat di kehebatan logika sehingga malah salah arah. Pernyataan Goenawan Mohamad, peringatan Al-Ghazali, dan petuah Ali bin Abi Thalib bisa jadi benar......agama itu mengecewakan dan menakutkan, bila esensinya raib. [] haris fauzi - 23 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Saturday, February 16, 2008

kenisah : rumah Jatimulya

RUMAH JATIMULYA
Saya, dan terutama Kakak saya menyebutnya begitu. Itu rumah punya Kakak saya. Letaknya di perumahan Jatimulya, Bekasi Timur. Dia membelinya sekitar tahun 1996-an, saya lupa tepatnya. Pokok-nya sepulang dari Jepang, dia memiliki tabungan, dan akhirnya memutuskan untuk membeli rumah tersebut. Rumah bekas, dibeli pake duit bekas, di bayar cash. Yang punya awalnya siapa, saya pernah membacanya dari tagihan kartu kredit dia yang masih beberapa kali datang. Kini saya lupa siapa dia.
Tahun 1995 saya mulai nge-kos di kawasan Sumur Batu-Jakarta. Dekat dengan kantor yang berada di Sunter. Dan, begitu Kakak saya membeli rumah di Jatimulya, tak selang lama saya pun tinggal numpang di rumah Kakak saya itu. Sesuai instruksi Ayah. Biar belajar punya rumah, dan belajar perjalanan jauh ke kantor. Soalnya, kecil kemungkinan bakal kelak membeli rumah yang dekat kantor di Jakarta. Mahal. Toh juga gak ada asik-asiknya Kakak yang masih lajang tinggal di rumah sendirian.
Aslinya kakak saya tidak sendirian di rumah itu. Aslinya, sebelumnya Kakak saya nge-kos juga, di Kavling Haji Darmansyah, Bekasi Timur. Dan aslinya dia punya teman satu kamar kos, namanya Mas Yan. Sudah seperti saudara. Mas Yan kerja disebuah kantor di bilangan Kuningan. Aslinya Mas Yan ini tidak tau sama sekali prosesi awal Kakak saya membeli rumah. Dia baru tau Kakak saya membeli rumah ketika Kakak saya mengajaknya kabur dari kos-kosan. "Mas Yan, saya sudah beli rumah di Jatimulya, deket tol. Kapan kita bisa segera pindah ... ", gitu singkatnya. Gayung bersambut, bulan berikutnya mereka berdua menyewa angkutan kota dan bedol kos-kosan. Jadi penghuni pertama dan kedua rumah Jatimulya.
Kurang lebih dua atau tiga bulan, saya baru nyusul, setelah sempat tertunda. Soalnya saya ikutan training, jadi sering pulang malem dan gak boleh terlambat, jadi untuk dua bulan saya memutuskan masih harus kos dekat kantor. Eh, rasanya gak gitu ding ceritanya. Saya sempat pindah ke Jatimulya, dan karena ada training di bulan kemudian, maka saya balik kucing nge-kos lagi barang dua bulan khususon wabil khusus untuk urusan training yang nggak boleh telat segala itu. Kelar training baru saya balik ke Jatimulya lagi.
Okelah. Taruhlah saya sudah tinggal di rumah Jatimulya kala itu. Pas-nya saya nggak hafal deh. Akhirnya kita bertiga tinggal di rumah nyentrik tersebut. Tangga ke lantai dua terbuat dari kayu, railing-nya juga dari batang kayu bulat tanpa di serut diikat tali ijuk, berbunyi kriet - kriet - kriet. Di bawah tangga ada pompa yang senantiasa berdenging karena air sumurnya terlalu kecil debitnya. Di depan rumah kami pasang lonceng untuk dering tamu yang harus menarik tuas supaya berbunyi. Tuas ini sering dipermainkan oleh anak - anak buat mengecoh kami. Untuk menyusun buku dan televisi kami membuat sendiri meja dan rak-nya. Karpet yang terhampar biasa digunakan untuk makan bareng, walhasil kami sering dirambati semut ketika rebahan nonton televisi. Meja - kursi ? No Way ! No money...
Kami mencuci baju seminggu sekali rame - rame pake mesin cuci sambil nonton televisi. Bercanda melulu, apalagi Mas yan orangnya lucu dan medok istilah Melayu-Sumatera, saya dan Kakak medok Jawa Timur, namun saya lebih urakan. Sebulan sekali kami bergantian giliran membayar tagihan telepon. Berangkatnya gantian, duitnya sesuai catatan. Jadi kalo kami telpon, wajib mencatat di buku telpon, nanti kita kalkulasi bareng - bareng sesuai tagihan yang masuk. Nyatatnya gampang karenasebagian besar adalah percakapan interlokal, maklum, orang rantau.
Merasa kerepotan dengan acara berangkat mbayar telpon, saya membuka rekening bank BCA, sehingga bila kena giliran mbayar, saya bisa membayar via ATM. Apalagi di dekat rumah ada ATM BCA. Dengan kemudahan ini, walhasil, saya setiap bulan malah bertugas membayar telepon. Tagihannya rembuisment kontan.
Selain itu kami punya kesepakatan. Perabotan kita membeli dengan duit masing - masing namun digunakan bersama. Tetapi bila kelak pindah, barang tersebut bisa di bawa. Televisi punya Mas Yan, mesin cuci punya Kakak saya, kulkas saya yang beli. Itu contohnya. Ketika kami kabur, barang itu sah-sah saja bila ikutan kabur.
Unik perkampungannya. Kadangkala kami kerepotan dengan ulah pedagang kaki lima yang setiap pagi berjejer sepanjang jalan. Mereka tumplek - blek di tepian rumah. Lha gimana. Lagian ada yang jual kaset dan suka nyetel keras - keras. Semula kami nggak tau karena kami semua berangkat kantor lebih pagi ketimbang pedagang kaset itu. Tapi di saat pengen tidur di hari libur, barulah tau bahwa pedagang kaset itu berisiknya minta ampun. Mungkin dia terlahir dengan kuping buntu. Nyetel lagunya itu kenceng bener.....
Atau pernah kami bertengkar dengan tetangga gara - gara dia menebang pohon di depan rumah kami. Bahkan suatu hari ada orang setengah waras yang melompat dari lantai dua rumah tentangga, dan jatuh di kap mobil kijang yang terparkir di depan rumah itu. Tengah malam lagi.
Selain kami bertiga. Ada penghuni susulan. Namanya Mas Sungkono. Namanya Sungkono Handoyo. Dia adalah kawan satu kampus Paklik Aji. Paklik Aji ini adik kandung dari Ibu. Di kampus, Mas Sungkono sering dipanggil dengan Sunki. Konon dulu dia mengendarai motor Suzuki, dan dia pretelin mereknya diubah menjadi SUNKI.
Ceritanya gini, Mas Sunki kerja dan nge-kos di daerah Bendungan Hilir, Jakarta, dan punya pacar ternyata di .... Jatimulya. Pas mereka jalan berdua menyusur jalanan becek kampung lha kok malah kepergok Kakak saya. Hayooo !!!!! Setelah ndomblang - ndomblong sejenak, barulah yakin kalo saling kenal, dan akhirnya diajaklah panglima besar mayor jenderal laksamana Sunki ini menjadi penghuni keempat rumah Jatimulya. Rumah tipe dua-satu itu akhirnya diisi empat lelaki urakan lajang semua. Pagi kosong, malem gak pernah sepi.
Mas Sunki orang Jogja bener. Untuk tinggal di Jatimulya, dia merasa perlu meminta izin dari Paklik Aji. Padahal Paklik Aji tinggal di Bonn, Jerman. Walah. Mas Sunki nekad meminta izin via telpon. Telpon kantor lagi. Walhasil boss-nya curiga mengapa ada tagihan telpon membengkak. Ada apa gerangan. Yang disuruh nelusuri malah Mas Sunki. Malingnya disuruh jadi detektif. Ya sudah, akhirnya print-out tagihannya kita hapus khususon catatan telpon ke Bonn, Jerman. Gemblung.
Mas Yan didaulat sebagai kepala suku nggak resmi, Kakak saya yang punya otoritas rumah, saya yang paling muda pegang rekening, dan Mas Sunki yang paling sering dijadikan obyek guyonan. Pas. Kebagian peran satu - satu.
Kami punya hobi masing - masing. Mas Yan suka nonton televisi, saya suka nyetel lagu, mas Sunki satu - satunya yang setiap sore merokok dan ngopi. Kakak saya suka mengambar. Walhasil memang meriah dalam menikmati hidup ini. Tetapi kalo hari libur "agama"-nya sama, tidur or kabur. Bila Mas Yan atau Mas Sungki punya kesempatan nilap mobil kantor sejenak di kala hari libur, maka saat itu kami berempat kabur bareng entah kemana.
Hingga tiba saatnya kami mengantar melamar dan menghadiri resepsi pernikahan Mas Yan di Kaligondang- Purwokerto. Saat itulah, Mas Yan resmi pindah KTP. Giliran berikutnya --sesuai umur-- Mas Sungkono gak tahan lagi untuk menikah dengan pacarnya yang orang Jatimulya itu. Hampir bareng, Mas Sunki juga pindah kerja dan ditugaskan ke Kalimantan. Dia nggak menjelaskan detil apa kerjaannya. Mungkin menghitung beruk. Hingga akhirnya kami tau bahwa dia menjadi koordinator administrasi lapangan untuk urusan proyek. Entah proyek apaan.
Awal tahun 1999, saya berancang - ancang mempunyai rumah sendiri. Kepincut dengan kota hujan Bogor, dan akhirnya membeli rumah bekas di kawasan barak militer Ciparigi, perbatasan Bogor. Mirip kondisi rumah orang tua saya di Malang. Hujan dan barak. Bebarengan dengan itu, saya merencanakan menikah. Dan akhir Agustus 1999 saya cabut pindah ke Bogor berikut barang - barang satu truk. Yang paling banyak muatan buku, sempat terhempas air hujan selama perjalanan pindah. Bulan September 1999 saya nikah. Saya memenuhi janji kepada Bapak saya, bahwa saya akan menikah setelah memiliki rumah sendiri.
Begitu saya kabur, Kakak saya punya acara sendiri. Dalam tiga bulan dia merenovasi rumah Jatimulya. Tangga yang berbunyi kriet - kriet itu dia ganti, transmisi tenaga listrik dia perbaiki, dia tambat sumur baru, kamar mandi ala kontrakan dia poles sampai feminin, gorden diganti berlapis, dan tembok yang saling somplak itu diperhalusnya. Tentunya aktualnya sang tukang yang melaksanakannya. Dalam tiga bulan sulapan, rumah Jatimulya jadi keren bener, dan setelah itu dia langsung nyusul menikah.
Begitulah. Sampai akhirnya tahun 2007, Kakak saya yang sudah berputera dua, bersama Istrinya memutuskan untuk pindah ke rumah baru di kawasan Legenda. Rumah Jatimulya dia tinggalkan namun tidak dia jual. Pada akhirnya keempat lajang urakan itu --MasYan, Mas Sungki, saya, dan Kakak,-- satu per-satu bergiliran mengucapkan selamat tinggal kepada rumah Jatimulya. Rumah yang cukup momentual, karena kami berempat bisa seperti saudara rekat, padahal yang bersaudara aslinya ya cuma saya dan Kakak. Sementara Mas Yan adalah teman kos, dan mas Sunki adalah teman kampus Paklik. Kami tidak pernah melaksanakan reuni, karena kami tidak merasa pernah berpisah. [] haris fauzi - 15 Februari 2008


salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Thursday, February 14, 2008

kenisah : tiga bernama zeppelin

TIGA BERNAMA ZEPPELIN

Kalau dari umur, jelas yang musti di bahas duluan adalah Ferdinand Zeppelin. Tentara pantang menyerah yang lahir tahun 1840-an. Kumisnya tebal melintang. Orang Jerman. Orangnya pintar dan pantang putus asa. Ferdinand bukan orang yang populer bila ternyata bukan dia yang menciptakan balon terbang. Ferdinand adalah otak di belakang penciptaan balon terbang yang sangat terkenal, Zeppelin. Terkenal karena sungguh spektakuler, dan terkenal karena sering celaka. Nggak banyak yang mengerti seperti apa Mr. Ferdinand von Zeppelin ini, apalagi saya. Yang jelas selain ulet, dia juga punya cukup banyak relasi yang mau mendukung dan mendanai proyek ambisiusnya mencipta balon terbang. Apalagi kabarnya pucuk komando pasukan Nazi kepincut dengan aksi balon terbang hingga juga ikut inden pesan balon ajaib hasil tiupan Mr. Ferdinand ini.

Balon Zeppelin yang muncul diperbatasan akhir 1899 dan awal 1900-an ini aslinya terkenal dengan sebutan LZ. Bukan kependekan dari Led Zeppelin,-- tapi dari Luftschiff Zeppelin. Gitu kata ensiklopedi. Inilah balon yang lebih terkenal daripada tukang tiupnya sendiri. Balon Zeppelin adalah balon terbang yang nggak cuma terbang buat mainan, tetapi berfungsi sebagai alat angkut. Angkut - angkut manusia, angkut - angkut barang, dan angkut angkut bom ketika perang dunia pertama. Ya pasti besar sekali balonnya, jelas kalo ditiup pake mulut akan 'ledez' bibir tukang tiupnya.

Walau pada awalnya termasuk 'benda' yang populer karena sering celaka, nyatanya sampai sekarang balon Zeppelin masih ada. Kecelakaan terbesar diantaranya adalah yang menimpa Zeppelin yang bernama lambung 'Hindenburg'. Yang mana ekornya terbakar lantas api melahap badan hingga kepala dalam waktu singkat, katanya nggak lebih dari lima menit. Kejadian ini pernah di filmkan, saya pernah simpan brosur iklannya, nggak tau sepanjang apa filmnya, soalnya kejadiannya kan cuma sebentar.

Di Inggris, tahun 1969 muncul Zeppelin yang mungkin paling nge-top hingga sekarang. Mereka adalah kelompok musik empat orang yang rada nyentrik. John Bonham yang meninggal dan lantas bikin bubar kelompok tersebut, Jimmy Page yang menyukai klenik, John Paul Jones yang kabarnya pendiam, serta Robert Plant yang suka pake asesoris menor.

Mereka berkumpul dan berkarir cuma sepuluh tahun, ambyar di tahun 1980. Cuma membuat delapan album, yang kabarnya itupun sengit dan alot banget. Lantas bubar, tapi saling janji setia karena bertekad nggak akan ada pemain substitusi. Walau sekejap, tapi Led Zeppelin diakui sebagai kelompok musik paling berpengaruh di rimba musik rock setelah legenda The Beatles. Kalau anda nggak mengakui, setidaknya saya mengakui dengan ikhlas.

Terbukti konser reuni akhir tahun 2007 yang cuma sekali - sekalinya dan terpaksa memakai pemain substitusi untuk John Bonham yang digantikan anaknya, tiketnya jadi rebutan orang se-dunia. Tiket yang dijual on-line itu sempat down servernya karena telalu banyak diakses peminatnya. yah. Begitulah dongeng singkat tentang tiga Zeppelin. [] haris fauzi - 14 Februari 2008



salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Tuesday, February 05, 2008

kenisah : tentang tiga orang tanpa nama

TENTANG TIGA ORANG TANPA NAMA
 
Yang jelas, siapa orang yang hendak saya tulis bukanlah Ayah saya yang demikian kuat mempengaruhi diri saya. Juga bukan Ibu, Istri, kakak, anak, atau siapapun dalam lingkup saudara kerabat yang sudah terlalu sering berkeliaran dalam pena tulisan saya. Juga bukan tokoh - tokoh hebat yang mengacak - acak pola pikir serta menghabiskan energi otak saya seperti Edward W.Said, Ali Syariati, Albert Camus, AA.Navis.....atau tokoh super hebat Muhammad.
 
Yang hendak saya tulis adalah tiga orang teman, sahabat, mungkin lebih dari sekedar itu, orang --dekat atau jauh-- yang dengan ikhlas memberikan kontribusi perubahan terhadap diri saya. Sadar atau tidak. Maksud tulisan ini hanyalah dedikasi kepada mereka bertiga, karena saya merasa tidak punya kemampuan untuk membalas apa yang telah mereka berikan kepada saya. Tolong catat, mereka bukan orang tenar, bukan orang 'terbaik', dan pasti memiliki kekurangan layaknya orang lain. Orang biasa yang memberi dampak luar biasa kepada saya. Orang biasa. Mangkanya, tidaklah terlalu bermanfaat bila saya cantumkan nama mereka disini. Dan kalau ternyata jumlahnya ada tiga, mungkin pada kesempatan ini baru mereka bertiga, sisanya saya susulkan kemudian.
 
Saya terlahir sebagai anak tentara, dari Ayah tentara wajib militer yang alumni IAIN Syarif Hidayatullah, Ayah pengagum Khomeini dan Ali Syariati. Terbiasa bercengkrama di kalangan Islam modernis, karena sesepuh keluarga banyak yang simpasitas Muhammadiyah. Hingga suatu ketika saya berkenalan dengan seorang yang berasal dari komunitas Nahdatul Ulama."Tetapi saya banyak ketidak-cocokan dengan tokoh mesjid di kampung", gitu urainya. Dia bercerita bahwa sering adu mulut dengan para guru ngajinya, hingga para guru ngaji itu beristighfar, bahkan ada yang menuduhnya setengah kafir. Dari cerita - ceritanya saya tau dia pemberani dan tukang berontak. Dan, dia matang lewat pemberontakan seperti itu. "Pemberontak intelek", gitu suka saya sindir dia. "Kamu juga", balas dia.
 
Kami berdua memiliki latar belakang berbeda. Contohnya adalah soal maen keluar rumah. Saya harus lapor dengan jelas ke orang tua, maen kemana dan pulang jam berapa. Sementara dia bisa kabur dan kembali kapan dia mau. Itu baru satu contoh. Latar belakang yang agak berbeda inilah yang membuat kami malah sering bersama, dan juga sering berdebat akhirnya. Setelah banyak berdebat dengan dia,  walhasil saya juga jadi pendebat mendiang Ayah saya.
 
Dengan kondisi seperti itu, dia jelas - jelas seorang anti kemapanan dan menanamkan bibit anti 'anut grubyuk' ke jiwa saya. Saya menjadi lebih oposan semenjak bergaul dengan dia. Bagi saya, dia adalah pembebas dari fanatisme yang berlebihan. Namun lebih dari itu, karena gagasan - gagasannya yang sering mengundang tanda tanya, akhirnya dia memaksa saya untuk memperluas wawasan, membaca segala hal, dan bermain di ranah filsafat. Dia memang jagoan untuk mencerna artikel - artikel ruwet, dan saya banyak berguru kepadanya. Dunia lebih luas semenjak saya mengenal dia. Dan yang paling penting, saya menjadi mengerti saya harus menjadi apa.
 
Dia memiliki akselerasi. Dia cepat belajar, dan saya menangguk untung dari kelebihannya itu. Dia orangnya sangat akademis, logis, runtut, dan perfeksionis. Biasa saya menyukai musik perfeksionis, maka saya juga bisa mengimbangi gaya gaulnya. Dibanding dia, saya lebih pragmatis. Suatu saat kami berdebat hingga ujung langit. Kami berdua saling adu argumen dan adu jago menahan emosi, sampai bibir ini bergetar. Adu lihai mencari argumen dan referensi, tidak asal debat. Pertarungan logika, dan tidak boleh berdiam sejenak. Kami berdua sama kuat saat itu hingga waktu azan Ashar tiba. Akhirnya dia berkata dengan penuh wibawa,"Ayo solat, Ris...".
 
Orang kedua yang hendak saya tuliskan belum saya kenal dalam waktu lama. Namun dia termasuk orang yang memberi impak cukup dalam kepada saya. Terutama ke sikap saya, kali ini dari sisi emosi. Bisa jadi karena saya cenderung bersifat reaktif. Ya karena, kalo kata teman - teman-- saya seringkali 'meledak' hingga tak karuan lontaran mesiunya. Dahsyatnya, dia bisa menahan hal ini. Itulah kesaktiannya. Dia memaksa saya untuk berpikir dua kali sebelum 'meledak'. Ya, cuma itu. Kadang dengan gaya meledek, kadang sinis, kadang dengan gaya memohon, kadang dengan gaya bertutur seperti seorang guru, dia mengajari saya tentang itu.
 
Sebetulnya --aslinya-- saya tidak sesering itu untuk reaktif meledak - ledak. Tidak sesempit itu, soalnya reaksi bisa saja --biasa-- meledak ketika menyetir mobil, ketika ada problem di kantor, ketika pada posisi 'tidak menguntungkan', atau sekedar capek sahaja. Seperti ceritera di paragraf atas,  saya memang seringkali kurang elegan, kurang tata krama. Tabiat. Dan ketidak-sesuaian dengan keadaan sering membuat saya bereaksi negatif seperti menggerutu, mengumpat, atau menunjukkan sikap kecut. Dan dia memaksa saya untuk mencoba mengatur itu, tanpa memaksa saya menjadi kebo penurut. Kalo orang petama yang saya tulis tadi membuat saya sering melawan, dia malah membuat saya untuk tidak spontan 'lempar tonjok' dalam bereaksi. Aslinya dia menganjurkan untuk tidak reaktif --sama sekali--, tetapi tidak semudah itu bagi saya untuk menuruti apa katanya,  menjadi orang yang sama sekali tanpa reaksi. Hasil transponirnya adalah nilai tengah, pengendalian reaksi.
 
"Kali ini kamu mengubah saya", gitu suatu kali  saya berkata kepada dia. Dan dia cuma berkomentar pendek, "... saya gak merasa dan bermaksud seperti itu....kalau memang berubah jadi baik ya syukurlah...".
Kalau saya amati, kata - kata paling sering yang dilontarkannya kepada saya cuma dua kata: "sabar" dan "syukur". Itu saja kata 'sakti' miliknya.
 
Saya nggak cukup tau, dari mana dia mendapat kesaktian seperti itu, apakah dari Ibundanya yang kalo gak salah denger adalah seorang pendidik. Atau memang dari 'titisan'-nya sono. Sekali lagi saya tidak bisa berceritera banyak tentang orang ini, karena latar belakang dan segala hal tentang dia saya kurang hafal. Ya. Orang ini memang baru saya kenal, dan detik ini-pun saya belum jua bisa menjumpainya lagi.
Suatu ketika pernah terlontar keinginan hendak mencomot sedikit banyak profil beliau dalam tulisan saya, dan saya mengatakan bakal mengkonfirmasikan tulisan tersebut terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Tetapi perjanjian ini terpaksa akan saya langgar sekarang. Karena tulisan ini sudah terlalu lama mendekam dan hendak terkirim, sementara saya kesulitan hendak mengkonfirmasikan kepadanya. Lewat pesan singkat dia cuma berkata,"..ya nanti saya pasti baca..". Gitu doang. Yo wis. Nekad, show must go on.
 
Orang ketiga adalah orang eksentrik, pemberani ulung. Bersama dia, saya menghadapi banyak situasi dan manusia dengan tanpa takut, dan --catat--  tanpa beradu fisik. Itu hebatnya dia. Melewati sarang preman --sedang berjudi lagi, dan kami lewat di tengah - tengah mereka--, rombongan pemabuk, pengedar obat bius, atau apapun, dia mengerti situasi. Masuk hotel berbintang atau pejamuan resmi, dia percaya diri walau hanya mengenakan kain sarung.
 
Dia bersahaja dan sangat menguasai situasi. Mau dan cepat mempelajari detil lingkungan. Dia tau detil sampai merek rokok yang sedang dijepit jari preman pasar. Saya ketakutan, boro - boro lihat merek rokoknya. Kami berdua menyukai kisah - kisah detektif Sherlock Holmes, tetapi dia menerapkan dalam keseharian. Dia pintar dalam berbagai hal, tetapi kabarnya pernah  tidak naik kelas ketika sekolah dulu.
 
Dia seakan bisa menjadi tukang pukul, menjadi aparat, bisnisman, atau ustadz sekalipun.
"Dalam ukuran jaman nabi Muhammad, bisa jadi kita lebih kafir dibanding orang kafir jaman itu. Jangan sombong dengan ritual ibadahmu hingga memaksa kamu mengaku - ngaku sebagai orang beriman. Terlalu jauh. Kita adalah penghuni neraka...", gitu ujarnya suatu kali. Saya tersadar. Kata - kata itu benar adanya. Ya, saya masih terlalu 'satanik'. Dia mengajarkan kepada saya tentang apa - apa yang tidak dianjarkan oleh orang lain. Karena dia memang memandang dunia ini dari sudut pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Dan dia memandang dengan teliti. Itulah untungnya saya mengenal dia. Diantara kepulan asap rokoknya, mulutnya melontarkan keresahan Albert Camus, pernyataan menyengat orang yang berputus-asa, dan kebijakan Zen. Campur seperti soda gembira yang dia bayar buat minum saya, suatu malam.
 
Dia tertarik kepada hal - hal besar maupun kecil. Pernah suatu hari dia bertanya soal koleksi lagu - lagu Led Zeppelin ke saya. Saya keheranan, ngapain dia tanya soal yang diluar otaknya. Saya tau dia nggak perhatian soal musik. "Saya bingung, seperti apa sih Led Zeppelin itu. Kok konser reuninya sampai heboh dan peminat pendaftaran beli tiketnya hingga jutaan orang. Sebesar apakah Led Zeppelin itu, se-istimewa apa karyanya, saya pengen tau sehingga dia bisa mengguncang dunia seperti itu...", gitu alasannya.
 
Salah satu cirinya adalah dia jarang menulis. Kemampuan bahasa tulisannya payah. Dia hanya sering membaca --apapun, bahkan mungkin sehari dia melahap lima judul koran-- dan pada akhirnya mengutip ujaran orang - orang terkenal, dan di cobanya sebagai 'perangkap'. Namun saya jarang terperosok ulah dia ini. "Ris, kamu selalu berusaha mendebat dan menukas dengan caramu sendiri. Sementara saya hanya sering mengutip...", kilah dia lewat pesan pendek ke ponsel saya. [] haris fauzi - 5 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Monday, February 04, 2008

kenisah : anda peroleh apa hari ini

ANDA PEROLEH APA HARI INI
 
"...dasar manja...jalan atau naik angkot kan bisa..."
 
Begitulah kira - kira,-- gara - gara mobil rusak delco-nya-- saya dapat ledekan seperti itu. Ngaku saja, mobilitas saya memang cukup tergantung kepada mobil tua satu-satunya milik saya itu. Saya jadi males kemana - mana tanpa mobil itu. Susah memang. Mobil tua jadi andalan, hilir mudik rumah ke kantor yang berjarak seratus kilometer, bolak - balik jadi dua ratus.
 
Sempat sembuh sejenak, eh, dua hari kemudian mobil sepuh itu 'opname' lagi gara - gara diluar skedul timing belt-nya putus. Kayaknya efek berantai dari rusaknya delco dua hari sebelumnya.
 
Sebetulnya, ledekan itu cuma sekedar ledekan yang terkirim melalui pesan pendek ke ponsel saya. Tetapi, rupanya hal tersebut jadi lebih bermakna serius ketika saya kali ini harus ke kantor menggunakan bis umum. Jaman dulu sih biasa - biasa aja nge-bis ke kantor. Saat ini-pun sebenernya juga gak terlalu bermasalah, hanya sedikit nggak 'kulino', dan gak terlalu nyaman saja. Bukan di bis-nya, yang mencolok adalah ketika harus menyusuri trotoar, halte, dan terminal.
 
Ketika tersaruk-saruk di trotoar dengan perasaan kurang nyaman, saya langsung teringat ledekan tadi. Ah, saya memang makin lemah dan manja. Sudah terlalu sering duduk di jok belakang kemudi. Segera saya kirim pesan singkat ke Sang Peledek tadi. Cukup panjang :
"Sudah lama banget saya gak naik bis, lama gak ke terminal. Bener. Saya jadi manja. Saya gak nyaman. Gak siap uang receh. Angkot ngetem, sesak, pengamen, gelandangan, orang gila di trotoar. Semua bikin gak nyaman. Padahal dulu gak papa, malah kadang ngobrol sama gelandangan. Ah, saya menjadi makin lemah dan manja"
 
Puncaknya adalah ketika saya harus duduk di halte. Di depan saya ada pria remaja agak kurang waras bernyanyi - nyanyi ala Iwan Fals. Gundul berjaket flanel dan celana gunung yang sudah di potong jadi tiga perempat. Dia bernyanyi, berdeklamasi, berpuisi. Tentang perlawanan, tentang jagoan, tentang kekerasan jaman. Ketika capek, dia surut dan duduk di sebelah saya. Saya hendak beringsut, tetapi saya berusaha untuk tetap duduk di sampingnya. Dikuat-kuatin, sementara orang lain menyingkir diam - diam. Saya-pun hendak mengeluarkan buku dan polpen hendak mencatat hal itu, tapi kembali saya urungkan, saya cukup mengingat saja. Karena remaja tadi juga mengeluarkan diary-nya. Diary-nya di gembok. Pelan - pelan dia mengeluarkan anak kunci dari kantong celana. Lantas dia mulai menulis. Kata yang terbaca dari sudut mata saya cuma satu : " cinta ".
 
Mata saya nanar. Saya tertekan dua sisi, oleh ketidak-nyamanan dan juga oleh ketakjuban. Ketakjuban pertama adalah karena dia 'menulis', sementara saya semakin hari semakin malas untuk menulis.  Ketakjuban kedua adalah karena di tengah serba kekurangannya, remaja tadi berusaha memaknai tulisannya. Sementara saya pagi itu hanya menggerutu atas ketidaknyamanan karena mobil mangkrak. Remaja yang hebat dan mampu menjengkangkan saya hingga titik nol, menjadikan saya sebagai orang gagal. Dia menohok tepat diantara kedua mata saya. Saya terpukul hebat. Mungkin dia lebih 'waras' ketimbang saya.
 
Saya nanar cukup lama, sampai akhirnya saya bisa 'menghibur diri' dengan segala keberuntungan yang saya dapatkan hari - hari ini. Keberuntungan pertama adalah karena saya kenal seorang tukang ledek yang kali ini memberi impak yang cukup kuat kepada diri saya. Saya senang karena tersadar seperti ini, sehingga lain kali mungkin saya bisa mengurangi topan gerutu yang biasa saya lontarkan. Nggak kalah beruntung juga, pada saat kasus mobil pertama kali rusak, ndilalah rusaknya di rumah, sehingga nggak perlu derek - derekan segala. Yang hebat lagi, pada saat mogok gara - gara timing belt putus, lha kok mogoknya pas persis di depan bengkel mobil. Lha ini apa bukan berarti saya mendapatkan kemujuran beruntun di tengah nestapa ?
 
Memang nestapa-nya cukup dominan, mungkin kelihatannya seperti itu. Duit terkuras, sampai - sampai saya mengurungkan niat bakal nonton konser grup rock Jerman Helloween yang bakal ngamen di Jakarta akhir Februari nanti. Duit cekak, itu alasannya. Tapi ternyata selain kemujuran di atas, ada kemujuran lain. Saya malah dapat rekaman konser Peter Gabriel 'Secret World Tour'. Keren pol, puas pol. Saking girangnya saya sampe foto bareng sampul album konser tersebut, saya sampe nonton sambil lunjak - lunjak meniru ulah Gabriel. Itulah yang saya dapatkan hari - hari itu. Cukup baik, nggak perlu disesali, dan yang pasti layak disyukuri. Anda peroleh apa hari ini ? [] haris fauzi - 3 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.