Friday, December 15, 2006

kenisah : inreyen

INREYEN
 
Gimana nulis benernya saya nggak pernah tau. Mungkin istilah ini dari bahasa Belanda, suatu istilah untuk masa percobaan, biasanya untuk mobil baru. Dan saya punya mobil tua yang habis oversize dan di-korter mesinnya. Hampir seluruh jerohan mesinnya diganti. Selesai oversize, maka mesin itu harus dijalankan inreyen sepanjang seribu kilometer. Mirip mobil baru. Kecepatannya maksimum 75 km/jam.
 
Semula saya  memandang enteng tugas ini. Tapi kenyataannya sungguh menyesakkan. Seribu kilo itu lama sekali menempuhnya. Saya hampir nggak sabaran untuk menyelesaikan 1000 kilometer ini. Sesak dada saya di salip mobil lain terus - menerus, pengen saya injak pedal gas ini biar langsung 3000 rpm dan lari 100 km/jam. Tapi bila ini saya lakukan, maka proses oversize yang memakan dana lima juta rupiah itu akan sia - sia. Mesin yang masih inreyen itu akan rusak kembali. Akhirnya apa lacur, saya harus berusaha menahan diri.
 
Mungkin kita sudah terlalu terbiasa sesuatu;-- layanan dan konteks materi-- yang cepat, instan, dan 'grusa - grusu'. Contoh gampang ya itu tadi, saya terlalu grusa grusu pengen cepet menyelesaikan masa inreyen. Dan di banyak hal juga terjadi seperti itu. Contoh lain adalah oleh soal keinginan punya CD atau buku. Maka karena harganya mahal, bisa jadi saya akan mengkopi-nya. Ini cuma sekedar contoh buruk yang sedang saya hindari, jangan ditiru.
Contoh lagi urusan pembuatan KTP, SIM, dan sebagainya. Lha wong belum lulus ujian praktek nyetir kok sudah pengen pegang SIM. Ya lantas jadi berandalan di jalanan.
Lha wong ngurus KTP di Kelurahan yang cuma ada mesin ketik kok minta semalam jadi.
 
Yang samar  tetapi nyata adalah di masyarakat kita yang serba sulit ini ternyata ada paragidma pengen cepet kaya. Bayangan dari udik bila merantau ke Jakarta, maka dalam hitungan hari bakal menjadi orang berada. Kalau anaknya sudah lulus kuliah, atau kalau anaknya sudah lulus tes karyawan atau ujian masuk pegawai negeri, maka sudah jelas menjadi manusia mapan.
Seakan lupa berapa sih gaji pertama ? Apakah bayangan 'hidup mapan' yang bisa diwujudkan dengan  gaji pertama ? Jangan - jangan kita memang selalu over estimate terhadap hal ini. Seakan gaji pertama sudah menjawab semua apa yang kita inginkan. Sudah bisa dipake untuk membelanjakan mobil, rumah, pesawat terbang, dan kapal pesiar. Gila atau keblinger. Masih ada proses yang panjang untuk bisa menduduki jabatan yang tinggi, masih butuh waktu yang lama untuk bisa meraih standar gaji yang tinggi, yang cukup sebagai pembeli mobil dan rumah dan pesawat terbang dan kapal pesiar. Nggak kontan.
Dan untuk jawaban ini, karena 'keinginan sudah demikian menggebu', maka jadilah sikap grusa - grusu tadi. Jalan instan diambil untuk meraih pengharapannya.
 
Contoh lain yang cukup mencolok adalah dalam urusan sepak bola. Kalo sudah mengirim duapuluh orang anak muda ke Italia atau ke Belanda, maka kita dalam setengah tahun maka terbayang sudah memiliki para jagoan sepak bola yang siap untuk mendapat kalungan medali emas. Seakan kita lupa, bahwa dua puluh orang anak muda itu tidak akan menjadi apa - apa bila kita tidak mendukung dengan pembinaan dan sistem kompetisi yang baik.  Pengiriman dua puluh bocah itu adalah kopi instan, tinggal seduh bisa diminum. Kita lupa akan adanya  proses ditengah itu. Ini adalah masalah proses normal, bukan kasus quantum leap atau loncatan ke masa depan.
 
Ada beberapa alasan ditempuhnya jalan instan, salah satunya  adalah karena adanya kendala di tengah perjalanan. Hal ini bisa terjadi karena kita sudah terlalu terbiasa untuk mengestimasikan segalanya dengan mulus. Lha itu kan andai semua hitungan lancar. Mulus seperti calo pegawai menjanjikan track karir kepada para audiens-nya. Masalah yang utama adalah adanya faktor kegagalan yang kadangkala ternyata cukup besar. Dan, beberapa kali kegagalan bisa membuat orang kita terkejut dan tersadar bahwa apa yang diinginkan ternyata masih jauh. Oh, ternyata gaji PNS itu segitu toh ? Oh, ternyata lulus insinyur itu ternyata gak gampang cari kerja.... Oh, ternyata sepak bola di Italia itu nggak gampang tho...? Menyadari hal ini, kita sering jadi kehilangan kesabaran.
 
Mungkin saya salah bila menilai bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tidak sabaran. Salah besar ! Bangsa ini sudah terbukti menjadi bangsa penyabar, yang bisa dijajah hingga 300 tahun. Nggak banyak bangsa yang bisa sesabar kita dalam hal ini.
Tetapi, mungkin bisa jadi kita ini merupakan bangsa yang sering grusa - grusu, terburu - buru, dan selalu pengen instan. Lha kalo sudah terburu - buru pengen kaya karena sudah lulus tes kepegawaian, maka dua tiga kali sandungan sudah cukup membulatkan tekad untuk mencari jalan lain agar cita - cita menjadi orang kaya bisa mewujud. The Show Must Go On, Pakde !
 
Yang kuatir adalah bila secara langsung menyangkut kemaslahatan orang banyak. Contohnya adalah pemilihan Kepala Daerah. Semoga hal ini tidak terjadi. Soalnya untuk bertarung di ajang pemilihan seperti ini pastilah tidak gampang. Banyak usaha yang diperlukan. Tidak sedikit orang yang kuatir kalau - kalau ada cara instan dalam ihwal ini. Pas jaman pemilihan kepala desa sejak dulu sudah terdengar kisah yang miring tentang deviden pra dan paska pemilihan. Kayak bursa modal saja. Itu baru tingkat desa. Lha ini tingkat propinsi, lebih hot tentunya.
Dalam kasus ini masih ada satu harapan --walau susah sekali-- yakni  semoga masyarakat bisa memilih dengan tanpa grusa - grusu. Walau mungkin tiap pagi menyantap mie instan, semoga pilihannya tidak instan.  Dan yang lebih penting adalah bangsa ini harus lebih belajar untuk tidak grusa - grusu, belajar untuk menempuh proses normal, setidaknya belajar untuk inreyen. Tapi ya jangan kesuwen (terlalu lama).....[] haris fauzi - 15 Desember 2006


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Friday, December 08, 2006

kenisah : kaos kaki & korupsi

KAOS KAKI & KORUPSI
 
Saya dahulu sekolah di SMP Negeri 3 Malang. Termasuk SMP Negeri paling favorit di kota Malang. Kabarnya para orangtua akan bangga dan suka-ria bila anaknya berhasil lulus tes masuk dan melanjutkan sekolah disitu. Bangga karena sekolahan tersebut punya prestasi akademik yang bagus, sehingga anak  - anaknya bisa jadi bahan pameran para orang tua. Suka karena memang sekolah tersebut punya beberapa hal  yang tidak dimiliki sekolah lain. Salah satu yang utama yang dimiliki  sekolah kami adalah ketatnya peraturan sekolah. Kita tengok saja perihal sepatu. Sepatu yang dikenakan haruslah berwarna hitam. Hitam legam tanpa sejumput warna lain. Ireng thuntheng. Bila kita mempunyai sepatu dengan segaris warna putih, maka kita harus mengecatnya, atau menutup warna putih tersebut.
 
Pernah suatu masa sedang musimnya sepatu warrior. Kalao nggak salah sekitar tahun 1984 - 1986-an. Kala itu musik yang sedang populer adalah albumnya Genesis 'Invisible Touch', Europe 'The Final Countdown', dan Bonjovi 'Slippery When Wet'. Atau yang cukup progresif ada album trio 'Emerson, Lake, & Powell (bukan Palmer)'.
Hampir semua murid pria memakai sepatu warrior. Sepatu warrior adalah sepatu berbahan kanvas yang menutup sampai di atas mata kaki, dengan lingkaran putih pas di mata kaki bergambar kuda warrior. Ada tulisan latin 'W A R R I O R' sebagai merek disitu.  Sepatu ini juga memiliki tepi sol warna putih dan ujung sepatu berwarna putih pula. Nah, demi tegaknya peraturan sekolah, maka tak luput sepatu kayak gini juga musti di cat hitam kelam. Ada yang ditimpa tinta spidol hitam.
 
Entah karena lekang musim, sepatu - sepatu itu setelah sekian bulan muncul warna asli putihnya, cat hitam-nya pada mengelupas. Spidolnya pada luntur. Hampir semua pemakai sepatu ini mengalami hal ini. Dan.... mereka pada teledor  tidak melakukan pengecatan ulang. 
Maka tibalah masa inspeksi mendadak itu ! Pagi itu laksana teror dari polisi militer, dewan guru merazia kaki - kaki kami. Semua murid mendadak dikeluarkan dari kelas dan di bariskan. Murid yang tidak memenuhi aturan 'persepatuan' dipisahkan dan dibariskan tersendiri. Semua sepatu yang tidak hitam polos harus di lepas dan dimasukkan ke peti raksasa di tengah lapangan voli. Peti itu setinggi dua meteran, jadi harus dengan cara melemparkannya agar sepatu - sepatu itu bisa masuk ke dalam peti. Muridnya ya sekolah dengan telanjang kaki. Karena banyak, mereka sempat bersenda gurau cekikikan di sana - sini.
 
Ternyata pemakai sepatu itu bisa dua puluh orang dalam satu kelas. Ada lima belas  kelas yang belajar pagi itu. Berarti ada sekitar  lima ratus potong sepatu -- kanan kiri-- yang ditumpuk terhumbalang campur-baur dalam peti. Baunya bukan main.
 
Sepulang sekolah, mereka para pelanggar peraturan sepatu itu dijemur dan diwejangi. Bertelanjang kaki. Setelah itu mereka disuruh memilih sendiri sepatu yang berjubel dalam peti itu. Mbok ! Lima ratus sepatu yang hampir - hampir  mirip itu disuruh mencari punya masing - masing. Siang - siang. Panas terik, memanjat peti guna berebutan sepatu butut. Rasain ! Pasti saling tertukar tak terhindarkan lagi.....
 
Selain sepatu juga ada peraturan kaos kaki. Kaos kaki harus putih polos tanpa warna lain. Kalau putri harus separuh kaki - dengkul, bila pria seperempat kaki tapi harus menutup mata kaki. Jadi nggak ada kaos kaki yang cuma sebatas mata kaki doang. Yang melanggar ya dihukum jua.
 
Ada yang lucu pada razia kaos kaki ini. Ada seorang murid yang dihukum karena hanya memakai kaos kaki di kaki kiri. Kaki kanan tanpa kaos kaki. Selen, tetapi kaos kaki kirinya betul, putih polos. Ketika diklarifikasi mengapa dia tidak memakai kaos kaki, dia menjawab bahwa dia sudah mengenakan kaos kaki warna putih sesuai ketentuan. Kita semua yang nonton sambil lewat kegelian juga menyaksikan ini. Sang murid bukannya nekad, dia secara lugu sebenarnya berusaha memenuhi aturan yang ada, tetapi sayangnya, rupanya kaos kaki sebelahnya ketlisut.
Jadi, bila kaki kirinya sudah benar, maka kaki kanannyalah yang tidak memenuhi aturan. Karena tidak memakai kaos kaki juga nggak boleh. Kiri oke, kanan tidak ! Maka kaki kanannyalah yang dihukum. Menggelikan juga.
 
Ya begitu juga dengan kemarin lalu, yang katanya adalah hari anti korupsi. Kampanye satu hari tanpa korupsi. Rupanya ini perayaan tahunan anti korupsi. Tetapi jangan lupa, ini nih di Indonesia. Kaos kaki kiri bisa oke, tetapi yang kanan bermasalah. Demikian juga dengan hari anti korupsi. Satu hari berlalu benar, tanpa melakukan korupsi. Padahal dalam setahun masih ada tiga ratus enam puluh empat hari lagi. Gimana ? [] haris fauzi - 8 Desember 2006
 


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Wednesday, December 06, 2006

kenisah : tanya (II)

TANYA (II)
 
Suatu hari.... pulang kerja dari Karawang, hendak ke pusat bisnis Jakarta. Rencananya adalah mengambil buku hadiah hasil ikutan acara di radio. Musti naik kendaraan umum, ya seperti yang saya pernah tuliskan,-- mobil saya sedang opname : bongkar mesin dan ganti kaki.
Sudah lima tahun saya jarang naik bis umum. Dan entah sudah berapa tahun saya tidak pernah berkelana di jalanan Jakarta. Tapi saya yakin pasti bisa, yang penting siap receh dan banyak tanya. Pokok-e takon...
Dari Cawang nggak  perlu basa - basi lagi, pas ada sopir taksi mangkal --sedang bersiap membaca koran--, saya langsung tanya,' Pak, maaf saya mau nanya. Saya hendak ke Ratu Plaza, Sudirman. Bis nomer berapa ya ?'.
'Wah, saya nggak hafal, tapi jarang yang langsung ke sana. Mending ke Komdak dulu.. tuh.. tuh.. naik itu saja', katanya sambil nunjuk bis yang hendak melintas. Saya kontan berlari sambil mengucap terima kasih.
 
Ya elaaah... ternyata bis yang saya naiki tidak sampe ke Komdak. Beliau ini malahan belok kiri di Mampang. Untungnya saya sempat nanya - nanya dan mengklarifikasi arah perjalanan bis ini,'..Mas Emangnya bis ini lewat Komdak, ya ?', kata saya penuh selidik.
'Enggak.....Prapatan Mampang nanti Anda turun saja. Bis ini belok. Anda nyambung bis yang lurus...', papar seorang penumpang.
 
Begitu turun dari bis tersebut saya segera mencari halte bis, dan orang pertama yang saya jumpai segera saya beri 'kado' pertanyaan juga,'Pak.. kalo ke Sudirman musti naik apa ya ?'.
'Bisa ke Komdak dulu, biasa juga langsung. Kalao mau langsung naik Kopaja 66', jawab beliau.
Saya malahan ngelunjak,'..eeeengg.. ongkosnya berapa ya ?'.
'Dua ratus..eh.. dua ribu', jawab Bapak yang baik hati itu.
Tidak lama setelah itu Kopaja 66 kelihatan, saya segera meloncat masuk. Seperti biasa, saya memastikan bahwa bis yang saya naiki tidak berbeda arahnya dengan yang saya kehendaki. Yakin.
 
Saya belum pernah ke perkantoran Ratu Plaza. Yang saya tau, perkantoran ini dekat dengan supermarket, dan berada di kanan jalan sebelum patung bundaran yang membawa piring api itu.
Begitu sosok patung mulai nampak, saya segera bertanya lagi,'.. Mas....halte Ratu Plaza di mana ya ?'.
'Turun sini aja... tinggal nyebrang'.
'Makasih...', saya kabur kayak pencopet.
 
Saya keluar perkantoran Ratu Plaza dengan puas. Buku berjudul 'Psikologi Beragama' dengan tanda tangan asli Bung Komaruddin Hidayat sudah nyelip di dalam tas. Tinggal urusan pulang. Dalam urusan pulang saya nggak banyak nanya, soalnya rutenya hampir sama. Yang berbeda adalah biasanya saya dari cawang bakal 'nyengklak' bis arah Bogor, tapi kali ini tidak. Saya mencoba naik bis yang ke arah Cibinong. Nah, di dalam bis ini, --setelah pak Sopir membayar tol Cibinong,-- saya punya pertanyaan terakhir kepada penumpang di samping saya,'...Bis ini berhenti abis di mana ya ? Apakah sampe pangkalan angkot yang ke arah Pomad? [] haris fauzi - 5 Desember 2006


salam,
haris fauzi


Want to start your own business? Learn how on Yahoo! Small Business.

Tuesday, December 05, 2006

kenisah : tanya (I)

TANYA (I)
 
Awalnya sederhana saja. Saya mengikuti siaran resensi buku di suatu radio swasta. Dari acara ini 'ndilalah' saya 'bakal' mendapat hadiah buku, yang mana buku itu harus saya ambil sendiri ke kantor radio tersebut, di Jakarta. Lha karena kantor saya di Karawang, maka saya tidak terlalu gampang untuk mendapatkan buku dengan tanda tangan sang penulis tersebut.
 
Malu bertanya nggak bakal sampe tujuan. Itu pepatah orang Jakarta. Maka lewat fasilitas email, saya membuka pertanyaan ke beberapa rekan minta nasehat; 'mending bukunya diambil atau kagak ?'. Bukunya pasti gak mahal, tetapi kalo ada tanda tangan Bung Komaruddin --penulisnya-- kan jadi buku yang agak unik. Ini yang bikin geregetan. Dua jawaban teman --mBak Rina dan Mas Teguh-- cukuplah bagi saya untuk membulatkan tekad melanglang ke Jakarta untuk mendapat 'signed book' itu. Dan perjalanan mendapat buku itu akan saya tuliskan di bagian terakhir.
 
Hari Sabtu saya ada janji bertemu dengan seseorang di kawasan Sarinah -- Thamrin Jakarta. Zulficar - mobil tua saya-- sedang opname di bengkel. Jadi dari Bogor saya harus menempuhnya dengan kereta api listrik, suatu cara yang jarang saya lakukan --hampir tidak pernah. Ya karena masih gagap, maka saya musti banyak bertanya. Start dari stasiun Bogor saya sudah membuka pertanyaan pertama tentang kereta apa yang harus saya ambil seandainya saya musti ke kawasan Thamrin. Saya akhirnya naik kereta ekspress jurusan Gambir, karena kereta ekonomi tidak berhenti di Stasiun Gambir, stasiun kereta terdekat dengan kawasan Thamrin.
 
Lewat tanya beberapa satpam gedung akhirnya beres berurusan,  dan karena lokasinya --rasanya-- dekat dengan toko musik, ya saya musti mampir. Sempat berkenalan dengan seseorang, karena saya juga nanya - nanya albumnya Whitesnake. Rupanya dia juga penggemar suara hebat David Coverdale. Orang itu merekomendasikan untuk membeli CD Trapeze, seingat saya  album 'Medusa'. Dari situ saya membeli dua keping CD, Edane  album 'Time To Rock', dan Tasya 'Ketupat Lebaran'. Kortingan.
 
Mau pulang, saya sempat bertanya kepada seseorang,'Mas, mesjid yang deket dimana ?'. Maklum, sudah pukul setengah satu siang. Orang itu menjawab sambil menunjuk arah,'....Mesjid Cut Nyak Dien', lanjutnya. "Cut Mutia kali... ', koreksi saya. Dan dia mengiyakan. Saya sholat di mesjid Cut Mutia, dimana saya sempat sholat menjelang nonton konser Edane Agustus lalu.
 
Usai sholat, sambil ngobrol sejenak dengan penjaga sepatu, saya bertanya arah jalan Diponegoro dan jalan Surabaya. Pak Penjaga Sepatu menjelaskan bahwa kalo mau ke sana harus naik kereta ambil jurusan Cikini. Habis itu jalan kaki. Nasehat beliau saya jalani. Sesampai lokasi  Jalan Diponegoro saya sekilas melihat markas PDI yang sempat ribut beberapa tahun lalu. Sayangnya saya tidak bawa kamera. Masih suram, masih kusam, ada papan peringatan warna hitam.
 
Di Jalan Surabaya, tidak ada urusan lagi selain mencoba membeli CD seken. Saya bawa pulang CD Genesis 'Live', Album Gary Moore 'Victims of The Future', Deep Purple yang konser dengan iringan orkestra, dan album Boston 'Walk On'.
Sebetulnya semuanya saya sudah punya dalam bentuk kaset, dan khusus dua CD terakhir; Deep Purple dan Boston, kasetnya sempat menemani saya jalan - jalan ke Singapura di tahun 1996 lalu.
 
Pulang ke arah Bogor via kereta api listrik, saya naik dari stasiun Cikini dan turun di stasiun Bojonggede. Stasiun ketiga sebelum stasiun Bogor. Lebih dekat dengan rumah, dan katanya ada jalur angkutan kota yang langsung ke kampung saya, kawasan Pomad. Ini yang hendak saya coba. Turun dari kereta, saya bertanya lagi,'... dimanakah gerangan pangkalan angkot yang ke kawasan Pomad?'. [haris fauzi - 5 Desember 2006]
 
 


salam,
haris fauzi


Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Saturday, November 18, 2006

Arema Voice : 'Salam Satu Jiwa'

AREMA VOICE (VCD)
Salam Satu Jiwa
(Wahyoe GV-Vocals, Bayu Monthree-Accoustic Guitar, Yudo-Drums, Evan-Electric Guitars, Norman-Electric Guitars, Bagus-Bass, Ryan-Bass, Edwin-Keyboards)
Arema Voice Production-2006

'Menang-Kalah' dinisbatkan menjadi lagu pembuka pada keping VCD berjudul 'Salam Satu Jiwa' hasil gawe Arema Voice, rilis 2006. Arema Voice (AV) yang dikomendani oleh Cak Wahyoe Gang Voice ini memang lebih mendedikasikan karyanya untuk Arema ; Arek Malang --seluruh arek Malang, juga untuk kesebelasan Arema, dan juga Aremania; suporter kesebelasan tersebut.
Sebagai lagu akustik yang sangat sederhana, mungkin bagi sebagian orang akan berpikir bila lagu 'Menang - Kalah' terasa lugu untuk menjadi lagu pembuka yang biasanya diisi oleh lagu yang menggelegar-gegap-gempita. Tetapi tidak ! Lagu akustik tersebut ternyata sangat kuat di lirik, apalagi didukung oleh klip yang bisa mewakili seluruh lapisan rakyat Malang, mulai dari sopir mikrolet, petugas stasiun, kaceb-an (tukang becak), supporter mania, kalangan ArGoBel (Arek Golek Beling = pemulung), tukang cukur, hingga dedengkot Lucky A.Zaenal dan Ovan Tobing juga urun tampil. Belum lagi latar belakang stasiun kereta, stadion kramat Gajayana, dan tempat historikal lainnya memperkuat visi lagu ini. Sungguh tepat rasanya AV menggandeng Hypno Video untuk menggarap karyanya kali ini.

Lagu 'Singa Bola' (part.3) merupakan kelanjutan lagu dengan judul yang sama yang pernah rilis sebelumnya, jadi mirip lagu Pink Floyd gitulah maksudnya. 'Singa Bola' sangat patut menjadi anthem. Dimulai dengan ritem gitar yang bertenaga dan cenderung berirama mars di sambut drum yang mengingatkan kepada ketukan musik - musik tentara. Cocok dan sangat mewakili psikologi suporter atau penggemar sepak bola.
Biasanya, lagu - lagu baru yang seperti ini akan terasa kurang kuat menarik minat, karena cenderung 'tidak menarik hati', layaknya mau belajar lagu - lagu perjuangan sahaja. Tetapi lagu ini ternyata beda, langsung membuat saya kepincut di detik awal. Yang membuat gregetan juga adalah potongan gambar - gambar pertandingan Arema yang membuat hati saya bergetar. Sungguh luar biasa. Apalagi dalam video klip tersebut sekelebat - sekelebat terlihat penampilan para personil AV yang benar - benar metal Malang; berkaos hitam, celana jeans, gondrong.

Arema Voice kembali tampil dalam format akustik dalam lagu ketiga yang berjudul 'Tegar'. Klip yang digarap Hypno ini sungguh memikat. Dimulai dengan klip rombongan supporter Arema naik kereta api kelas bisnis-ekonomi, lagu ini lebih - lebih lagi diperuntukkan untuk para Aremania. Klip-klip-nya berisi soal rombongan Aremania, mulai yang tandang ke luar Malang, hingga ada supporter yang cacat gak punya kaki alias jalan dengan kedua tangan, sedang berombongan dengan kompaknya menuju stadion laga. Musiknya sangat sederhana namun terdengar indah, berisi luapan cinta Aremania kepada kesebelasannya, para saudaranya yang hendak berlaga. 'Kami Arema tak peduli rintangan, kami tetap melangkah...'. Ah, manis sekali.

Mungkin lagu 'Aku' merupakan lagu yang paling lemah. Mengusung irama moden rock, walaupun digarap dengan cukup rapi rasanya lagu ini kurang pas dengan semangat kota Malang yang sebenarnya pernah jaya dengan model musik rock tahun 70-an, .....atau heavy metal sekalian. Namun ini tinggal selera. Dan masalah ini bagi saya segera berakhir dan ditebus dengan dua lagu berikutnya. Sebuah lagu balada dengan judul 'Selalu Setia' dan lagu terakhir berjudul 'Bantai'. 'Bantai' mengikuti pakem modern rock lagi, dengan klip minimal warna, bunyi pedal drum, bass, dan ritem gitar yang rapat dan penuh tenaga dan cenderung monoton. Sesekali backing vokal khas modern rock menyalak. Untuk sektor ini, vokalis grup Bangkai mengisinya dengan cukup baik dan bijak. Bisa menutupi kekurangan vokalis utama yang cenderung balada.

Wahyoe GV selaku frontman dan vokalis, memang lebih cocok menjadi orang 'ballad-rock' ketimbang model lainnya, rasanya pantes bener dia untuk lagu akustik dan balada. Dan keikutsertaan grup lain; 'Bangkai', menjadi pelengkap yang cocok. Lagu terakhir dalam album ini juga bukan milik AV. Setelah di enam lagu AV tampil, maka lagu ke tujuh giliran grup rekan AV: Bangkai' unjuk karya.
Bangkai tampil satu lagu, tetapi lebih garang ketimbang enam lagu lainnya, lebih dark, dan tetap mencoba ngerock ala modern rock-nya Linkin Park.

Dalam 'Behind the Scene', Wahyoe GV memang menyatakan dedikasi karyanya ini. Mantab sekali. Disitu juga disebutkan bahwa setelah tiga album, AV kali ini memang ingin menampilkan karya dalam format baru, yakni VCD. Dalam sesi ini juga kita bisa dengar karakter Arek-Arek Malang, celotehan, guyonan, dan penampilan alakadarnya yang khas. Tapi di atas itu semua, album bertajuk 'Salam Satu Jiwa' ini berusaha keras menjadi salah satu perekat kekompakan masyarakat Malang, karena 'Salam Satu Jiwa' secara praktek memang telah menjadi semacam sandi prokem untuk saling sapa diantara Arema. Dan Arema --Arek Malang-- memang berusaha untuk menjadi satu jiwa, salah satunya lewat album indah karya Arema Voice ini.
Suatu saat, bisa jadi album karya Arema Voice ini menjadi karya klasik, setidaknya bagi Arema --atau orang yang pernah menghirup atmosfir kota Malang. Atau minimal bagi para pemain sepak bola Arema....[] haris fauzi -3 Nopember 2006
'---untuk ulang tahun adik saya'

Monday, November 06, 2006

KENISAH Oktober 2006

ANUGERAH TERBAIK

Tak pelak lagi, salah satu anugerah terbaik dari Tuhan adalah diciptakannya segumpal otak yang ditanam di kepala manusia. Dalam kitab suci diceriterakan banyak sekali perihal keutamaan otak ini. Kalau di Al Qur'an seringkali ayat - ayatnya dimuati dengan kalimat:"...bagi orang - orang yang berpikir...". Ya maksudnya ayat tersebut menuntut orang untuk berpikir --menggunakan otaknya-- dalam mencerna kalimat Tuhan tersebut. Dan berarti pula merupakan anjuran Tuhan agar kita banyak - banyak menggunakan otak kita.

Seringkali pula kita mendapati pada jaman SD dulu, seorang guru yang menanyakan kepada murid - muridnya,"....apakah bedanya manusia dengan binatang ?". Maka serempak murid - muridnya menyahut "..manusia punya otak, sementara binatang tidak..". Sebenarnya sih biarpun udang juga punya otak, cuma ada beberapa perbedaan fungsi dengan otak milik manusia.

Itulah pula kenapa dalam ajaran - ajaran Agama Tuhan, seringkali kita harus mengerti bahwa Tuhan murka bila anugerah terbaiknya itu malah disia - siakan, atau bahkan secara sengaja dirusak. Dalam Al Qur'an jelas sekali betapa murkanya Tuhan kepada manusia yang menggunakan heroin dan minuman memabukkan, alasannya adalah heroin dan minuman memabukkan itu merusak fungsi otak. Ya saya sendiri bila memberi kado kepada seseorang, lantas dengan provokatif orang tersebut merusakkannya di hadapan saya, saya setidaknya pasti sakit hati.

Ada sebuah kisah, dimana ada seorang lelaki yang tinggal bersama anaknya sementara istrinya sedang bepergian karena suatu keperluan. Maka datanglah iblis penggoda berwujud wanita cantik. Iblis ini mengajaknya berzina, tetapi oleh lelaki itu ditolaknya dengan alasan bakal ketahuan oleh anaknya. Si Iblis lantas menyuruhnya membunuh anak itu sahaja, namun si lelaki tak mau juga karena anak itu kesayangannya. Tak kurang akal, Si Iblis lantas merayu lelaki itu untuk memilih salah satu dari tiga permintaannya yakni; berzina, atau membunuh anak tersebut, atau meminum minuman memabukkan (khamar).

Menengok pilihan ini, karena dirasa lebih ringan, maka lelaki bodoh tersebut memilih untuk meminum khamar. Al hasil, pilihan yang tidak menggunakan otak ini bermasalah besar. Karena dalam kondisi mabuk -- orang bodoh ini bertindak lebih bodoh lagi. Dalam keadaan mabuk dia berzina, dan dalam keadaan mabuk pula dia lantas membunuh anak kesayangannya karena khawatir tindakannya ketahuan.

Tuhan juga menganjurkan agar manusia bercita - cita dan senantiasa berusaha untuk menjadi orang 'alim'. Alim asal katanya adalah ilmu, jadi maknanya adalah orang yang berilmu. Anjuran untuk kegiatan mengisi otak atau menuntut ilmu ini juga kuat sekali.Khusus untuk hal ini, Tuhan juga memberi rambu - rambu, karena bagaimanapun juga kepintaran seseorang itu bisa membuatnya pongah, congkak, melampaui batas.Tidaklah mudah mengatasi kepongahan ini. Tuhan juga mengutuk keras manusia - manusia yang pongah karena menyombongkan kepintarannya sehingga seringkali dia malah menganggap bodoh Tuhan yang telah memberinya otak. Seringkali kita jumpai manusia yang cukup ilmu, tetapi malahan melecehkan ayat Tuhan.Manusia memiliki potensial baik secara sadar atau tidak sadar berlaku congkak di hadapan Tuhan, dan berarti pula sadar dia telah melampaui batasan yang dimaksudkan-Nya. Tuhan tidak alpa, Tuhan akan menghukum keras kepada manusia yang melewati batas seperti ini. Kemurkaan Tuhan terhadap hal ini juga tertera dengan jelas dalam ayat - ayat di kitab suci. Semoga kita terhindar dari petaka ini.[] haris fauzi - 6 Oktober 2006



STATUS QUO

Nggak bisa kalau nggak biasa. Itu makna gampangnya. Tidaklah usah membayangkan hal - hal yang berbau suksesi politik atau pemerintahan untuk mencoba mendalami makna 'status quo' ini. Nggak perlu suatu rezim untuk menjadikan untaian kalimat dengan kata status quo, saya sendiripun bisa jadi status quo bila saya tidak beranjak karena suatu hal yang tidak lazim.Contohnya gini, bila kita biasa makan pagi dengan nasi goreng, suatu kali nasi goreng itu bisa jadi tidak tersedia. Yang ada hanya roti tawar. Nah, bila kita lantas bersikukuh bahwa 'tidak akan bisa sarapan tanpa nasi goreng', maka hal ini sudah merupakan indikasi status quo. 'Paste !' kalo kata orang - orang tua dulu.

Setidaknya status quo itu ada hal yang sebenarnya tidak bermasalah. Hal ini memang seringkali berbenturan dengan beberapa kelemahan - kelemahan yang ada. Contoh paling gampang adalah masalah proses pengesahan. Ya bila dokumen itu belum disahkan oleh pimpinan kerja karena memang masih ada halamngan, bukan berarti kita lantas harus nekad untuk melegalisasi dokumen tersebut. kalo kasus ini sih namanya penegakan peraturan, bukan 'paste'.

Contoh yang lain adalah soal mutasi. Fahamlah saya bila seseorang karyawan hendak dipindahkan keluar kota, luar daerah, atau-pun luar negeri, maka beberapa akan berkeberatan karena masalah keluarga. Ya ini bentuk lain dari status quo kecil - kecilan, tetapi sebenernya sih merupakan bentuk status quo yang positip. Jadi sebenarnya sih sah - sah saja, selama karyawan yang hendak dimutasi lebih menyintai keluarganya ketimbang profesinya.

Status quo ini bisa juga memiliki kontribusi menjadi orang untuk hidup lebih rentan. Dari sisi ekonomi, sebuah keluarga yang secara fasilitas hidup sudah mapan, seringkali mengeluh bila salah satu kemapanan atau salah satu fasilitasnya tercerabut. Handphone misalnya. Bila sudah biasa menggunakannya, maka kita akan kesulitan sekali seandainya suatu saat keadaan ekonomi kita memaksa kita untuk tidak menggunakannya. Bahkan kita seakan nggak memiliki rasa percaya diri bila tanpa ada ponsel di kantong.

Suatu hari dulu, saya pernah berencana untuk melanjutkan sekolah. Padahal saya sudah tiga tahun bekerja mapan kala itu, dan ini harus ditinggalkan. Bila saya melanjutkan sekolah, maka saya tidak lagi gajian, bahkan malahan menurut istilah Paklik saya ini biasa disebut dengan'Mantab', kependekan dari 'mangan tabungan'; artinya makan tabungan. Dan salah satu status quo adalah saya yang sudah kebiasaan belanja dengan gaji cukup, kali itu harus berhemat dan tidak lagi leluasa menggunakan kartu kredit yang telah saya miliki. Padahal saya sudah tiga tahun merasakan enaknya fasilitas kartu kredit ini. Berat nian ini hati. Berati hati inilah salah satu bentuk status quo.

Beberapa contoh diatas merupakan contoh status quo kecil - kecilan. Walaupun kecil - kecilan, tetapi ini biasanya malah cukup mengganggu.Karena cukup mengganggu, sebaiknya sih memang berusaha untuk dipunahkan. Dicoba untuk direnovasi sehingga tidak berat hati lagi.

Dalam keadaan ekonomi sulit, selain kesulitan ekonomi keluarga itu sendiri telah mencekik, kebiasaan status quo ini membuat jeratan ini makin menyulitkan. Ya itu tadi, kadang ketika terjebak kepada kebiasaan yang sebenarnya kebiasaan itu sendiri semakin mahal dan tidak terjangkau. Kita keberatan untuk tidak melaksanakannya, kita juga mungkin keberatan untuk sekedar bergeser ke alternatif yang lebih terjangkau. Contoh yang tampak jelas adalah fenomena menjelang lebaran, maka kebanyakan orang biasanya membelanjakan uang untuk pakaian dan jajanan. Padahal ini tidaklah terlalu perlu, karena sebenarnya umur pakaian itu berkisar antara tiga - empat tahunan baru rusak. Repotnya seringkali karena terjebak kepada status quo lebaran identik dengan belanja pakaian, maka sebuah keluarga harus berhutang untuk setiap menjelang lebaran guna sekedar mengadakan pakaian dan jajanan. Ini bentuk status quo yang merepotkan.

Mudik, juga memakan banyak biaya dan seringkali orang memaksakan diri untuk melakoninya menjelang lebaran. Memang makna silaturahmi paska lebaran itu dalam dan penting sekali, namun seringkali orang mudik cuma untuk berpesiar semata. Tidak ada tali silaturahmi yang disimpul erat.Dan lagi jamak sudah orang harus berhutang untuk hal seperti ini, tanpa tahu kepastian kapan dia bisa melunasinya. Bila ditilik keperluannya dan bila ditimbang dari biayanya, biasa jadi seharusnya status quo mudik ini dianulir saja. Perlu dipertimbangkan untuk tidak dilaksanakan. Ya daripada harus mudik tanpa tindak lanjut yang jelas, padahal untuk hal itu kita harus berhutang tanpa tau kapan bisa melunasinya.
Saya sendiri tidak mudik ke Malang tahun ini. Mungkin --bisa jadi-- tulisan ini merupakan pembenaran dari pihak saya. Tetapi yang jelas minggu lalu mertua saya telah menginap barang seminggu di rumah saya di Bogor, dan minggu depan untuk kedua kalinya ibu saya mampir ke Bogor dalam tahun ini. Adik saya bakal sungkem ke keluarga mertuanya di Cirebon, sementara Kakak saya sedang ada acara lebaran di Bandung. Repotnya, setelah liburan lebaran anak sulung saya juga harus menjalani ulangan akhir semester di sekolahannya. Dan juga, untuk menempuh perjalanan sekian jauh saya belumlah terlalu siap dananya. Dengan bertumpuk alasan dan 'pembenaran' seperti itu, ...lha ngapain saya harus bermacet - macetan di jalan untuk mudik ? [] haris fauzi - 9 oktober 2006


BETAPA RAMAINYA

Di sekitar rumah saya ada beberapa mesjid dan langgar (musholla). Kalau malam hari, mungkin kedengaran tiga atau empat mesjid dan atau langgar yang menyuarakan pengeras-nya dan kedengaran hingga rumah saya -- tepatnya hingga kamar tidur saya. Dari beberapa mesjid itu, ada yang sejak jam dua dini hari sudah terang - terangan membangunkan orang untuk menunaikan ibadah bersantap sahur. Ya. Sahur itu memang ibadah juga soalnya.

Nggak kurang dari itu, kadangkala pak Satpam pada sekitar pukul dua dini hari juga memulai aksinya untuk membangunkan warga agar bersahur. Bila sampai rumah saya, dia berteriak dan membunyikan lonceng pagar rumah.
Lantas pada pukul tiga lebih seperempat dini hari giliran ponsel istri saya menyalak untuk membangunkan juru masak rumah, ya Istri saya sendiri. Baru lantas pada pukul setengah empat lebih sepuluh, ponsel saya berbunyi mempersilahkan saya untuk segera bangun guna mengisi perut.

Lepas dari itu, beberapa tahun lalu, pada suatu hari dalam rapat pengurus mesjid dimana saya tinggal, pernah kami menerima surat dari warga non muslim yang mengeluhkan perihal 'kerasnya suara mesjid di saat orang lagi tidur malam'. Ya saya maklum dengan hal ini, karena mereka tentulah merasa terganggu dan bisa jadi terbangun dari tidurnya karena kerasnya suara dari mesjid. Lha wong saya saja sering terusik, apalagi mereka yang non-muslim.

Saya termasuk orang yang mudah bangun dari tidur, dalam arti seringkali saya sudah bangun duluan sebelum alarm berbunyi. Juga mudah bangun oleh sedikit usikan bunyi. Sering saya terbangun gara - gara alas tilam anak saya berbunyi kresek - kresek karena si anak berpindah posisi. Atau saya beberapa kali terbangun dari tidur malam karena bunyi pompa air yang menyala karena dia harus secara otomatis mengisi tandon. Ya beginilah resiko orang yang tidur ayam.

Lha artinya, dengan memasuki bulan puasa ini pula, hampir setiap malam saya dibangunkan sekitar lima kali dalam tidur malam saya. Kadangkala kalau lagi 'sregep', maka ada mesjid yang belum jauh dari pukul satu dini hari sudah bersuara lantang :"..sahuuuuurrrr....!, sahurrrr.........!". Sang vokalis ini dengan mantabnya menyuruh saya bangun. Padahal saya baru pengen bangun sekitar pukul setengah empat, jadinya tiga jam lebih awal saya sudah harus terjaga. Dan saya-pun harus berusaha tidur kembali, walau sejam kemudian saya kembali harus bangun karena lonceng pintu pagar yang digoyang oleh Pak Satpam. Repot memang.

Kalau alarm ponsel Istri saya yang menyalak keras pada pukul tiga, sebenarnya saya tidak masalah, karena sebenarnya saya juga ingin bangun sekitar pukul tiga. Bisa ngerjain yang lain dulu sebelum nyantap sahur,.... entah nonton rekaman konser, membaca buku, atau menunaikan sholat tambahan.

Yang bagi saya pribadi agak gaduh ya sebenarnya bila ada mesjid atau peronda sahur yang sudah beraksi terlalu dini pada tengah malam. Waduh. Ini aksi di luar skenario istirahat saya. Soalnya setelah bersahur saya tidaklah sempat untuk tidur lagi, karena sekitar pukul lima saya sudah harus berada di jok mobil untuk berangkat kerja.

Mungkin para pembangun sahur yang berada di mesjid dan peronda sahur itu hendak mengingatkan kita supaya tidak alpa bersahur. Mungkin niat baiknya insya Allah seperti itu. Namun beliau - beliau ini sering lupa, bahwa kita masing - masing sudah punya kepentingan dan rencana. Dan bagi yang belum punya alarm, bisa jadi dia juga tidak perlu dibangunkan pada tengah malam.
Ya begitulah. Begitu ramainya hingga tidur malam saya terpotong lima bagian. Entah tidurnya orang lain. Seyogyanya --menurut hemat saya-- jangan sampai terjadi anggapan bahwa aktivitas mesjid dan aktivitas peronda sahur hanyalah mengganggu istirahat penduduk sahaja. Belum lagi di bulan puasa ini, --selain mesjid dan peronda sahur berlomba - lomba membangunkan orang, juga ditambahi bunyi mercon yang jedar - jeder di setiap saat menambah beban berat keberisikan malam bulan puasa. Betapa ramainya malam bulan puasa ! Ah, saya memang orang awam yang gampang terbangun tidurnya......[] haris fauzi 10 oktober 2006




TEH

Sebagai orang Jawa; leluhur Jogja dan lahir di Malang,-- maka saya teramat akrab dengan minuman yang satu ini. Teh yang tipikal Jawa Tengah adalah teh manis yang disajikan dalam kondisi panas, dan katanya kebanyakan orang suka dengan konsentrasi teh yang kental. Menurut banyak orang sepuh, teh seperti ini biasa diminumkan kepada orang yang tengah mengalami 'tidak enak badan'. Walau orang sehat sendiri juga senang meminumnya, soalnya nikmat memang.
Catatan khusus untuk tulisan ini, setiap saya menyebut teh, berarti yang saya maksud adalah teh manis, karena begitulah standar di Jawa sebenarnya. Kalau kita pesan minum teh di warung, maka yang tersaji adalah teh panas manis. Agak berbeda dengan di Jawa Barat yang berparadigma minum teh berarti ya minum teh tawar.

Sejak kecil kami sekeluarga biasa minum dua gelas teh seperti ini --tepatnya dua mug-- dalam sehari. Mug saya kecil berwarna merah, sementara kakak adik punya warna spesifik sendiri - sendiri. Pada pukul lima pagi minuman itu sudah tersedia di atas peti yang kami fungsikan jadi meja. Pada pukul lima pagi juga sudah ada dua gelas besar-- yang satu teramat besar; milik Bapak ... gelas satunya jatah Ibu-- juga terhidang teh panas yang diletakkan di meja makan. Pada pukul lima sore juga terhidang teh manis panas itu kembali. Pokoknya sehari dua kali.

Teh seduhan Ibu dulu adalah teh Gopek Slawi, diseduh air mendidih, dan digulai dengan pekat. Manis sekali. Selain gula yang pekat, tehnya juga gelap sekali. Sedemikian pekatnya hingga mug kami bernoda coklat tua yang tak lekang oleh cucian sabun.

Kalau berkesempatan mudik ke Jogja-- ke rumah Simbah di kaki gunung Merapi sana, maka ada nuansa yang tak terlupakan. Teh seduhan Simbah tidaklah istimewa, karena hanya teh yang biasa dijual di desa - desa. Tetapi aroma dari air yang dididihkan dengan kompor tungku berbahan bakar kayu atau pelepah kelapa inilah yang bikin kangen. Dididihkan langsung di atas ceret logam yang berwarna hijau itu --kadangkala untuk menjaga suhunya agar tetap panas ceret ini lantas diselimuti dengan semacam topi terbuat dari kasur,-- dan untuk menyajikannya dituang ke gelas - gelas 'gratisan' yang berlabel macam - macam, ada gelas bermerek bumbu masak, gelas hadiah dari mi mentah, dan lain - lain. Maklum, Simbah punya warung kelontong lengkap dengan pangkalan minyak tanahnya. Sekarang menu teh itu telah berubah, terutama karena sekarang sudah jamannya kompor gas, tetapi gelasnya masih bertabur iklan seperti jaman saya berumur lima tahun.

Kalau lagi mujur, saya berkesempatan menikmati teh panas dengan gula batu bikinan Simbah. Sebetulnya menu ini khususon dibuat untuk mBah Kakung --Kakek-- saya. Rasa gulanya tidaklah lebih manis menurut saya, tetapi lembut. Teh dengan gula batu inilah yang akhir - akhir ini mendominasi minat minuman malam saya. Istri saya seringkali membuatkan saya teh dengan gula batu, karena pengennya saya memang seperti itu.

Ketika lajang dan saya numpang di rumah kakak saya yang juga lajang, disana juga tinggal saudara saya, namanya Mas Sungkono -- dari wajahnya sudah kelihatan kalau beliau ini asli Gunung Kidul Jogja. Hobinya sepulang kerja adalah menyeduh teh panas manis, lantas menikmatinya dengan sebatang rokok dan bertelanjang dada. Pake kathok kolor thok. Manteb tenaaann.....

Bila saya dolan ke Solo, tempat kelahiran Istri saya, maka yang perlu saya catat adalah bahwa selain Ibu mertua menyukai teh racikan, juga teh seduhan Ibu mertua saya gulanya banyak sekali. Manis abis pokoknya, kadang sampai terbatuk saya bila meminumnya terlalu banyak.

Pada saat saya terserang potensial hipertensi beberapa tahun lalu, saya beberapa kali menikmati teh jamu, juga beberapa kali meminum teh hijau, atau teh dari macam - macam bunga yang dominan warna merah itu. Kebetulan adik saya pernah mengirimnya, dan juga saya pernah mendapat teh seperti itu juga karena ada teman yang membawanya dari China. Rasanya sedikit kecut, tetapi bila diberi pemanis akan nikmat sekali.

Oh, ya. Pas saya melancong ke beberapa tempat di China dan Taiwan, saya berkesempatan mencicipi bermacam - macam teh dari berbagai kondisi dan lokasi. Pokoknya puas menengok variasinya. Nggak cuma restoran, hampir setiap kantor juga punya suguhan teh khasnya, kebanyakan sesuai asal leluhur Boss-nya. Namun yang menjadi ingatan di kepala saya adalah para pelayan restoran yang bertugas menuangkan air teh. Jadi di setiap restoran, para pelayan harus segera menuangkan teh bila gelas teh pelanggannya sudah kosong. Adatnya otomatis begitu. Kalau yang pakar, maka menuangnya ditambahi sedikit atraksi. Tapi yang tanpa atraksi juga banyak. Yang saya tandai adalah sebelah tangan mereka rata - rata lebih kekar dibanding tangan yang lain, karena mungkin selalu mengangkat teko teh yang tidak kecil itu.

Juga pada saat saya masih sekolah, maka saya hobi sekali minum es teh manis. Apalagi sehabis sepak bola, minum es teh manis ini membuat kerongkongan segar. Oh, ya perihal minum sehabis olah raga, pernah saya dan Paklik saya bermain bulu tangkis sampai kehausan. Ketika pulang kami membuat es markisa, lantas bersicepat meminumnya sepuas - puasnya. Rasanya sungguh segar, '...seperti di sorga...!', kelakar Paklik saya.

Beberapa hari yang lalu, Mertua saya berkunjung ke Bogor dan membawa oleh - oleh beberapa botol madu lebah. Demikian juga ketika Ibu saya dolan ke Bogor juga membawa tiga jerigen madu. Yang terjadi adalah overstock madu. Saya langsung mengubah operasi teh ini. Karena saya termakan opini bahwa madu bakal menyehatkan tubuh, maka kali ini saya paling demen bila minum teh dengan pemanis madu. Rasanya sih memang mantab. Silakan coba sendiri.[] haris fauzi - 13 Oktober 2006



KAWAN BERGELUT

Seakan - akan tak hendak saya lepaskan jua buku nan kecil satu ini. Membikin saya tergelak dan perut berontak, serta tertawa hampir menitik air mata. Kalau toh tidak mengingat usia, mungkin pula saya tergelak-tawa di pemberhentian bus karena ulah penulis satu ini. Kali ini saya memang hendak berceritera tentang seorang mualim pena bernama Suman Hs, dimana telah menulis buku yang sedang saya pegang ini, berjudul 'Kawan Bergelut'. Orangnya terlahir di Bengkalis pada tahun 1904 tempo lalu, gaya bertuturnya mengingatkan kepada sastra melayu lawas, lengkap dengan segala banyolannya. Tengoklah, di buku keluaran Balai Pustaka ini dia mengajak kita kembali ke sastra tanah Sumatera;

Karena tiap - tiap hari ia mendengar bual orang tentang keadaan negeri yang ramai - ramai, maka inginlah pula ia hendak meninjau negeri besar itu... kok, bagaimana benarlah rupanya.

Saya menyebutnya dengan Kakek Sang Jagoan Cerpen. Sungguh berbeda dengan cerpen - cerpen yang sering anda jumpai di majalah mode remaja sekarang, tulisan Suman Hs benar - benar pendek dalam berceritera. Mungkin satu lembar folio cukuplah untuk mengalirkan skenarionya yang sangat ekspresif dan kocak. Tidak berbasa - basi, namun ceriteranya telah dimuati dengan segala hal termasuk nasehat dan petuah. Mungkin cara seperti inilah dia meniti profesinya, sebagai Guru di Sekolah Rakyat. Seingat saya, banyak juga guru yang punya keahlian bertutur lewat cerita pendek. Dan dengan alasan ini pulalah, semua kisahnya menarik hati baik anak - anak hingga orang dewasa, segala umur dan segala jaman. Saya yakin kelak anak saya-pun bakal menyukai buku ini.

Suman Hs juga koncak penulisannya. Dilihat dari tampang yang ada di sampul belakang, Pak Suman ini bisa jadi memang jenius dan lucu. Dalam pas-foto setengah badan itu beliau berpose mengenakan setelan hitam dan peci hitam pula seperti kerani atau lurah. Alis kanan lebih tinggi dari alis kiri. Kerut - kerut di wajah tua-nya tidak memudarkan kesan jeniusnya.
Dalam kisah - kisah di bukunya juga mencerminkan hal itu. Bagaimana dia berceritera tentang pedagang gambir yang turun ke kota Singapura, yang akhirnya berantem dengan tukang kedai makanan. Dia mengira pemilik kedai akan meracunnya dengan serpih kaca, padahal itu adalah gerusan es batu yang hendak disajikan bakal minumannya.
Juga betapa kocaknya ceritera tentang perkenalan orang arab - musafir dengan Si Bogor yang malah di ajak bertaruh dengan buah manggis. Pokoknya kita mestilah tergeli - geli membaca tulisannya yang lancar itu.

Salah satu aset sastra Indonesia ini memang unik. Karya yang di terbitkan tidak lebih dari lima buku, tetapi dia tertancap tangguh di peta sastra Indonesia. Gaya bertuturnya dan gaya bahasanya seperti gaya melayu kuno, tetapi dia termasuk pujangga baru karena setting cerpen-nya bukan berkisah tentang raja, hulubalang, dan puteri raja. Suman Hs bercerita kehidupan kampung alakadarnya. Saya membeli buku 'Kawan Bergelut' ini di tahun 1998, pada saat itu harganya empat ribu tiga ratus lima puluh rupiah. Entah harga sekarang, mungkin tidaklah berbeda terlalu jauh.[] haris fauzi - 17 Oktober 2006



CUACA

Kemarau kali ini betapa hebat. Rasanya baru kali ini saya bisa melihat sepanjang tol Jagorawi rumputnya menguning kekeringan. Memang di Bogor Utara, dimana saya tinggal, dalam dua hari telah turun hujan lebat --walau masih disambung kering lagi seminggu. Puji Tuhan. Nyamuk sedikit berkurang, walau belum habis sama sekali, sehingga saya masihlah belum bebas tidur di muka televisi sambil menghabiskan tontonan konser yang kadangkala saya jalani menjelang malam. Apa enaknya nonton konser Whitesnake yang gagah itu kalau telinga diteror oleh gerombolan nyamuk ?

Minggu - minggu lalu saya juluki dengan puncak kemarau, ya karena awal minggu ini telah hujan dua hari itu. Walaupun seminggu sekali --paling tidak menjelng dua mingguan-- pasti turun hujan di Bogor Utara, tetapi tetap saja sudah dua kali ini sumur saya mengecil debit outputnya. Apa akibatnya ? salah satunya adalah lumut di instalasi air jadi kering dan mengelupan, terutama lumut dari tandon. Akibatnya mereka bergumpal - gumpal keluar dari keran air, atau malah menyumpatnya sama sekali. Sudah dua keran air yang tersumpal seperti ini, bikin Istri saya sewot saja.
Panas matahari kesehariannya telah membakar tanah. Setidaknya taman depan rumah yang biasanya seminggu sekali disiangi rumputnya, kali ini telah empat bulan rasanya tidak perlu saya membayar orang untuk memangkas rumputnya karena telah kering dan cebol semua dimakan cuaca. Itu di Bogor. Lha di Karawang dimana saya bekerja lebih terik dan menyengat lagi. Kata anak saya, saya jadi lebih hitam kulitnya.

Segala perbincangan di tongkrongan pasti tak luput dari perihal cuaca. Termasuk ketika pada hari Minggu kemarin hendak berbuka puasa bersama di kampung, dengan kehendak Tuhan telah turun hujan sejak waktu ashar. Padahal siang harinya saya berterik - terik untuk ikutan rombongan semprotan pengasapan anti nyamuk sekeliling kampung. Walah, panas matahari bercampur asap racun nyamuk menyekap kerongkongan---haus serasa dicekik. Dan rejeki hujan itu membuat sedikit berkurang cekatan kerongkongan ini karena sejuk hawa turun hujan. Deras, dan merinyai menjelang maghrib. Tetap saja saya harus menunggang mobil kalau hujan begini, jaga - jaga bila menjadi deras. Daripada anak - anak pilek kehujanan. Di perbincangan kala itu juga dominan membicarakan cuaca. Pak Ustadz yang berpanjang lebar menjelaskan pelafalan surah Al Fatihah, dan telah di dengar dengan khusyuk, tak urung begitu acara ramah - tamah pembicaraan tak bergeser dari turunnya hujan lebat barusan.

Kabarnya ini memang masa kemarau panjang. Banyak skenario tertuang. Diantaranya adalah temperatur laut yang masih dingin, jadinya ya belum panas. Jelas begitu. Akibatnya uap bakal mendung masih sedikit. Dampaknya ya hujan masih jarang. Ada juga yang berpendapat bahwa saat ini ada cobaan turun dari Tuhan, karena manusia - manusia di bumi ini makin teledor ibadahnya, makin runyam kelakuannya. Maka diingatkan untuk lebih berzikir dan berpikir. Para orang tua membenarkan. Jaman dahulu, bila kemarau sudah melebihi bulan Agustus, maka telah marak dihimbau sholat 'mohon hujan' di mesjid - mesjid. Ramai semua surau, mesjid, musholla, dan lapangan - lapangan melakukan hal ini. Memohon kepada Tuhan agar disegerakan turun hujan. Itu jaman dulu. Jaman saya kecil rasanya saya juga pernah tau hal ini. Tapi jaman sekarang berbeda. Gema sholat 'mohon hujan' ini kurang populer, sedikit sekali yang melakukan. Saya juga sampai detik ini belum melaksanakannya.
Mungkin jaman memang bergerak. Seiring dengan kebakaran hutan di pulau seberang yang tak kunjung padam, maka daripada solat, orang lebih mengandalkan proyek hujan buatan untuk dua hal : memadamkan kebakaran hutan, sekaligus menutup musim kemarau. Harapannya sih begitu, tetapi rasanya tidak mulus pelaksanaannya. Buktinya sampai detik ini kemarau masih merajalela seiring dengan tersendatnya hujan buatan. Terlalu optimis ! [] haris fauzi - 18 Oktober 2006



GALAK - GAMPIL

Beberapa hari yang lalu saya terima surat elektronik yang berisi pesanan penulisan. Untuk kedua kalinya saya mendapat ide penulisan karena orderan semacam ini, yang pertama pada sekitar bulan Juni di tahun 2005 dari senior saya, mas Baron,. Dan kali ini dari teman dekat, --mantan rekan se-kantor dulu, namanya mas Adit. Dulu dengan mas Adit saya sering pulang bareng beberapa rekan lain dalam satu omprengan karena memang rumah kami searah. Saya memanggilnya dengan' mas', karena dia orang Jawa, dan ungah-ungguhing Jawa seperti itu. Untuk kesopanan sahaja, padahal umur kami beda tipis.
Mas Adit merupakan satu - satunya rekan kantor yang datang saat akad nikah saya yang diadakan di Solo, hal ini juga karena mBak Tutut --istrinya mas Adit-- ternyata kakak kelas Istri saya.

Mas Adit usul ke saya untuk menulis ihwal 'bagi - bagi duit pas lebaran'. Kalau istilah adik saya, ini namanya 'galak-gampil'. Entah arti sebenarnya menurut jawara bahasa apa. Tetapi kalau bagi saya, mungkin ini plesetan dari 'golek' dan'gampil'. Golek berarti 'cari', dan 'gampil' berarti 'gampang'. Cari cara gampang dapet uang.
Bisa jadi ini benar adanya, soalnya seorang anak --biasanya belasan tahun-- pas lebaran biasa berkunjung ke rumah - rumah tetangga, kerabat, dan handai tolan, lantasbersalaman dengan tuan rumah, cicipin kue lebaran, dan pamitan sekaligus menerima lembar duit receh. Inilah ritual galak-gampil itu. Gampang bukan ?

Kalau dulu jaman saya kecil uangnya koin, sehingga bila dapat banyak maka kantong baju dan celana akan kelihatan menggelembung dan sarat. Lantas entar dihitung rame - rame, mbanding - bandingkan dengan yang lain, serta tidak lupa memuji tuan yang memberi paling banyak --dan tentunya meledek orang yang tidak memberi atau paling sedikit membagi duit galak-gampilnya. Biasanya gitu.

Namun kalau jaman kali ini duitnya lembar kertas. Biasanya masih baru kertasnya, kempling, dan bila disusun segepok atau barang sepuluh lembar maka bisa diketuk - ketukkan ke meja karena lembarnya belumlah lembek. Tepatnya saya ndak tau, bisa jadi sekarang lembar lima ribuan. Atau mungkin bila memang ada tuan yang kaya, atau pingin dipuji, atau tidak kerasan bila cuma jadi juru kunci, bisa jadi beredar duit galak-gampil dengan nominal dua puluh atau lima puluh ribuan. Atau bahkan lebih.

Saya sendiri oleh orang tua saya dilarang mengikuti ritual-galak gampil ini. Walau sekali dua masih diberi oleh saudara rantau. Ya memang, galak-gampil ini juga berlaku pada saat kumpul mudik orang - orang saudara rantau. Saudara atau famili rantau yang sukses bila pulang kampung akan dengan senang hati membagikan lembar - lembar ini di kala lebaran. Seorang teman kantor pernah menukarkan uang 'besar'-nya menjadi segepok receh lima ribuan. Ya untuk menyongsong mudik seperti ini, bagi - bagi. Ini sudah tradisi Indonesia.

Entah karena saya pas kecil dilarang ikut galak-gampil, dan mungkin karena saya juga pelit, saya sendiri hingga kini belum pernah membagikan khusus duit buat galak-gampil ini. Nggak sreg gitu. Entah nggak sreg-nya dimana, yang jelas saya cuma mbatin: 'kok lebaran bagi - bagi duit kaya kampanye aja ?'. Kampanye-pun rasanya nggak ada asik - asiknya bila bagi - bagi duit seperti ini. Apalagi setelah itu dibanding - bandingkan siapa yang paling royal dan siapa yang paling pelit.
Hampir sama rasanya dengan saat Istri saya usul asal ceplos untuk membuat parsel. Saya nggak sreg juga, walau kondisinya jelas beda, namun tetap saja ada unsur memperbandingkan antar parsel. Kalau sekedar bingkisan alakadarnya atau oleh - oleh mudik buat satpam komplek sih saya nggak terlalu masalah, tapi kalo trus buat jor - joran ya saya jelas ogah. Ya itu juga, soalnya ngomong parsel sekarang ini juga sensitif. Ini juga faktor yang membuat perasaan nggak sreg, konotatif begitu. Entah akan ada alasan 'nggak sreg' apa lagi perihal budaya seperti ini, mungkin ada ihwal yang belum sempat konangan. [] haris fauzi-- 19 Oktober 2006


KEPALA NEGARA

Jaman dahulu, di Nusantara ini sering dibuat patung - patung untuk mengabadikan para Pemimpin Negeri. Banyak contoh dan restan patung - patung raja yang masih bisa kita sua sekarang, walau tidak semuanya. Kalau pada jaman ini ada patung kepala negara, tentunya Irak juga pernah membangun patung Saddam Husein yang melegenda itu. Di Sovyet juga pernah ada patung kepala negaranya, juga pernah ada patung Hitler di Jerman. Di benua Amerika telah dipahat sebuah tebing guna mengabadikan wajah empat Presiden teladan Amerika Serikat. Dua diantaranya adalah Abraham Lincoln 'Bapak Pembebas Budak' dan George Washington 'Sang Proklamator Bangsa',.... sisanya saya lupa wajah siapa. Kalau masih ingat film sinema 'Superman' (entah yang keberapa), tebing ini pernah dijadikan salah satu lokasi adegan yang cukup mengena. Yakni dalam film itu wajah para presiden di tebing itu diubah menjadi wajah - wajah musuhnya Superman. Musuh - musuh Superman ini ternyata juga pengen menguasai dunia...dan menjadi pemimpin di bumi ini !

Di Indonesia, setiap sekolahan, instansi pemerintah, dan lembaga bisa jadi pasti ada foto pasangan Presiden dan wakil Presiden dengan ditengahi gambar Garuda Pancasila. Ya karena memang dihimbau seperti itu, dan jaman dahulu bahkan ada auditnya segala, takut - takut salah posisi pasang. Saya mengenal regulasi ini pas jaman masih duduk di bangku SD. Jadi Garuda ada di tengah, posisi paling tinggi pula. Lantas foto Presiden dan Wakil Presiden di sampingnya dengan batasan tinggi pada garis tengah --khatulistiwa-- perisai Garuda Pancasila.

Dalam buku saku berjudul 'Ahmadinejad!' terbitan kelompok Mizan disebutkan bahwa Mahmoud Ahmadinejad pada saat minggu pertama terpilih menjadi Presiden Republik Islam Iran meng-instruksi-kan agar jangan sampai ada lembaga atau badan apapun yang memajang fotonya. Jadi, sampai saat ini fotonya tidak akan bisa dijumpai di gedung - gedung manapun --bahkan mungkin di gedung pemerintahan. Ya karena Presiden yang mengaku berwajah 'pasaran' ini memang memberlakukan larangan untuk memajang foto Presiden. Kelakuan Ahmadinejad ini memang anomali.

Selain dalam bentuk patung, pajangan foto, atau perangko, juga ada ide lainnya. Turkmenistan, suatu negeri yang agak tertutup. Saya belum pernah ke sana. Disana kabarnya hanya ada empat channel televisi, dan di bawah koridor lembaga pemerintah semuanya. Di ke-empat channel itu, di posisi ujung atas selalu terpampang foto wajah sang Kepala Negara. Jadi, setiap nonton televisi pasti nonton fotonya.

Ada lagi cerita yang lain. Saya juga belum pernah pergi ke Thailand. Tetapi kata beberapa orang, di negeri Thailand itu segala lapisan masyarakat sangat hormat kepada Raja dan Permaisurinya. Begitu hormatnya, hingga di bangunan - bangunan umum, seperti rumah sakit, mall dan plaza, atau bank, seyogyanya disediakan bangku khusus untuk Sang Raja dan Permaisuri. Walau sebenarnya sang Raja dan Permaisuri tidaklah pernah atau belum pernah ke sana. Jadi semacam tempat spesial begitulah, buat berjaga - jaga.

Ya begitulah, gambaran alakadarnya tentang sosok dan atau 'eksistensi' kepala negara di wilayahnya masing - masing. Mungkin ada yang bisa mengklarifikasi dan mengkoreksinya, karena saya memang belum pernah punya kesempatan untuk membuktikan langsung benar adanya itu,-- atau mungkin juga ada yang mau menambahkannya.[] haris fauzi -20 Oktober 2006



IDUL FITRI *)

Hari - hari akhir puasa relatif saya lebih santai, hari - hari akhir ramadhan kali ini saya tidak disibukkan dengan acara mudik. Dan karena sudah memasuki masa libur kerja saya malah bisa menyempatkan untuk sholat tarawih di mesjid. Sekali saya sempatkan di Mesjid Raya Bogor, dan dua kali di Mesjid Baiturrahman di komplek. Dalam keseharian sebelumnya, saya memang lebih terbiasa mengerjakan sholat tarawih di rumah, menemani Istri. Apalagi tarawih hari pertama dan terakhir, menurut guru ngaji saya sebaiknya ditunaikan di rumah, soalnya Rasul Muhammad jalam dulu seperti itu, --sholat tarawih di rumah di awal dan akhir ramadhan-- gitu jelasnya. Yang jelas, karena di akhir ramadhan Istri saya sedang berhalangan sholat, maka saya malah menghabiskan sisa tarawih semuanya di mesjid.

Selain itu, pada hari pertama libur --Sabtu-- saya sempatkan juga buat jalan - jalan ke Taman Buah Mekarsari, Cileungsi -- sekitar 15 kilometer dari gerbang tol Cibubur. Yang ternyata jadi kendala kalo di bulan puasa, apalagi kalo bukan panas cuacanya itu. Bikin super haus. Masalahnya adalah lokasi parkiran mobil yang cukup jauh dari pendopo utamanya, jalan kaki menerobos lapangan parkir di panas terik begitu, nggak bawa payung pula ! Untungnya cuma satu : mobil saya bisa nongkrong di bawah pohon teduh, jadi mobilnya nggak megap - megap. Saya berharap suatu hari mobil pengunjung boleh dibawa masuk berkeliling. Tidak perlu jalan kaki kepanasan dan bisa berhenti semaunya, tidak perlu sungkan telah ditunggu oleh seluruh penumpang kereta api mainan yang sekarang jadi sarana transportasi untuk keliling komplek kebun nan panas ini.

DI Mekarsari anak sulung saya sempat memetik buah melon glamor yang ranum, kebetulan sedang memasuki masa panen. Lha anak yang kecil malahan sempat mencicipi sampel sepotong buah melon putih yang wangi. Waduh, disini godaannya, karena sayalah yang harus menyuapi dia. Wangi melon itu sampe ke kerongkongan menambah haus saja, apalagi giliran saya patahkan maka airnya deras menetes membasahi jemari.Kalo melon glamor warna buahnya kemerahan dan manis sekali, saya tentunya baru bisa mencicipinya setelah tiba di rumah dan masuk waktu berbuka. Sementara melon putih yang bener - bener putih dan berkulit tipis seperti apel itu kata anak saya rasanya manis dan banyak airnya. Benar tidaknya saya nggak tau. Lha wong anak saya masih berumur dua tahun. Pulangnya sempat membeli sirup jus jeruk kunci campur madu. Nikmat bila diminum campur es batu.

Sebetulnya, kira - kira seminggu sebelum lebaran (tepatnya saya lupa), saya mendapat informasi dari keluarga besar leluhur yang berpusat di kaki gunung Merapi, bahwa lebaran jatuh pada hari Senin. 'Mesjid Rejodani sholat Ied hari Senin', gitu kata Ibu saya.Ternyata mesjid di komplek saya kemungkinan menyelenggarakan sholat Ied di hari Selasa mengikuti ulil amri (pemerintah). Ya nggak pa-pa, saya cuma sempat ngobrol ke pengurus mesjid, bahwa sebaiknya acara bagi zakat harusnya kelar pada hari Minggu, biar semua zakat yang musti dibagi sebelum sholat Ied itu afdol jatuhnya. Seperti kita ketahui, hukum zakat fitrah itu harus dibagikan sebelum sholat Ied.

Minggu malam Senin saya sekeluarga keluar rumah menuju tengah kota Bogor --hampir pukul delapan malam, survey bakal lokasi sholat Ied. Saya harus mencari mesjid yang sudah yakin memastikan bakal berlebaran hari Senin, alias tidak terpengaruh apapun keputusan ulil amri. Yang menarik adalah pada malam itu sekitar pukul delapan malam memang bakal ada pengumuman dari ulil amri perihal jatuhnya lebaran, mangkanya banyak mesjid yang sampai jam segitu belum menunaikan sholat tarawih. Masih menunggu. Wait 'n' See. Bila lebaran jatuhnya hari Senin, maka mereka akan takbiran menyongsong lebaran. Namun bila jatuhnya Selasa, maka mereka akan menunaikan sholat tarawih kembali. Ternyata usai pengumuman dari ulil amri membuat sebagian besar mesjid memilih untuk kembali melaksanakan tarawih dan menunda takbiran, berarti mereka berlebaran hari Selasa sesuai pengumumannya. Saya jadi agak kesulitan mencari lokasi sholat Ied untuk hari Senin. Memang ada satu mesjid di Bantarjati yang punya ide menenangkan, yakni mereka akan melaksanakan sholat Ied dua kali. Nah yang kayak gini saya sepakat sekali, ide seperti ini pernah saya kemukakan ke Pengurus mesjid di komplek, namun mereka kesulitan merealisasikan, mungkin karena masalah lokasi.

Lebaran, kalau dalam bahasa jawa kurang lebih berarti 'saat usai'. 'Le' itu seperti dalam kalimat pertanyaan 'le mangan kapan ?', artinya 'saat makan kapan ?'. Sementara 'baran' dari 'bar-baran', artinya usai, bubaran. Berbusana batik papua 'lungsuran' mendiang Ayahanda, saya menunaikan sholat Ied di jalanan dekat pertigaan Pemda Cibinong. Disitu digelar sholat Ied yang dikelola oleh Muhammadiyah Cibinong dan diisi dengan khutbah Iedul Fitri yang bagus tentang 'Fitnah Dajjal'. 'Dajjal' dalam Islam artinya adalah 'biang kerok kemaksiatan'. Cirinya bermata satu, bermulut besar, dan tangan kirinya lebih panjang dari tangan kanan. Dalam khutbah itu disebutkan bahwa arti dari bermata satu adalah berarti hanya bertindak dari sudut pandang materi, meninggalkan aspek rohani. Bermulut besar artinya suka berbohong dan memiliki standar ganda dalam segala keputusan tindakannya. Sementara bertangan kanan pendek berarti perlambang tidak pernah ikhlas melakukan kebaikan - kebaikan. Pak khotib menyampaikan bahwa di akhir jaman seperti ini ternyata ada sebuah negara yang berlaku seperti 'dajjal' ini.Sebelum pulang dari arena sholat Ied, saya sempat dijanjikan bakal diberi kopi rekaman khotbah kali itu oleh salah satu pengurus Muhammadiyah yang bernama Mas Heri.

Ustadz yang biasa mengajar pengajian di komplek saya, --Pak Nuruzzaman-- mengisi sholat Ied di lapangan tenis komplek dimana saya tinggal, pada pagi hari berikutnya; Selasa. Dan pada hari kedua ini saya kembali menunaikan sholat Ied lagi di lapangan komplek untuk mengikuti ceramah / khutbah beliau. Ya hukumnya sholat Ied itu memang cuma sunnah, dimana khutbahnya lebih penting ketimbang sholat-nya. Sholatnya berfungsi sebagai sarana untuk mengumpulkan jemaah.

Di tengah para tetangga yang kurang dari separoh karena sebagian telah mudik, sholat Ied di komplek punya sedikit catatan, yakni pada saat takbiran para jemaahnya kurang semangat meneriakkan gema takbir, alias takbirnya pelan bin sendu banget. Sehingga pemimpinnya seakan - akan takbir sendirian, atau bisa jadi memang yang lain tidak bersuara. Kalau pas mudik ke Malang, para jamaahnya disana sering adu kuat meneriakkan takbir ini.

Sekali lagi, saya beranggapan bahwa khutbah Iedul Fitri yang cuma setahun sekali dirilis ini pastilah digarap dengan sangat serius oleh para peng-khutbahnya, sehingga sudah bisa dipastikan bakal menarik untuk disimak. Benar gerangan. Apa yang disampaikan oleh Pak Ustadz Nuruzzaman ini sungguh tak kurang menariknya pula. Beliau sedikit banyak bercerita tentang pertarungan abadi manusia melawan setan. Ada empat jurus andalan setan yang harus ditangkal, yakni jurus serangan 'mengaburkan pandangan bahwa akhirat adalah sebagai masa depan', jurus 'kecenderungan cinta materi dan menyia - nyiakan anak yatim', jurus 'melecehkan syiar Islam', dan juga jurus 'merajalelanya kemaksiatan nafsu'.

Yang hebat, apa yang disampaikan Pak Ustadz sungguh mengena di hati para jemaahnya, soalnya banyak yang menitikkan air mata mendengar khotbahnya, apalagi pada saat dipanjatkannya doa. Jadi giliran pas bersalam - salaman, pada banyak yang masih kerepotan menyeka air mata atau terisak - isak.

Asik juga berlebaran dua kali seperti ini. Dulu pas kecil juga pernah saya mengalami hal seperti ini. Kami berangkat mudik dari Malang ke Yogya setelah tunai sholat Ied, sesampai desa kakek di Yogya ternyata baru mulai takbiran. Ya besok paginya sholat Ied lagi. Mangkanya, ini kejadian langka dan unik dimana saya berkesempatan menjalaninya. Eksotis sekali rasanya sholat Iedul Fitri dua kali dalam setahun. Walau nggak mudik, tetapi bagi saya acara seperti ini oke juga. Sepulang dari lapangan tenis, para tetangga berkumpul di pelataran pos gardu bikin acara silaturahim kecil - kecilan sambil berdengung laksana lebah : ' Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Selamat kembali dalam Kemenangan. Mohon Maaf Lahir dan Batin'.

Perihal kalimat ucapan pada saat lebaran ini juga sedikit menggelitik. Tahun lalu saya pernah menyaksikan di televisi sebuah kuis, dimana pertanyaannya adalah :"Apakah arti dari Minal Aidin Wal Faizin ?". Ternyata jawaban yang benar --menurut penyelenggara kuis tersebut-- adalah "Mohon Maaf Lahir dan Batin". Wah, ini sih lucu sekali. Sakkarepe Dewe Wae. [] haris fauzi - 1-2 syawal 1427 H

*) KODA

Tulisan di atas merupakan tulisan ke-seratus untuk tahun ini. Seiring dengan musim takbiran, beres sudah target penulisan 'kenisah' untuk tahun 2006. Alhamdulillah. Acara untuk menutup sisa tahun 2006 ini akan diisi dengan proses lay-out dan pembundelannya, ---sambil mengutak - atik rencana kegiatan tahun depan, kalao ada.Kalau dalam 'kenisah' tahun 2005 saya membagi bundelnya dalam tiga bagian; 'in my mind', 'in my life', dan 'in my heart'; mungkin untuk kenisah kali ini akan dibagi berdasar komposisi seperti dalam blognya di kenisah.blogspot.com, yakni berdasar artikel bulanan. Lebih gampang begitu, soalnya kalau merujuk ke tayangan web
www.kenisah.solid.or.id , maka teknisnya akan sulit dan hasilnya tidak akan komplit.

Thursday, October 05, 2006

KENISAH September 2006

KEJADIAN MENCEKAM

Pada masa saya duduk di bangku SD, saya punya beberapa orang teman bermain. Suatu hari, pagi - pagi, sekitar berlima, seingat saya terdiri dari saya, kakak saya, Rudi, Sunny, dan kakak Sunny yang bernama Didit, kami bermain - main di pekarangan rumah Rudi. Hari itu hari jum'at, namun libur sekolah. Entah kenapa area bermain kami meluas hingga ke rumah sebelah, rumah seorang anak bernama Bagus, yang karena usianya berada di bawah kami, maka Bagus bukan sepermainan dengan kami. Ayah Bagus tentara juga seperti kebanyakan bapak kami, namun dia berpangkat lebih tinggi dari ayah saya. Kalau nggak salah dia menjabat sebagai Wakil Komandan. Selain ayah Bagus, ayah Didit juga berpangkat tinggi. Di depan rumah Bagus ada pohon beringin yang rindang. Mungkin pohon inilah yang membuat kami kerasan bermain di rumah orang lain.

Beberapa dari kami membawa petasan kala itu. Jelas pasti ada yang membawa obat nyamuk buat penyundut-nya, berikut korek geretannya. Dan tidak jelas pula siapa yang memulai, maka kami semua keasyikan bermain api. Bukannya membakar mercon, tetapi kami membakari dahan pohon beringin, lantas bersorak, dan lantas meniupnya hingga padam. Dahan yang dibakar bukan dahan jatuhan atau potongan, melainkan dahan yang masih menyatu dengan pohon. Begitu berulang - ulang, sampai suatu saat Didit membuat dahan membara cukup besar. Dia bersorak - sorak kegirangan. Dan ketika kami semua hendak memadamkan, malahan dilarang oleh Didit. Didit yang paling bongsor dan kuat menghardik kami agar membiarkan saja nyala itu, sampai suatu saat api itu sangat besar, dan kami semua kelabakan hendak memadamkannya. Bukan dahan lagi yang terbakar sekarang, melainkan sudah hampir setengah pohon. Api-nya menjalar dari dahan terbawah dan melalui kolong pohon hampir mencapai dahan tertinggi. Didit sendiri akhirnya tersadar namun sudah kesulitan memadamkan. Jadinya kami semua panik berteriak - teriak ketakutan. Tangan - tangan kami terlalu pendek untuk menyiramkan air ke atas pohon.

Rumah Bagus terletak berseberangan persis dengan pos penjagaan batalion kavaleri. Melihat ketidak-beresan -- dan melihat adanya api membara -- petugas jaga batalion segera mengambil tindakan. Mereka berlarian menuju kami. Kami yang mengira bakal akan ditangkap oleh tentara, jadinya ngabur tercerai - berai. Sekelebat dari kejauhan sambil terengah - engah saya melihat beberapa tentara berlarian kesana - kemari mencari ember dan menyiramkan air ke api yang semakin gila itu. Bayangkan, pekarangan rumah Wakil Komandan kebakaran ! Saya masih berpikiran bahwa tentara - tentara itu mustinya ada yang hendak menangkap saya dan teman - teman. Kerongkongan saya tercekat demi kejadian yang mencekam itu. Saya lihat Didit dan Sunny juga berlari terbirit - birit ke arah berbalikan dengan saya, karena memang rumah dia ada di sebelah barat rumah Bagus, rumah saya di timurnya. Rudi sudah tidak nampak lagi, mungkin sudah bersembunyi di salah satu kolong di rumahnya.

Segera saya masuk rumah. Dengan mulut terkunci, langsung masuk kamar dan tak hendak nongol keluar. Saya membayangkan pasti nanti ada tentara masuk lewat pintu garasi menuju sumur yang akan menanyakan saya kepada pembantu rumah. Saya tidak bisa mikir apa - apa lagi. Saya tau saya bersalah karena juga ikut membantu menyalakan api bareng Rudi, walau nyala api kami itu sudah padam. Yang membara adalah api bikinan Didit, yang membuat para tentara berlarian kesana - kemari.

Pembantu yang tengah asyik menjemur cucian tiba - tiba bersuara seakan - akan berbicara dengan orang yang baru datang. Nafas saya tercekat lagi. Ternyata pembantu saya ngomong sendirian :"...Wah..kok tiba - tiba hujan abu, ya ? Apa gunung Semeru mau meletus lagi, ya ?".Saya memberanikan diri muncul ke sumur. Saya lihat memang banyak abu berjatuhan dari langit, ini adalah abu pohon beringin yang terbakar.Melihat saya, pembantu langsung menyuruh saya mandi dan berkemas untuk segera pergi sholat jum'at, tapi saya masih takut keluar rumah.Beberapa jelang kemudian ibu saya tiba dari pasar. Dia-pun segera menyuruh saya dan kakak untuk segera berangkat jum'atan. Saya tidak mau terus terang akan ketakutan saya. Akhirnya saya pergi dengan was - was berat hati ke mesjid. Saya biasanya sholat jum'at di mesjid batalion, kali ini saya mengekor kakak saya sholat di mesjid kampung belakang. Saya takut ditangkap tentara saat jum'atan.

Sore hari saya memberanikan diri menengok lokasi kejadian. Ternyata apinya sudah padam. Saya menjumpai teman - teman lagi --tentunya dengan agak ketakutan sembunyi - sembunyi dari pandangan petugas jaga batalion--, dan ternyata tidak ada yang ditangkap tentara. Disitu cuma ada saya, kakak, dan Rudi. Didit dan Sunny entah kemana, tapi kata Rudi sih gak ditangkap tentara, melainkan dihukum orang tua-nya. Jadi semuanya beres sudah. Dari jarak cukup dekat, kelihatan bahwa pohon beringin itu botak di tengah dengan lubang cukup besar hasil dilalap api.[] haris fauzi - 4 September 2006



ISRAEL DAN ZIONISME

Apakah anda mendengarkan siaran BBC pagi tadi ? Sayangnya saya tidak mendengarkan dengan lengkap, tetapi salah satu ulasannya adalah tentang peri hidup di negeri Parsi, Iran. Saya selalu tertarik bila ada pemberitaan tentang Iran.Seperti kita ketahui, Iran adalah sebuah negara di kawasan Timur Tengah. Sebuah negara yang begitu vokal terhadap penetrasi barat. Sebuah negara yang pernah melalui sebuah revolusi dan menjatuhkan pemerintahan Syah Iran yang merupakan pemerintahan boneka Amerika Serikat. Lantas Ayatullah menjadikan sebuah negara dengan pemerintahan baru. Kejadian di tahun 1979 ini populer dengan nama Revolusi Islam Iran. Sejak saat itu Iran sering diteropong sebagai tertuduh oleh Eropa dan Amerika Serikat. Maklum, soalnya Amerika berusaha dengan kuat melawan revolusi itu, namun kali ini Amerika harus kalah lagi seperti di Vietnam. Dan rasa sentimen itu masih melekat.

Tak lama kemarin, kita juga bisa dengar pernyataan Presiden Iran yang mengecam dengan hebat aksi militer negara Israel ke Libanon. Bahkan Sang Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad memfatwakan bahwa 'agresor zionis ini harus dimusnahkan dari peta dunia'. Ahmadinejad pula yang pernah menyatakan bahwa peristiwa holocoust yang menguntungkan gerakan zionis itu ternyata adalah fiktif belaka....

Kita juga sering membaca di koran bahwa penyokong utama gerakan intifada Palestina adalah negara Iran, yang dengan terang - terangan mendukung pemerintahan garis keras Palestina sekarang. Iran juga-lah yang sekarang menjadi 'bintang film' politik dunia lewat program pengayaan uranium-nya yang dicemaskan oleh Amerika Serikat dan pemerintah Israel. Distempel sebagai negara teroris dunia.

Ya. Iran memang negara keras. Tepatnya negara ber-prinsip keras, karena tokoh - tokoh yang muncul semenjak revolusi 1979 hingga sekarang; yang diwakili oleh tokoh Khomeini hingga Ahmadinejad, adalah tokoh - tokoh yang digambarkan seperti itu. Dan opini - opini yang didengungkan oleh media pers juga cenderung menjurus ke situ.Menurut hemat saya, sebetulnya Iran dan para tokoh-nya tidaklah se-'menyeram'-kan itu. Ayatullah Khomeini --Pemimpin Revolusi 1979 yang digambarkan sebagai pemimpin yang tak terbantahkan, yang mem-vonis mati Salman Rushdie-- sejatinya Ayatullah Khomeini adalah penyair dan pemerhati filsafat. Orang bersahaja yang suka berkebun dan menjahit sendiri bajunya yang koyak. Dan sering menggunakan kertas tissue sebelah sisi.

Sementara Presiden Ahmadinejad yang sekarang dikenal sebagai pemimpin yang bandel di mata Eropa, sejatinya adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dia adalah mantan walikota yang bergelar Doktor. Dia juga mantan perwira militer yang gagah berani, setidaknya bila dibandingkan dengan Presiden Amerika, George W.Bush yang semasa perang bergabung dengan kesatuan'selebritis dan bintang film' di divisi sampanye. Bahkan gitaris rock negro Jimi Hendrix yang benar - benar bintang musik malah bergabung dengan kesatuan tempur udara kala perang Vietnam.

Kalau masalah penilaian seperti ini, pastilah saya subyektif, dan anda-pun berhak membuat penilaian tersendiri. Ya salah satunya karena memang saya lebih mengidolakan Jimi Hendrix yang pendekar gitar elektrik itu ketimbang Bush.

Kembali ke masalah rilis BBC siaran Indonesia pagi tadi. Yang disiarkan BBC sih bukan hal di atas. Pagi tadi BBC menyiarkan bahwa Iran sebenarnya adalah negara dengan multi etnis - multi bangsa. Di Iran sebenarnya banyak juga dibangun sinagog, tempat ibadah kaum yahudi, kaum israel. Mereka juga bebas beribadah, bahkan setiap pagi banyak bangsa yahudi yang membaca Taurat di sinagog sebelum beranjak kerja. Jadi rupanya banyak juga orang yahudi yang tinggal di Iran, dan mereka bebas dengan sinagog dan Taurat-nya. Bahkan telah dicetak pula Taurat edisi bahasa Parsi, bahasa Ibu negeri Republik Islam Iran.

Reporter BBC menyampaikan bahwa kebebasan beragama bagi yahudi dirintis oleh Ayatullah Khomeini pasca Revolusi Islam 1979. Khomeini berpendapat bahwa konteks bangsa yahudi harus dipisahkan dengan faham zionis. Sepakat. Seorang yahudi belumlah tentu penganut zionis yang hendak menjarah Palestina dan tanah timur tengah. Well....bukankah nabi Musa adalah seorang yahudi yang non-zionis ? Tolong koreksinya. [] haris fauzi - 5 September 2006


PROBLEM YANG MEMBOSANKAN

Pernahkan anda menjumpai sebuah problem yang mana dia sering menampakkan diri, berulang dengan bandelnya, lantas membuat kita jengkel ? Seringkali kita mengalami problem yang berulang. Bukan hanya kita sebagai individu saja, sebagai keluarga, sebagai organisasi, dan sebagai perusahaan-pun kejadian problem berulang ini beberapakali dipastikan menyapa kita. Contoh paling gampang adalah masalah keuangan. Sudah berpuluh tahun semenjak kerja kita selalu gajian setiap bulannya. Dan setiap akhir bulan itu bisa saja selalu muncul masalah 'kekurangan' uang. Kejadian ini berulang - ulang puluhan hingga ratusan kali. Dan, sebagian dari kita hampir tidak kuasa mencegah berulangnya problem ini. Inilah yang saya maksud dengan problem yang membosankan.

Dalam manajemen mutu, kita selalu dianjurkan untuk mendeteksi suatu problem, yang mana lantas dianjurkan untuk melakukan dua hal : yang pertama adalah menanggulangi problem itu agar tuntas. Yang kedua adalah kita harus melakukan suatu hal agar problem itu takkan pernah muncul lagi. Cukup sekali saja, lantas mati.
Jadi, contohnya gini : kalau ada problem kekurangan uang pada bulan Januari, maka pada bulan Februari kita harus melakukan dua hal : menutupi kekurangan keuangan, mungkin dengan hutang. Dan kita juga harus berusaha agar hal itu tidak lagi muncul di bulan - bulan mendatang, maka hal kedua yang harus kita lakukan adalah kita harus mengetatkan budget atau mencari penghasilan tambahan. Ini kiat manajemen mutu. Dalam manajemen mutu hal seperti ini biasa disebut dengan 'problem berulang'. Problem berulang ini harus ditanggulangi dengan dua hal : preventive dan corrective. Gampang teorinya, susah menjalaninya. Buktinya, baik individu atau organisasi, kebanyakan terjebak dalam tragedi problem yang berulang. Entah apa saja model dan gaya problemnya, pokoknya problem yang membosankan ini muncul secara berkala dan berulang - ulang tanpa bisa dibendung, hanya membuat kita nyengir saja. "Ini lagi ! Ini lagi problemnya..! Selalu begitu..!".

Jikalau ada satu polisi, pasti ada seribu maling. Ada satu problem, bisa jadi ada seribu jalan kaluar. Kalau toh ada cara lain --selain cara manajemen mutu,-- dalam menghadapi problem yang membosankan ini salah satunya adalah kita bisa menghadapinya dengan mengubah paradigma : yakni, anggap saja itu bukan problem. Kita tentu akan cukup mampu menjalani problem itu (--menjalani - bukan menghalau ) bila kita menyebutnya dengan istilah : rutinitas, selalu begitu. Dalam kasus keuangan di atas, maka anggap saja hutang itu sebagai rutinitas. Maka kita dituntut untuk menjalaninya dengan baik, tanpa perlu menghalau problem tersebut. Beres, kan ? Maka anda bisa tertawa sekarang dalam menghadapi problem yang berulang. Ya. Karena makhluk itu sekarang adalah sosok dengan nama 'kegiatan rutin'. Yang harus dijalani dengan rutin. Gak perlu repot - repot menghalaunya jauh - jauh. Ini bisa berlaku untuk seluruh problem berulang, bukan hanya masalah keuangan, dengan syarat kita bisa mengubah paradigma kita. Namun dalam mengubah paradigma ini kita butuh satu hal : 'nyali'. [] haris fauzi - 6 September 2006



NAJIB

"yes, penulis 'kafe yang kosong', ...yang lehernya pernah digorok...dan tidak mati"

Gitu jawaban pesan pendek dari rekan saya ketika saya menanyakan sesuatu hal. Saya memang sangsi. Jadi pada awal tahun 2000 --sebelum Si Salma lahir-- saya pernah membeli buku terbitan Terawang, judulnya ZAHIYA (kafe yang kosong), kumpulan cerpen buah tangan Najib Mahfoudz asal Mesir, penulis yang pernah dapat nobel, dan lahir di tahun 1911. Begitu terurai di nota buku tersebut.

Dan pada malam hari, pas kakak saya ulang tahun-- berarti tanggal 31 Agustus 2006, saya menyimak tanpa khusyu berita dari pemancar radio yang memberitakan tentang prosesi pemakaman penulis ulung asal Mesir. Penulis itu bernama Naguib Mahfoudz. Perkara huruf per-huruf, maka berbeda - beda pula hurufnya. Seperti halnya Leo Tolstoy, dan Leo Tolstoj. Nikolai Gogol, Nikolaj Gogol. Bebas merdeka.

Kalau di dunia musik rock ada Phil Collins, seorang drummer grup musik Genesis. Dan juga ada Phil Colen, seorang gitaris dari Def Leppard. Keduanya berbeda orangnya walau namanya hampir mirip pengucapannya. Mangkanya saya mencari tahu, apakah Najib itukah Mr. Naguib. Jawaban teman saya rupanya membenarkan. Dan memang setelah saya buka literatur, Naguib Mahfoudz sering disederhanakan menjadi Najib Mahfuz.

Saya tidaklah tau sahih tidaknya karena saya toh tidak mungkin menguji silang dengan trip ke Mesir. Tetapi saya memilih percaya saja. Rekan saya yang mengidolakan Nietzche dan Albert Camus, tentunya juga memperhatikan karya - karya Najib ini. Najib juga sedikit banyak terpengaruh Camus. Najib banyak berceritera soal Mesir, terutama tentang perubahan jaman, friksi kultur, dan kematian. Beberapa tulisannya menyimbolkan kematian, bercengkrama dengan perubahan sosial, dan ke-absurd-an bermasyarakat. Sisi pinggir dan terbelah jurang dengan sisi tengah masyarakat. Seringkali tulisannya berakhir dengan simbolis dan paparan yang kurang langsung dan misterius. Tetapi bagi sebagian orang cara misterius ini sungguh memikat, terutama cara Najib memaparkan set-up ceriteranya. Dipergumulan ke-misterius-annya, Najib bisa membuat aliran kisah dengan mulus, tanpa tersendat - sendat. Cukup hebat juga Mr.Najib ini, kuat sekali dalam mengalirkan tulisannya.
Cerita pendek berjudul 'Kafe yang Kosong' cukup lengkap dan mewakili untuk menggambarkan itu semua, termasuk ke-misterius-annya, termasuk kelancaran jalannya cerita, termasuk kematiannya.
.......
Ini adalah kursi yang biasa diduduki Ali. Seorang yang pendek, kurus dan bungkuk, dengan pinggiran topinya menyentuh alis putihnya yang lebat, menatap temannya dengan pandangan lemah, setengah menangis," Aku ragu siapa yang akan mati dulu, kau atau aku ?". Lalu dia tertawa terbahak - bahak.
......

Seringkali ceritanya mensinisi cara orang menghadapi kematian, seperti tertera di atas dengan terbahaknya seorang tua dalam membahas kematian dirinya. Cara ini mengingatkan saya pada film 'Tombstone'. Dimana seorang penembak ulung bernama Doc Holliday (atau Halliday --saya lupa) yang sekarat di ranjang pusat rehabilitasi tuberkulosis. Doc tidak mati karena peluru, tetapi karena penyakit. Menjelang nyawanya merambat naik dari ujung kaki ke kerongkongan, Doc yang masih menggenggam kartu truf dan buku biografi itu malahan berujar:.."..oh..i'ts funny...". Sementara Wyatt Earp sang sobat telah meninggalkan ruang karantina itu. Doc memang mengusir sobat baiknya, karena Doc tidak ingin masa sekaratnya ditunggu oleh siapa-pun, termasuk oleh Earp.

Bagi saya Najib adalah penulis tentang perubahan yang juga mengayunkan perubahan itu sendiri. Najib adalah penulis kultur yang menyatu dengan kultur itu sendiri. Bagaimana indahnya Najib menguraikan kafe - kafe pinggir kota dengan segala teras miringnya merupakan bukti yang cukup untuk itu semua. Saya tidak bisa memaparkan terlalu banyak soal Mr. Najib ini. Saya cuma memiliki satu bukunya saja. Lain kesempatan semoga saya bisa gali lebih jauh. Rest In Peace ... Mr. Najib...[] haris fauzi - 7 September 2006


BILA DOKTER SEMINAR (?)

Suatu malam, tepatnya Selasa malam, anak saya yang berusia dua tahun --Si Moncil-- terbatuk - batuk dengan dahsyat hingga memuntahkan makanan yang telah dia lahap tiga jam sebelumnya. Memang sudah dua hari ini Si Moncil sedikit batuk, namun tubuhnya tidak panas. Jadi hanya diberi obat ringan saja oleh Istri saya. Ya sebetulnya sih batuknya gak seberapa -- flu biasa mungkin; atau alergi cuaca -- apalagi Si Moncil tidak panas badannya, masih tetap beringas berlompatan kesana - kemari. Namun karena kejadian muntah itu, saya jadi sewot, karena asupan anak akan kurang bila selalu muntah begini. Padahal sih mungkin Si Moncil pengennya cuma mengeluarkan dahak, tapi akibatnya malah semuanya keluar. Dan Istri saya-pun akhirnya sepakat bahwa Si Moncil harus dibawa ke dokter pagi harinya. Dan malam itu Si Moncil tidur dengan perut agak keroncongan.

Pagi hari, Istri saya telpon ke bagian registrasi dokter anak pilihan keluarga kami, namanya Dokter Aris yang biasa kami kunjungi di tempat prakteknya di depan kompleks. Dari resepsionis kami mengetahui bahwa hari itu Pak Dokter Aris tidak praktek, dan karena hal ini kami segera berusaha mendaftar ke tempat praktek lain, yakni di daerah Cibinong, dan sekalian daftar di Rumah Sakit Hermina. Kedua tempat ini juga merupakan tempat praktek Pak Dokter Aris. Pak Dokter Aris adalah dokter anak yang cukup populer dan sibuk, lokasi prakteknya bertebaran dimana - mana. Jadi kadangkala kami harus bisa hunting juga. Dari RS. Hermina pagi itu kami mendapat nomer antrian pasien, sementara dari Cibinong kami akan dihubungi lagi setelah konfirmasi ke dokter yang bersangkutan.

Biasanya sih, Istri saya dan bocah pergi sendiri ke tempat praktek dokter dengan menggunakan jasa ojek. Maklum, tempat praktek di depan kompleks --walaupun macet minta ampun-- namun hanya sekitar satu kilometer dari rumah. Sementara Cibinong sekitar lebih dari lima kilometer jaraknya, dan jarak ke RS.Hermina bisa mencapai sepuluh kilometer. Untuk dua tujuan ini haruslah saya yang mengantar, karena tidaklah manusiawi bila saya membiarkan Istri saya dan Si Moncil kebut - kebutan naik ojek sejauh itu.

Informasi dari tempat praktek dokter Cibinong hasilnya sama dengan yang pertama, ternyata Pak Dokter Aris tidak praktek hari ini. Menyusul juga dari resepsionis RS Hermina nge-bel ke rumah memberitahu bila pak Dokter tidak praktek. Wah... kenapa pula nih Pak Dokter Aris ? Sempat pula kami nge-bel kekediaman pak Dokter Aris, namun belum ada kejelasan bakal praktek dimana yang bisa kami kejar.

Dengan situasi ini, Istri saya segera menghubungi dokter favorit kedua, yakni Bu Dokter Tien, yang sebenarnya tinggal di komplek dimana kami tinggal. Hasilnya juga tidak menggembirakan. Karena ternyata Bu Dokter Tien juga tidak praktek hari ini. Setelah Pak Aris tidak praktek dimana-pun, kini Bu Dokter Tien juga tidak bisa kami sambangi.

Kami mencoba lagi menghubungi RS. Hermina lagi untuk mendaftarkan Si Moncil ke dokter anak --siapapun-- yang sedang praktek hari itu. Kami setengah berharap Pak Dokter favorit ketiga : Pak Aulia akan ada jadwal praktek hari itu. Ternyata tidak ! Pak Dokter Aulia tidak ada jadwal praktek hari itu. Waduh..... !!! Not My Day...Not My Day..!!

Akhirnya dengan agak lesu saya bertanya ke resepsionis rumah sakit tentang siapa sahaja dokter anak yang praktek hari itu, ...di situ. Saya dapat jadwal praktek dua orang dokter anak yang tidak saya kenal, dan saya mendaftar ke salah seorang hanya berdasar gelarnya saja, yakni karena Bu Dokter tersebut telah bergelar master. Dan kami-pun siang itu memeriksakan Si Moncil ke dokter 'baru' yang bergelar master itu. Kami dapat antrian paling buncit.

Belakangan saya baru dapat informasi, bila bisa jadi hari itu ternyata ada penyelenggaraan seminar yang mengundang banyak dokter anak. Seminar itu sendiri diadakan di pulau Kalimantan. [] haris fauzi - 8 September 2006


WISUDA

Kebetulan minggu lalu ada teman --adik kelas-- yang hendak menginap di rumah saya, jadi saya mesti siap - siap beresin kamar atas -dilantai dua. Kebetulan hari Minggu, jadi pagi - pagi saya bisa sempatkan beberes...., angkat sulak, tarik vakum kliner, dan pasang sprei.

Beberapa buku tampak berceceran, karena dibuat mainan oleh anak - anak saya. Maklum, lantai dua sering dijadikan pula lokasi main game, nyetel kaset, ataupun pencet - pencet electone, ...latihan menari... namun sering terabaikan beresinnya. Pada saat saya membereskan buku - buku yang berantakan itu saya melihat ada buku berjudul 'gladi bersih wisuda' milik saya. Jadi ingat jaman wisuda saya dulu.

Saya wisuda tahun 1995. Pada pagi hari saya, Ibu, dan Bapak --sesuai undangan-- berangkat ke kampus untuk menjalani prosesi wisuda. Untuk pertama kalinya saya mengenakan jas baru lengkap dengan dasi pilihan sendiri.
Walau toh prosesi awal wisuda akan dilaksanakan di gedung universitas, saya malah memarkir Toyota Hardtop Bapak saya di gedung senat mahasiswa fakultas. Pertimbangan saya adalah yang pertama saya kenal dengan tukang parkirnya karena disitu saya sering nongkrong, walau tidak parkir. Soalnya saya ke kampus naik angkutan kota atau nebeng. Yang kedua karena prosesi wisuda tahap kedua adalah pelepasan di fakultas. Jadi urusan pulangnya nanti gampangan.

Karena hari masih pagi, maka kami santai lenggang kangkung berjalan kaki dari fakultas ke gedung universitas. Ibu bawa undangan, Bapak bawa kunci kontak mobil, dan saya menenteng tas kresek isi baju toga. Beberapa wisudawan terlihat sudah berjalan mengenakan baju toga sejak dari rumahnya. Saya kegerahan kalo begitu, apalagi mobil Bapak nggak ada AC-nya.

Dalam acara wisuda universitas yang sakral itu, tidak banyak foto yang bisa di ambil oleh Ibu saya. Setelah acara itu selesai, kami bergegas menuju lokasi pelepasandi fakultas. Tentunya toga juga sudah saya tanggalkan lagi. Kami mampir sejenak ke parkiran untuk meletakkan baju toga yang hitam kelam itu.

Masuk ruangan pelepasan fakultas, saya disongsong oleh petugas akademis. Satu orang bawa map, dan satu orang dengan cekatan memasangkan mikrofon wireless ke kerah jas saya. Sebelum saya sadar dalam kebingungan, salah satu dari mereka berkata,'Mas Haris nanti yang baca ikrar, ya ? soalnya wisudawan yang ditunjuk untuk tugas ini sampai detik ini belum kelihatan. Naskahnya ya di map batik itu...' begitu katanya sambil mengetuk-ketuk mikrofon yang nggantung di kerah.
Sebelum saya sempat membuka map tersebut, kedua orang itu sudah meninggalkan saya dan mengerjakan hal lainnya, mengecek sound-system podium. Ibu saya tersenyum saja melihat saya dapat tugas dadakan jadi pembaca ikrar.

Ikrar ini saya bacakan dari depan peserta --tidak di podium-- dan diikuti oleh wisudawan fakultas --semuanya-- sambil berdiri. Saya sendiri sekarang malahan lupa ikrar apaan itu. Apakah ikrar janji alumni, ataukah ikrar insinyur. Atau... sebangsanya gitu lah. Soalnya ikrar itu terdiri dari beberapa butir bait. Yang saya ingat adalah salah satu bait ikrar itu berbunyi '...menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa'. Normatif-nya begitu. Normatif, seperti halnya saya saat itu menjadi lulusan, menjadi wisudawan, menjadi alumni, menjadi profesional.

Lulusan yang Bertaqwa ?
Terhitung sejak saya lulus, berarti sampai saat ini sudah lebih dari sepuluh tahun rentang waktunya. Dan sudah selama itu pula saya mencari nafkah dengan bekal gelar saya. Tapi, akhir - akhir ini rasanya saya malah sering melakukan sholat maghrib di jamak di waktu isya'. Sepulang dari pabrik. Lulusan yang bertaqwa ? [] haris fauzi - 14 September 2006


PONSEL 'DIE HARD'

Sudah lebih dua bulan ini ponsel saya mengalami gangguan. Monitornya sering acak - acakan. Kadang tulisannya malah terbalik dari kanan ke kiri. Bukannya sok keren, tetapi saya memang agak tergantung dengan alat satu ini. Buat janjian, buat konfirmasi, dan sebangsanya, baik urusan kantor maupun urusan keluarga. Trobel-nya sih muncul kadang - kadang, --jadi tidak permanent error-- namun makin hari ini makin sering.

Beberapa kali memang telah terjadi masalah dengan ponsel yang berusia kurang lebih enam tahun ini. Dahulu kala pernah sudah dua kali monitornya gelap alias mati lampunya, jadi musti pake senter kalo di mobil malam hari hendak membaca pesan pendek. Untuk masalah ini yang kocak adalah ketika saya harus pergi ke China, lantas hendak mengisi pulsa di sana dengan menggunakan pesawat saya. Petang hari, saya minta tolong orang sana untuk mengisikan pulsanya, soalnya saya budheg benar, lha wong informasi pengisiannya menggunakan bahasa China. Orang yang mengisi pulsa sampe mencari - cari pantulan sinar agar bisa membaca monitor ponsel saya. Sempat dia komentar dalam bahasa Inggris,'....ponsel anda gelap sekali monitornya....'. Saya jawab,'... itu ponsel hemat energi...'. Padahal monitornya mati. Kalau siang sih nggak masalah, karena ada sinar matahari. Dua kali rusak seperti ini, dua kali pula sudah ganti kabel sambungan monitor. Beres.

Kalau masalah batere yang sudah dua hari sekali musti di charging itu sudah kebiasaan. Dan sudah pernah ganti batere. Tapi sekali lagi, kalau monitornya acak - acakan seperti sekarang inilah yang bikin seru sekaligus pusing. Kadangkala saya sebel campur geli ketika hendak membaca monitor ternyata yang keluar malah motif batik. Lebih sebel lagi ketika musti nyetir dan terima sms. Ketika sms hendak dibuka ternyata tulisannya kacau balau. Belum lagi ternyata radio di mobil menginformasikan perihal kemacetan lalu lintas. Siang hari AC ngadat. Waduh...tobat...

Kadangkala siaran radio di mobil memang mempengaruhi suasana hati dalam berkendara. Nggak cuma ponsel atau AC ngadat. Contohnya berapa hari yang lalu saya dengar di radio bahwa Mr. Paus dari Vatikan berpidato di Bavaria. Dalam pidato itu, Mr. Paus sedikit menyinggung dan mengkritisi soal 'jihad', yang notabene istilah dari agama Islam. Sekilas Mr.Paus juga menyampaikan bahwa ajaran Muhammad mengajarkan ihwal kekerasan.
Andai sedikit bijak, menurut hemat saya mungkin Paus tidak perlu berpidato seperti itu. Riskan menyulut bara. Dan kini mulai menuai protes dari beberapa negara Islam, walau Vatikan telah merilis pembelaannya.

Kembali ke masalah ponsel, Istri saya sudah dari dulu berkomentar bahwa usia ponsel saya sudah uzur, layak ganti. Tapi saya kukuh tidak melaksanakannya. Saya punya target, bahwa saya harus habis - habisan dengan ponsel 'die hard' satu ini. Setidaknya menjadi ponsel yang paling akhir diremajakan setelah kakak - adik - dan Ibu saya. Habis - habisan pokoknya.
Kini semua ponsel kakak - adik saya sekarang sudah ganti. Dan terakhir Ibu saya bulan lalu sudah ganti ponsel pula. Nah, berarti kaul saya beres kan ?
Tetapi ternyata tidak ! Saya musti pinter - pinter nyisip budget, karena Istri saya sedang butuh budget juga merombak ruang makan, ....dan mobil tua saya juga sudah sering gemetaran bila jalan di atas 110 km/jam. Maklum, sudah saatnya zulficar memasuki masa overhaul yang biayanya cukup tinggi. Ini sih jadi seperti trivia atau kuis. Hayo...? Enaknya mana duluan : beli ponsel ? ...bikin ruang makan ? ....atau mbenerin mobil buat mudik nanti ? [] haris fauzi - 16 september 2006


RUANG MAKAN

Rumah saya tidak ada --tepatnya belum ada-- ruang makannya. Kalo untuk masalah kamar, 'Daralaman' --nama rumah itu, total jendral punya empat kamar tidur; satu buat saya, satu buat anak - anak, satu buat tamu ada di lantai dua, satu lagi buat pembantu. Semula seperti itu.Per-minggu lalu Istri saya mengusulkan bikin ruang makan. Biar nanti makan sahurnya nggak 'klesetan' di tikar lagi. Yang dimaksud klesetan itu ya males - malesan. Makan di sofa atau tikar kalo pas ngantuk kan jadinya males - malesan gitu.
Saya memutar otak untuk mencari lokasi lowong di rumah yang kecil ini. Ya nggak ada tempat lain selain harus 'menggusur' kamar tidur pembantu. Lha memang selama ini kami tidak memiliki pembantu 'full-time', yang ada pembantu part timer, dateng jam tujuh pulang zuhur. Dengan kondisi ini jelas lebih menguntungkan bila kamar itu bakal di sulap jadi ruang makan.
Eit..! Nanti dulu... soalnya kami juga pernah beberapa kali membutuhkan dan punya pembantu 'nginep'. Nah, entar kalo butuh lagi gimana ? Kalo untuk urusan ini sih yang jelas ya komitmen. Bila memang sudah mau menggusur kamar itu, praktis sampai kapan-pun nggak akan ada lagi pembantu nginep. Kecuali kalo sudah bikin kamar baru lagi.

Istri saya sih meng-iya-kan saja. Sudah kepingin punya ruang makan, kumplit meja kursi dan rak gantungnya. Apalagi menjelang lebaran nanti mertua dari Solo dan Ibu saya dari Malang akan bergantian menginap dan sahur di rumah kami. Dan toh selama ini gak ada pembantu nginep-pun semuanya oke - oke aja. Dalam hati saya sebenarnya pengen menunda proyek ini, soalnya mobil saya juga mesti di renovasi habis. Dan kondisi duit lagi cekak. Dengan kondisi di atas praktis saya jadi gak ada alasan lagi buat menunda rencana ini. Masalah duit nggak bisa jadi alasan, walau memang berat juga bila nggak diakalin. Wong buat mobil aja bisa diakalin buat dianggarin biaya repairnya, lha kok ruang makan kok enggak ? Bisa protes nih.... Bagaimanapun juga mobil itu identik saya, sementara rumah identik Istri saya.

Lewat segala cara penghematan dan uang ketat, saya coba realisasikan proyek ruang makan ini. Syaratnya muat lima orang. Pertama - tama saya suruh tukang untuk merobohkan satu sisi dinding kamar pembantu yang kebetulan langsung akses ke dapur. Trus saya bikin tanggul kecil dan lantas semua dinding di cat oranye pastel. Manteb juga, murah meriah. Dinding dapur dikeramik separoh dan di cat sekalian biar jadi se-irama warnanya.

Meja makan saya siapkan dari papan bekas dipan tempat tidur pembantu. Kan sudah nggak dipake lagi..? Kursinya dibuat dari dingklik kayu yang sudah ada dan saya tutup atasnya dengan spon busa. Spon busa dibungkus pake sarung bantal tenun dan di paku ke dingklik tadi. Praktis semua onderdil ini gak ada yang beli, sudah pada punya. Beres. Potongan sisa papan mau dibikin buat meja ngaji anak saya dan teman - temannya. Bisa memuat enam bocah, walau harus ditambah dengan membongkar satu meja usang. Yang jelas nggak ada perabotan yang beli.

Total jenderal sejak ngerobohin dinding hingga bikin busa dingklik semuanya butuh waktu nggak sampai dua minggu, dan biaya nggak lebih dari delapan ratus ribu. Yang belum ada adalah rak gantung atau lebih kerennya biasa disebut kitchen set, walau kali ini letaknya nggak di dapur. Kalo beli sih bisa seharga tiga jutaan, mungkin lebih. Nah, untuk yang satu ini saya belum punya rencana tersendiri untuk merealisasikan. Lagi saya coba dengan memutar otak. Kalau ini terwujud dan istri saya suka, sebagai perimbangan berarti saya bisa juga dapat kompensasi buat pasang amplifier di mobil tua saya. Asyik…. bisa nyetir sambil nyanyi kenceng - kenceng... haa.. haa.. haaa....[] haris - fauzi - 21 september 2006


!

Penthung ! Tanda seru. Jamak orang ngerti sebagai pertanda perhatian. Saya punya seorang sobat milis dimana kami berkorespondensi secara kelompok. Namanya Mas Gatot, dia adalah seorang pe-resensi musik. Mulai musik progressive rock hingga heavy metal yang menurut Mas Gatot suara growling vocal-nya "...yang kayak muntah kolak itu...".

Saya hanya beberapakali bertemu muka dengan dia, seingat saya hanya di dua event, yakni pas mau pulang dari nonton konser Helloween di Ancol beberapa tahun lalu, dan yang kedua pas mau nonton konser Edane beberapa bulan lalu dimana Mas Gatot malahan jadi MC-nya.

Dari surat - suratnya, mas Gatot mewujud sebagai orang humoris yang penuh semangat. Cocok dengan profesinya sebagai konsultan manajemen. Dan yang perlu ditandai adalah di setiap suratnya bertaburan 'tanda penthung' tadi. Dengan gaya kocak-nya, tanda penthung ini menjadi ikon penting yang membikin selera orang untuk mengikuti pesan sponsornya. Ya, salah satu ciri khasnya mas Gatot adalah 'tanda penthung' itu.

Ada kisah begini : konon suatu kali beliau ini bersama rekan - rekannya membentuk komunitas, namanya 'i-Rock'. Tak usah saya jabarkan apa itu komunitasnya, yang jelas mas Gatot selalu kampanye dan provokasi bahwa nama komunitas tersebut harus berakhir dengan tanda penthung, 'biar semangat...', gitu alasannya. Dan, nama itu akhirnya resmi menjadi 'i-Rock !'; dengan tanda penthung. Mas Gatot pastilah puas sekali.

Saya tak hendak menulis soal mas Gatot, saya hendak menulis soal tanda penthung. Dua minggu lalu saya menyusuri toko Gramedia, dan akhirnya mata ini kepenthok ke buku kecil bersampul warna putih-oranye. Buku keluaran kelompok Mizan ini judulnya adalah 'Ahmadinejad !', pake tanda penthung !. Wah, ini juga cocok sekali dengan berapi - apinya isi buku itu sendiri, yang menceriterakan kisah hidup Presiden Republik Islam Iran sekarang. Ya, Ahmadinejad memang tokoh yang layak mendapat simbol 'tanda penthung' juga. Dia penuh semangat dan kukuh pada prinsipnya.

Sekali lagi, tanda penthung ini sedikit banyak membuat kita juga semangat untuk membacanya. Saya sudah membuktikan sendiri dengan terpancing untuk membelinya dan lantas sesegera mungkin melahap buku tersebut. Entah karena tanda penthungnya, atau entah karena sosok Ahmadinejad yang memang membuat saya kagum padanya.

Di dunia lirik atau puisi umumnya di dunia tulis - menulis, tanda seru sering mengikuti kalimat bernada keras yang berhuruf kapital. Walau tidak semuanya plek seperti itu. Juga sering muncul tanda penthung ketika menyampaikan hal atau pesan yang berulang. paling gampang adalah lirik lagu. Kalau vokalis-nya 'mbengok' (berteriak) dalam menyanyikannya, boleh jadi liriknya akan memuat tanda seru. Umum.

Ya begitulah. Tanda penthung telah mengalami banyak kemajuan. Kalau dahulu dia dominan di penulisan 'kalimat bernada keras' saja, sekarang bahkan judul, nama, dan lainnya ke-asyik-an memakai simbol penthung ini. Dibalik fungsi utamanya, bagi saya 'tanda penthung' memang memiliki sosok yang berniat untuk menarik perhatian, supaya kita lebih bisa merasakan makna yang dipesankan pada kalimat sebelumnya. Menekankan. Sekali lagi... menekankan ! [] haris fauzi - 22 september 2006


LATIHAN PUASA

Katanya, anak kecil harus dibiasakan puasa ramadan. Katanya buat latihan. Latihan ? Konotasi latihan adalah untuk latihan fisik, contohnya adalah latihan sepakbola, latihan lari, lan sakpanunggalane.

Kalau boleh saya ceriterakan pengalaman pribadi saya adalah sebagai berikut. Saya setiap hari Minggu atau Sabtu subuh berusaha selalu untuk lari pagi. Ini jelas latihan fisik. Beberapa kali saya pernah mencoba berlatih dengan tujuan meningkatkan kemampuan berlari. Maksudnya ketahanan lari-nya. Soalnya denger -denger lari pagi itu baru bermanfaat dengan baik setelah berlari non-stop minimal lima belas menit.
Nah, dalam tiga bulan rutin setiap minggu lari pagi dengan peningkatan sedikit -sedikit, maka durasinya bisa mencapai tiga puluh menit non-stop lari tanpa henti. Itu kalau tiga bulan --berarti dua belas kali berturut - turut selalu latihan tanpa henti, hasil akhirnya saya bisa berlari selama tiga puluh menit. Hasil awal --kemampuan awal sebelum rutin berlari-- first-run saya adalah dua belas menit non-stop.

Kebalikannya, kalau sudah tiga bulan bolong terus nggak pernah menjalani rutinitas lari ini, maka hari itu saya paling banter akan kuat berlari selama dua belas menit non-stop. Jadi balik lagi ke kemampuan first-run. Nah, dari sini saya bisa berpendapat, bahwa kemampuan fisik itu bisa turun dengan signifikan dalam tiga bulan. Percuma tiga bulan yang lalu bisa berlari selama setengah jam, kalau tidak pernah di asah ya sekarang jelas ngos - ngosan dalam hitungan sepuluh menit saja.

Puasa ? Puasa itu siklus tahunan. Setahun sekali, dan bisa dilatih seminggu dua kali untuk puasa Senin - Kemis. Lha kalo seorang anak disuruh puasa ramadan dengan alasan untuk latihan menahan lapar, saya rasa itu kurang tepat. Alasan saya yang pertama adalah, kemampuan ber-'lapar-lapar' itu akan hilang lagi pada setahun kemudian, karena bila tidak dilatih maka dalam tiga bulan kemampuan fisiknya diestimasikan akan turun drastis. Ini omongan bego saja dari saya yang menyejajarkan latihan puasa dengan lari pagi.

Alasan saya yang kedua adalah, sebenarnya seorang anak itu malahan lebih pintar menahan lapar dibanding orang dewasa. Jadi, bisa saja sebenarnya seorang anak umur enam tahun itu lebih senang berpuasa daripada makan siang yang kebanyakan sulit sekali dan lama beresnya.

Analisa lain adalah bila diperbandingkan dengan ritual ibadah lain yakni shalat. Shalat itu juga harus dilatihkan ke bocah. Padahal se-sulit apa sih sholat itu ? Pada saat anak saya umur empat tahun, pernah dia saya ajak ikut sholat tarawih. Dan dia bisa membereskan dengan baik, padahal sudah banyak orang dewasa yang males - malesan sholatnya menjelang sholat witir (penutup).
Artinya adalah sebenernya ternyata gak perlu fisik yang tangguh untuk melakukan sholat, tetapi banyak juga yang gak bisa melaksanakannya. Untuk sholat ini, jelas sekali bahwa latihan sholat buat bocah lebih diperuntukkan sebagai latihan rohani. Latihan untuk memupuk kesadaran akan sholat. Latihan untuk menghadap kepada Sang Pencipta, tempat memohon segala pertolongan. Biar nggak males sholat, gitu singkatnya.

Dalam pengalaman saya, latihan rohani itu butuh waktu yang lebih panjang untuk menuai hasilnya, jadi harus jauh - jauh hari memulainya. Juga butuh waktu yang lama untuk melekangkannya. Jadi latihan rohani si bocah di bulan ramadan kali ini, bisa dilanjutkan latihannya di tahun depan. Tidak terlalu signifikan penurunannya dibanding latihan fisik.

Ujung maksud tulisan saya adalah, bagi saya, latihan berpuasa untuk anak - anak itu sebaiknya dijalankan dengan penekanannya adalah latihan rohani, bukan kemampuan fisiknya dalam menahan lapar. Dalam bulan puasa, seorang anak dilatih untuk menahan hawa nafsu, lebih peka terhadap kepapa-an masyarakat sekitar, berusaha memperbanyak ibadah ritual seperti ikutan tarawih, dan sebagainya. Pokoknya sebaik - baiknya latihan rohani itulah.... Dan, seperti beberapa nasehat sufi yang pernah saya baca, peningkatan kemampuan rohani itu ujungnya bisa mengenyahkan rasa lapar itu pergi dengan sendirinya. Percaya atau tidaknya terserah masing - masing, lha wong saya sekarang ini juga sedang berlatih puasa.....[] haris fauzi - 24 September 2006 --hari pertama puasa.


BERHENTI DIMANA

Saya beberapa kali bepegian naik bis. Yang sering sih Bogor - Jakarta, yang punya 'terminal bayangan' di dekat Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.

Apalagi sekarang sedang dibangun jalanan untuk busway di dua arah di kawasan itu. Waduh. Macet banget. Dan jalur untuk angkutan umum --termasuk bis-- yang sudah dipinggirkan itu makin untel - untelan (sesak-sesakan) sahaja. Penuh sekali, dan ngantri lagi, soalnya namanya angkutan kota atau bis, pastilah tidak sebentar waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses bongkar angkut penumpang. Sepenuh apa ? yang jelas lajur untuk bis ini tidak muat, bis - bis yang ngantri masuk lebih cepat dan lebih banyak ketimbang bis yang lolos jalur ini. Output tidak sebanding dengan derasnya input. Otomatis antrian jadi lebih panjang melebihi pipa yang disediakan.

Sebanyak apa-pun petugas lalu - lintas yang diturunkan ke area itu, masihlah terlalu penuh sesak itu lintasan bis. Karena memang kapasitasnya yang sudah nggak cukup lagi. Apalagi pas pagi hari jam berangkat kerja. Bertumpuk - tumpuk bis, berjejal berlomba menyemburkan asap solar yang menyapu make-up para pekerja yang juga berjubel di situ. Edan.

Ya namanya bis ngantri dan penumpang juga nggak sabaran, maka ketika bis itu mulai mandeg karena ngantri, otomatis penumpang sudah mulai turun bertimbun - timbun dari bis ... meluber ke trotoar disekitarnya. Nggak ada yang salah sih, lha wong bis juga lagi nggak bis maju mentok bis di depannya, ngapain lagi penumpang kalo nggak pada turun untuk berburu bis berikutnya.

Nah, lucunya itu kemarin nggak tau atas kesalahan apa, bis yang saya tumpangin disuruh maju terus sama petugas yang jaga. Lha gimana mau maju, kalo permintaan itu dilayani ya bis yang saya tumpangin akan nyundhul bis depannya. Mungkin petugas itu kesal, karena bis itu menurunkan penumpangnya tidak pada tempat yang benar. ...Seakan kesal banget dengan ulah bis yang menurunkan penumpang disitu.

Ya itu tadi, memang sebelum memasuki area halte dimana penumpang bis boleh naik-turun, bis itu telah macet duluan, ya otomatis penumpang pada berhamburan turun. Bagi saya hal ini merupakan kesalahan lokasi, bukan kesalahan prosedur. Dan kesalahan ini karena sebab khusus. Yang saya belum bisa mengerti adalah mengapa petugas itu memukul - mukulkan tongkatnya ke badan bis, menyuruh - nyuruh maju terus, padahal semua orang waras juga tau itu nggak mungkin.

Setelah bis maju, maka usai juga acara pukul-pukul tadi. Masih ada beberapa penumpang tersisa yang nggak sempat turun dari bis. Nah, para penumpang terakhir inilah yang malah benar, dia turun di tempat yang benar. Tapi cuma sedikit gelintir penumpang yang turun di halte, ya karena sebagian besar sudah terburai tadi.

Usai turunnya sedikit penumpang ini, terjadi insiden kecil. Rupanya ada praktek premanisme di area ini. Jadi, andai ada bis menurunkan penumpang, ternyata kernet bis harus membayar sejumlah uang ke preman halte, demikian juga bila ada penumpang naik. Insiden yang terjadi adalah preman itu meminta sejumlah uang yang menurut kernet bis terlalu banyak. Kernet beralasan bahwa separoh lebih penumpang bis-nya tidak turun di area halte itu. Preman halte masih juga kukuh bahwa itu-pun masih jatah dia. Petugas lalu lintas tampak beberapa berada di sekitar lokasi itu tetapi membiarkan saja, seakan menganggap lazim saja ada kutipan liar seperti ini.

Dengan ekor mata saya masih melihat petugas bertongkat di ujung jalan sana masih saja menyuruh - nyuruh bis yang tertegun macet untuk harus menurunkan penumpangnya di halte. 'Maju...! Maju...!'...Dok..! Dok..! tongkatnya memukul badan bis. Dan, kalau bis menurunkan sebanyak - banyaknya penumpang di halte, maka rasanya preman halte-lah yang mendapatkan banyak uang pungli. Ada apa di disini ? Dimanakah bis harus berhenti ? Dimanakah penumpang harus turun ? Petugas tadi ...? [] haris fauzi - 29 september 2006