Thursday, July 31, 2008

kenisah : ternyata ibu tau

 
TERNYATA IBU TAU
 
Mbosenin emang sih kalo saya  cerita soal sekolahan melulu. Tapi mau bagaimana lagi ? kali ini saya masih pengen cerita soal sekolah saya dulu. Sekali lagi yah. Soalnya ada hal yang membuat saya ngak bisa melupakan untuk cerita di bawah ini. Bukan karena kelakuan saya, tetapi respon dari Ibunda yang ternyata di luar dugaan saya.
 
Alkisah saat itu saya duduk di kelas satu SMA. Target jangka pendek adalah dapat pacar...eh, ga...tapi naik kelas. Naik ke kelas dua. Semudah itu ? Tidak, bro ! Because amergo karena sebab SMA-nya cukup favorit, maka jelas-lah, saya keteteran buat bersaing dengan para teman - teman yang para jawara dari asal sekolah masing - masing. Dan lagi,  ada hal yang tidak boleh dikau abaikan, kenaikan dari kelas satu menuju ke kelas dua berarti penentuan penjurusan. Maksudnya, jaman saya dulu, kelas dua SMA adalah kelas penjurusan, ada tiga jurusan metromini.....ala....bukan, maksudnya jurusan Fisika (dengan kode A1), Jurusan Biologi (kode A2), dan Jurusan Sosial (A3). Di sekolah kami ada tiga jurusan itu.
 
Dan bukan berlagak keren - kerenan semata, saya kepincut dengan jurusan Fisika. Tok Cer, mbok ! Saya lihat kakak saya yang satu tahun di atas saya, wuih....mantab pula pelajarannya....rumus yang bertumpuk - tumpuk...asli keren, dan buku dengan rumus seperti itu pasti bisa buat gagah - gagahan. Hahahahaha....
Dasarnya saya memang males, tapi saya pengen masuk jurusan fisika. Pengen jadi insinyur. Ikut - ikutan kakak saya. Lha kakak saya memang jagoan rumus - rumusan kaya gitu. Saya ini agak kedodoran. Rumus bertingkat dua kayak persamaan Bernoulli aja udah membuat saya megap - megap. Di kasih kalkulator nggak tau mana pula yang musti dikerjain duluan. Jawaban akhir ya musti nyontek. Beres.
 
Oke. Target sudah dikibarkan, kudu tembus jurusan Fisika. Fisika or Burst ! Walah. Masalah kedua muncul, ternyata di kelas satu, saya kurang bisa mengerti pelajaran Fisika. Yang ngajar namanya Pak Ridwan. Nilai ulangan saya jeblok melulu. Padahal mata pelajaran inilah yang memegang kunci kalao saya pengen masuk jurusan Fisika. Nilai Fisika kudu apik. Setengah mati saya belajar dan nyontek untuk urusan yang satu ini. Dasar bego kali yah.
 
Yang bikin kecut adalah kenyataan bahwa penempatan jurusan di kelas dua itu bukan pilihan murid, tetapi hasil analisa dewan guru. Kalo kita memang dianggap cocok ke jurusan Fisika, ya pasti kita suka nggak suka akan ditempatkan di jurusan itu. Demikian juga untuk jurusan - jurusan yang lain. Gawatnya adalah mata pelajaran Ekonomi dan Koperasi. Kenapa gawat ? karena saya merasa cocok dengan Pak Basuki, guru mata pelajaran tersebut, maka nilai saya cukup bagus. Ulangan harian rata - rata untuk mata pelajaran Ekonomi & Koperasi saya adalah delapan. Jadi gawat karena saya bisa jadi bakal di tempatkan di jurusan Sosial, karena mata pelajaran Ekonomi adalah mata pelajaran utama jurusan Sosial. Saya gak mau.
 
Bagaimana dengan mata pelajaran Biologi ? Saya bego total. Udah, klop pokoknya ga pengen masuk jurusan biologi, nilainya-pun sering dapet angka kursi terbalik. Jadi ga ada problem disini, selain amarah Ibu yang selalu muncul ketika nilai saya jeblok. Ibu nggak peduli untuk mata pelajaran apapun, pasti saya dimarahi bila nilai saya berantakan. Suka atau tidak.
 
Untuk mata pelajaran penunjang, jurusan Fisika musti keren di nilai matematika. lagi - lagi saya kelabakan. Sementara untuk jurusan Sosial, saya malah dapet nilai cukup keren untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kimia ? Sama dengan biologi. Bego abis.
 
Oke...oke...Cita - cita musti tercapai masuk jurusan Fisika di tahun depan. Bagaimana skenario selanjutnya ? Saya punya rencana nekad. Apabila nilai Fisika saya tak kunjung membaik, maka saya harus berjuang supaya nilai Ekonomi saya ambruk. Sebisa mungkin di bawah nilai Fisika. Apapun halal haram udah masuk skenario. Tapi ini gak gampang. kalau semua nilai jelek, saya bisa - bisa malah ga naik kelas. Ide edan ini nggak saya sampaikan ke Ibu. Dia bisa marah besar bila mengetahui hal ini.
 
Tahun ajaran kelas satu berjalan cepat, namun berat. Ujug-ujug tibalah saatnya raportan. Dan saya naik kelas....dengan jurusan FISIKA. Vonis yang menyenangkan. Amboiii.......cita - citaku berhasil. Saya seneng setengah mati. Saya bisa melangkah masuk pintu gerbang sekolah dengan gagah : "Rek...saya ini pengikut ajaran Sir Isaac Newton...Tau siapa dia ? Newton adalah orang terhebat nomer dua di dunia setelah Nabi Muhammad.....". Saya merujuk dari buku " 100 Tokoh yang Paling berpengaruh dalam Sejarah", karya Michael H.Hart. Punya kakak saya. Top, bukan ?
 
Namun, Ibu yang selalu mengamati nilai raport, ternyata sungguh teliti. Dia melihat bahwa ranking saya yang udah jelek makin buruk saja. Jauh lebih buruk dari ranking raport sisipan (tengah semester), dan semester ganjil (semester satu). Kalao nggak salah ingat, saya rangking 10 besar dari bawah kali ini. Dari sekitar 50 siswa.
Di usut oleh Ibu, ternyata nilai yang selama ini mengantungi angka 8, yakni Bahasa Indonesia dan Ekonomi & Koperasi, kali ini terpuruk. Sementara nilai Fisika yang langganan 6, tetep 6.
 
Gak lama setelah saya masuk kelas dua, tentunya jurusan Fisika...sekali lagi, FISIKA Pak De !!!!, -- saya musti mengembalikan raport ke sekolahan. Sebelum saya bawa ke sekolah, Ibu memeriksanya sekali lagi, dan bilang," Saya tau kamu pengen bener masuk jurusan Fisika...dan udah kesampaian....tapi...kayaknya nilai Ekonomi kamu bikin jeblok supaya kamu bisa masuk Fisika ya ?". Nyelidik.
Waduh. Ternyata Ibu tau. Siapa yang mbocorin aksi saya yah ? []31 Juli 2008

salam,

haris fauzi

Sunday, July 27, 2008

kenisah : Mintun Si Pembual

 

Mintun Si Pembual

 

Kami memanggilnya Mintun. Julukan dari plesetan nama sebenarnya, julukan dari temen - temen sekelas. Ketika kami bermain sepenggal waktu di saat jeda sekolah, dia suka bercerita, lebih tepatnya membual. Karena, hanya mengobral kibulan sajalah keahlian dia. Bermain sepak bola, bermain kejar - kejaran, bukan kepintarannya. Apalagi akademis, dia jauh terbelakang. Memang Mintun memiliki sedikit gangguan, yakni daya tangkapnya lemah, maka dia pernah diganjar tinggal kelas. Dan di kalangan kami, murid SD asrama tentara, hal itu tidaklah khusus, karena banyak di antara kami yang juga menggalami tidak naik kelas, salah satu sebab yang menonjol adalah karena sikap badung. Ciri khas anak kolong.


Namun kekurangannya itu bukanlah alasan utama kenapa Mintun memiliki kebiasaan membual. Dan bila saya ditanya soal itu, hingga kini saya juga nggak tau apa alasannya. Padahal bila dihitung masa sekarang, maka saya sudah mengenalnya tiga puluh tahun yang lalu.

 

Pada sore hari, kadang Mintun menyempatkan datang ke rumah saya. Memang jarak rumah kami saling berdekatan. Juga dengan rumah murid - murid yang lain, sehingga kami dengan mudah saling mengetahui di mana seorang anak sedang nongkrong pada sore itu. Namanya anak SD, biasanya sih memang sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Berkerumun di sekitar situ sahaja.

Bila Mintun datang, kadangkala ada sejumput rasa jemu, karena toh dia akan membual lagi, membual lagi. Dan saya harus mendengarkan dengan muka kecut. Orang tua saya suka menasehati saya agar Mintun diajak bermain aja, dengarkan saja, ga usah ditanggapin, apalagi diledek. Toh nggak rugi sepeser jua. Apalagi kadang Mintun datang dengan membawa tas sekolah. Mungkin maksudnya belajar. Maka saya akan menemaninya hingga dia pulang, sekitar waktu isya. Walau bawa tas, niatnya belajar, tapi saya tau, sebagian waktunya pasti dipegunakannya untuk membual dihadapan saya sampai saya jemu mendengarnya. Ah, tapi Ibu saya bilang saya harus menemuinya. Maka saya menemui Mintun, walau dengan lunglai.

 

Beranjak ke jaman SMP, kami berpisah. Bertaburan ke sekolah baru, atau ada yang hilang jejak. Gak dinyana, suatu sore di hari libur, Mintun datang ke rumah. Saya hanya bisa geleng - geleng kepala. Belum sempat saya berkomentar, dia sudah membombardir dengan bualannya. Ibu saya ikut menemani, setengah tersenyum - senyum. Mungkin tau bahwa apa yang didengar kali ini hanyalah bualan belaka.

 

Entah kenapa, beberapa bulan sekali Mintun datang dengan rutin ke rumah, minta di dengarkan bualannya, dan dengan sapaan pamitan yang dari dulu itu - itu mlulu:"...Ris, awakmu kaet ndisik cilik ae, ga duwur - duwur...". Artinya kurang lebih : Ris, kamu dari dulu kecil mlulu, gak tinggi - tinggi...
Mintun memang berbadan tinggi kurus.


Hanya itu. Mintun datang, membual, lantas pulang. Tinggal saya yang sebel.

Gak cuma dimasa SMP, kala SMA hingga saya duduk di bangku kuliah-pun kadangkala dia masih rutin sambang ke rumah saya. Menurut beberapa informasi, Si Pembual ini juga sering berkunjung ke rumah teman - teman yang lain. Tapi repotnya, karena kami anak kolong, rata - rata teman sudah pindah rumah beberapa kali mengikuti tugas orang tuanya. Bahkan Mintun-pun katanya sejak lulus SD sudah berdomisili di seberang lautan, hanya beberapa waktu kadang dia pulang ke Malang. Nah, mungkin ketika ke Malang inilah dia menyempatkan berkunjung dan bermain ke rumah saya, untuk membombardirkan bualannya, dan saya mendengarkan dengan takzim...seperti yang dianjurkan orang tua saya.

 

Suatu hari saya pernah menjumpainya. Kami berbpapasan di ujung gang. Lucunya, kali ini Mintun berlaku sebagai seorang asisten mantri. Memang gitu, dia sering berlaku sperti obsesi yang sedang dipikirnya kala itu. Kadang Mintun berlagak menjadi pegawai di sebuah instansi, lantas membual-kan ihwal kerjaannya. Kadang datang dengan membawa gepokan proposal lantas ngibul tentang proyek - proyek, kadang berjumpa di jalan mengenakan kacamata dan berlagak seperti pegawai kelurahan. Macam - macam aksinya. Memang, walau akhir - akhir ini saya jarang mudik ke Malang, tetapi ketika mudik saya beberapa kali menjumpainya berkeliaran di dekat pasar di timur kampung saya. Bila berjumpa, saya berbasa - basi alakadarnya sebentar saja. Lantas pergi lekas.

 

Suatu ketika di saat saya berkesempatan mudik ke Malang, saya hendak mengantar Ibu ke mesjid. Mesjid itu berada di kampung Mintun, sebelah kampung saya, berbatasan dengan pasar dimana Mintun sering berkeliaran. Saya bersama adik saya. Tak tau kenapa tiba - tiba adik saya berkata sambil tertawa,"Mas..Ingat Mintun ?...tuh orangnya lagi di shaf depan...udah kayak ustadz aja dia sekarang...hehehehe...".

 

Dan bisa diduga tak lama kemudian, sekali lagi saya bersua dengan Mintun, Si Pembual itu. Dengan senyumnya yang khas, dia menghampiri lantas memulai percakapan bualannya. Yang saya pikirkan kali itu bukan bualannya. Namun saya terus terang merasa salut dengan semangatnya mengikat tali ukhuwah. Dia tidak pernah bosan berkunjung, bertatap mata, berbincang, dan membagi senyum. Bisa jadi disaat dia bertemu orang lain, lantas dicibirkan sebagai tukang bual, mungkin hatinya pedih. Tapi, saya selalu melihat, bahwa dia selalu tersenyum dan menyapa orang lain. Saya baru sadar, bahwa inilah yang dinasehatkan orang-tua saya tempo lalu saat saya masih SD. Bahwa saya harus tetap menerima kunjungan Mintun walau cuma sebal mendengarkan bualannya.

 

Saya mulai semakin mengerti, bahwa di dunia ini ternyata banyak para pembual layaknya juru kampanye, banyak pemimpin yang berbohong, banyak pengusaha yang mengakali rekan bisnis, banyak juragan yang nilep pajak, itu semua bohong dan ngomongnya membual ...hampir semua isi dunia ini dihuni oleh para pembual dan pembohong, mungkin salah satunya adalah saya. Jadi, kita semua sama, Mintun - Mintun yang memiliki profesi sebagai tukang bohong. Hanya saja Mintun dicibiri karena tidak berdasi, karena tidak berpangkat, karena tidak memiliki perusahaan. Hanya saja Mintun dicibiri karena dia tidak berkuasa, dan hanya bisa tersenyum agak bloon demi pertalian kekerabatan.

 

Mintun memang berbohong, membual. Tapi, saya sadar bahwa dia membual karena memang memiliki keterbatasan. Dan yang penting, saya merasa tidak dibohongi olehnya. Karena saya maklum. Dan, potongan style dia memang gak meyakinkan. Akhirnya saya tidaklah sakit hati mendengar bualan dia. Saya jadi melamunkan segala bentuk kebohongan yang pernah dilontarkan orang - orang terhormat. Semua bikin sakit hati. Bualan Mintun dan bualan para orang terhormat itu berbeda. Ya. berbeda ! Saya merasa absurd.

 

"Kamu sekarang dimana ?", tanya Mintun membuyarkan lamunan saya.
"...disini aja..tetep di rumah Ibuku..", jawab saya membatasi diri.
" Kalo saya sekarang lagi cuti kerja...berlibur...", bualan dia mulai lagi.
[] haris fauzi - 25 Juli 2008

salam,

haris fauzi

Friday, July 04, 2008

kenisah : si pemaaf dan si penjaga

SI PEMAAF DAN SI PENJAGA
 
Entah tradisi apaan, yang jelas Bapak - Ibu saya memiliki empat anak, dimana keempat - empatnya memiliki tiga kata dinamanya masing - masing. Dan dari ketiga kata dalam nama saya, kata pertama dan kata ketiga memiliki kesamaan arti dengan nama kakak saya. Yang berbeda adalah nama tengah. Nama tengah saya berarti Si Penjaga, nama tengah kakak saya berarti Si Pemaaf.
 
Kesamaan nama, bukan berarti trus kami mirip. Rupanya selisih jarak kelahiran dua tahun bisa mengubah segalanya. Kami berbeda total. Dari sisi perangkat keras, warna kulit, bentuk wajah, potongan rambut --walau rambutnya sama lurus-- , hingga cara berjalan, kami tidak memiliki kesamaan.
Prosesornya-pun berbeda, kakak saya jagoan akademis hingga lulus sarjana, sementara saya jadi juara kelas hanya sempat di bangku SD, selebihnya melempem seperti petasan kena siram air, bahkan raport saya pernah ada angka lima, dan surat kelulusan memuat kursi terbalik alias angka empat. Dalam hal ini kesamaannya mungkin cuma sama - sama kurus.
 
Dari sisi perangkat lunak, sungguh mencolok. Saya lebih sering meledak, sementara dia kalem aja. Urusan kantor juga bisa diredamnya dengan baik. Sementara saya kala bercerita hal yang sama, bisa sambil berdiri, kalo perlu pake peragaan tendangan segala. Seorang teman pernah menertawakan perbedaan kami yang begitu mencolok ini.
 
Andai kami berjalan berdua, hampir semua orang mengira kami bukanlah saudara. Yang satu gondrong, baju dikeluarkan, gerakannya responsif. Satunya lagi penampilan rapi standar, pelan gerak dan volume suaranya. Beda total antara Si Pemaaf dan Si Penjaga.
 
Tapi jangan salah, diantara setumpuk gepokan perbedaan, kami berdua memiliki kesamaan. Sama - sama hidup sengsara maksudnya...haa..haa..haa.....
Atau, paling tidak masing - masing rumah kami memiliki kesamaan tetangga. Tetangga kanan memiliki rumah yang sangat mewah di banding rumah saya, sementara tetangga kiri tidak dihuni hingga rumputnya merimba. Rumah kakak saya-pun begitu.
 
Bukan hanya itu. Suara kami sama, kata orang sih kalau di pesawat telepon boleh dikata hampir persis. Kasus pertama yang membuat saya tertawa tergelak - gelak adalah ketika kakak saya menelepon ke kantor saya dan diterima oleh sekretaris ruangan. Sektretaris ini namanya mbak Tiwi. Dia mengenal suara dari orang se-ruangan tentunya dan banyak lagi lainnya, dan juga suara saya. Dan ketika kakak saya menelepon bilang bahwa dia mencari dan hendak bicara dengan seseorang bernama 'Haris', kontan mBak Tiwi membalas,"...ah, jangan bercanda..Haris kok nyari Haris, sih ?".
Kontan kakak saya bingung.  Dan ketika mBak Tiwi melihat saya sedang berjalan di koridor dia lebih bingung lagi,"...lha itu Haris, ....lha yang nelpon ini siapa ?", gitu pikirnya.
Ada beberapa contoh lagi, seperti ketika saya menelepon rumah kakak dan diangkat oleh penjaga rumahnya saya dikira tuannya. Dia bingung, ngapain tuannya telpon, kan sedang ada di rumah ?
 
Dan yang paling ga bisa dipercaya adalah setiap ketika saya menelepon Ibu di Malang.
"Halo...Assalamualaikum...", gitu Ibu biasa memulai pembicaraan ketika menerima telepon.
"Wa'alaikum salam, ....Ibu sehat ?", saya balas begitu.
"...ini...Haris ya ?.. atau Ghufron...?", Ibu tebak - tebak buah manggis.
[] haris fauzi - 4 Juli 2008

Thursday, July 03, 2008

kenisah : ragu dan beku

RAGU DAN BEKU

Seseorang menyapaku dari luar sana, mengajak entah apa. Agak gentar saya menghampirinya. Dia masih beku tanpa ekspresi, walau jarak sudah berkisar lima langkah. Hanya menyapa, tak hendak mengapa. Saya terlarut dalam bekunya. Sebeku lambung yang menyiksa.


Mungkin karena tak kuasa, saya tinggalkan kebekuan menjadi miliknya. Saya beranjak sembari berucap salam. Dia membalas sambil tetap tanpa ekspresi. Wajahnya seperti malam, sunyi tanpa bunyi.

Bebarapa hari kemudian, bersua dengannya lagi, saya menghampirinya tanpa disapa. Ada sedikit nyali di hati ini untuk menatap kebekuan. Ah, kebekuan itu masih miliknya. Sebagaimana biasa, ketika rasa takut itu mulai menyingkir,--yang tinggal adalah kekhawatiran dan ketidak-sabaran. Sedikit rasa khawatir yang berlebihan sebagaimana bawaan lahir, tak cukup kuasa menahan ketidak-sabaran yang menggoda. Saya membuka kata. Dia membalas seperlunya. Saya tau mukadimah itu hanya alakadarnya, tanpa esensi. Maklum juga, bila tidak ada tanggapan yang berarti. Kami masih - masing terlelap kembali tercenung. Kebekuannya masih menyiksa lambung. Hanya patah kata yang dia kehendakilah yang bisa memecah penyiksaan ini.

"Apa makna manusia tanpa ilmu ?", saya nekad membuka pembicaraan, lagi.
"Apa makna ilmu tanpa amal ?", dingin dia bertanya.
"Hanya teori dan embrio bencana ".
"Kali ini kamu benar. Apakah kamu masih mau mengejar hal itu ?".
"Manusia ditakdirkan untuk mengejar ilmu ", saya berkilah.
"Takdir ditentukan Tuhan, tetapi manusia berhak memilih ", dia beranjak pergi.
Mengajarkan sesuatu. Pergi dengan kebekuannya yang sedikit mencair. Tak lama kemudian saya melangkah mengukur tanah.

Berkiblat dari beragam referensi dan perdebatan, saya memang beberapa kali harus berurusan dengan dia, seorang yang saya pandang cukup pintar, namun apatis terhadap ilmu itu sendiri. Sebuah kontradiksi. Seperti seorang murid yang kelihatan pintar, namun tidak naik kelas. Ya, betul, memang kepintaran seseorang tidak harus diukur melulu dari prestasi akademis.

Manusia bertahan hidup dan melangsungkan harkat ke-manusia-annya melalui satu poros, poros itu bernama ilmu. Dari milyaran model makhluk hidup, hanya manusia yang memperoleh ilmu. Dari poros ini, tumbuhkan tunas - tunas yang berjuta banyaknya, merimba dan bercabang - cabang, namun porosnya tetap satu.


Di dunia legenda eropa kuno, manusia-lah yang mempunyai nyala api, selain obor dewa Zeus. Nyala api itu sendiri alkisah berasal dari obor dewa Zeus. Dalam kitab suci, Tuhan menyampaikan pesan pertama kepada Muhammad sebagai bentuk kiasan ,"Bacalah !".

Dalam legenda dikisahkan bahwa Zeus murka dengan hal ini. Mengapa Zeus marah kepada manusia ketika mengetahui bahwa manusia memiliki api ? Mungkin bisa jadi banyak penafsiran disini. Bagi saya, karena manusia memiliki dua adat, positif dan negatif. Zeus berniat menghukum manusia karena hal ini. Dari balik hatinya, Zeus mungkin khawatir, bahwa api itu, ilmu itu, akan disalah-gunakan oleh manusia, menjadi petaka bagi semesta yang berada dibawah naungan Zeus. Dan manusia adalah biang keroknya, dan api -ilmu itulah senjatanya.

Dalam Al-Quran juga dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk mulia bila ber-ilmu dan ber-amal dengan baik, bila berbuat kebajikan. Amal adalah tindakan, perbuatan. Namun status ini menjadi terbalik ketika manusia diturunkan derajatnya serendah - rendahnya, --bahkan lebih rendah daripada hewan,-- ketika amal perbuatannya tidaklah sesuai perkenan Tuhan. Klise, namun logis.

Ibarat senjata yang paling mumpuni, ilmu adalah alat bertahan hidup yang paling canggih yang dimiliki manusia. Semakin dalam ilmu itu, semakin banyak ilmu itu, bisa membuat manusia semakin 'abadi' dalam semesta ini. Dengan senjata ini manusia menjadi adikuasa di alam semesta, pun dia berhak menggunakan senjata tersebut semau - maunya. Hanya fitrah dalam kalbunya-lah yang bisa mengendalikan senjata tersebut.


Ali Syariati --revolusioner Iran-- pernah berpendapat, bahwa 'kesadaran' lebih penting daripada kedalaman ilmu itu sendiri. Yang dimaksud disini adalah kedalaman kepada nilai - nilai luhur, yang bagaimanapun, terasa sulit untuk di jabarkan tetapi dalam konteks kemanusiaan, hal ini sangat nyata. Syariati menyampaikan kesadaran 'sebagai makhluk ciptaan Tuhan'. Inilah fitrah dalam kalbu yang harus dipertahankan. Dan, apapun tindakan seseorang pastilah berlandaskan 'kesadaran' ini. Semacam super-ideologi yang menjadi 'pengendali'.


Betapapun dalam ilmu seseorang, semuanya dinilai berdasar tindakannya, tergantung amal-nya. Untuk apakah gerangan ilmu itu digunakan. Dan semua itu dibawah kendali 'kesadaran' manusia itu sendiri. Demikian juga kebalikannya, apabila memang ilmu seseorang tidaklah terlalu dalam, namun apabila digunakan dengan semestinya, maka dia lebih bisa bertahan menjadi manusia seutuhnya, manusia mulia. Bertahan ? Menjadi raja di semesta ini ? Menghindar dari kepunahan ? Hanya kiamat yang memusnahkan yang sanggup mengalahkan ?

Belum sempat saya menerawang lebih jauh, tangan ini telah menjangkau pintu mobil, lantas membukanya, duduk terhempas sejenak. Menyalakan mesin dan audio. Roda melaju menambah kecepatan. Angin menerpa dari sisa celah jendela. Timo Tolkki memainkan Capriccio di nada A minor.[] haris fauzi - 3 Juli 2008