Sunday, March 29, 2009

kenisah : sebelum pergi dari ingatan

SEBELUM PERGI DARI INGATAN
 
Saya sedang berjalan menuju deretan orang yang berjajar di mushola itu, saya baru selesai berwudlu. Rupanya sholat jamaah sudah mulai, segera saya menyusulnya. Selesai sholat saya menuju pojok mushola dimana tas ransel oranye milik saya yang terongok di belakang. Di dekat tas saya ada seseorang yang tertidur di mushola, namun anehnya dia tertidur di lantai. Dalam arti tidak tidur di atas tikar, padahal ada selembar tikar terhampar di dekatnya. Dia memakai kemeja warna biru dengan dua kantung di dada, berkain sarung.
 
Saya mengecek tas ransel sekali lagi, lantas mengatupkan semua rislitingnya. Ransel ini biasanya saya bawa ke kantor. Dengan cepat tas itu berpindah tempat ke sebelah kanan pundak saya. Tidak lupa telepon genggam saya cek sekali lagi, adakah panggilan tak terjawab yang muncul. Ternyata tidak. Saya berjalan pelan, keluar pekarangan mushola menuju jalanan berbatu. Terus berjalan. Di tengah jalan telepon itu berdering.
Kakak saya bicara di seberang,"...kamu sudah jalan ke Ngujil ?".
"Belum, saya sudah siap sih...tapi saya pulang dulu...besok saya baru berangkat", jawab saya.
"Oh..ya sudah...saya tunggu di rumah", dan telepon itu mati.
Rupanya kakak saya mengira saya sudah pergi ke Ngujil. Padahal rencananya baru besok saya hendak berangkat. Sore ini saya masih pulang dulu. Saya memang hendak merencanakan pergi dari rumah. Entah ke mana, yang penting ke Ngujil dulu. Di Ngujil dimakamkan almarhum Bapak saya.
 
Sekonyong - konyong jalanan menuju rumah menanjak. Padahal jarak sudah dekat. Dan semakin menanjak membuat saya terengah - engah memanjatnya. Makin lama jalanan itu makin menanjak, dan membuat saya makin berat menyeret badan ini. Bahkan ada kekhawatiran saya tak akan bisa melampauinya. "Perjalanan menggelandang baru besok...bahkan besok mau mampir dulu ke Ngujil sebelum pergi, ..lha kok sekarang aja saya sudah ngos - ngosan gini ?", pikir saya dalam hati. Jalanan makin curam, saya harus merangkak hingga jemari ini harus saya benamkan kuat - kuat di antara batu yang menggeragal keras. Namun tetap saja jalanan itu terlalu curam bagi saya. Memang, saya sedang lemah. Setelah sakit, dan lama tidak berolah raga. Namun seharusnya saya tidak selemah ini. Tidak seharusnya jalanan ini membuat saya menyerah. Saya was - was sekali. Andai saya teledor rasanya bakal merosot ke bawah dan akan jatuh berhumbalangan seperti batu menggelinding. Entah kenapa jalanan ini makin gila curamnya, tidak seperti biasanya.
 
Batu yang saya pegang sesekali terlepas berikut debunya membuat saya tergetar rapuh, nyaris terjatuh. Saya makin sulit bernafas, jantung ini berpacu diantara ketakutan akan fatamorgana. Ketika saya menengok ke belakang, ternyata saya sudah menanjak cukup tinggi, hingga bila saya jatuh, tentu akan menggelinding bebas ke bawah sana. Gila. Ini sudah sangat mencekam. Nafas ini semakin berat. Dan akhirnya saya tersadar. Saya terbangun dari mimpi itu.
 
Saya bukan seorang penidur yang baik. Seringkali bermimpi, dan beberapa kali wujud mimpinya tidak karu - karuan, bukan mimnpi pesta yang menyenangkan, apalagi dalam kondisi sedang tidak enak badan. Terus - terang, seminggu kemaren saya menderita radang tenggorokan hebat. Berikut gangguan pencernaan. Selain badan saya menjadi sangat lemah sehingga saya sering kelelahan sepulang dari kantor, rasa sakit itu membuat beberapa malam saya tidak mampu tidur malam dengan baik. Terbangun entah tiga-empat- atau lima kali. Sungguh tidak nyaman. Dan, diantara deretan malam yang saya lewati dengan tidur terbata - bata dan mimpi yang bergentayangan, mimpi itulah yang saya alami malam itu. Mimpi di hari minggu, dini hari. Membuat saya terbangun tepatnya pada pukul 04.50. Alhamdulillah tidak terjadi apa - apa. Hanya mimpi.
 
Tentang mimpi yang saya alami, biasanya, saya jarang bisa mendiskripsikan dengan baik mimpi yang saya alami. Sering lupa akan kejadian dalam mimpi. Namun ada beberapa tema mimpi yang berulang muncul. Mimpi yang paling sering berulang adalah mimpi bertemu almarhum Bapak saya, atau berkaitan dengan Bapak. Di dalam mimpi itu beliau muncul entah sekedar bercakap atau memberi wejangan. Yang paling sering adalah mengingatkan tentang sholat, maklum, semakin kesini sholat saya memang semakin jelek. Paling tidak, dibandingkan masa kuliah, atau dimana Bapak masih hidup dimana saya bisa sholat di awal dan masih sering menjalankan sholat sunnat hampir sepanjang saat dhuha dan sholat malam. Berbeda dengan sekarang dimana saya malah seringkali terlambat menunaikan sholat wajib, entah karena teledor, ngurusin kerjaan, atau sebab yang lainnya.
 
Ya. Itulah bagian mimpi yang bisa saya ingat dengan kuat, sisa kejadiannya pergi begitu saja dari ingatan. Ya, kemunculan almarhum Bapak dalam mimpi saya memang termasuk sering. Ini juga berarti saya semakin teledor menunaikan sholat. Setelah beliau meninggal, memang saya seakan kehilangan guru, kehilangan pemandu, dan tempat mengambil keputusan yang baik. Terus terang rutinitas kehidupan saya banyak dipengaruhi oleh keputusan - keputusannya, mulai dari kapan puasa, sholat sunnat apa yang sebaiknya dijalankan, hingga saya harus melakukan apa di kantor. Ketika beliau masih sehat, seringkali saya berkeluh kesah tentang segala sesuatu kepadanya. Berkeluh tentang masalah yang menganjal saya. Dan kadangkala Bapak lantas berkirim surat yang isinya tentang do'a yang sebaiknya saya panjatkan.
 
Ketika Bapak hadir dalam mimpi, itulah posisi dimana saya bisa mengingat ihwal mimpi saya dengan baik. Sisa kejadiannya seringkali lupa, terlupa, atau saya sengaja tak-sengaja membiarkan momen dalam mimpi itu terbang ditiup angin, sehingga pergi begitu saja dari ingatan. Tentang apa yang disampaikan oleh Bapak, itupun banyak yang berhambur lupa beberapa saat setelah saya bangun. Yang menancap di ingatan adalah kehadiran sosok Bapak. Perkara isi ceritanya, saya kebanyakan lupa beberapa saat begitu bangun kecuali ihwal sholat. Yang jelas saat itu saya merasakan kehadiran Bapak. Dan membuat saya cenderung berkesempatan memikirkannya.
 
Kata seorang teman, hal itu mungkin terjadi karena saya jarang menjenguk makamnya. Ya gimana. Saya tinggal di Bogor, sementara makam Bapak terletak di Ngujil, hampir seribu kilometer dari rumah saya. Apapun mitos yang beredar, ternyata ingatan ini menyimpan hal - hal yang mungkin bermain dengan sendiri dalam alam mimpinya. Kejadian - kejadian yang menurut beberapa teori filsafat mimpi adalah "terkait namun tidak terkait" dengan kehidupan nyata. Seperti dunia lain yang tidak berhubungan dengan dunia nyata, namun berpengaruh dalam kehidupan nyata kita. Dan itu terbukti. Alam mimpi saya tidak berhubungan langsung dengan aktivitas harian saya, namun apa yang terjadi di dunia mimpi memiliki pengaruh, apalagi bila itu menyangkut sosok Bapak saya. Contoh paling gampang ya itu tadi, ketika saya semakin teledor menunaikan ibadah sholat, maka tak lama kemudian bapak saya akan hadir dalam mimpi untuk mengingatkan hal itu. Anda boleh percaya boleh pula tidak.
 
Dalam film "Land Before Time" disebutkan bahwa para dinosaurus bergerak dalam aktivitas harian berdasarkan wangsit yang disebut "cerita tidur". Contohnya adalah ketika sesepuh dinosaurus itu bermimpi melihat meteor jatuh di sebuah lembah, atau menyaksikan lingkaran terang yang menjadi gelap, artinya gerhana matahari di siang bolong. Lantas sesepuh itu berkisah esok paginya kepada para pengikutnya, dan mereka kemudian berbondong - bondong migrasi untuk menghindari kejatuhan meteor itu. Artinya apa ? artinya ada bagian dari mimpi itu yang bisa diingat dan lantas diceritakan. Hal lainnya adalah, ternyata ada bagian dari mimpi yang berkaitan dengan kehidupan sebenarnya.
 
Ya, itulah dunia mimpi. Kadang teringat kuat sehingga bisa dikisahkan kepada orang lain, kadang terlupakan. Juga kadang merupakan kejadian biasa yang berada di angan - angan, atau kadangkala berkaitan dengan kehidupan kita di dunia nyata. Hal inilah yang membuat saya ingin sekali mencatatkan hal - hal yang terjadi dalam mimpi saya. Saya ingin menuliskannya beberapa. Untuk hal ini saya pernah beberapa malam meletakkan bolpen dan buku kecil di bawah bantal saya. Namun, ternyata ketika saya terbangun dari sebuah mimpi, kebanyakan saya belum sadar sepenuhnya sehingga tidak mampu menggerakkan jari untuk menulis. Walhasil, cercah mimpi -- cerita tidur itu-- tersaput kabur dan pergi dari ingatan sebelum tercatat dengan baik. Dan mungkin, baru tulisan inilah yang bisa mendokumentasikan mimpi saya dengan baik. Mungkin lain waktu saya coba lagi, apabila mimpi yang datang tidak terburu pergi dari ingatan. [] haris fauzi - 29 maret 2009

salam,

haris fauzi

Wednesday, March 18, 2009

kenisah : angin yang terus mengayun

ANGIN YANG TERUS MENGAYUN

Bersiaplah. Cuaca di negeri tropis ini menjadi galak dan kurang bersahabat. Setelah minggu lalu diguyur hujan penghabisan yang seperti balon bocor di angkasa, sekarang sudah hampir seminggu ini kota Bogor sering dihampiri angin yang cukup besar. Mungkin bukan angin ribut, karena datangnya nggak bikin keributan. Tetapi angin itu membuat masalah. Yang pertama jelas, kita menjadi rentan terhadap penyakit. Konon, pada hari - hari yang berangin di bulan jawa sapar, maka banyak penyakit bergentayangan. Dan pastinya dalam pergantian musim-lah maka angin itu cukup sering berhembus dahsyat. Kalo kata orang, musim pancaroba. Pancaroba musim.

Seperti pagi kemarin. Selasa. Angin berhembus dahsyat sekali sehingga kami memutup seluruh jendela dan pintu rumah. Lukisan kain di dinding terombang - ambing tak berdaya ketika kita membuka pintu dan kala itu tanpa sungkan - sungkan angin masuk dengan derasnya. Anak saya berangkat sekolah dengan mengenakan jaket, padahal hawa terik. Sekitas pukul sembilan siang timbul masalah. Mungkin karena angin juga. Setelah sepagi itu kita menikmati dengung kabel listrik yang mendayu - dayu karena dipermainkan angin, maka sekitar pukul sepuluh siang listrik padam. Saya tidak terlalu faham apakah memang listrik ini padam karena angin, atau ada pekerjaan perawatan perbaikan, atau memang saatnya mendapat giliran padam (oblangan). Yang jelas, listrik itu baru menyala pada pukul sembilan malam. Dan setelah itu, pukul setengah empat pagi padam kembali, dan menyala kembali pukul empat pagi.

Bila saya sedang mengendari mobil tua saya, maka tiupan angin itu terasa hingga ke laju pergerakan mobil. Seperti terdorong oleh kekuatan supranatural. Awalnya saya mengira mobil saya sudah tidak seimbang konstruksi rodanya, namun timbul pertanyaan kenapa kejadian itu hanya sesekali. Cek punya cek, ternyata tiupan angin-lah yang menggoyang mobil tua saya. Mobil saya yang pendek aja merasakan seperti itu, mungkin bagi yang mengendarai mobil badan tinggi, hal itu lebih terasa.

Ada yang bilang bahwa angin bisa menjadi pertanda. Yang jelas adalah sebagai pertanda pergantian musim. Hahahaha. Namun ada juga yang sedikit mengaitkan dengan hal - hal lain. Rejeki, misalnya. Apalagi angin yang kencang, dengan dampak yang cukup bisa dirasakan. Dulu, sekitar lima tahun yang lalu, Bogor pernah di landa angin hebat. Banyak pohon tumbang di sana sini. Mungkin kejadian ini hampir setiap tahun dengan intensitas yang berbeda - beda. Di salah satu pancaroba itu, saya ingat benar ada seorang tetangga yang rumahnya atapnya copot karena tertiup angin. Dia berlarian mengejar atapnya yang terbang itu. Kalo urusan jemuran yang beterbangan ke rumah tetangga, jangan di tanya lagi. rata - rata memang warga sudah menutup tanah miliknya dengan bangunan, dan menyediakan jemuran pakaian di dua alternatif tempat, kalo nggak di loteng ya di muka halaman. Dan kebanyakan memilih loteng. Namun, tiupan angin tidak memandang bulu, jemuran di loteng juga ditiupnya kuat - kuat sehingga beterbangan.

Saya juga ingat beberapa tahun lalu di kantor saya juga dilanda angin besar, sehingga ada sebagian atap yang terkelupas dan terbang. Kalo kita bicara bulutangkis di parkiran, maka shuttlecock itu mungkin bisa berbalik seratus depalan puluh derajat arahnya kembali kepada pemukulnya. memang di kantor, sekitar akhir tahun 2007-an saya pernah bermain bulutangkis di kantor, karena memang ada gedung yang belum jadi. Sudah beratap, namun dindingnya belum lengkap. Kadang saya dan teman - teman bermain bulutangkis adakadarnya disitu. Namun, angin menjadi masalah. Ketika musim pancaroba, angin itu menjadi pengganggu yang signifikan sehingga permainan bulutangkis harus dihentikan.

Di jaman saya menjadi pengurus RT (saya pernah menjadi sekretaris RT), pernah kelabakan juga ketika sudah menyiapkan tenda untuk resepsi warga, dan ternyata bakda ashar tenda itu berhumbalangan terbang tersapu angin. Walhasil saya dan pak satpam berusaha memancang tenda itu lebih baik lagi. Saat itu, rasanya seperti naik kapal layar ditengah badai. Untuk membereskan tenda yang tercabik - cabik itu saya harus memanjat tiang konstruksi tenda, dan berusaha mengikatkan sekuat mungkin ke pokok - pokok yang ada, di tengah hembusan angin besar.

Apapun itu, angin yang lebih besar daripada biasanya memang sedang menghampiri. Di tengah persiapan pemilu yang tidak bisa diprediksi (tidak seperti jaman Orde Baru dimana hasil pemilu sudah bisa ditakar jauh hari sebelum penghitungan suara), di saat kita terhuyung - huyung menghadapi resesi ekonomi global, di saat penyakit bergiat gentayangan mengincar mangsa. Angin itu memang kini mengayun lebih kuat, menghembuskan pertanda.[] haris fauzi - 18 maret 2009

salam,

haris fauzi

Sunday, March 15, 2009

kenisah : perasaan itu

PERASAAN ITU

Entah apa istilah untuk 'rasa' itu. Semacam perasaan yang berkaitan dengan berbagai kompetisi. Entah kompetisi yang saya lakoni sendiri atau yang melibatkan keberpihakan saya kepada sesuatu. Kalo yang saya lakoni sendiri, jelaslah itu namanya perasaan semacam spirit untuk berkompetisi, semangat untuk menang. Seperti ranking kelas, keinginan juara dalam sebuah perlombaan, hingga rasa cemas penantian akan pemuatan sebuah artikel misalnya.

Perasaan semacam ini juga muncul dalam keberpihakan. Misalnya dalam rangka jago-jagoan nonton pertandingan sepakbola, misalnya. Mungkin tidak ada pertaruhan duit, tetapi semacam pertaruhan gengsi. Misalnya ketika jagoan kita menang, maka kita akan senang, namun bila jagoan kita kalah, maka kita akan merasa kecut. Saya mengalami cukup ragam hal tentang perasaan semacam ini. Ketika saya masih duduk di bangku SMP dan masih biasa mendengarkan lagu - lagu dalam siaran radio gelombang MW saya ingat betul bagaimana dalam setiap akhir pekan saya berdebar - debar menunggu hasil tangga - tangga lagu mingguan yang disiarkan oleh radio tersebut. Radio itu setiap hari sabtu selalu memperbaharui lagu unggulan sesuai permintaan atau pooling pendengar terhadap pemutaran lagu yang sedang naik daun. Yang paling kecut saya rasakan adalah ketika lagu idola saya, 'We Are The World' turun peringkatnya dari minggu ke minggu sehingga hilang dari daftar lagu unggulan. Sejatinya, setiap lagu yang sudah turun peringkat, maka muskil akan bisa naik lagi walau cuma satu tangga, biasanya makin turun dan turun. Namun saya berharap selalu akan sebuah keajaiban ketika lagu tersebut setidaknya mampu bertahan selama mungkin. Dan harapan itu akhirnya musnah seiring perjalanan waktu.

Juga ketika menonton pertandingan di televisi, bulutangkis misalnya. Bagaimana hati ini berdebar - debar seperti menanti pacar ketika menyaksikan tim piala Thomas Indonesia terutama ketika berhadapan dengan Tim China atau Korea Selatan. Juga bagaimana ketika Elias Pical bertukar bogem melawan Khaosai Galaxy dari Thailand atau melawan Caesar Polanco dari Amerika Latin. Masih ingat begaimana kemunculan promotornya Boy Bolang dengan gaya rambutnya yang khas. Juga ketika tim sepak bola Pra Piala Dunia PSSI era Heri Kiswanto hendak bertanding dan disiarkan langsung di televisi. Komentator Sambas dengan suaranya yang patriotik menambah deg-degan hati ini, kebat - kebit seperti dikejar setan.

Dalam kancah sepak bola yang lain, saya selalu menjagokan Argentina untuk juara dalam Piala Dunia, dan bagaimana saya berdebar - debar sangat keras ketika Claudio Caniggia tidak boleh turun dalam babak final sehingga Maradona harus berjuang sendirian dan akhirnya takluk oleh pasukan Jerman Barat yang kala itu kalo ga salah Juergen Klinsmann jadi lakonnya. Pun betapa deg - degan dan girang tak karuan ketika Manchester United menjungkir - balikkan FC Muenchen di final piala Champion dalam dua menit terakhir pertandingan. Maklum, saya menggemari kesebelasan Manchester United semenjak tahun 80-an.

Tak hanya sepak bola, seorang teman pernah berkomentar tentang agenda kerja saya yang ternyata tidak diisi oleh catatan kerjaan, melainkan dipenuhi oleh jadwal balapan formula-1, GP, dan jadwal sepak bola piala Champion. Semua itu seakan disatukan oleh perasaan 'aneh' yang satu itu. Perasaan euphoria dalam penantian sebuah jadwal pertandingan, perasaan yang memaksa saya deg - degan ketika bergadang untuk menyaksikan dan memelototi televisi detik per-detik, perasaan yang membuat saya girang atau kecut ketika pertandingan itu berakhir menang atau kalah. Dan kemudian membawanya menjadi bahan obrolan dan  olok - olokan yang tidak perlu dengan teman - teman yang lain, tentunya sambil memberitakan sesegera mungkin ketika tim yang saya jagokan menang.

Adalah anak saya, Salma, yang mengendurkan diri saya terhadap hal itu. Ketika Salma lahir, dia menjelma menjadi bayi yang sering bangun kala malam hari. Mungkin bisa satu jam sekali. Praktis dengan kebiasaannya ini akan memaksa diri saya memanfaatkan waktu istirahat sebaik - baiknya. Dan praktis pula, saya meninggalkan hal - hal yang menurut saya kurang bermanfaat, misalnya bergadang menonton sepak bola atau balapan motor. Seiring dengan semakin jarangnya menyaksikan pertandingan, seiring itu pula semangat jor - joran dan deg - degan ihwal hasil pertandingannya juga semakin meluruh. Perhatian dan perasaan tentang itu mulai terpinggirkan. Mungkin karena cuek.

Dalam catatan saya, perasaan deg - degan seperti itu terakhir kali saya alami ketika penghitungan suara dalam pemilihan umum. Ya, saya kala itu menjagokan Pak Amien Rais untuk menjadi presiden, dan saya terus mengikuti penghitungan suaranya, hingga saya sadar bahwa Pak Amien Rais kalah dalam pemilihan umum itu.

Setelah itu ? Sekarang saya tidak terlalu tertarik dengan tangga - tangga lagu karena saya jarang memonitor siaran radio. Pun, saya biasa saja terhadap berita pertandingan bulu tangkis-nya Taufik Hidayat. Entah menang entah kalah. Juga saya tidak terlalu tersaput gelombang atmosfir berita laga PSSI dengan Ponaryo Astaman-nya yang cukup fenomenal. Walau Manchester United menjadi kesebelasan terakhir yang pernah berlabuh di hati, saya tidaklah segegap - gempita dahulu. Mungkin hampir lima tahun ini saya tidak menyaksikan pertandingan Manchester United di televisi. Saya kini biasanya hanya tau beritanya dari koran bekas teman atau teks bergerak di televisi - televisi. Tentang balapan, kalo dulu saya hafal bentuk sirkuitnya, kali ini saya hampir semuanya sudah tidak mengikutinya lagi. Saya baru - baru ini saja tau bahwa Hamilton ternyata orang negro. Terakhir saya mengikuti berita balapan adalah tentang seri nasional yang diikuti tim pabrikan di mana saya bekerja. Selebihnya tidak. Tentang tinju, terakhir saya menonton di televisi ketika Chris John bertanding. Saya menyaksikan sekitar dua ronde. Dan saya sekarang-pun tidak tau siapa juara dunia kelas berat, padahal saya dulu begitu memuja Muhamad Ali hingga merengek - rengek kepada Bapak untuk dibelikan bukunya. Bila toh ada siaran sepak bola, tinju, formula 1, atau grandprix di televisi, mungkin paling lama saya menyaksikan sekitar seperempat jam. Tentang pemilihan umum ? Waduh. Saya akan mengusahakan sesempatnya. Hingga sekarang, atmosfir jor - joran calon peserta pemilu tidaklah terlalu mengusik perhatian saya. Walau jelas - jelas banyaknya baliho dan spanduk itu mengusik mata saya karena saking joroknya.

Mungkin ini berarti tidak peduli. Bisa jadi. Namun, dalam pengamatan saya, perasaan itu menyusut seiring pertambahan usia saya yang meng-uzur ini. Indikasinya adalah saya sekarang juga sudah tidak terlalu suka mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Disamping mobilnya yang saya kendarai sudah terbatuk - batuk, saya juga merasa tidak ada perlunya menginjak pedal gas dalam - dalam. Saya sekarang kebiasaan mengendari mobil dalam kecepatan sedang, di jalur tengah sambil mendengarkan lagu. Ihwal sepakbola dan kebiasaan menyetir ini mungkin hanya merupakan keterkaitan yang dihubung - hubungkan saja oleh saya. Tapi hal itu ternyata terjadi seiring. Ketika saya semakin 'santai' dengan segala kompetisi yang ada, ketika itu pula saya semakin santai dalam mengemudikan kendaraan. Adakah saya sudah tua ? Bisa jadi. [] haris fauzi - 15 Maret 2009

salam,

haris fauzi

R E M U K

Matahari masih garang tanpa ampun menghajar tanah bumi yang makin renta ini. Tanpa ampun. Buyung menyaruk - nyarukkan kakinya dalam melangkah. Entah kenapa, matahari tidak seteduh cerita - cerita orang tua. Cerita dari orang - orang yang sudah belasan tahun berada dalam cengkrama kawasan itu. Konon, menurut mereka, para pencerita malam, para pembual yang senantiasa taklid mencekik botol minuman keras murahan, para pengigau jalanan yang meramal akhirat, hingga para tukang parkir yang bermahkota uban, mereka selalu bercerita tentang kemakmuran jaman dulu. Dimana matahari tidak sedekat sekarang. Ketika itu matahari masih meneduhkan mata dengan ramah, tidak melotot seperti sekarang. Dimana pasar itu menjadi pertiwi mereka, yang memberi penghidupan yang cukup, tanpa harus beradu otot dan was-was setiap malam. Dimana semuanya kala itu rasanya serba mudah. Dan mereka tidaklah faham mengapa semuanya berubah. Mengapa semua mendadak menjadi sulit. Dan mengapa setiap hari mereka menjumpai kegerahan. Semakin menghimpit paru – paru, menyesakkan dada. Dan pada akhirnya, mereka menyalahkan sang matahari yang melotot itu. Yang membuat semuanya menjadi panas, membawa aura keributan, membawa bibit perselisihan yang tidak kuasa ditahan.

Sampah pasar yang bertebaran hingga aspal, berjumpalitan di terpa angin yang dihembuskan roda – roda mobil yang seenaknya menderu dengan pekik klakson yang menyakitkan. Sampah yang sesekali melekatkan noda di jemari kaki Buyung yang terus melangkah. Rasanya lengkap sudah. Sampah pasar yang menumpuk menebarkan bau kesumatnya, seakan memenuhi atmosfir hingga rongga paru. Semalam hujan melanda, dan bak sampah itu sudah tidak mampu menampung lagi. Sampah yang basah kuyup melelehkan limbah yang bukan main dahsyat baunya. Buyung telah terbiasa dengan itu semua.

Sesekali angkutan kota berwarna hijau itu menyalipnya, beberapa. Mengejek Buyung dengan asap yang mencekik. Seorang bocah dengan gitar bututnya bernyanyi seperti erangan rasa sakit yang pedih tak terkira. Jongkok dengan kaki dekilnya di ambang pintu angkutan kota itu, memakan debu yang beterbangan seperti iblis. Memang deretan kendaraan berwarna hijau itu seakan menjadi tuan tanah disini. Namanya juga terminal bayangan, yang berjajar sedikit tak jauh dari pasar yang bau itu. Arogan sekali, berhenti dengan semaunya, lantas membunyikan klakson dengan membabi-buta di antara teriakan calo yang memekakkan dan menaikkan amarah, seperti memukul – mukul gendang telinga. Buyung seakan terbiasa dengan hal ini. Ya, sudah hampir tiga tahun ini Buyung bercengkrama dengan kondisi seperti ini. Cekat asap knalpot yang memabukkan itu, deru mesin yang meresahkan, bunyi klakson yang meretakkan tengkorak, teriakan calo, ditingkahi pertikaian perebutan penumpang, seakan hal biasa yang setiap saat terjadi. Lazim seperti jarum yang berdetik pada sebuah arloji tua. Sebuah keniscayaan.

Ada beberapa orang yang tengah berbicara gumam di bawah rindang pohon yang meringis. Seorang sudah tertidur dengan posisi jorok. Bertelanjang dada, sehingga perut buncitnya terburai dan sesekali ditaburi lalat yang tidak sungkan mendarat. Di antara akar pohon yang mencuat beberapa botol yang sudah kosong bersembunyi tanpa dosa layaknya pramuria yang menawarkan dagangannya. Sementara di hamparan tanah nampak kartu domino yang sudah tercerai – berai tidak tentu jumlahnya. Menggigit tanah.

Dua orang sisanya, yang satu mengipas-kipaskan topi, yang satu lagi mengukir kayu pohon sekarat dengan pisau lipatnya. Konon, lelaki itu tidak bisa hidup tanpa pisau itu. Mereka berdua bergumam di antara dengkur temannya, entah membicarakan apa. Mungkin semalam, rindang pohon itu menjadi saksi di bawah rembulan dan kelamnya malam. Ada arena peraduan dan pertaruhan disitu. Pertaruhan akan duit yang diperoleh dengan memeras keringat seharian yang bisa hilang dalam sekejap pada malam kelam seperti itu. Pertaruhan akan harga diri ketika semua harta telah lenyap dan tinggal suara erangan marah diantara cemoohan para pemabuk. Pertaruhan akan masa depan yang semakin suram seiring berhamburnya kartu domino. Dan rembulan memejamkan mata ketika botol itu mulai terlontar dan terbanting di jalan, menjadi kepingan yang berkilatan laksana kristal.

Sebuah mobil hijau itu menepi mendadak lantas menghentikan rodanya menyisakan debu yang mengepul. Seringkali memang mereka berbuat seperti itu. Mungkin sudah menjadi tradisi. Membuat Buyung harus menepi ke arah sungai, yang demikian malasnya mengalirkan air yang busuk dan hitam itu, yang mengalirkan segala hal, mencerminkan buruknya perilaku. Namun Buyung tidak goyah. Masih berdiri tegak. Sekali lagi, Buyung terbiasa dengan hal ini. Matanya sedikit memicing menepis sengatan matahari dan lelehan peluh yang bergerombol di dahinya, seakan hendak menderai deras ke arah matanya yang tajam dan memerah itu. Nampak pengemudi mobil hijau itu menjulurkan lehernya yang berbalut handuk murahan, keluar melalui jendela, lantas berteriak lantang dengan tangannya yang menunjuk angkasa. Seakan memberi petuah kepada para setan dan jin yang berjongkok di panasnya aspal yang mulai membaurkan uap minyaknya membentuk fatamorgana.

Buyung menengok dan memandang dengan senyum kecut ke arah bangunan yang berdiri besar di sana, sebuah pusat pertokoan. Tinggi, besar, angkuh, dengan beberapa dindingnya yang retak. Di kaki bangunan, beberapa angkutan kota membentuk deretan hijau seakan menjadi penopang dasar bangunan tersebut. Tidak terlalu jauh jaraknya dari Buyung berjalan tersaruk sekarang, namun Buyung tak hendak kesana. Tidak mungkin dengan kantong rongsokan yang selalu berada di pundaknya itu.

Sekali pernah Buyung ke sana, numpang sholat di mushola-nya yang berada di parkiran. Parkiran yang senantiasa hangat karena ratusan mesin mobil yang tetirah disini, mobil yang berlagak kecapekan setelah mengantar tuan-nyonya-nya. Parkiran itu senantiasa penuh oleh mobil yang seakan tertidur mendengkur, dengan mata menutup sebelah, dan pandangan sinis.

Ya. Mushola pertokoan selalu ter-marjinal-kan, tersingkir oleh gemebyar budaya kapitalis yang menjijikkan dengan lipstik dan parfum yang menor. Mushola terpuruk diantara semburan freon pertokoan yang menghunjam jantung, diantara aroma toilet yang kurang bersahabat, dengan karpet alakadarnya yang apek dan lengket basah seperti keset. Dimana orang menghadap Pencipta, disitulah kau harus berdiri dan bersujud. Namun, ketika kau memiliki lembar uang yang bisa kau jadikan permainan, maka nyala terang neon dalam ruang yang sejuk akan menyapa dan menghantarkanmu meraih kenikmatan dunia itu. Tak peduli ada gelandangan gila yang sekarat bertarik - ulur nyawa di pinggir trotoar di depan sana.

Sesekali kantong plastik yang menggelayut di pundak Buyung melorot. Dan Buyung dengan sigapnya menyesuaikan posisinya. Sebelah lengannya kotor sekali, beradu gesek dengan kantong yang berisi rongsokan. Kebanyakan adalah plastik sampah, yang hendak dia jual kembali. Buyung melakukan itu untuk membeli nasi bungkus. Selepas subuh, Buyung harus beranjak dari kolong dimana dia meringkuk. Mencangklong kantong kusam yang mungkin cukup untuk memuat dirinya, serta tongkat berkait yang dia hafal benar lekuknya seperti hafalnya seorang ninja terhadap samurai pendek miliknya. Lantas beranjak menyapa jalanan. Biasanya seperti itu. Dia memiliki banyak teman yang mengerjakan hal serupa. Di antara pengemis, pengamen sumbang, dan pencopet kecil, Buyung memilih menjadi pemulung. Atau lebih tepatnya kali ini dia menjadi pemulung. Entah suatu saat, bila pemimpin gerombolan mereka melarangnya menjadi pemulung, mungkin saja Buyung akan beralih profesi, entah menjadi pengamen, atau pencopet sekalian. Pemimpin itu tidak pernah bisa ditebak. Dia memberi perintah berdasarkan seseorang yang biasa datang bercelana jeans dengan rambutnya tersisir rapi, serta suka membagikan rokok kepada teman yang dia sayangi. Kadang datang saat pagi, kadang sore, atau tidak datang berhari - hari. Tidak menentu. Namun, ketika dia datang, para pemabuk yang sok kuasa itu biasanya segera meninggalkan botol bir kesayangannya, dan lantas mencium tangannya. Para sopir yang sedang membanting kartu segera menyisakan tempat yang nyaman buat duduk sekedarnya. Buyung tidak terlalu faham dengan pembicaraan mereka. Buyung biasanya menyingkir.

Diantara komunitas yang mencekam itu, Buyung merupakan salah seorang bocah yang bergerombol dengan rekan seumurnya, sekelompok anak – anak periang, walau kadang mereka berkelahi layaknya macan. Buyung adalah anak manusia yang hidup dalam dunia yang disisihkan oleh peradaban, yang selalu tercekik menjadi korban, yang tak pernah diperhatikan oleh orang bermulut besar yang selalu berebut kekuasaan, ngobrol membual dalam televisi – televisi. Buyung adalah satu dari jutaan boneka cilik yang bisa diinjak kapan saja.

Di antara pramuria yang mulai bersolek, diantara sopir yang terlena di warung, di antara pencopet yang membongkar dompet perolehan mereka, seringkali anak – anak itu bertemu, bermain, dan mengobrol. Dan ketika senja menjelang, beberapa anak yang badung mulai mabuk dengan cara menghirup uap lem, beberapa mulai berkhayal sambil terlentang beralas koran, sebagian lagi mulai bertukar puntung rokok yang masih bisa mereka hisap. Anak – anak yang masih bersuara cempreng itu berpesta, pesta ala mereka. Mereka terbiasa menghabiskan apa yang mereka dapatkan hari itu, dan memulai hari besok dengan tanpa apa – apa. Hari esok biarlah kita mulai esok, demikian semboyan mereka.

Hampir setiap sore anak – anak jalanan itu berkumpul di tepi aspal, dalam selubung asap terminal, dalam atmosfir bau pasar, dalam tatapan angkuh dinding pertokoan. Tiada hari senin selasa rabu, tidak ada kalender di otak mereka. Hari itu berjalan dengan semaunya sendiri. Hari yang terus berjalan dan memaksa untuk berpacu. Mengantar untuk sebuah pilihan diantara hidup dengan berjuta ancaman atau terbujur kaku tanpa nyawa. Setiap hari adalah begitu. Dan itulah lakon anak – anak tadi. Menjalani siang yang menyengat dan malam yang mencekam. Anak – anak itu tidak sekolah seperti semestinya, tidak bermain seriang layaknya. Tetapi setidaknya mereka bersyukur, bahwa detik ini mereka masih hidup dan tidak gila. Dalam kewarasan itu mereka sadar, masa depan mereka telah remuk. Di pinggir trotoar, pengamen gondrong itu masih asik memutar – mutar pangkal senar gitarnya, tanpa pernah sempat menyelesaikan lagunya. []
dimuat di edisi perdana jurnal budaya 'RuangMelati', februari 2009

Friday, March 06, 2009

kenisah : "AMIIIIIIIIIIIIIN........!!!"

"AMIIIIIIIIIIIIN.......!!!"

Sholat di ajaran agama islam diutamakan dilakukan secara bersama - sama, artinya secara berjama'ah. Berjama'ah adalah melakukan sholat dipimpin oleh seorang imam dan sisanya mengikuti gerakan dan komando imam. Salah satu ritual yang dilakukan berjamaah adalah sholat jum'at.

Saya ingat di sekitar tahun 1990-an, ketika saya duduk di bangku kuliah, saya pernah memberbincangkan hal ini dengan ayah saya. Bahwa makmum harus dengan tekun mengikuti gerakan imam, hal itu adalah benar. "Tetapi belum lengkap", begitu papar singkat ayah saya sambil berjalan menuju mobil. Kebetulan saat itu memang saya lagi nostalgia. Jaman saya duduk di bangku SD, saya sering ikut bapak jum'at-an, yang mana bapak saya sering dijemput oleh takmir masjid karena saat itu memang bapak bertugas menjadi imam sholat jum'at. Ritual 'nderek' ini praktis bubar ketika saya duduk di bangku SMP, karena saya udah bisa jum'at-an sendiri, walhasil saya kala SMP lebih memilih jum'at-an bareng teman - teman, entah di sekolah entah di kampung, soalnya bisa sambil maen dan keluyuran sekalian. Sementara kalo ikut bapak pasti gak bisa ngapa-ngapain. Duduk manis di baris terdepan, jejer dengan para kolega bapak yang sudah pada uzur.

Dan rasa kangen akan hal itu kadang muncul ketika saya sudah duduk di bangku kuliah, saya kadangkala berusaha menyempatkan untuk ikut jum'at-an bapak lagi. Karena ternyata menyenangkan juga ikut beliau, --di tengah kesibukan kita masing - masing,-- dimana saya lebih sering jum'at-an di kampus.

Dan ketika itu entah kenapa saya menanyakan bahwa mengapa dalam ritual jum'at-an seakan - akan terjadi dominasi imam kepada makmum. --Saat kuliah, saat itu saya lagi terjangkit penyakit 'kemaruk' soal demokrasi--. Seperti kita ketahui bersama, ketika khatib (peng-kutbah) berceramah, maka para jamaah 'hanya' menjadi pendengar setia. Jangankan bertanya atau mendebat isi ceramah, berbisik - bisik-pun dilarang. Trus, ketika tiba waktunya melaksanakan sholat jum'at, maka semua makmum harus mengikuti gerakan imam. Atau ibadahnya terancam batal...Uh...

Sepulang sholat jum'at itu, sambil nyetir mobil, saya mendapat beberapa penjelasan dari beliau. "Itulah kenapa selepas sholat jum'at bapak nggak langsung pulang...melainkan mengobrol dulu dengan jamaah. Karena bisa jadi ada yang perlu mereka tanyakan berkaitan dengan banyak hal termasuk khutbah dari bapak. Kalau ada yang bertanya maka sebisa mungkin kita diskusikan dahulu....", begitu urai bapak.
Ooooh...ini tho yang membuat bapak suka berlama - lama di mesjid. Pantesan, ketika saya sudah tiba di mobil, bapak tak kunjung nongol keluar mesjid. Rupanya beliau keasyikan ber-diskusi dengan para jamaah-nya.

Saya memang sering mendapati bapak sibuk berbincang selepas sholat jum'at, semula saya menduga hal itu adalah basa - basi belaka mengingat memang ada sekitar dua puluhan mesjid yang sering bapak kunjungi. Tentunya banyak sekali rekan beliau disitu. Tetapi rupanya tidak hanya perbincangan alakadarnya, kadangkala --entah keasyikan atau gimana-- memakan cukup banyak waktu juga, membuat saya geregetan menunggu di mobil yang panas itu. Dan, walhasil, kami memang biasa terlambat tiba di rumah.

"Dan dalam sholat berjama'ah, seorang imam harus berusaha memperhatikan makmumnya. Jangan semau - maunya sendiri aja. Contohnya dalam pelaksanaan sholat tarawih yang banyak sekali jumlah rokaatnya itu. Setiap akan memulai awal sholat, sedapat mungkin imam menghadap ke makmum dulu melihat kesiapan makmum. Bila ada yang sudah kecapekan --kadangkala ada yang sudah menyandarkan badan ke dinding,--hahahaha...., ada baiknya sholatnya diperingkas waktunya, mungkin dengan memendekkan pembacaan surat. Kalau makmumnya masih ada yang belum siap maka sholat yang dilaksanakan juga tidak sempurna, masih compang - camping, makmum ada yang tertinggal dan jadinya ada yang masbukh (sholatnya menyusul karena tertinggal)...", urai bapak diselingi tawanya.

Asli, saat itu saya barulah nyadar bahwa sang imam tidak boleh semau - maunya seperti yang saya bayangkan semula.  Imam harus memperhatikan kondisi makmumnya. Terus terang saya menuliskan hal ini seingat-ingatnya, karena kejadiannya sudah terlalu lama, hampir dua-puluh tahun silam. Kemudian bapak sempat menambahkan,"....Imam-pun dalam beberapa hal harus mengikuti makmum. Contohnya adalah ketika pembacaan surat al-Fatihah berakhir, maka makmum akan mengucapkan kata "AMIN". Kadangkala pembacaannya ada yang panjang sekali, --ini terutama anak - anak yang 'njarag-i' dipanjang - panjangkan...AMIIIIIIIIN...!!!--gitu. Nah, sebelum kata "AMIN" dari makmum bocah itu selesai, seorang Imam tidak boleh melanjutkan bacaannya...." [] haris fauzi - 6 maret 2009


salam,

haris fauzi