Thursday, July 30, 2009

kenisah : dan ali pun gagal

DAN ALI PUN GAGAL
 
Konon dulu ada kisah tentang sayembara yang diadakan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. Sayembaranya adalah festival sholat, barangsiapa yang sholatnya khusyuk, maka akan mendapat hadiah surban. Pesertanya adalah para sahabat.
 
Dalam perjalanan perlombaan, singkat cerita maka tinggal Ali bin Abi Thalib-lah yang berhak maju ke babak akhir. Semua peserta sudah terkena eliminasi karena tidak bisa menjalankan sholat dengan khusyuk. Khusyuk versi Nabi Muhammad, tentunya khusyuk yang super khusyuk. Sangat khusyuk, gitu-lah. Jadi, para peserta yang gugur-pun sejatinya telah menjalankan sholat dengan khusyuk, cuma belum sempurna seratus persen seperti apa yang dipinta sama sang juri, Muhammad.
 
Dalam kontes terakhir, konon nih,-- hingga tahiyyat akhir, Ali masih survive dengan kekhusyukan sholatnya.
 
Lha, sebelum bingung, ada baiknya saya kisahkan dulu model penjuriannya. Cara penilaiannya tidak menggunakan SMS pooling, karena saat itu belum ada telepon genggam. Jadi, yang menilai kekhusyukan sholat itu ya nabi Muhammad sendiri sebagai juri. Beliau ini punya kemampuan bisa menilai kekhusyukan sholat seseorang.
 
Kembali ke babak tahiyyat Ali bin Abi Thalib. Menjelang salam, ternyata Ali gagal mempertahankan kekhusyukannya. Dalam wawancara usai perlombaan --dalam kekecewaan yang mendalam-- Ali mengaku memang pada saat menjelang babak akhir dia kehilangan konsentrasinya,"....saya terbayang hadiah surban Rasul...". Dan gagal-lah Ali bin Abi Thalib.
 
Khusyuk menurut kamus bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta artinya adalah "secara kerendahan hati, sungguh - sungguh, dan kebulatan hati". Dan hal ini tentunya dikaitkan dengan konsentrasi dalam peribadatan dan doa.
 
Dalam pewayangan, sering dikisahkan bahwa seorang kesatria yang hendak mendapatkan ilmu atau meningkatkan ilmunya seringkali harus bersemedi dengan khusyuk. Bertahan dari godaan yang terjadi di sekitar. Tentunya ada perbedaan signifikan antara semedi dan sholat. Saya tak hendak membahas hal itu. Ini hanya perumpamaan sahaja.
 
Secara gampang, khusyuk adalah pemusatan hati. Mirip dengan konsentrasi yang merupakan pemusatan pikiran. Bila hati sudah fokus, pikiran pastilah tidak hendak lati kemana jua. Dan hal seperti ini dituntut dalam upaya peningkatan diri. Artinya adalah, semakin bisa dan tinggi kualitas semedi seseorang, semakin tinggi kekhusyukan seseorang, semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi pula martabat seseorang itu.
 
Siapa yang bisa ? Setiap orang pastilah bisa --dengan taraf yang berbeda - beda--. Tergantung kemauan, mood, dan usahanya. Ya. Ke-khusyuk-an itu merupakan keahlian yang bisa dilatih.
 
Sholat, adalah suatu kegiatan yang seyogyanya dilaksanakan se-khusyuk mungkin. Sholat adalah salah satu ibadah utama dalam Islam dan termasuk hal pertama yang akan dievaluasi di alam kubur kelak. Dan, telah dinyatakan pula bahwa sholat merupakan tiang dari agama. Mendirikan sholat (dengan benar) artinya mendirikan Islam. Artinya, sholat itu bukan hal yang sepele. Krusial, sehingga harus diperhatikan benar - benar pelaksanaannya. Pelaksanaan sholat, paramater utamanya salah satunya adalah tingkatan ke-khusyuk-an. Semakin khusyuk, semakin top. Gitu istilahnya.
 
Ali bin Abi Thalib adalah menantu Muhammad, murid utama yang begitu dekat dengan Muhammad sehingga Muhammad pernah berujar,"...andai aku adalah hamparan ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya...". Seorang Ali bin Abi Thalib yang sudah demikian tinggi derajat ketaqwaannya ternyata gagal dalam kontes ke-khusyuk-an. Ali termasuk pemeluk awal Islam, yang sudah belajar mengenai islam dengan segenap jiwa raganya, beribadah hingga mempertaruhkan jiwa dan darahnya, ternyata belum sempurna sholatnya di mata Rasulullah.
 
Sementara saya --anda, dan kita disini sekarang-- adalah seseorang yang begitu 'jauh' jarak dan rentang waktu dengan Rasulullah Muhammad. Yang hidup dalam persengketaan hiruk-pikik dunia. Pun pula, kita semenjak umur 7 tahun, --puluhan tahun yang lalu-- dalam pelajaran agama sering sudah mendengar bahwa sholat itu harus khusyuk, pelajaran yang mungkin kita tidak pahami dengan benar. Atau, bisa jadi hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tentunya, adalah sungguh jauh sekali --dibanding Ali bin Abi Thalib-- takaran kepandaian saya dalam memahami pelaksanaan sholat berikut kadar kekhusyukannya.
 
Kapasitas tiap insan adalah berbeda - beda. Mungkin saya dan kita semua cukup kesulitan untuk menandingi ketaqwaan dan kekhusyukan Ali. Dalam kontes di atas, mungkin kita akan ter-eliminasi dalam babak penyisihan awal. Namun bukan berarti harus meniadakan. Bagaimanapun sholat adalah tiang yang harus didirikan dengan sesempurna mungkin, dengan usaha yang maksimal. Bukannya begitu ? Bila 'iya', maka coba kita nilai sendiri sekarang, seberapa khusyuk-kah sholat kita kini.[]haris fauzi - 29 juli 2009

salam,

haris fauzi

Monday, July 13, 2009

kenisah : dari imsak hingga dhuha

DARI IMSAK HINGGA DHUHA
 
Adalah pekat malam mulai mereda ketika waktu Imsak tiba. Waktu Imsak,--hari ini adalah pukul 4.40 waktu Bogor-- adalah dimana tiba saatnya untuk melakukan sholat sunnah Fajar. Waktu Imsak identik dengan berakhirnya waktu untuk sholat malam, seperti sholat wajib Isya, sholat sunnah Tahajjud, Tarawih, Witir, dan atau sholat Qiyamulail yang lain. Waktu Imsak identik dengan berakhirnya masa untuk ber-sahur ketika hendak berpuasa ramadhan. Sebenarnya tidak se-eksak itu. Masa berakhirnya makan sahur adalah ketika subuh tiba. Konon, Rasulullah Muhammad saw pernah mempersilahkan muadzin untuk menyelesaikan makan sahurnya terlebih dadulu dan setelah itu barulah menyuruhnya berdiri untuk mengumandangkan adzan Subuh.
 
Sekitar sepuluh menit setelah waktu Imsak tiba, maka tibalah waktu adzan Subuh, berarti sekitar pukul 4.50 waktu Bogor. Di waktu ini jelas adalah saatnya untuk melaksanakan sholat wajib Subuh berikut sholat sunnah yang mendahuluinya. Ada juga yang beranggapan bahwa sholat sunnah Fajar hanya bisa ditunaikan di saat Imsak, dan tidak berlaku ketika adzan Subuh sudah berkumandang. Namun ada juga yang beranggapan masih boleh menunaikan sholat Fajar ketika adzan Subuh sudah berkumandang. Saya sendiri memilih menunaikan sholat Fajar ketika waktu Imsak, sementara di saat setelah adzan Subuh --sebelum sholat Subuh-- berarti menegakkan sholat sunnah Rawatib.
 
Waktu subuh ini cukup lama, sekitar satu jam tujuh belas menit, sehingga tiba waktu terbit. Dalam tabel "djadwal waktu sholat sepandjang masa" terbitan PT.Pertjetakan Persatuan disebutkan namanya adalah "waktu terbit", maksudnya konon adalah saat dimana matahari mulai terbit, yakni pukul 6.07 waktu Bogor hari ini. Konon pula, disinilah salah satu waktu dimana dilarang untuk melakukan sholat. Beberapa referensi mengatakan bahwa konon jaman dulu ada sekelompok suku yang senantiasa melakukan penyembahan matahari disaat matahari itu mulai muncul, yakni di saat matahari itu terbit.
 
Pertanyaan yang timbul sekitar 'waktu terbit' ini adalah,"Bagaimana bila bangun pagi hari di 'waktu terbit' ini tetapi belum melaksanakan sholat Subuh ?". Ada beberapa pendapat yang benar - benar mengharamkan untuk melaksanakan sholat, termasuk sholat Subuh yang terlambat. Namun ada beberapa pula yang beranggapan apabila tertinggal sholat Subuh karena tidak terbangun --atau apapun-- maka harus bersegera menunaikan sholat wajib tersebut, walaupun terjaga di saat "waktu terbit" yang notabene dilarang menegakkan sholat. Saya sendiri lebih prefer yang kedua, yakni bersegera menunaikannya. As Soon As Possible.
 
Waktu terbit matahari berlangsung sekitar 25 menit sehingga datanglah masanya sholat Dhuha. Pukul 6.32 waktu Bogor hari ini. Beberapa orang beranggapan bahwa waktu sholat Dhuha berkisar antara pukul setengah sembilan pagi, menjelang siang. Itu betul, namun, sebenarnya waktu Dhuha tidak di mulai pukul setengah sembilan. Beberapa pedoman menyatakan bahwa waktu Dhuha itu adalah saat dimana solat Ied sudah bisa dilakukan, karena sholat Ied adalah sholat Dhuha yang dilaksanakan berjamaah untuk sebuah hari raya.
Hari ini, di Bogor, menurut jadwal tersebut sholat Dhuha bisa di mulai pukul 6.32 hingga berakhir ketika dimana matahari tepat berada di ubun - ubun. Beberapa menit menjelang sholat Dzuhur. Begitulah. Mohon koreksinya. [] haris fauzi - 13 Juli 2009


 
salam,

haris fauzi

Thursday, July 09, 2009

kenisah : usai

USAI

 

Tentunya banyak diantara kita yang pernah merasakan, betapa kita dengan segala energi yang kita miliki tercurah dan terlarut untuk sesuatu yang mungkin berada 'jauh' dari kita sendiri. Jauh lokasinya, jauh impak-nya, jauh dimensi 'keterlaitan'-nya. Istilahnya adalah jauh 'hubungan'-nya. Contohnya adalah liga sepak bola. Kadang kita bergadang malam ini untuk menonton sebuah pertandingan penyisihan sepak bola,-- liga Champions Eropa misalnya. Lantas minggu depan kita seminggu dua kali bergadang untuk menonton babak perdelapan, lantas perempat finalnya. Dilanjutkan lagi dengan beberapa kali bergadang nonton pertandingan semifinal. Demikian terus sehingga memasuki babak final, dan betapa kita terus mengikuti seandainya kesebelasan yang kita idolakan melaju menuju babak yang lebih jauh.

 

Demikian juga dengan Piala Dunia, GlandSlam tenis, seri sirkuit balapan Formula-1, motoGP, atau yang lainnya. Acara maraton seperti itu menyita perhatian dan energi kita, walau, terus terang tidak sedikit dari kita yang sebenarnya tidak terlalu dekat memiliki pengaruh akan diadakannya atau tidak acara tersebut. Saya punya teman yang 'rela' bergadang setiap pertandingan kesebelasan Liverpool ditayangkan di televisi. Dia bukan pemain bola, komentator juga bukan. Dia adalah pakar teknologi informasi. Cukup jauh hubungan antara urusan sepakbola dengan teknologi informasi. Hobi semata.

 

Contoh lainnya adalah saya –dulu--. Saya adalah rekayasawan pabrik. Sama sekali tidak ada yang menghubungkan saya dengan kesebelasan Manchester United selain saya memiliki kaos setan merah 'tembak-an' yang saya beli di pasar Senin. Atau juga hanya selembar poster bergambar kesebelasan di era Eric Cantona yang saya beli di kawasan Orchard Road Singapura, lebih sepuluh tahun yang lalu.

Saya sekedar penikmat tayangan mereka yang rela bergadang untuk itu. Hanya itu. Lain urusannya bila saya adalah seorang komentator atau kritikus olah raga yang memang, semakin saya menguasai data terkini, maka penghasilan saya semakin mapan karena sering berkomentar.

 

Ada urusan lain. Saya juga punya seorang kenalan yang demikian meng-idola-kan supergrup Led Zeppelin, sehingga semua pernak – perniknya dia miliki. Koleksi dia mungkin yang terlengkap di Indonesia, atau bahkan Asia Tenggara. Bahkan dia merupakan salah satu dari kontestan yang terpilih seleksi untuk menonton pertunjukan reuni Led Zeppelin di Stadion O2 baru lalu. Jutaan orang dari segala penjuru dunia mendaftarkan diri hendak menonton.Yang hendak menonton jutaan orang dari seluruh penjuru dunia sehingga harus diseleksi yang "bener – bener maniak-lah" yang bakal menikmati pertunjukan langka itu. Dan, dia terpilih untuk mendapatkan tiketnya. Apakah dia musisi ? Bukan. Dia hanya penggemar Led Zeppelin.

 

Kadang kita terheran – heran, entah mengapa ada orang yang demikian fanatik sehingga rela mengoleksi dengan modal jutaan rupiah. Atau juga, rela bergadang beberapa malam untuk menonton pertandingan, atau yang lainnya. Hal – hal serupa itulah. Setelah semua kejadian itu usai, apa yang di dapat ? Mungkin subyektivitas. Sebagai satu – satunya orang Indonesia yang nonton konser reuni Led Zeppelin, atau sebagai orang yang non-stop bergadang nonton siaran langsung piala Champions di televisi. Kita boleh heran, namun sama sekali tidak salah. Namanya hobi, terserah masing – masing.

 

Setelah usai, barulah kita bisa mengerti, sebenarnya seberapa jauh 'hubungan' kita dengan mereka. Antara seorang teman dengan Led Zeppelin, atau seorang pakar teknologi informasi dengan kesebelasan Liverpool, antara saya dengan Eric Cantona. Setelah Led Zeppelin usai manggung, sang teman pulang ke tanah air dan dinisbatkan menjadi salah satu saksi sejarah peristiwa hebat tersebut.

Juga setelah usai pertandingan dan kesebelasan idola itu mendapatkan pialanya, kita bisa menyaksikan para pemain yang berlaga bersorak – sorak mengangkat piala. Mereka mendapatkan banyak hadiah, banyak pujian. Sementara kita ? Kita bisa bercerita dengan bangga kepada rekan sebangku bahwa telah bergadang mendukung sang idola.

 

Saya ingat bagaimana kesebelasan idola saya Manchester United mendapatkan treble winner, juara mendapatkan tiga piala. Setelah menjalani proses berminggu – minggu mereka bertanding, --dan saya selalu menonton dari televisi setiap dini hari sehingga hampir setiap pagi saya mengantuk di kantor,-- akhirnya mereka merayakan puncak kemenangan. Mereka jaya, sponsor berdatangan meningkatkan penghasilan mereka berlipat-ganda, karir mereka melesat. Sementara dari diri saya yang tersisa adalah kantuk dan rasa capek yang baru bisa hilang selama tiga hari. Energi saya tersita namun penghasilan saya tetap seperti bulan sebelumnya. Seusai itu, barulah terpikir bahwa 'hubungan' antara saya dengan sang treble winner itu sungguh jauh.

 

Contoh di atas adalah betapa ada manusia yang rela berbuat banyak untuk sebuah kejadian yang 'hubungan'nya jauh. Karena hobi, karena kepuasan, mereka rela melakukan hal itu, menyalurkan sebagian energinya. Namun, ada juga yang bukan karena itu. Tetapi karena terbawa atmosfir lingkungan. Contohnya adalah cuaca politik. Ya, urusan politik negara. Bila ada beberapa pimpinan politik sebuah negara yang sedang memiliki urusan, seringkali rakyatnya-lah yang terbawa atmosfirnya untuk ikutan. Entah ikutan bergadang, entah ikutan memperhatikan, menyimak, dan berkontribusi baik langsung ataupun tidak. Permainan politik olah para jawaranya memang membawa konstituen. Semakin pakar dia, semakin banyak yang terbawa.

 

Pentas para jawara politik yang paling bergengsi adalah pemilihan kepala negara. Pentas seperti ini jelas – jelas menyeret banyak perhatian. Apalagi peran partai politik yang menggurita dan seringkali bermanouver tak terduga, saling dukung di atas namun kadang saling bentrok di jalanan, saling sikut di pergolakan politik namun kadang berjabat tangan di muka kamera televisi. Hampir secara tidak sengaja menyedot effort, opini, dan sejumlah besar energi rakyat.

 

Bagi para profesi yang terkait langsung –memiliki 'hubungan' kuat dengan jalannya pentas politik ini-- seperti para komentator politik, tayangan televisi, aktivis partai, tentunya hal yang wajar. Karena pentas ini bisa jadi akan mengubah hidup mereka. Mereka bisa naik pangkat, menjadi senator, menjadi menteri, atau menjadi kepala negara. Namun urusan ini juga menyedot energi kalangan lain yang –menurut hemat saya-- tidak terkait langsung, seperti tukang batu yang bisa memasang bata dengan rapi, tukang antar nasi rantang yang setiap jam tujuh mengetuk rumah untuk mengantar menu. Mereka ini se-usai pentas politik, tidak lantas berubah hidupnya, mereka tidak kontan menjadi menteri keesokan harinya.

 

Mangkanya pesta kontes para politikus ini seringkali disebut pesta rakyat. Bukan karena rakyatnya berpesta - pora makan - minum sepuasnya, namun tak lebih karena perhatian dan sejumlah besar energi para rakyat ini begitu tersita oleh jadwal maraton pentas jawara politik tersebut. Mulai pencanangan partai, acara kampanye senator, pemilihan senator, penetapan kontestan pemilihan kepala negara, kampanye dan tayangan di televisi,  proses pemilihan umum-nya, hingga bagaimana detik – detik penghitungan suaranya. Duh. Rasanya rame banget deh.

 

Seperti dalam urusan bergadang menonton tayangan sepakbola atau sebangsanya, kita juga bisa menyaksikan bagaimana banyak orang yang dengan sukarela mengkampanyekan idolanya, membentuk paguyuban – paguyuban seperti fans club, hingga memelototi televisi untuk mengikuti lembar – lembar penghitungan hasil akhirnya. Itu yang sukarela. Bagaimana dengan orang yang ikutan terseret atmosfirnya ? Seperti halnya maraton begadang nonton bola yang menyisakan kantuk, bagi yang 'hubungan'-nya rendah, maka se-usai pentas politik ini yang tersisa adalah kehabisan energi.

 

Karena saya bukan orang politik, yang mana "cadangan energi" ini masih banyak diperlukan untuk yang lain. Untuk urusan yang langsung berhubungan dengan jemari saya, urusan yang memiliki 'hubungan' lebih dekat menyangkut hidup saya. Siapapun yang memenangkan kontes politik itu, saya sebagai orang awam yang tidak terlalu dekat dengan urusan politik tidaklah memiliki energi yang cukup banyak untuk terus – menerus secara maraton terbawa atmosfir proses kontes politik. Dan, bila urusan ini usai, sejatinya saya bisa bernafas lebih lega. Hal seperti ini mungkin tidak hanya menyangkut diri saya. Rasanya cukup banyak orang yang terbawa dan tersedot energinya untuk urusan pentas para jawara politik ini, dengan 'hubungan' yang tidak terlalu dekat. Seperti saya, mereka mungkin juga tidak memiliki banyak energi tersisa. Dan bila urusan berkepanjangan ini telah usai, maka saya dan mereka akan melanjutkan menjalani rutinitas hidupnya dengan sisa energinya. Sambil berharap semoga 'sisa energi'-nya masih cukup. [] haris fauzi – 8 juli 2009


Friday, July 03, 2009

kenisah : sang penyelamat

SANG PENYELAMAT

Pertengahan bulan Juni lalu, Salma dan Nourma memasuki masa paska ulangan. Salma yang kelas 3 SD Negeri mulai menjalani pekan kreatifitas siswa --lomba macem - macem kegiatan,-- sementara Nourma yang masih TK-A, ya ngejogrog aja di rumah ngusilin adiknya yang masih bayi.

Salma adalah bocah yang senang membaca, namun selama masa ulangan Salma jarang sekali menyentuh buku bacaannya. Kalo nggak belajar ya dia bermain - main, bukan membaca. Mungkin karena bacaan yang ada sudah dia baca semua.

Salma memang lahap membaca, walau saya yakin dia nggak bisa menikmati keseluruhan apa yang dia baca karena saking cepatnya. Dalam arti, Salma hanya cepat membaca karena pengen tau ending ceritanya saja, sementara 'bunga - bunga' di tengah cerita dia tidak perhatikan. Maklumlah, pikiran bocah selalu masih hitam - putih, si baik dan si buruk, begitu. Padahal menurut saya, membaca novel --atau apapun-- kadangkala yang mengasyikkan adalah membaca bunga - bunga yang seringkali tak terduga itu, disinilah style penulisan kelihatan cirinya. Penulis yang jagoan juga semakin jago menuliskan kejadian detil ceritanya, tidak sekedar hasil akhirnya.

Puncaknya adalah ketika kami sekeluarga pergi ke sebuah Country Club, --hari itu hari Sabtu-- Istri saya ada urusan dengan rekan - rekannya di Country Club itu, sementara saya sebagai sopir, dan anak - anak yang cuma ngikut ya nyantai aja. Jalan - jalan, muter - muter, foto - foto di situ sampe bosen. Sekitar jam sepuluh menjelang siang, Salma mengajak pulang. Entah kenapa, biasanya nih bocah demen jalan - jalan dan ga rewel. Saya kira sakit, ternyata jawaban dia adalah :"Salma pengen mbaca...sekarang ga bawa buku....". Duh, gimana mau pulang ? Acara Istri belum kelar, ...saya mencoba mencari tukang loper majalah, tapi nihil.

Rupanya Salma kangen dengan buku yang Jum'at malam saya bawa, dua novel anak karya Astrid Lindgren, masing - masing setebal kira - kira 200 halaman. Kebetulan hari Jum'at saya sempat mampir membeli karena ada bazaar di sebuah toko buku buku.

Sepulang dari acara itu, Salma langsung merangsek ke rak buku, mencomot buku barunya dan melahapnya. Secepat biasanya. Saya mencoba mengajari agar membaca buku pelan - pelan aja biar nikmat. Tapi Salma masih seperti kebiasaan sebelumnya, ngebut mengejar hasil akhir, endingnya seperti apa.

Dibelikan hari Jum'at malam, ternyata saat saya Senin pagi hendak berangkat ke kantor, Salma sudah minta dibeliin buku lagi. Katanya buku "Madicken dan Lisabeth" sudah tandas, sementara satunya tinggal kira - kira sepertiganya. Duh....ngebut mlulu sih.

Hari berganti menjadi Kamis, dimana hari Jum'at kami lagi - lagi musti ada acara, kali ini pengambilan raport. Saya cuti kerja. Pulang dari acara itu, Salma merengek bener pengen pergi ke toko buku minta dibeliin buku. Saya menolak, karena saya harus Jum'atan. Musti pulang. Sesampai rumah saya bilang bila Salma hendaknya membaca ulang buku - buku yang ada dulu, biar ngerti ceritanya secara holistik, secara keseluruhan, gitu.

Semula Salma menurut, dia berjalan menuju rak bukunya yang amburadul. Mencoba memilih buku dan membacanya ulang. Namun itu tidak lama. Sepulang saya dari Jum'atan Salma mengeluh dengan 'getun' dia menghampiri saya sambil berkata," Yah...bukunya sudah di baca semua, Salma males baca lagi, pengen baca buku baru....".

Oooooh.....akhirnya saya menjanjikan kepadanya buat pergi ke toko buku esok harinya, kebetulan hari Sabtu.

Hari Sabtu pagi, sekeluarga, kita khusus mengantar Salma dan Nourma buat belanja buku. Nourma belum bisa membaca, tetapi dia terserang 'demam buku' dari Kakaknya. Dengan acara ini, mereka masing - masing membeli dua buku. Khusus Salma, dia membeli buku novel anak lagi, masing - masing setebal kira - kira seratus tiga puluh halaman. Sebelumnya Salma sempat nanya,"...Salma boleh beli berapa buku ?". Dan bagi saya dua buku cukup untuk kali ini.

Saya agak was - was. Dua buku itu, saya yakin bisa dilahap Salma dalam dua hari. Dan lantas minta dibeliin lagi, dan begitu seterusnya. Apalagi Salma libur semester. Pasti banyak waktu luang untuk melahap buku - buku itu. Semua terjadi dengan cepat. Itu yang saya perkirakan. Saya garuk - garuk membayangkan bahwa setiap hari selama masa liburan sisa sekitar dua minggu, saya harus membeli sekitar 14 buku lagi.

Saya senang Salma gemar membaca, namun, saya juga harus mengukur kocek. Bila kira - kira buku itu seharga tiga puluh ribu, maka cukup dalam kantong dirogoh. Fiuh.

Namun percayalah. Semua hal yang baik itu ada jalan keluarnya. Niat busuk aja bisa mendapatkan jalan untuk menunaikan, apalagi hal yang baik. Begitu bukan ?

Jalan itu terlihat terang hari Minggu. Ada edaran dari tetangga yang membuka perpustakaan anak. Sebelah rumah persis. "Aha...! Ini keren", pikir saya. Segera saya suruh Salma dan Nourma ke perpustakaan tetangga, mereka hari itu langsung menyewa dua buku. Sekali lagi, Salma menyewa buku novel anak. Dan dikembalikan hari Selasa. Tak bosan, hari Rabu mereka total menyewa 4 buku, dan hari Kamisnya dikembalikan seraya menyewa dua buku lagi.

Hari ini hari Jum'at. Salma semalem bercerita bahwa dia hendak mengembalikan kedua buku pinjaman itu pada hari Jum'at sambil hendak meminjam lagi dua atau tiga buku lagi. Salma bercerita dengan muka berbinar - bidar. Dan saya memperbolehkan. Sungguh, Salma dan Nourma girang sekali berkunjung ke perpustakaan itu.

Dalam hati saya mem-'batin', "untunglah ada perpustakaan sebelah rumah". Sang Penyelamat. Andai perpustakaan itu tidak ada, bagaimana Salma mengisi liburannya ? Kalao harus jalan - jalan melancong, saya tidak memiliki duit lebih untuk itu. Dan pula, Istri saya terlalu repot ngurusin bayi bernama Aya. Perpustakaan Sang Penyelamat. [] haris fauzi - 3 Juli 2009


salam,

haris fauzi

salam,

haris fauzi