Thursday, December 31, 2015

Tentang Umat Islam

Setahun ini, bahkan mungkin sejatinya enam tahun belakangan ini, pikiran saya diteror oleh betapa simpang siurnya ihwal sekte - sekte dalam Islam. Dan itu merajalela dimana - mana, mulai dari koran, internet, grup chat, media sosial, di masjid kampung, ... pokoknya dimana - mana. Dan hebatnya sempat memuncak seiring makin carut - marutnya krisis Suriah. Ini agak aneh. Krisis Suriah --yang mana terjadi bentrok dukungan antara Arab Saudi versus Iran-- menjadikan umat Islam di Indonesia ikut - ikutan terdikotomi antara Sunni versus Syiah, terutama dari rekan - rekan Salafi Wahabi yang menjadi gencar menyerang Syiah disetiap media yang diikuti, baik internet, ataupun grup chat dan media sosial sejenis. Belum lagi termasuk radio - radio berafiliasi Wahabi, yang makin gencar mengutuk Syiah. Demikian juga sebaliknya, Syiah nyinyir kepada kaum Wahabi. Untungnya tidak terjadi bentrok fisik.

Seperti di ketahui, krisis Suriah membawa Iran berhadap - hadapan berlawanan dengan politik luar negeri Arab Saudi. Wahabi notabene lahir dari Saudi, sementara Iran sudah jelas - jelas Syiah. Kondisi ini sudah memungkinkan adanya perbedaan pendapat. Ini makin meruncing karena Amerika berada dalam koalisi Saudi, dan menjadi makin kritis ketika Iran --yang sejak revolusi Islam 1979 sudah bermusuhan dengan Amerika,-- bersekutu dengan Rusia, lawan abadi Amerika. Bayangkan, perseteruan abadi Amerika versus Rusia menyeruak kembali di arena Suriah. Namun, yang menjadi ayam petarung adalah sunni dukungan Amerika versus syiah dukungan Rusia.

Ini mengingatkan kembali betapa edannya perang Iran - Iraq yang terjadi antara tahun 1980 hingga 1988, dimana Sovyet mendukung Iran sementara Amerika mendukung Iraq. Mungkin maksud Amerika ingin menumpas Iran sebagai bentuk balas dendam kesumat Amerika ketika ditaklukkan Iran di revolusi Islam 1979. Amerika bersekutu dengan Iraq dalam perang tersebut, memusuhi Iran. Sat itu petanya begitu, tentu berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada tahun 2003, dimana malah terjadi hal kebalikannya. Setelah Amerika mesra dengan Iraq hingga tahun 90-an, pada tahun 2003 giliran Amerika menikam Iraq dengan invasinya. Invasi ini membuat Iraq babak belur dan pimpinannya --Saddam Hussen-- terguling. Ini membawa Iraq pada petaka krisis berkepanjangan. Recovery Iraq karena krisis tersebut belum beres hingga kini, belasan tahun setelah Amerika melakukan invasinya ke Iraq.

Berbeda dengan perang Iran-Iraq, krisis Suriah kali ini, walau terjadi di dalam satu negara, cekcok antara incumben pemerintahan pimpinan Jenderal Assad versus kelompok anti pemerintah, menjadi lebih rumit karena ada gerombolan ISIS --boneka made in Amerika-- yang ikut - ikutan mengacaukan situasi. Dan goblognya, eskalasi di Suriah antara Saudi versus Iran terbawa hingga ke Indonesia dan mewujud menjadi perang kutukan antara kelompok Wahabi dengan Syiah. Yang mana secara kebetulan,--walau menurut saya tidak sepenuhnya kebetulan, Rafidhah --sekte menyimpang syiah-- di Indonesia memang sedang provokatif juga, entah karena mendapat angin semenjak kampanye Pilpres 2014 oleh calon Presiden. Kondisi ini makin membuat membara perseteruan Sunni - Syiah di Indonesia. Dan cenderung membabi-buta. Menyedihkan sekali.

Di akhir tahun, seperti biasa umat Islam Indonesia disibukkan dengan menjalarnya opini ihwal 'perayaan natal bersama'. Ini juga --menurut saya-- terkesan ada yang memprovokasi. Entah berbayar entah tidak. Memang pada tahun 1981 ihwal ini sempat heboh seheboh - hebohnya ketika ketua MUI, Buya Hamka, mengeluarkan fatwa haram tentang perayaan natal bersama. Dan pemerintah menegur MUI, dan berkat keteguhan Buya Hamka, Hamka memilih mengundurkan diri karena fatwa tentang hal  perayaan natal bersama --berikut ucapannya-- harus direvisi. Ketua MUI penganti Hamka menindaklanjuti teguran pemerintah dengan melakukan revisi. Diskursus ini selalu menjadi perbincangan hangat hingga kini, setiap akhir tahun.


Dan karena topik tersebut sepertinya belum juga tuntas beres juga hingga kini, dan senantiasa ada yang menghembus - hembuskan, makanya nyaris setiap akhir tahun muncul trending topic ihwal "perayaan natal dan ucapan selamat natal" dari ummat Islam kepada pemeluk Nasrani. Padahal jelas tahun 1981 Buya Hamka mengharamkan, melarang. Sementara ulama lain ada yang memperbolehkan. Intinya begitu. Berjalannya waktu, harusnya ummat Islam makin sadar, bahwa ada kelompok ulama yang meng-haram-kan, dan ada ulama yang mem-boleh-kan. Tetapi hingga kini saya tidak menjumpai kelompok ulama yang 'menganjurkan' memberikan ucapan natal. Sederhananya begini, bila anda ingin pergi jalan - jalan, sementara Ayahmu melarang, dan Ibu-mu membolehkan, apa yang anda lakukan ? Ini kan pola pikir yang gampang, namun kenapa di Indonesia jadi bertalu - talu ? kalo toh ummat Islam tidak mengucapkan serta tidak menghadiri perayaan natal, saya kira pemeluk nasrani juga tidak berkeberatan. Dan saya rasa pemeluk nasrani juga bisa menghormati kaidah - kaidah yang ada.

Hebohnya topik ini membuat ummat Islam di-Indonesia kembali saling mencaci maki. Saya sendiri penganut yang "mengharamkan" perayaan natal bersama, termasuk mengharamkan pemberian ucapannya. Dalih saya adalah ritual agama lain tidak akan memperbaiki akidah saya. Itu urusan saya pribadi. Dalam kericuhan ini, saya melihat, adanya anggapan bahwa seakan - akan yang mengharamkan itu kolot dan tidak menghormati pemeluk agama lain. Sementara yang mengharamkan, menganggap mereka yang mengikuti perayaan natal memiliki akidah yang luntur. Ini perang rutin yang terjadi setiap menjelang tahun baru.






Dan untuk tahun ini, sepertinya lebih parah. Saya mendapati kiriman potongan video dimana Emha Ainun Nadjib bersholawat dengan nada lagu gereja. Entah kapan dan dimana kejadiannya, bisa jadi bukan tahun ini. Video itu seakan mengejek mereka yang mengharamkan pemberian ucapan natal. Tidak lama kemudian, saya juga membaca berita bahwa di Kupang, pada acara perayaan natal nasional ada kumandang adzan sholat. Dua hal ini, sholawat Emha dan kumandang Adzan, hemat saya tidaklah perlu dilakukan, karena hal tersebut terlalu berlebihan dan bisa mengundang reaksi yang tidak menguntungkan. Bagi ummat Islam yang berkehendak "mengucapkan natal" atau ingin "merayakan natal" tak usahlah memprovokasi agar terjadi reaksi dari kubu yang mengharamkan. Cukup ucapkan dan datang saja, kemudian resiko anda tanggung sendiri kelak di akherat. Saya sih tidak melakukan itu semua.

Kalo toh kemudian terjadi provokasi seperti apa yang dilakukan Emha dan perayaan di Kupang, ini sepertinya memang sengaja memancing supaya ada reaksi dari kubu ummat Islam yang mengharamkan perayaan bersama. Semacam teori "test the water". Kalo ini terjadi, maka skenario berikutnya adalah terjadinya perselisihan dalam ummat Islam yang makin meruncing. Bisa jadi memang ini yang dikehendaki oleh sutradara.

Hembusan ini menguat bermula ketika ada ide Islam Nusantara yang mencuat ketika mengadakan acara "mengaji langgam jawa" di Istana Presiden medio lebaran tahun 2015. Konsep ini banyak didukung oleh Kyai - Kyai dari Nahdatul Ulama, walau tidak semua. Konsep Islam Nusantara menuntut pluralisme dan kelonggaran lebih, terutama ummat islam dituntut untuk bertoleransi lebih, baik terhadap budaya lokal (sebetulnya item ini yang disetujui oleh NU, karena NU berbasis kearifan lokal), nilai agama lain, atau nilai - nilai budaya Barat. Dan kalo bisa bermetamorfosis menjadi Islam liberal (item ini sejalan dengan promosi demokratisasi dan HAM dari Amerika). Intinya adalah "dadi wong Islam ojo sakleg-sakleg". Begitulah konsepnya.

Konon, konsep ini merupakan sub-bagian dari gerakan Islamphobia. Dimunculkan oleh Amerika yang men-cap ummat Islam sebagai teroris. Satu skenario dengan penciptaan monster ISIS yang di-format demikian mengerikan. Nantinya hasil skenario ini akan muncul dikotomis dua sisi Islam: sisi teroris ISIS, dan sisi liberal. Ini konsep internasional, dan sepanjang hemat saya, tidaklah terlalu penting dan juga kurang tepat bila dibungkus dengan judul 'Islam Nusantara' dan lantas diterapkan di Indonesia, karena Indonesia tidak memerlukan hal itu. Malah bisa bikin resiko perselisihan.

Sebagai orang yang dijuluki dengan sebutan tokoh pluralisme, sebetulnya apa yang dilakukan Emha itu kurang tepat. Emha seharusnya bisa mencari sisi - sisi yang tidak sensitif. Bukannya malah mencomot hal yang sensitif kemudian ditunjukkan dengan provokasi di muka umum. Melakukan blending antara sholawat dengan lagu gereja bukanlah langkah yang benar, dan malah bisa mengundang potensi resiko kericuhan.Tapi, bagi saya, terserah Emha mau melakukan apa, entah atas nama pluralisme atau atas nama apapun, mending didiamkan. Karena semakin dibahas, makin ter-publish dan makin populer.

Emha, saya rasa, memiliki kemampuan menimbang - nimbang. Mungkin dalam menjelang tidur beliau juga merintih merasa bersalah melakukan hal tersebut. Bagi yang melakukan kumandang adzan di perayaan natal, pun begitu juga. Seusai acara tersebut, bisa jadi hatinya memohon ampun atas kekhilafan tersebut. Karena pada dasarnya setiap manusia yang memiliki hati akan melakukan introspeksi secara otomatis. Minimal dalam kesendirian, dan dalam dialog antara manusia dan Sang Pencipta kehidupan. Bila dialog tersebut terjadi, maka rasa bersalah akan muncul, dan berikutnya adalah permohonan ampunan. Istilah sufi-nya, tobat.

Seakan dibikin secara kebetulan, akhir tahun ini ada pula kasus unik. Muncul terompet tahun baru yang terbuat dari lembaran Al-Qur'an. Konon bertaburan muncul dan dijual bebas di Jawa Tengah. Apakah ini kebetulan ? Bila dikaitkan dengan adanya adzan di Kupang serta kelakuan Emha, maka ini bisa jadi satu skenario. Bisa jadi. Andai ini cuma kebetulan semata, mungkin tidaklah perlu kita berpikir tentang skenario tersebut. Coba kita pikirkan masak - masak. [] haris fauzi, 31 desember 2015

Monday, December 28, 2015

demokrasi kapitalis


Catatan tentang Bangsa


Bangsa ini mengadopsi sistem demokrasi untuk penerapan sistem politiknya. Demokrasi berasal dari Athena, dan kemudian diterapkan secara cukup meluas di Romawi hingga runtuh pada kisaran abad ke 17. Demokrasi baru go-internasional ketika pada abad ke 15 dimana doktrin gereja di sebagian besar negara Eropa ber-konflik dengan filsafat berbasis rasio, sehingga timbullah pergolakan penentangan kepada kekuasaan gereja, dan muncullah filsafat sekularisme. Sekularisme menjadi bentuk sosial baru yang berlaku di banyak negara Eropa dan menjadi salah satu pendorong demokratisasi, hingga akhirnya mendorong penyempitan kewenangan aristokrasi dan dewan gereja. Dewan gereja tergeser oleh faham sekularisasi, aristokrasi tergeser oleh euforia demokratisasi.

Di Amerika seiring dengan penataan benua baru abad ke-18, demokrasi muncul menjadi sistem bernegara modern dan dianggap sangat berhasil. Keberhasilan ini terus dipublikasikan hingga ke abad modern dan diminati banyak negara, terutama negara yang baru merdeka di medio abad ke 19-20. Bangsa Indonesia pernah mengadopsi sistem politik ala sosialis yang lazim di Eropa Timur. Tetapi berhubung adanya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis, maka akhirnya Indonesia beralih menjadi mengadopsi demokrasi ala Amerika yang dianggap berhasil tadi.

Dalam pemilahan sistem politik internasional, setiap koalisi pasti mengandung unsur keberpihakan tertentu. Sistem politik sosialis ala Eropa Timur, tentunya menguntungkan posisi - posisi negara USSR dan atau China, demikian juga dengan demokrasi ala Amerika. Keberpihakan kepada sistem Amerika jelas menguntungkan Amerika, setidaknya kentara di bidang ekonomi. Dulu pun begitu. Ketika mengadopsi sosialis, secara geo-politik internasional, Indonesia mendukung kubu Sovyet. Ini jelas keuntungan bagi Uni Sovyet. Dan ketika Indonesia beralih ke demokrasi kiblat Amerika, maka negara - negara pro Eropa Barat dan Amerika yang diuntungkan, kali ini lebih kentara dalam bidang ekonomi kapital. Segala pinjaman, investasi, kerjasama bisnis, banyak terjadi dengan poros kapitalisme Amerika, dan Jepang di sisi lain. Dan ini merupakan penyerapan laba oleh Amerika yang dilakukan secara kontinyu. Lihat saja efek Freeport. Hingga kini Freeport menjadi ladang cangkul yang memperkaya Amerika, namun tidak memajukan Irian. Kemudian pinjaman IMF, Bank Dunia, dan lain - lain. Pinjaman ini dikembalikan dengan cicilan plus bunga, dan dengan bunga yang cukup tinggi ini, beberapa kali berkontribusi memperbaiki kondisi keuangan Amerika, namun mencekik Indonesia.

Mungkin ada benarnya bila bangsa ini berusaha me-re-negoisasi hutangnya, serta bentuk kerjasama asing yang terlalu menguntungkan pihak luar, seperti Freeport tersebut. Renegoisasi hutang agar tidak terlalu memberatkan, dan bertujuan utama membangun bangsa Indonesia, tidak seperti yang terjadi sekarang. Yang sekarang terjadi lebih condong memperkaya negara pendonor dan mencekik negara terhutang.

Renegoisasi investasi dari sisi ekstrem adalah mirip dengan nasionalisasi yang beberapa kali kejadian di negara - negara revolusioner Amerika Latin dan pernah pula kejadian paska revolusi Iran 1979. Intinya, segala bentuk investasi dan kerjasama dengan perusahaan asing, poin pertama yang harus direalisasikan adalah demi keuntungan bangsa sendiri. Bukan seperti kejadian Freeport, yang Indonesia cuma memperoleh receh retribusi semata, sementara hasil tambangnya habis - habisan di boyong ke Amerika, dan membuat Amerika kaya raya. Kalau toh terjadi, sebenarnya ini tidaklah mengherankan. Kita menerapkan sistem politik ala Amerika, dan yangmana karena berasal dari sana, ya konsekwensinya jelas, nyaris sebagian besar keuntungan juga mengalir ke sana. Ini permainan link and match antara politik dan ekonomi. Untuk itu, ada baiknya kita meninjau ulang sistem politik di negara ini, sehingga kita bisa lebih membatasi arus keuntungan yang membanjir keluar. Agar kekayaan yang ada bisa dinikmati oleh bangsa ini sendiri, dengan porsi yang lebih banyak.

Demokratisasi memang dipublikasikan oleh Amerika demi keuntungan Amerika. Lihat saja bagaimana isu demokrasi menggulung Mesir dan menjatuhkan Hosni Mubarak. Namun ketika yang terpilih menjadi presiden adalah Mursi, maka perlu digulingkan, karena visi Mursi tidak se-faham dengan Amerika. Demikian juga ketika Libya dipimpin Muammar Qaddhafi, karena Qaddhafi tidak sejalan dengan Amerika, maka perlu digulingkan. Setelah digulingkan atas nama demokrasi, maka sistem negara yang ter-install akan memiliki aplikasi khusus yang mampu mengalirkan kekayaan negara tersebut ke Amerika. Hal seperti itu yang juga terjadi di Indonesia. Untuk itu, sebelum mewujud menjadi bangsa yang mendadak kere gara - gara dihisap kapitalis, --sekali lagi,-- ada baiknya Indonesia meninjau ulang sistem politik yang sudah ter-install ini. [] haris fauzi, 26 desember 2015

Monday, December 21, 2015

Dagelan Akhir Tahun



Hasil gambar untuk sidang MKD lucuSetidaknya dalam akhir tahun ini saya musti tertawa tergelak - gelak, musababnya adalah ada beberapa dagelan bertaraf nasional. Setidaknya, ada tiga dagelan yang saya catat sebagai bingkisan akhir tahun 2015.

Dagelan pertama adalah jelas dagelan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang digelar medio akhir November 2015 hingga awal Desember 2015. Isinya persidangan adalah dugaan terhadap Ketua Dewan yang bernama Setya Novanto --diduga-- kedapatan meminta saham kepada perusahaan asing, dengan mencatut nama presiden. Belok kanan - belok kiri ga jelas, saya jadi ingat ludruk atau srimulat, atau pelawak Bolot, yang bila berdialog tidak pernah nyambung. Ini dagelan kelas wahid. Kutukan Gus Dur bahwa 'anggota dewan adalah anak TK', ternyata sudah basi, ternyata mereka sekumpulan pelawak kini, tentunya sekumpulan calo, apabila dugaan itu terbukti di sidang yang penuh dagelan bolot begitu. Dan, Presiden Jokowi akhirnya mengumpulkan para pelawak untuk rapat di tempat terpisah.

Dagelan kedua adalah keharmonisan antara Freeport dengan pemerintah, yang dengan metode slaman slumun slamet telah memperpanjang ikatan suci-nya pada medio Oktober 2015. Padahal semangatnya tidaklah begitu. Freeport yang semenjak dulu dengan penuh semangat digembar - gemborkan hendak didepak, ternyata hingga kini makin lama makin mesra. Butuh - butuh simbiosis mutualisma begitu. Ini dagelan kedua yang seakan tertutup oleh dagelan ribut - ribut saham Freeport di sidang MKD.

Ternyata, bisa jadi dagelan MKD di atas itu cuma sambel, yang tergaduh gak karu-karuan dan akhirnya menutupi dagelan sebelumnya, yakni perpanjangan kontrak antara Freeport dengan pemerintah, yang sudah berjalan semenjak kira - kira dua bulan sebelum kelucuan saham yang disidang di MKD. Kalo untuk dagelan kedua ini mungkin kata "menggemaskan" lebih cocok dibanding dengan "lucu". Dagelan kelas wahid, yang menghisap kekayaan alam negeri. Dan lucunya, lepas dari perhatian, ini yang membuatnya menjadi 'menggemaskan'.


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (ESDM), Sudirman Said, mengatakan, “Kami menyambut baik kelanjutan investasi Freeport di Papua yang akan meningkatkan perekonomian lokal dan nasional.”

Dagelan pertama itu menunjukkan bahwa anggota dewan adalah calo, dagelan kedua menunjukkan bahwa Freeport menguasai bangsa ini. Kedua-nya sama-sama dagelan yang 'nggilani'. Dagelan yang kedua ini, skenarionya sudah dirintis jauh - jauh hari, semenjak awal tahun, kemudian secara perlahan namun intens hingga medio lebaran, dan pada akhirnya diumumkan pada pertengahan semester akhir tahun 2015. Lamanya urusan ini salah satunya adalah supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Slogan 'slaman slumun slamet' harus bisa produktif. Hasilnya, Freeport boleh mencangkul lagi. Asik.

Kalo boleh mencatat adanya dagelan ketiga, kita musti kembali ke sidang MKD yang 'ndlahom' tersebut, tapi ini bukan urusan kegaduhan sidangnya. Tapi urusan hiruk - pikuk yang tidak sebanding dengan barang bukti sidangnya.

Untuk ukuran saya, sidang tersebut merupakan sidang yang demikian bertele - tele, terutama kehebohan pada saat memutar rekaman percakapan,  dan dilanjut dengan mendiskusikannya dengan metode simpang siur. Tetapi, ternyata, rekaman aslinya tidak ada di situ. Rekaman aslinya entah disimpan di mana, katanya di Kejaksaan Agung. Dan yang diperdengarkan adalah "fotokopi-an". Apakah ini tidak membuat tergelak - gelak ? Betapa sidang yang demikian "penting", yang konon bertajuk Sidang Kehormatan, ternyata barang buktinya adalah berupa 'fotokopian' saja. Tidak otentik. Jelas ini parodi yang membuat geleng kepala. Ini dagelan fotokopian.


Tiga dagelan, yang sebetulnya saling terkait ini, menjadi penutup tahun 2015 di negara Indonesia yang sungguh mengharu - biru. [] haris fauzi, 21 des 2015

Thursday, December 17, 2015

Cerita Sebuah Pulau

Saya berada di sebuah pulau, dan berbincang dengan seorang pria, sekira sepuluh tahun umurnya diatas saya. Beliau berada di pulau itu sekitar dua - puluh tahun sudah. Sebetulnya angka dua puluh tahun itu belumlah lama, namun kebiasaan beliau untuk senantiasa berbincang dan bersosialisasi, menjadikan beliau memiliki banhyak referensi ihwal pulau tersebut.

Awal menginjakkan kaki di pulau tersebut, beliau bekerja sebagai karyawan sebuah hotel penginapan. Kala itu sedang 'booming' orang asing berpakansi ke pulau itu, mangkanya salah satu bisnis beliau adalah penyediaan 'entertainment', termasuk urusan hiburan malam dan wanita a-susila. "Ketika nilai dollar naik, maka orang asing sekelas kuli batu bisa datang ke pulau ini dan menyewa dua wanita sekaligus untuk menginap di pulau ini", ujarnya. Itu kelas kuli batu, bila kuli berlian tentunya lain lagi.

Selain berkutat dengan dunia hotel dan hiburan, kala itu beliau punya kerjaan sambilan yang benar - benar 'menggiurkan'. Kedekatannya dengan para petinggi membuatnya sering kelimpahan hujan uang. Itu karena pulau ini tidak bertuan. Dan pula tidak banyak penduduknya, mangkanya banyak tanah "menganggur". Ketika tiba masanya orang asing banyak berdatangan berpesiar, maka berduyun - duyun pula orang yang datang untuk berbisnis. Tak luput pula, proyek - proyek infrastruktur-pun mulai pesat dijalankan. Proyek - proyek itu didatangkan dari pusat. "Banyak orang militer terlibat di proyek - proyek tersebut", katanya.

Hujan uang itu dijelaskan beliau dengan bahasa yang menggelikan. "Jadi, saya harus rajin mencari informasi proyek.... ada selentingan akan ada proyek di lahan mana..., gitu. Setelah lokasinya jelas, trus saya mengkapling - kapling lahan itu. Saya kongkalikong dengan RT setempat. Saat itu belum ada istilah RT/RW disini, ya jabatannya sekarang mirip - mirip itu lah. Kadang - kadang tanah itu sudah dikuasai oleh penguasa - penguasa. Yang ditandai dengan adanya penjaga, biasanya preman. Beda dari yang sebelumnya, ketika saya ber-kongkalikong dengan RT itu biasanya tanahnya sudah ada dekat pemukiman, tetapi tak bertuan. Sementara tanah yang dijaga preman biasanya berbukit - bukit berhutan - hutan".

"Untuk tanah yang dekat pemukiman, saya mudah meng-kapling-nya asal bisa kongkalikong, apalagi tanahnya sudah siap, sudah rata, tinggal pasang pathok. Untuk tanah yang masih berhutan, biasanya orang-orang bekerjasama, segerombolan mobil pick up, punya alat tebas hutan, cangkul, dan sebagainya. Masuk ke hutan tersebut, trus kita membersihkan lahan. Istilahnya "nebas lahan". Kita harus memberi upeti kepada preman penjaganya agar diijinkan "nebas hutan". Tanah yang sudah kita tebas, harus dipagari dan diberi tanda. Dan ketika lahan tersebut dibeli oleh makelar, maka kita diberi duit ongkos tebas sesuai luas tebasan kita".

"Untuk tanah yang dekat pemukiman, setelah saya kapling sekitar sepuluh kali sepuluh meter, maka saya menghubungi seorang makelar rumah liar. Makelar itu kemudian membeli tanah tersebut. Padahal itu bukan tanah saya. Duit yang saya terima sekitar tiga ratus hingga lima ratus ribu rupiah per-kapling. Oleh makelar, tanah itu di-berdiri-kan rumah - rumah dari tripleks. Semacam bedeng. Tapi itu cuma rumah - rumahan saja. Asal - asalan, lantainya dan pondasinya gak ada. Tujuannya adalah ketika ada penggusuran, maka pihak proyek akan memberi sejumlah uang kompensasi kepada makelar sebagai ganti gusur tanah dan rumah. Semakin banyak biliknya, semakin besar kompensasi gusurannya. Biasanya makelar itu dapat kompensasi gusuran proyek sekitar dua puluh hingga tiga puluh juta per-kapling. Bisa lebih. Bayangkan, makelar itu beli dari saya lima ratus ribu, trus menjualnya tiga puluh juta. Makelar itu kemudian membongkar rumah-rumahannya,... dan lantas melakukan hal itu lagi ditempat yang lain. Tripleks yang digunakan ya itu - itu mlulu... Apa yang saya lakukan ? Saya sudah duluan melakukan kapling - kapling di area lainnya.... sebelum para makelar itu datang untuk membeli kaplingan saya...". [] haris fauzi, 17 desember 2015




Sunday, December 13, 2015

Dungu Kuadrat

Jumat malam, bahkan mulai menjelang sore, arus lalu lintas Jakarta - Bogor biasanya teramat menjemukan. Mobil berderet - deret antri. Jagorawi, tol terbaik itu-- dipenuhi kendaraan hingga larut malam, utamanya menuju arah Bogor. Mungkin, menjelang akhir minggu, banyak pelancong lokal yang berhasrat menghabiskan pakansi-nya di Bogor. Maka berduyun - duyunlah mereka memenuhi jalanan arah Bogor.

Jumat malam itu, sekitar pukul sepuluh malam, satu diantaranya adalah saya, penikmat kepadatan lalu lintas tol Jagorawi. Kendaraan melaju cukup,kisaran 40 - 60 km/jam. Angka ini terlihat konyol untuk kecepatan berkendara di jalan tol yang seharusnya minimal 60 km/jam. Semua lajur padat, hingga ke bahu jalan. Saya berada di lajur paling kanan. Walau lajur paling kanan, sama sahaja, merayap dengan kisaran kelajuan sebegitu pula. Jumlah kendaraan padat sekali.
Sekonyong - konyong, nampaklah ke-idiot-an jalanan. Entah faham atau tidak ihwal kemacetan, mobil sedan yang berada dibelakang saya kerap menyalakan lampu dim, meminta saya melaju lebih cepat, atau meminta saya minggir untuk memberikan jalan lewat kepadanya. Berkali - kali mobil sedan hitam itu melakukan hal tersebut. Tentunya ini mengganggu saya, karena saya orang yang cukup sensitif dengan kode lampu. Dalam hati saya berkata," apakah orang ini tidak mengetahui bahwa jalanan memang padat ?".
Setelah untuk kesekian kalinya sedan hitam itu menunjukkan kedunguannya dengan menyalakan lampu dim-nya, saat itulah waktunya bagi saya untuk bertindak. Saya bergeser dari lajur paling kanan ke lajur sebelah kirinya, memberi ruang kepada sedan hitam dungu itu menyalip saya, dan setelah sedan hitam dungu itu menyalip saya, segera saya bergeser ke jalur kanan lagi. Kini saya tepat berada di belakang mobil sedan hitam dungu itu. Saya tidak faham benar, apakah pengemudi sedan hitam dungu itu faham posisi saya atau tidak. Yang jelas, sekarang giliran saya untuk memberi tekanan kepada pengemudi sedan hitam tadi.
Pertama, saya mengerdipkan lampu dim saya dua - tiga kali, dan lantas diikuti dengan menekan klakson. Hal itu saya lakukan 2-3 menit sekali. Rupanya, baru 4 kali saya lakukan, sedan dungu itu merasa gerah. Pengemudinya membuka jendela, mengeluarkan tangan sambil menunjuk-nunjuk ke depan seolah berkata," jalanan padat, jangan memburu-buru...". Tapi, dalam keadaan jalan merayap begitu, saya tidak peduli. Saya tetap menyalakan dim 2-3 kali diikuti semprotan klakson.
Saya rasa, pengemudi sedan hitam makin gerah. Mengeluarkan tangannya lagi, dan menunjuk-nunjuk dengan gaya makin kasar. Saya tidak tau apakah beliau mengumpat atau tidak, yang jelas klakson saya tetap menyemprot.
Jelas sekali bahwa pengemudi sedan hitam itu sama sekali tidak terima dengan tekanan yang saya berikan. Padahal, dia melakukan hal sama, beberapa saat sebelum saya melakukannya. Ini jelas kedunguan kedua dari pengemudi sedan hitam tadi. Akhirnya, ditengah kedunguannya yang kwadrat, dia menyerah, memberi jalan saya. Mirip dengan apa yang saya lakukan, dia bergeser ke kiri, memberi saya ruang, dan ketika saya menyalipnya, beliau membukan jendela sambil mengumpat, saya membalasnya dengan mengacungkan kepalan tangan. Sejurus setelah saya menyalipnya, beliau lantas kembali geser ke kanan untuk mengambil posisi tepat di belakang saya.
Apa yang dia lakukan ? Ternyata dia memberi lampu dim ke arah saya ! Sungguh dungu. Dia pertama melakukan hal tersebut, kemudian saya balas, dan dia ngamuk - ngamuk. Dan ternyata, dia kembali melakukan hal tersebut ! Sungguh dungu kuadrat. Setelah saya diamkan, pengemudi sedan hitam dungu kuadrat tadi menghentikan aksinya. Pertama, jalanan mulai agak lega. Kedua, mungkin dia juga ingat akan kelakuan pertama dia kepada saya. Ketika pada awal menembakkan lampu dim, tentunya dia membaca plat nomer mobil di depannya, yakni mobil yang saya kendarai. Dan setelah akhir kejadian, dia ingat akan hal itu.
Saya ingat, sekitar sepuluh tahun lalu, ada kejadian serupa ketika saya berkendara di tol Cikampek. Sekitaran daerah Cibitung, tol jakarta arah Cikampek. Sungguh kedunguan berganda yang dipertontonkan dengan vulgar. [] Haris Fauzi, 13 des 2015

Friday, December 11, 2015

Ban All American

Following the speech of Donald Trump to Ban All Moslem Travel to US,
The Moslem Countries will Ban All American also...
Ha... Ha... Ha...




good day... :D :D :D

Tuesday, December 01, 2015

peci dan bid'ah

Dulu, jaman SMA hingga masa kuliah, ada dua hal yang lumayan kontroversial dalam cara saya berpakaian ketika sholat. Kontroversi pertama adalah saya ogah mengenakan sarung. Alasan utama adalah, ketika sujud, sering dengkul bisa terlihat. Alasan kedua adalah sekedar alasan tren. Menurut klausul tren adalah lebih gagah mengenakan celana panjang daripada sarungan ketika berangkat jumat. Bukankah begitu ?

Kontroversi kedua adalah ihwal peci. Jaman itu saya termasuk orang yang paling muales mengenakan peci. Banyak alasannya. Pertama, karena rambut saya gondrong, jadi alangkah jeleknya kalo harus tertutup peci. Kedua adalah, rambut saya lurus dan licin, kondisi itu peci sering jatuh ketika dikenakan. Ketiga, saya malas ketika peci dianggap sebagai sebuah 'syarat' keabsahan sholat jum'at. Tidak ada yang mewajibkan seseorang harus berpeci ketika berangkat sholat jumat.

Dua hal tersebut akhirnya saya tinggalkan. Sarung hanya menemani sebagai selimut ketika tidur, sementara peci masuk ke kolong lemari terdalam. Hal tersebut berjalan sangat lama, walaupun tidak selama Ashabul Kahfi yang terkurung dalam gua.
Palingan sarung berperan ketika sholat di rumah. Dalam kasus ini, unsur "dengkul terlihat" jadi subhat bukan ? Kejadian "dengkul terlihat" pasti terjadi. Akhirnya saat itu alasan nggak ber-sarung adalah karena ihwal keren ga keren saja. Jadi, sarung tetap saja saya tinggalkan ketika berangkat keluar untuk jumatan.

Peci lebih lama lagi saya tinggalkan. Mungkin, saya mengenakan peci ketika akad nikah, empat tahun setelah saya lulus sarjana. Bisa jadi itu sahaja. Selebihnya bisa dikata sangat jarang. Sepanjang masa itu baik sholat biasa, sholat jum'at, sholat tarawih, nyaris semua tidak pakai kopyah. Bahkan beberapa kali sholat ied saya lebih sering tidak berpeci. Sangat wajar bila peci tersebut hingga kini masih bagus. Lha wong jarang dipake.

Setahun belakangan, saya berkebalikan. Sudah tidak tabu lagi bersarung dan berpeci. Maklum, sudah umur. Cuma ribet juga nyetir mobil --apalagi mancal sepeda kayuh-- bila musti ke masjid bersarung ria. Namun bukan itulah masalahnya. Sarung saya sudah ketemu kuncinya. Kunci pertama, ya tadi, saya sudah tua, jadi gak perlu gengsi gak perlu trendi. Kunci kedua, agar "dengkul" tertutup ketika sujud, sarungnya saya turunkan dibawah mata kaki. Mungkin ini bertentangan dengan larangan isbal, namun biarlah dituduh isbal, yang penting syarat menutup aurat terpenuhi.

Peci ? saya mencoba merutinkan diri untuk berpeci. Maklumlah, sebagai mantan ketua RW, trus jadi pengurus masjid, masa iya sih tidak berpeci ? Orang yang seprofesi saya kebanyakan sudah lebih advance dengan mengenakan gamis !
Namun kerutinan saya ini terkendala dan menurut saya terindikasi masalah. Masalah yang muncul adalah sebagaimana saya kuatirkan ketika masa kuliah. Jadi ceritanya begini, hari itu hari Sabtu. Ada acara pengajian, dan saya berencana hendak berangkat bareng istri. Saya sudah naik dan menyalakan mesin mobil, sehingga saya teringat belum mengenakan peci ! Saya turun lagi, lari masuk rumah, menuju ruang sholat, dan menggambil peci yang tergantung di paku.
Itu kejadian hari Sabtu. Minggunya, saya bangun nyaris kesiangan. Adzan subuh nyaris selesai ketika mata saya baru terbuka. Saya terburu - buru bangun, berwudlu, berganti pakaian. Suasana rumah masih sepi dan gelap. Saya beberapa menit gedabrugan mencari peci. Dan tidak ketemu ! Dikarenakan iqamah dikumandangkan, maka berangkatlah saya tanpa berpeci. Sepulang dari subuhan, barulah saya berpikir, adalah benar untuk tidak merutinkan diri berpeci. Sehingga bila kita tidak mengenakannya, maka hati masih "sreg" dan ikhlas untuk mengerjakan sholat tanpa peci. Tidak "kepikiran" dalam sholat. Ini bukan masalah sederhana. Saya pernah menyaksikan orang yang kelupaan mengenakan peci. Mungkin, ketika berwudlu dia mengantongi pecinya. Dan, ketika takbiratul ihram, dia belumlah teringat akan pecinya. Hingga di tengah - tengah sholat dia beru teringat akan pecinya, dan lantas mengeluarkan sang peci dari kantong, dan kemudian mengenakan songkok tersebut. Alamak. Gerakan sholatnya terpenggal urusan mengenakan peci ! Sudahlah. Peci itu tidak wajib. Jadi nggak usah disakralkan, ntar jadi bid'ah malahan. [] haris fauzi - 1 des 2015.

Friday, November 27, 2015

antara kartu kredit dan kartu ATM

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278) Makajika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 279)


Saya selalu merasa ada penekanan yang berbeda setiap ada kajian Islam atau bahasan --entah di grup atau di manapun-- mengenai riba. Ya, riba, hal yang terkait dengan rentenir, meminjamkan uang, dengan imbalan sehingga uang yang dikembalikan menjadi lebih besar, atau jauh lebih besar.

Dimanakah yang berbeda ? Begini, kebanyakan pembahasan - pembahasan itu 'hanya' menekankan kepada dua macam traksaksi, yakni transaksi cicilan dan transaksi kartu kredit. Bukankah begitu ? Saya tidak menyalahkan pembahasan tersebut. Saya setuju bahwa praktek cicilan dan kartu kredit merupakan praktek - praktek yang sering kita jalani, dan ternyata praktek - prektek itu mengandung riba. Setuju.

Tapi, itu kurang komplit. Muncul pertanyaan, mengapa ustadz, pakar, dan hampir semua pembahas riba itu melupakan "bunga rekening" ?

Saya salut dengan para pembahas riba yang kebanyakan memiliki pengalaman terlilit hutang dan kemudian berhasil melepaskan diri dari praktek cicilan dan praktek kartu kredit. Mangkanya beliau - beliau ini senantiasa membahas praktek riba di ranah cicilan dan ranah kartu kredit.

Berlatar itulah, maka jargon melepas dari praktek riba adalah "potong kartu kredit-mu !". Tapi tahukah kita, bahwa tidak hanya "potong kartu kredit" saja ? Mengapa hanya "kartu kredit" ?
Bukankah seharusnya "potong kartu ATM-mu sekarang !" juga merupakan jargon utama anti riba ?

Begini ceritanya, sejatinya dalam kasus riba, ada pelaku pemakan riba, ada pelaku pemberi riba. Pemakan riba adalah mereka yang memakan keuntungan riba, bukan orang yang makan dengan berhutang. Melainkan mereka yang "makan" atau membeli makan dengan hasil membungakan pinjaman, rentenir. Tahukah kita semua, bahwa "memakan riba" itu berdosa besar, dan pelaku riba berdosa melebihi zina ?

Mari kita bahas "pemakan riba", yakni orang yang memakan riba. Bukan orang yang meminjam duit, bukan orang yang berhutang. Melainkan mereka yang meminjamkan duit, mencari rejeki menjadi rentenir. Tidak hanya rentenir. tetapi juga penyimpan uang di bank (non-syariah), yang mana kemudian pihak bank meminjamkan dana terkumpul tadi, dengan pengembalian cicilan berikut bunga, sehingga penyimpan duit akan menerima sebagian bunga tadi, dan ini tercantum dalam transkrip rekening.

Tentu pemakan riba ini berbeda dengan pemberi riba. Pemberi riba adalah orang yang terjerat hutang, dan mencicil dengan memberikan bunga. Inilah yang disebut dengan terjerat hutang, itulah yang disebut korban riba. Apakah korban riba tidak berdosa ? Walaupun Islam menegaskan untuk membantu seseorang agar terbebas dari hutang, tetapi jelas pelaku "pemberi riba" ini jelas berdosa, karena diidentifikasi sebagai pelaku riba pula, karena memberikan riba atau membayar bunga. Siapakah mereka ? mereka adalah mencicil, pemegang kartu kredit, mereka yang berhutang sana - sini dengan membayar bunga.

Dari jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya” Ia berkata: “Mereka itu sama (saja).” (Hadits riwayat Muslim, 3/1219.)

Jadi, sejauh ini yang dibahas dalam konteks "pembebasan riba" selalu -kebanyakan-- adalah pemberi riba. Korban rentenir, korban kartu kredit, korban cicilan rumah, cicilan mobil, dan sebagainya. Jarang sekali membahas mengenai pemakan riba. Siapakah pemakan riba ? Rentenir, tentunya. Siapa lagi ? Ya tentunya pemilik nasabah di bank, pemilik rekening, yang mana duitnya diperpinjamkan oleh bank kepada peminjam (pemberi riba), kemudian riba tersebut dibagi menjadi "bunga" yang disaldokan dalam rekening. Siapakah mereka ? Mereka adalah pemilik rekening, pemilik kartu ATM.

Beberapa orang tidak mempermasalahkan hal ini, karena bunga tersebut bisa diambil dan lantas disumbangkan masjid. Tahukah anda apakah resiko menyumbangkan uang hasil bunga bank ?

Resiko pertama adalah anda beramal dengan sesuatu yang buruk, ini dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana Qabil yang kurbannya tidak diterima Allah karena membuat persembahan dari hasil yang buruk. Resiko kedua adalah, perbuatan menyumbangkan bunga bank sama sekali tidak menyelesaikan masalah korban riba, karena bunga yang dia berikan, kita serahkan kepada orang lain, bukan di kembalikan. Cara menyelesaikan korban riba, pemberi riba, adalah membebaskannya dari hutang. Bukan dengan membayarkan bunganya sebagai amal ke masjid. Ini salah kaprah.

Lantas mengapa kedua orang,-- pemakan riba dan pemberi riba-- sama - sama berdosa ? Tahukah kita bahwa dalam kasus penjajahan, kebanyakan orang beranggapan bahwa selalu saja "penjajah" dianggap yang bersalah. Tahukah kita bahwa dalam kasus perkosaan, selalu saja "pemerkosa" dianggap bersalah sendirian. Padahal penjajah itu tidak akan bisa menjajah bila tidak ada yang mau dijajah. Demikin juga pemerkosa tentu tidak akan melakukan pemerkosaan bila hasratnya tidak dipancing, kecuali penjajah dan pemerkosa yang sudah membabi buta.

Lihatkah kasus penjajahan di Indonesia, ada saja warga Indonesia yang berkolaborasi memperlancar-langgengkan negara lain menjajah negeri ini. Lihatlah kasus perkosaan, banyak yang terjadi gara - gara wanita mengenakan baju minim. Demikian juga dengan kasus rentenir. Tidak jarang mereka yang terjepit finansial memohon pinjaman kepada rentenir dengan konsesi bunga yang akhirnya mencekik mereka sendiri. Kadang, penjajahan, pemerkosaan, rentenir dimulai dari negeri yang mau dijajah, wanita yang pamer aurat, dan orang yang mengadu ke rentenir. Itulah kenapa mereka juga berdosa.

Akhirul kalam, paradigma riba itu tidak hanya di kartu kredit, tetapi juga di kartu ATM. Kartu kredit adalah fenomena pembayar riba, sementara kartu ATM (non-syariah) adalah fenomena pemakan riba. Keduanya berdosa, sebagaimana semua yang terlibat dalam urusan riba tersebut. Wallahu'alam. [] haris fauzi, jum'at 27 Nopember 2015

Tuesday, November 17, 2015

Dukungan kepada Rektor Universitas Brawijaya

Buntut dari proposal kegiatan berbau LGBT yang hendak diselenggarakan BEM Fisip UB masih ada. Setelah proposal tersebut tidak disetujui oleh Rektor Universitas Brawijaya, maka pihak pendukung LGBT yang berada di-luar kampus, mendesak agar Rektor mencabut larangan tersebut.

Kontan ini menyulut pro kontra. Maka perang petisi pun di mulai. Muncul dua petisi, petisi pertama lahir tgl 10 nopember oleh Masyarakat Toleran, petisi ini pro LGBT dan sempat diulas di Tempo. Petisi kedua adalah petisi Pro Rektor, yang diinisiasi oleh Ikatan Alumni UB pada 16 nopember. Kedua petisi ini berlomba dukungan hingga akhirnya petisi kedua diblokir tanpa alasan yang jelas pada tanggal 17 nopember sekitar jam 1 siang. Pada saat itu posisi dukungan suara mencapai 139 pendukung LGBT, dan 880 pendukung Rektor.


Dengan terblokirnya petisi tersebut, Ikatan Alumni UB meneruskan usahanya dengan merancang surat terbuka yang bisa dikonsumsi publik, sebagai surat dukungan kepada Rektor universitas Brawijaya. Pada prinsipnya, surat dukungan kepada keputusan Rektor Universitas Brawijaya berisi tiga hal utama :

Yang pertama adalah ihwal LGBT dalam konteks masyarakat beragama.

Dalam norma agama mana-pun, kelakuan LGBT tidaklah bisa dibenarkan. Tidak satupun norma masyarakat yang berlaku di-Indonesia membenarkan hal tersebut. Untuk itu kegiatan – kegiatan yang mendorong tumbuh kembangnya ihwal LGBT, seyogyanya harus ditiadakan, karena menyimpang dari norma agama yang dipegang oleh masyarakat Indonesia.  Kegiatan – kegiatan yang menumbuh-kembangkan kelakuan LGBT adalah termasuk dalam kategori kemunkaran yang harus dihentikan. Apalagi bila kegiatan tersebut hendak diselenggarakan oleh institusi pendidikan. Sebagaimana diketahui, Universitas Brawijaya adalah institusi pendidikan yang juga dikenal sebagai kampus religius karena telah berkontribusi memberikan sumbangsihnya secara nasional, kampus Universitas Berawijaya memiliki reputasi tinggi dalam religius, diantaranya adalah sebagai kampus yang melahirkan organisasi “Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)”. Tentu, adalah sebuah kesalahan besar bila kampus religius berencana hendak menyelenggarakan kegiatan yang melanggar nilai agama.

Hal kedua adalah adanya keputusan Rektor Universitas Brawijaya

Berkenaan dengan usulan kegiatan dari BEM Fisip UB bertajuk “Brawijaya International Youth Forum 2015” dimana rencananya akan dilaksanakan pada Nopember 2015 (diisi oleh DR. Dede Utomo-Aktivis LGBT, dan Yuli Rustinawati-Gerakan LGBT arus Pelangi) , maka Rektor Universitas Brawijaya telah melakukan banyak pertimbangan sebelum mengambil keputusan untuk TIDAK MENGIJINKAN penyelenggaraan kegiatan tersebut.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Rektor Universitas Brawijaya memutuskan untuk tidak mengijinkan kegiatan tersebut dengan pertimbangan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Rektor ber-hak memutuskan hal tersebut dikarenakan usulan kegiatan tersebut muncul dari sivitas BEM Fisip, yang mana menjadi domain Rektor.  Keputusan Rektor ini patut didukung oleh para Alumni dan sudah seharusnya dihormati oleh masyarakat umum.

Dengan adanya petisi dari pihak luar yang hendak menggagalkan keputusan Rektor UB tersebut, maka berarti pihak luar tersebut hendak melakukan intervensi dalam teritorial kampus Universitas Brawijaya. Untuk ini, segenap Alumni UB dan masyarakat luas seyogyanya memberikan dukungan kepada Rektor UB untuk mengukuhkan keputusannya melarang kegiatan tersebut.

Hal ketiga adalah petisi di domain change.org *)

Ikatan Alumni UB juga menggalang dukungan kepada Rektor UB untuk melarang menyelenggaraan kegiatan “Brawijaya International Youth Forum 2015”. Dukungan diberikan dalam berbagai bentuk, seperti listing pendukung di grup, sosialisasi ke media, dan pembuatan petisi di domain change.org.
Petisi di change.org dibuat oleh Presiden Sarungers Indonesia pada tanggal 16 Nopember 2015, dan pada tanggal 17 Nopember 2015 telah menggalang lebih dari 800 pendukung pada sekitar pukul 10 siang. Petisi ini hilang pada tanggal tersebut sekitar pukul 11 siang. Tidak bisa diakses, di-blokir tanpa ada kejelasan.

Untuk itu kami juga menyesalkan atas perlakuan change.org yang ternyata tidak netral dalam keberpihakan. Seperti diketahui, petisi yang digalang oleh pihak pendukung LGBT baru meraih dukungan 139 orang. Sementara petisi yang mendukung keputusan Rektor telah mencapai lebih dari 800 pendukung.

*) surat kronologis kehilangan petisi yang ditulis oleh pencetus petisi dapat di-klik di : "Hilangnya Petisi Kami"

Thursday, November 05, 2015

perempatan

Kondisinya begini, ada perempatan yang dilengkapi dengan traffic light, lampu pengatur lalu lintas. Entah mengapa, salah satu sisi jalan, sebut saja jalan sisi timur, itu memiliki setting waktu merah / stop yang relatif lebih lama daripada yang lainnya. Tentunya ini membuat banyak pengemudi tidak sabar. Terus terang saja, pengemudi di Indonesia kesabarannya masih sebatas isapan jempol. Nunggu traffic light aja sudah emosi.

Sisi timur, yang relatif lama "merah"-nya ini, membuat pengemudi maju menginjak cross -batas stop. Terutama kendaraan roda dua. Ketika menumplek - blek, kegilaan meraja lela, jalan sisi kanan - pun diisi oleh motor yang menyerobot jalur kanan, barang dua - tiga baris. Apa dampaknya ? Dampaknya adalah mobil yang hendak masuk ke ruas sisi timur itu akan terhambat. baik kendaraan dari sisi barat, utara, maupun selatan. Bener, kan ? Mereka yang hendak masuk, malah mentok terhenti gara - gara motor yang menyesaki ruas hak mereka. Begitu ada mobil yang tertahan, praktis persimpangan menjadi 'crowded'. Mereka yang punya hak "hijau" akan terhenti dan menggumpal di simpul tengah.

Suatu pagi, dalam kondisi seperti di atas,-- ada sebuah mobil yang jengkel dengan kondisi itu. Mobil berwarna putih itu merupakan mobil yang hendak "masuk" ke ruas timur. Muncul dari sisi selatan, belok ke kanan hendak memasuki sisi timur, dan berhadapan dengan motor yang menyumpal jalannya. Melihat jalan hak-nya terhalang banyak motor, dia -- pengemudinya ibu - ibu-- malah menginjak gas sehinga mobilnya melaju sambil menekan keras klakson. Semula motor - motor penghalang itu mengabaikannya. Namun, mereka jadi panik ketika ada motor yang nyaris terserempet, dan mobil putih  itu masa bodo dengan kondisi motor yang nyaris diserempetnya. Ibu itu nekad mengegas - ngegas mobilnya sembari menekan klakson dengan galak. Gak mau peduli apakah mobilnya bakal baret ataukan ada motor yang terlanggar. Rupanya ibu ini sudah nekad. Kalo toh serempetan, paling mobilnya baret, dan dia tidak akan peduli dengan kaki, tangan, kepala, atau jiwa pengemudi motor yang dilanggar mobilnya.

Tengoklah. Bahkan dengan ulah seorang ibu dengan sedan putihnya, mampu membuat pengemudi motor meminggirkan kendaraannya. Barulah para "biker" itu terdasar akan kesalahannya. Ini bukan faktor "ibu" atau "mobil sedan putih". Melainkan para penyerobot itu baru ngeri bila dilawan pula dengan kenekadan. Ini bukan kondisi psikologis yang baik. Kenekadan, senjata, kekerasan, bisa merajalela di tengah kondisi masyarakat yang menerapkan peraturan seperti ini. Kita sekarang hidup tidak di jaman batu. Tidak perlu juga seorang "rambo" untuk mengusut kejahatan. Ini jaman supremasi hukum. Tidak seharusnya kenekadan dilawan dengan kenekadan. [] haris fauzi, 5 nop 2015