Thursday, October 22, 2009

kenisah : bruce

BRUCE

"one man's coffee is another man's tea, one man's whiskey..." (Bruce Springsteen, 'Essential")

Saya mulai menyimak lagu - lagu Bruce Springsteen sekitar tahun 1986, ketika saya duduk di bangku SMP, dipicu oleh vokal seraknya di lagu 'Dancing In The Dark' dan 'Born in the USA' yang beberapakali diputar di radio gelombang AM. Lantas, ritual biasa masa puber, saya membeli kasetnya dan memasang poster Bruce yang sedang melompat sambil memegang gitar seperti di pose album "Born in the USA". Namun, saya bukanlah penggemar fanatiknya karena musik Bruce bukan berada dalam genre mainstream favorit saya di progresif yang identik dengan Yes, genesis, ELP, atau PinkFloyd. Bagi saya, genre Bruce Springsteen adalah rock. Rock saja. Tidak terlalu nge-blues seperti Gary Moore atau Jimi Hendrix. Tidak juga folk, tidak juga hard rock seperti Van Halen, apalagi heavy metal. Bila saya identikkan, musik Bruce mirip dengan lagu - lagu DIRE Straits, walau Bruce sudah eksis duluan ketimbang DIRE Straits ini.

Semenjak karir tahun 70-an, Bruce menghasilkan sekitar 'likuran' (dua puluh-an sekian) album, mungkin mencapai tigapuluhan, menjadikan Bruce sebagai salah satu musisi yang eksis selama beberapa dekade. Setidaknya dalam pengamatan saya banyak album - albumnya yang 'moncer' seperti 'The River' (1980), 'Born to Run' (1975), 'Born in the USA' (1984), 'Tunnel of Love' (1987), 'Devil & Dust' (2005), 'The Ghost of Tom Joad' (2005). Dan salah satu yang edan adalah album kumpulan konsernya bersama kelompok 'The E Street Band' bertajuk 'Live 75-85' yang bermasa putar lebih 200 menit dan berisi sekitar 40 lagu. Dan, pada tahun rilisnya 1986, album ini memuncaki tangga lagu dunia. Sungguh saya gembira memiliki dua dari lima kaset album ini. Lagu idola saya adalah 'Independence Day'.

Kaset lain yang saya miliki adalah album 'Tunnel of Love' yang menurut saya album rilis 1987 inilah titik peralihan genre musik Bruce, dari semula keras --pure-rock-- yang penuh semangat berubah menjadi didominasi unsur balada. Dari vokal serak yang berteriak menjadi gumam. Dari hobi ritem gitar menjadi keseringan ber-akustik. Perubahan genre ini tidak menyurutkan popularitas Bruce. Seperti grup kondang U2, Bruce merupakan langganan peraih penghargaan termasuk Grammy. Album berjumlah 'likuran' itu juga menghasilkan penghargaan sejumlah 'likuran' juga.

Musikalitas Bruce dibangun sejak tahun 70-an dengan kemampuannya mencipta lagu, mencipta lirik, dan komposisi yang harmonis. Sehingga lagu – lagunya-pun kadangkala dibawakan oleh musisi lain, diantaranya oleh kelompok progresif 'Manfred Mann's Earth Band'. 
Bagi saya, Bruce Springsteen adalah reinkarnasi sisi jujur benua Amerika. Bruce berkulit putih namun sering menyuarakan keberpihakan terhadap kulit berwarna, juga bagaimana dia menentang perang Vietnam seperti dalam lagu 'Born in the USA'. Konon beberapa kritikus dan politisi menyebut bahwa spirit Bob Dylan menjelma dalam tubuh Bruce menjadi lebih keras, lantang, dan modern.
Bisa jadi memang tidak banyak musisi yang bisa menjadi representasi sebuah benua, atau sebuah bangsa. Seperti Iwan Fals yang begitu menjadi ikon 'Orang Indonesia', Bruce Springsteen-pun demikian untuk sebuah benua besar bernama Amerika yang demikian heterogen. Ya. Bruce Springsteen adalah sisi jujur benua Amerika, seperti dalam lagunya:

....Badlands, you gotta live it everyday,
let the broken hearts stand,
as the price you've gotta pay,
we'll keep pushin' till it's understood,
and these badlands start treating us good.
Workin' in the fields till you get your back burned,
workin' 'neath the wheel till you get your facts learned.
Baby i got my facts,
learned real good right now.
You better get it straight darling.
Poor man wanna be rich, rich man wanna be king,
and a king ain't satisfied till he rules everything...
(Badlands - 1978)


[]haris fauzi – 22 oktober 2009







Wednesday, October 14, 2009

kenisah : jedi

JEDI


Pak Guru yang cukup kesohor karena ke-galak-annya memasuki kelas. Menutup pintu dengan berwibawa sehingga membuat semuanya terdiam dan lantas meletakkan map di meja sambil mengucap salam. Murid - murid membalas salamnya dibawah sorot mata Pak Guru yang tajam. Para murid mempersiapkan buku yang diperlukan dengan berhati - hati, khawatir terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Setelah itu Pak Guru memalingkan wajahnya menuju papan tulis. Seakan detik berhenti berdetak ketika Pak Guru menghentikan geraknya. Dengan raut muka kecewa Pak Guru berkata dengan berwibawa," Siapa yang piket hari ini ?".

Seluruh kelas tertunduk. Saat itu papan tulis masih kotor penuh coret - moret, sisa pelajaran sebelumnya. Hari itu ada lima orang yang bertugas piket menjaga kebersihan kelas termasuk juga bertugas menghapus papan agar selalu siap untuk digunakan. Dengan kondisi mencekam seperti itu, petugas piket tidak kuasa hendak maju untuk menjalankan tugasnya. Nyalinya menciut dan terbang entah kemana. Mereka hanya bisa saling menyalahkan dengan saling memandang penuh curiga.

Murka Pak Guru yang terkenal disiplin dan galak tanpa kompromi itu terbayang sudah. Menit awal dari dua jam pelajarannya sudah membara, tentunya dua jam sisanya akan berupa neraka. Hal ini karena kealpaan kelas semata. Sang petugas piket lalai, dan rekan - rekannya keasikan bercanda kala jeda pergantian jam pelajaran sehingga tidak mengingatkan petugas piket.

Dinding tembok yang dingin, atap yang tinggi, kayu kuda atap yang menyeringai, dan pintu berwarna kusam membekukan suasana. Tidak ada yang bersuara. hanya angin menebus jendela yang lirih seakan tercekam.

Beberapa detik hening sehingga bila rayap berkata - kata mungkin akan terdengar. Dan tetap hening ketika terdengar langkah ragu sepatu seorang siswa yang melaju ke depan kelas, menuju papan tulis. Langkah yang diberani - beranikan. Hampir seluruh kelas menahan nafas. Siswa tadi-pun dengan gemetaran berusaha menghapus papan tulis dengan baik, walau dalam kondisi penuh tekanan seperti itu segalanya tidaklah berjalan sempurna.

Seusai papan itu terhapus, Pak Guru berkata kepada penghapus papan tadi,"...kamu, sini... jangan langsung duduk...".

Siswa tadi yang hendak bersicepat menuju bangkunya lagi kontan menghentikan langkahnya. Merubah haluan menuju meja guru, dengan bergelayut berjuta ketakutan. Di muka sidang sorot tajam Pak Guru, Sang Siswa pasrah, namun, dalam hatinya berharap supaya ada malaikat yang bersedia menolongnya. Kelas sunyi senyap menunggu reaksi Pak Guru. Apapun bisa terjadi saat itu. Entah penggaris yang melayang, entah semprotan yang membabi buta, atau...entah hukuman apalagi.

Pak Guru berkata setengah murka dengan beberapa metraliyurnya,

"Mengapa kamu lalai tugas ?"

"Mengapa harus menunggu guru datang baru papan tulis dihapus ?"

"Saya tidak mau kejadian ini terulang lagi. Kamu mengerti ?"

"Kamu akan menanggung resikonya bila hal ini terjadi lagi. kamu faham ?"

Sang siswa tertunduk, dan setelah mengatur nadinya sekian lama baru menjawab singkat," Baik Pak".

Malaikat yang diharapkan ternyata menyempatkan singgah. Dan hatinya yang terbelenggu ketakutan seakan terbebas ketika Pak Guru mempersilakan siswa tadi untuk kembali menuju bangkunya.

Hari itu hari Rabu, dan Sang Siswa adalah petugas piket untuk hari Jum'at, tidak bertugas hari itu. Dan, itulah kenyataan. Bahwa seorang jedi kadangkala menjadi korban, dan sebaiknya memang harus bersiap untuk menjadi korban. Sementara bisa jadi orang lain akan dianggap menjadi pahlawan. Karena jedi memang bukan pahlawan yang musti kesohor. Karena jedi adalah jedi. [] haris fauzi - 14 oktober 2009

salam,

haris fauzi

Tuesday, October 13, 2009

kenisah : berniat

BERNIAT

Berniat adalah 'melakukan niat', bukan hendak membahas 'mewujudkan sebuah niat'. Namun adalah 'bagaimana kita berniat'. Melakukan niat yang saya maksud bukan berarti "bagaimana melaksanakan" atau "merealisasikan suatu niatan". Tetapi adalah bagaimana sis-dur untuk menjalankan niat.
Berniat menjadi suatu hal yang penting, karena disitu termaktub apa yang akan kita lakukan, demi apa kita lakukan, dan untuk siapa kita melakukan hal tersebut. Ada baiknya bila segala sesuatu yang dilakukan dilandasi oleh niat yang baik. Niat untuk bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, niat ke kantor adalah untuk menafkahi keluarga, dan lain sebagainya.

Tentunya niat itu bisa jadi tidak terangkai hanya dengan satu ihwal. Misalnya niat ke kantor, tentunya adalah untuk mencari nafkah. Bila dirangkaikan dengan ingin melaksanakan perintah Tuhan, maka ihwal kedua ini akan mengerucutkan niatan menjadi lebih spesifik. Dan ini bisa membatasi diri untuk menjauhi hal - hal yang tidak berguna dan mudharat. Ini sebuah contoh sahaja.

Niat sejatinya ada dalam hati, dan tak jarang niatan itu terlontarkan melalui ucapan. Sebagian ulama berpendapat bahwa niat itu diutarakan dalam hati. Sebagian ulama lainnya mengajarkan untuk mengucapkan sebuah niat. Mangkanya tak jarang dalam sholat berjamaah kadang kita mendengar makmum sebelah mengucapkan niat sehingga terdengar oleh kita. Namun ada juga yang berniat di dalam hati. Demikian juga dengan niat ke kantor, ada yang dilafadzkan dalam bentuk gumaman mulut dan ada juga yang dinyatakan dalam hati. Namun bisa jadi kebanyakan orang yang memiliki rutinitas pasti dalam kegiatan berangkat mencari nafkah –ke kantor misalnya-- malah tidak mengucapkan niat baik di hati ataupun di mulut.

Pernah juga kita jumpai niatan yang disampaikan sebagai usulan, atau sekaligus pernyataan permintaan izin atau perkenan. Memang permintaan perkenan dan niat itu suatu hal yang berbeda, namun dalam kasus tertentu kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Misalnya bila seseorang berniat menolong tetangganya, tentunya niat ini disampaikan kepada suami atau istrinya terlebih dahulu. Sehingga menjadi niat bersama dan tentunya sekaligus meminta izin. Dalam kasus ini, tak bias dihindari bahwa niat harus diucapkan.

Begitulah ragam niat itu, ada yang terlontar di mulut, ada yang terucap dalam hati, namun tak jarang ada juga yang lalai dalam berniat. Niat apa saja, bisa niat sholat, niat sekolah, niat mandi, niat menolong tetangga atau apapun.

Pada malam – malam bulan ramadhan, sering kita jumpai anak - anak belajar me-lafadz-kan niat puasa di surau - surau. Dengan dilagukan. Anak - anak itu memang diajarkan untuk 'berniat puasa'. Demikian penting adanya niat, sehingga diharapkan sebuah tindakan, amalan, ibadah, atau apapun sedapat mungkin dimulai dengan niat. Untuk inilah hendaknya jangan disepelekan fenomena 'berniat' ini. Karena tak jarang beberapa kegiatan amal ibadah tidak disertai niat, mungkin gara - gara terjebak 'rutinitas' semata seperti contoh dalam paragraf atas tadi.
Sebagai contoh lain; karena terbiasa berpuasa, maka suatu kali niat tidak dinyatakan sehingga akhirnya puasa itu hanya menjadi kegiatan rutin tanpa tujuan. Bila ini yang terjadi maka makna puasa itu akan berkurang karena tidak ada pernyataan demi apa berpuasa dan untuk siapa berpuasa.

Contoh lain yang gampang adalah niat untuk ber-wudlu. Sebagian besar orang ketika selesai mandi pagi atau sore akan melakukan wudlu. Demikian sering melakukan hal itu, sehingga wudlu seakan menjadi rangkaian otomatis dari kegiatan mandi. Karena otomatisasi inilah, maka tak jarang 'niat' berwudlu terlewatkan. Sehingga dalam pelaksanaannya wudlu itu tidak memiliki niat. Demikian juga dengan aktivitas mencari nafkah, berangkat ke kantor, berangkat sekolah, belanja ke pasar, atau apapun banyak yang menjadi kegiatan rutin sehingga tak jarang yang lupa mengutarakan niatnya. Begitulah, alasan mengapa sebagian ulama menganjurkan untuk melafadzkan niat.

Walhasil, memang tidak mudah untuk memulai segala sesuatu dengan prosedur berniat, karena tidak sedikit hal – hal yang bisa dilakukan dalam dua puluh empat jam sehari. Tentu sulit bila semua harus seperti itu, namun, sebaiknya mencoba untuk memaksimalkan prosedur 'berniat' untuk memulai segala aktivitas. Karena Tuhan memperhatikan itu semua, termasuk bila tidak ada niat. Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat dalam buku "Renungan Sufistik" mengingatkan bahwa niat yang baik dan niat yang buruk tidaklah pernah luput dari perhatian Tuhan. Tentunya Tuhan juga akan memperhatikan apabila ada kegiatan yang tidak disertai niat. Untuk itu, sudah seharusnyalah kita mengutamakan kesempurnaan niat, karena Tuhan memperhatikan itu semua. Maka, sebaiknya lakukanlah segala sesuatu dengan niat semaksimal mungkin, dan tentunya berniatlah yang baik – baik saja. [] haris fauzi – 13 oktober 2009