Wednesday, April 19, 2006

KENISAH Maret 2006

SEKARAT

Saya belum pernah merasakan. Hanya beberapa referensi pernah saya jumpai menggambarkan tentang prosesi tercabutnya -- atau pencabutan nyawa manusia. Jadi ini adalah prosesi antara hidup dan mati. Proses ini disebut sekarat atau sakaratul maut. Salah satu yang membuat saya terpekur adalah kisah sakaratul maut-nya nabi Muhammad, yang ditulis dengan sangat menyayat oleh Ali Syariati -- Cendekiawan Muslim Iran.
Kata banyak orang soleh seyogyanya kita harus sering mencermati proses sekarat ini, sebagai bekal penambah iman.

Di lain sisi kisah, beberapa film atau ceritera juga mengisahkan tentang masa sekarat ;--sakaratul maut. Ada yang digambarkan begitu sengsara, begitu pedih, hingga begitu gampang --enteng melegakan. Ada juga yang menggambarkannya dengan fashion dan gaya, bahkan ada film fiksi yang menceritakan proses sekarat yang penuh petualangan. Bisa dinikmati, bisa dihidupkan kembali, dan diulangi kembali. Mirip main game di komputer, kalo mati dan game over bakal bisa diulang lagi. Mereka berpetualang di garis antara hidup dan mati. Petualangan yang memacu adrenalin. Tapi ini cuma film. Cuma bohongan.

Penggambaran yang paling gamblang --tepatnya: paling gampang-- tentang prosesi sekarat baru saya temukan beberapa hari lalu. Walau saya masih belum yakin tingkat kebenarannya. Tapi penjelasan ini yang bisa saya tangkap dengan mudah. Cukup sederhana hingga saya punya cukup nyali untuk membayangkannya. Bahwa sekarat itu ada dua, gampang dan susah. Yang gampang; ya nyawa itu terbang dengan lancar laksana air yang tertuang dari corong teko. Mancur manteb.
Sementara yang seret katanya laksana menyisir bulu domba keriting yang basah. Bolak - balik, naik turun, tarik ulur, kadang ke-'jenggit' hingga mbrodol bulunya. Atau bahkan patah gigi sisirnya. Pokoknya susah deh. Nyisir rambut keriting saja sudah tidak gampang. Apalagi ini bulu domba yang gembel. Sudah gitu basah lagi ! Kebayang nggak kalo nyawa kita ditarik ulur seperti itu ? [] haris fauzi - 3 Maret 2006



EINSTEIN

......

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?
Jawaban yang sederhana adalah -; karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak - budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan......
...........
(cuplikan pidato Albert Einstein tahun 1938 di depan Mahasiswa California Institute of Technology. Dimuat dalam buku 'Ilmu dalam Perspektif' susunan Jujun S.Suriasumantri - Yayasan Obor 1999)

Dalam buku tersebut, pidato Einstein dimuat dalam halaman 248 dan 249. Tidak penuh dua halaman, total semuanya hanya satu seperempat halaman, karena hanya sekitar enam paragraf. Tetapi pidato yang disampaikan 68 tahun lalu, rasanya masih aktual dan bisa menuntut kita untuk merenung lebih dalam.

Manusia hidup memakai otaknya. Otak ini bergumul dengan ilmu pengetahuan. Tetapi, ternyata ilmu itu belum kita gunakan belum wajar. Artinya, otak kita-pun belum pula digunakan dengan wajar. Walhasil, hidup kita-pun --setidaknya menurut Einstein-- belum wajar pula.Ternyata kisah peradaban manusia unggul masih jauh di ufuk sana.[] haris fauzi - 9 Maret 2006



BERJAMAAH

Menarik sekali rasanya kala mengingat - ingat jaman saya diajari shalat berjamaah oleh mendiang Ayah saya. Mulai diajari iqamah (tanda dimulainya shalat berjamaah), hingga proses masbukh (menyusul kala tertinggal shalat berjamaah).

Salah satu 'ritual' yang sebaiknya dikerjakan oleh imam / pemimpin shalat berjamaah adalah menengok shaf / barisan dari makmum / pengikut-nya. Sang Imam harus bisa memastikan bahwa barisan telah rapi dan rapat sebaik mungkin sebelum shalat itu dikerjakan.
Pun pula, kalau sempat, sang Imam harus bisa menaksir makmum-nya.
Menaksir 'golongan' dari makmumnya itu, karena shalat itu banyak ragamnya. Kalau toh ada aliran yang tidak menghendaki ritual tertentu, hendaknya Sang Imam mampu mempertimbangkan pelaksanaannya. Contohnya adalah ritual doa qunut yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, namun sebagian yang lain tidak menjalankannya. Dituntut kearifan Sang Imam dalam hal ini.

Mungkin juga diantara barisan itu ada yang sudah bersandar karena capek. Ini lebih ditekankan pada saat shalat yang marathon, seperti shalat tarawih misalnya.
Disini Sang Imam di tuntut untuk mengerti kondisi pengikutnya.
Komando setiap gerakan dalam shalat adalah ucapan takbir (AllahuAkbar). Setelah ucapan ini barulah dilakukan gerakan. Prinsipnya adalah gerakan tidaklah diperkenankan untuk mendahului takbir. Begitu kata Ayah saya.
Dalam berjamaah, ini menjadi semacam orkestra yang indah. Sang Imam bertakbir lantas bergerak. Sementara sang makmum belum boleh bertakbir sebelum takbir sang Imam usai. Otomatis, gerakan makmum tidak boleh --jangankan mendahului-- membarengi gerakan Imam. Sangat ritmis. Satu komando, tidak tergesa - gesa, tidak saling salip, satu koordinasi.

Apabila gerakan Imam ternyata salah, maka ada dua opsi yang harus dipilih makmum. Mengikuti saja, atau mengingatkan dengan tata cara tertentu pula. Keduanya opsi ini tidaklah mengapa, tidak mengandung dosa. Setelah dingatkan, Imam harus menghentikan lantas meralat gerakannya. Bentuk koreksi yang win-win solution.

Dalam sholat, ada doa - doa yang harus di baca perorangan. Apabila gerakan Imam dirasa terlalu cepat sehingga salah satu makmum tidak sempat menyelesaikan doanya, maka hal itu tidaklah jadi problem, karena pada dasarnya sebagian besar doa sudah dilakukan oleh Imam, makmum tinggal ikut saja. Ini representasi tanggung jawab pimpinan.

Masih banyak lagi yang bisa saya ambil dari pelajaran shalat yang diajarkan oleh Ayah saya. Sekarang baru terpikir untuk menuliskan hal di atas, mungkin lain kali saya tambahkan lagi.[] haris fauzi - 10 maret 2006


KEJADIAN ALAM

...Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (Al Quran : 30; 24)

Selang tahun lalu, ada fenomena alam yang berupa luapan air laut, nama komersilnya adalah bencana tsunami. Lokasinya di Aceh. Sebetulnya kita toh nggak cuma bisa tau hal itu. Banyak sudah gunung meletus, luapan sungai, dan jatuhnya meteor. Semuanya adalah fenomena alam, peristiwa alami biasa.

Beberapa orang mengaitkan dengan dosa - dosa dan hukuman Tuhan terhadap peristiwa itu. "Azab Tuhan", gitu katanya. Bahkan hingga berkesan terlalu gaib. Sebagian masyarakat --terutama masyarakat kota-- berusaha menyisihkan pikiran tentang azab dan segala kegaiban itu, dan menganggap kejadian - kejadian di atas adalah peristiwa alam biasa. Ya bila lempengan dasar bumi ini bergerak, tentu akan mengacaukan muatan air laut. Ini tentu berdampak timbulnya gelombang. Gelombang inilah yang menjadi air bah menyerbu ke daratan. "Sama sekali bukan peristiwa spiritual ! Ini peristiwa alam semata", begitu kalangan 'intelek' berkata.

Kejadian mewabahnya penyakit flu burung, penyakit sampar di Eropa di abad pertengahan, dan beragam penyakit misterius pada jaman kuno dulu, sebetulnya juga fenomena alam biasa. Juga kasus penyakit aneh yang menimpa penduduk sodom dan gomorah, suatu komunitas gay dan lesbi jaman Nabi Luth. Mirip pula penyakit AIDS yang spesial diperuntukkan bagi penggemar gay modern abad ini.
Demikian juga dengan proses terjadinya serangan jantung yang menjadi momok kematian masyarakat kota.

Lantas meledaknya gunung Pompeii yang menenggelamkan kota metropolitan, adanya banjir besar jaman Nabi Nuh, porak-porandanya tentara raja Abrahah oleh ribuan burung yang membawa batu api, dan juga terjadinya badai (apapun namanya), petir, halilintar, ..... judulnya sama saja: kejadian alam semata.

Perkara itu azab atau bukan, perkara itu menunjukkan eksistensi Tuhan atau hanya 'kejadian biasa', semua itu persepsi masing - masing individu. Tinggal bagaimana kita memikirkan, meresapi, dan menyikapinya.

Di balik semua diagram dan grafik analisa gejala alam, tentu ada beberapa faktor yang kadangkala luput untuk dianalisa. Bagi yang percaya bahwa alam ini ciptaan Tuhan, maka sungguh tidak 'etis' bila dalam memperbincangkan suatu fenomena alam ini tidak menyertakan peran Tuhan dalam wacananya. Karena sebetulnya banyak sekali tanda - tanda alam yang bisa kita amati dan kita pikirkan, untuk selanjutnya menjadikan pengakuan bahwa Tuhan itu memang ada. Bahwa Tuhan itu bertindak. Ya. Seringkali kita lupa, bahwa Tuhan-lah yang mengatur semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Kita terlalu sibuk dibalik jutaan diagram dan segala lembar - lembar analisa canggih yang penuh denyut sinyal digital. Sekali lagi, kadang kita lupa bahwa Tuhan itu bertindak. Bertindak untuk mengingatkan kita. [] haris fauzi - 14 maret 2006


KE MUSEUM

Hari Minggu kemarin saya dan keluarga sempat mengunjungi dua museum, museum pertama adalah Museum Purna Bhakti Pertiwi yang berada di luar kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Persis sebelum pintu masuk Taman Mini.

Pukul sepuluh pagi kurang sedikit, saya sudah menggenggam tiket seharga lima ribu-an dan mobil saya melaju memasuki kawasan museum berbentuk tumpeng tersebut. Mirip dengan 'Monumen Jogja Kembali' yang berada di ring-road Yogyakarta. Kalau dari pesawat, kompleks bangunan ini benar - benar seperti tumpeng komplit yang biasa disajikan masyarakat ningrat jawa untuk syukuran. Sungguh suatu kawasan yang berarsitektur 'penuh makna', tentunya bagi yang menggemari falsafah 'jawa'.

Ini untuk kedua kalinya saya memasuki museum ini. Museum terebut digunakan untuk menyimpan koleksi cinderamata Pak Soeharto -Presiden RI ke II-- dari beberapa koleganya. Tentunya cinderamata bertaraf internasional ini sungguh memikat hati.
Sasaran saya yang utama adalah adanya ukiran kayu akar karet raksasa yang ada patung sembilan dewa. Sungguh memesona. Ukirannya sungguh detil di tiap percabangan.

Ada beberapa perubahan yang saya amati, terutama kondisi museum yang seingat saya seharusnya terdiri dari tujuh lantai, namun kali ini hanya tiga lantai yang bisa dikunjungi. Beberapa atap bocor ditandai dengan adanya ember - ember penadah air tampak mengganggu pandangan.

Di hari minggu, museum tetap saja sepi. Maklum, orang sekarang lebih suka membuang waktu mereka di mall, plaza, dan pusat perbelanjaan. Saya jadi leluasa menikmati dan memotret koleksi cinderamata bertaraf internasional ini. Padahal tiketnya cukup murah, mungkin sama dengan harga parkir satu mobil di mall, --namun tetap saja miskin pengunjung. Ya saya jadi maklum, tentunya biaya operasional dan perawatannya tidak akan tersedia, mangkanya banyak atap bocor disini.

Yang surprise adalah ketika jam sebelas datang rombongan anak - anak sekolah. Tiga bis penuh yang langsung berlarian mengacaukan suasana. Museum yang semula hikmat kali ini jadi hiruk - pikuk layaknya taman bermain. Mereka naik turun tangga, memanjat kursi koleksi, menjitak patung, atau bahkan memukuli dengan liar koleksi gamelan yang dikeramatkan. Namun mereka tidak sampai satu jam berkunjung disini, langsung kabur lagi entah kemana.

Pukul setengah satu, sambil menanti anak - anak minum susu, saya sempat naik ke lantai dua sekali lagi, kali ini dari ruang 'perjuangan' yang menjadi satu dengan main hall. Dan disana saya menemukan foto kuno bergambar sembilan orang tentara yang dibuat tahun 1949 bertuliskan berikut :" Komando Tentara & Teritorial Djawa Tengah Devisi IV Diponegoro Semarang Tahoen 1949 Tjandi Baroe.
Soeprapto - Soediarto - Soeadi - Soeharto - Gatot Soebroto - M.Sarbini - Moch.Bachrum - Soepardi - Achmad Yani".
Sia - sia saya mengenali mereka, saya hanya hafal wajah Pak Harto muda. Saya sempat curious karena saya sebenarnya punya saudara bernama Moch. Bachrum juga. Mungkin harus klarifikasi ke sesepuh keluarga tentang ini.[] haris fauzi - 20 Maret 2006



KE MUSEUM (II)

Sempat pula saya berkunjung ke museum 'Bayt Al-Quran' yang berlokasi di dalam kompleks Taman Mini. Kita harus membeli tiket masuk Taman Mini seharga sembilan ribu per-kepala. Padahal tiket masuk museum ini hanya dua ribu rupiah. Ya nggak pa-pa lah, udah tanggung ini.

Untuk kedua kalinya pula saya menginjakkan kaki di museum ini. Dulu saya pernah ke sini, tapi masih dalam taraf pembangunan sekitar tahun 1998. Kali ini kondisinya malahan lebih parah dari museum Purna Bhakti Pertiwi. Museum Bayt Al-Quran yang bertujuan menyimpan koleksi beragam kaligrafi, mushaf-mushaf yang ada di Indonesia, ukiran kayu bernafaskan Qurani, sejarah perkembangan Islam Nusantara, dan dokumentasinya ini ternyata sangat memprihatinkan. Beberapa lampu sorot mati, sehingga beberapa galeri tidak sedap dinikmatinya. Juga atap bocor di sana sini. Bahkan ada koleksi foto mesjid kuno yang terkena air. Beberapa identitas pamer juga sudah lenyap.

Saya jadi bersyukur menyegerakan untuk mendatangi museum ini. Soalnya saya sempat terbengong - bengong kecewa berat ketika hendak mendatangi untuk ketiga kalinya museum 'Ripley's - Believe or Not' di kawasan Pondok Indah, ternyata museum itu sudah raib berganti wahana lainnya

Target saya memasuki museum ini adalah menengok foto - foto mesjid peninggalan Walisongo dan mushaf Wonosobo, mushaf Al Quran terbesar se-Indonesia, segede meja pingpong. Walah, saya sampai kesulitan mengambil fotonya. Belum lagi pengunjung jail yang membuka - buka dengan iseng Al Quran raksasa tersebut. Kuatir malahan robek karena beban berat kertas istimewa itu. Nggak tau kenapa Al Quran raksasa ini dipamerkan dalam keadaan terbuka pas dihalaman 555.

Bagi istri saya yang alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, adalah hal yang membanggakan ketika tafsir Al Quran versi Universitas Islam Indonesia ikut dipamerkan disini.
Bagi anak saya yang lagi demen - demennya menghafal surat Al-Fiil, dia begitu gembira ketika melihat ilustrasi surat Al Fiil yang berupa gambar pasukan gajah dihajar bom batu api yang dijatuhkan oleh sekelompok burung dari langit.

Di salah satu koridor ada koleksi bedug raksasa. Guedhe. Saya jadi ingat beberapa tahun lalu saya sempat berfoto di bedug mesjid Ciromed yang berada di jalur cadas pangeran Cirebon - Bandung.

Sekali lagi, museum ini berkonsep galeri -- pameran. Jadi tata ruang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa urut menikmati dari dinding satu ke dinding berikutnya sampai habis. Hampir dua jam saya berada di museum ini. Yang saya jadi prihatin, lha wong foto - foto mesjid kuno disini aja setengah terbengkalai. Saya jadi khawatir kondisi mesjid kuno yang sebenarnya. Semoga perawatan mesjidnya lebih baik ketimbang koleksi fotonya.

Museum Bayt Al Quran juga dilengkapi dengan toko buku yang bagi saya kurang memadai, karena di situ tidak menjual buku katalog museum. Berbeda dengan museum Purna Bhakti Pertiwi yang menjual beragam buku berkaitan dengan isi barang pamer museumnya.

O ya, salah satu catatan saya untuk museum ini adalah adanya seorang pengunjung anak - anak yang membawa pistol air. Dia kerap menembakkan pistolnya ke barang pamer hingga basah. Ini sungguh tindakan yang tidak lucu sama sekali. [] haris fauzi - 21 Maret 2006



... rasanya sudah cukup lama saya tidak menulis ihwal musik.
dunia musik bagi saya adalah dunia pasif,
saya hanya bisa menikmatinya tanpa bisa melakukannya
namun saya cukup bersyukur masih memiliki jiwa untuk menikmati musik...


----------------------------

KISAH KEBERUNTUNGAN

Nama kelompok musik ini adalah ELP, kepanjangan dari Keith Emerson, Greg Lake, dan Carl Palmer. Salah satu evergreen-nya adalah lagu 'Cest La Vie'. Saya mengenalnya lebih dalam pada tahun 1986 ketika terjadi perubahan struktur musisi dimana Palmer digantikan Cozy Powell, namanya tetap inisial ELP. Saya membeli kaset album yang berjudul 'Emerson, Lake, Powell' seharga duaribu dua ratus lima puluh rupiah. Langsung kesengsem, namun saya tidak segera mengoleksi album - album lain sebelumnya hingga akhirnya harga kaset melonjak dan tak terjangkau menjadi lima ribu rupiah di tahun 88-an.

Ditahun - tahun tersebut, grup ini terancam bubar, hingga Emerson dan Palmer reuni untuk membuat album '...to the power of three...' bersekutu dengan musisi lain bernama Robert Berry. Walhasil namanya bukan ELP lagi, tapi diubah jadi ' the 3'. Mereka rilis album tersebut dalam jumlah sedikit, dan tentunya dengan banderol baru : lima ribu rupiah untuk kaset. Disamping harga tidak terjangkau oleh saya, juga susah di cari.

Sebetulnya bisa jadi ELP ini grup yang cukup dahsyat, karena rumornya pada tahun 70-an ada seorang promotor musik wahid yang hendak mengubah namanya dari ELP menjadi HELP. Tak lain karena promotor tersebut hendak menggabungkan satu orang jawara gitar kala itu. Gitaris yang urung bergabung itu bernama Jimi Hendrix. Entah gimana jadinya bila HELP bener - bener terwujud.

Keberuntungan saya berawal di tahun 90-an ketika saya berjalan - jalan di deretan tukang loak, disitu saya bisa membeli kaset the very best ELP keluaran Team Records seharga kira - kira dua atau tiga ribu rupiah. Keadaannya masih lumayan mulus.

Kalau tidak salah, semenjak keluarnya album 'Emerson,Lake, Powell', grup ini tidak lagi menelurkan album studio, hingga akhirnya diantara tahun 1990-1995 di koran Republika saya membaca rencana keluarnya album baru yang berjudul 'Blackmoon'.
Katanya album heboh karena Carl Palmer bakal balik kucing sebab Powell cabut keluar.
Saya kurang berminat mengoleksinya karena tentu grup langka ini juga berharga mahal produknya, maklum sudah jaman royalti. Hingga akhirnya dengan bantuan dewi fortuna saya bisa mendapatkan CD aslinya di lapak loak (lagi...) dengan harga dua belas ribu rupiah kalo nggak salah. Ini keberuntungan kedua saya dalam mengoleksi ELP.

Keberuntungan ketiga ketika seorang teman baik memiliki koleksi lagu - lagu ELP dalam format mp3. Gratis saya mendapatkan gandaan disc-nya. Cukup komplit untuk meremajakan kaset yang saya miliki.
Babak peremajaan kaset ke digital ini dilengkapi dengan kiriman tak terduga juga. Seorang teman email dan sms berbaik hati --(saya malah belum pernah berjumpa) yang dengan tanpa 'beban' mengirimkan CD album 'Emerson, Lake, Powell' dan ' the 3' dengan cuma - cuma. Rasanya sudah cukup beruntung sekali saya sekarang. Memang di jaman susah begini, keberuntungan merupakan obat yang ampuh tiada tara.[] haris fauzi - 22 Maret 2006


JANJI EKSENTRIK SEORANG KARIB


Lelaki kurus itu namanya Ainul Ghurri. Bapak saya sempat bingung mengartikan nama teman saya yang satu ini. Ainul artinya 'mata'. Ghurri ? Kalo nggak salah dalam bahasa Arab ghurrur artinya bohong. Saya mengenal Ainul tahun 1990 karena kami berdua masuk dalam jurusan yang sama saat kuliah. OPSPEK bersama dan satu kelas di akademis.

Akhir tahun 1990 --semester pertama kuliah-- hingga tahun 1991-an saya ikut ke Senat Mahasiswa Fakultas Teknik jadi kacung-- istilah untuk para yunior. Sementara Gaguk (panggilan buat Ainul --yang jarang sekali saya pakai) kala itu lebih sering ke mesjid dan mengikuti diklat dasar jurnalistik.

Sampai akhirnya tahun 1992 (?) saya dihadapkan dua pilihan pada saat penyusunan kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas : antara Bidang Penalaran versus Bidang Penerbitan. Kedua Ketua Bidang meminang saya. Saya memilih bidang Penerbitan, yang mana akhirnya saya bersua dengan Ainul dalam kancah aktivitas kemahasiswaan untuk pertama kalinya. Kami berdua duduk sebagai redaktur Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik : SOLID.

Tahun 1993 terjadi perubahan struktur organisasi kemahasiswaan, kali ini giliran saya --anak kolong lulusan training manajemen mahasiswa-- untuk duduk menggantikan senior menjadi Ketua Bidang Penerbitan, sekaligus menjadi Pimpinan Umum Majalah SOLID. Sementara Ainul --anak Blitar penggemar Gus Dur lulusan diklat jurnalistik-- duduk sebagai Pemimpin Redaksi. Kami bekerja beriringan selama setahun menerbitkan tiga majalah, beberapa majalah dinding, dan merintis lahirnya Tabloid.

Tahun 1994 saya mengambil spesifikasi akademis Mesin Produksi, sementara Ainul menentukan kuliah di Mesin Konversi Energi. Kami jarang lagi terlihat bersama - sama sampai tahun 1995 saya lulus duluan dan langsung mencari nafkah di Jakarta,.... sekitar tiga bulan kemudian saya dengar Ainul menyusul lulus.

Di stasiun Kereta Api Bogor, di tengah berlompatan menghindari beceknya jalanan, saya dikejutkan sapaan khas Jawa Timuran "..he.. Ris..!"... saya tengok ternyata Ainul yang menyapa saya melompat dari mikrolet. Tak disangka kami bertemu di situ. Ternyata dia kerja di Pulogadung Jakarta, dan punya kakak di Bogor. Sementara saya kerja di Sunter dan punya Paklik di Bojonggede. Sejak itu kami sering bersua, dan akhirnya melibatkan beberapa teman yang lain untuk sekedar kongkow - kongkow ngobrol ngalor ngidul, bisa jadi di deretan buku bekas Kwitang, ke Yayasan Muthahhari Bandung, ke kawasan kuno & kumuh di bandar Batavia, atau kemanapun...

Sekitar tahun 1997 - 1998 Ainul memutuskan untuk kuliah di Universitas Indonesia, sementara saya lebih tertarik mempersiapkan pernikahan dan terus bekerja di Sunter. Tahun 1999 saya menikah dan pindah rumah ke Bogor. Sementara Ainul yang telah lulus S2 merintis karir di dunia pendidikan di pulau Bali. Pernikahan saya di Solo dihadiri olehnya yang berangkat dari Denpasar. Semenjak itu kami cuma berkomunikasi lewat telpon, sms, atau e-mail. Setahun sekali kami reuni di Malang--saat lebaran. Dia masih seperti dulu, makin kritis pikirannya -- hingga badannya tidak kunjung gemuk.

Tahun kemaren, karib saya penggemar tulisan Bertrand Russell ini menikah di Denpasar. Saya di undang, namun tidak kuasa hadir. Pada saat lebaran saya sekeluarga --dan kakak saya sekeluarga juga-- menyempatkan berkunjung gantian ke kampung halamannya di Blitar. Ah. Ternyata dia mudik tidak membawa istrinya--katanya masih mabok karena hamil muda..... Masih seperti dulu, kurus badannya, kritis omongannya, cuma sekarang dia berkaca mata dan berhadapan dengan notebook. Saya jadi ingat janji eksentrik Ainul pas masih mahasiswa ; "....selama kuliah S1 dan S2, saya harus bisa buktikan bahwa komputer tidak perlu beli, adanya rental komputer sudah cukup membuat kita lulus kuliah...". [] haris fauzi - 23 Maret 2006


BIOSKOP & GENDER

Terakhir nonton film di gedung bioskop sekitar tahun 1999. Kalo nggak salah film-nya Mr. Bean, di Solo. Soalnya setelah nikah saya tidak pernah mengunjungi gedung bioskop lagi. Yang pertama karena harga tiket ternyata tidak masuk kuota dompet, yang kedua karena anak saya tidak akan ikut serta, sementara yang ketiga karena selera saya kurang cocok dengan film - film sekarang. Walau tidak semuanya.
Salah satu film yang nancep di hati saya adalah 'The Untouchables' yang dibintangi Kevin Costner dan Robert de Niro. Ceritanya tentang perseteruan antara seorang Akuntan bernama Elliot Ness melawan raja mafia dan gangster Al-Capone. Muanteb.

Sekali lagi ini masalah selera. Contohnya gini, saya kurang berminat dengan film action - habis - habisan berlaga seperti 'Rambo' (Sylvester Stallone) dan 'Commando' (Arnold Schwarzenegger). Justru malah menyukai Arnold main sebagai polisi dan guru TK di 'Kindergarten Cop'.
Demikian juga saya kurang berminat dengan film aksi gebug - gebugan yang dibintangi wanita seperti 'Tombrider', 'Electra', atau 'Ultraviolet'. Bila saya amati, rasanya film aksi laga dengan jagoan perempuan ini makin subur saja. Saya nggak tau ini ada kecenderungan apa. Saya cuma bisa menduga bahwa ini adalah dampak dari kampanye universalisasi dan kesetaraan gender. Jadi di jaman sekarang ini musti ada jago gebug perempuan, kalo perlu ada Rambo-wati.

Ya mungkin di belahan dunia 'sana' tren 'jagoan berantem perempuan' ini memang sudah membudaya, dan bisa jadi saya yang tidak tanggap terhadap kesetaraan gender ini. Memang jagoan perempuan bisa lebih 'exciting' karena bisa diekspos dengan lebih vulgar ketimbang James Bond sekalipun. Rambo-wati dengan kaos singlet tentu lebih eksotis ketimbang Rambo beneran. Ini sih bukan masalah berantem dan menggebug. Soalnya kalo masalah berantem kan tinggal sutradaranya mengatur, siapa yang harus menang dan siapa yang musti bonyok - bonyok.

Saya sempat kaget ketika saya pulang kerja pas itu anak sulung saya lagi nonton kartun yang judulnya 'Perusha', ditayangkan oleh tv saluran khusus anak - anak 'Spacetoon'.Yang bikin kaget saya adalah di kartun itu jagoan anak cewek lagi gulat wrestling. Lha kartun perempuan model apa pula ini ? Terus terang saya nggak setuju kalo anak perempuan saya besok bergulat wrestling. Akhirnya saya matikan saja televisinya. Saya sama sekali nggak selera dengan acara itu.

Menulis tentang selera film gebug - gebugan memang tak kunjung habis. 'Untouchables'-pun ada gebung - gebugannya. Ada bersimbah darah di hajar puluhan peluru, ada pula gambar taplak meja makan bersimbah darah karena kepala dipenthung tongkat bisbol. Bagi saya, bukan gebugan yang jadi tema utama film tersebut.
Namun apapun pembelaan saya, itu memang selera saya --yang jelas - jelas subyektif dan bisa jadi berbeda tiap orang-- . Jadi semua terserah kepada masing - masing, kalo saya sih sampai sekarang (sekali lagi) masih kurang suka dengan film gebug - gebugan semata, apalagi kalo yang musti berantem itu perempuan.[] haris fauzi - 29 Maret 2006

KENISAH Februari 2006

"kok nggak pernah kirim tulisan lagi ?"
....terima kasih buat Mas Azis dan Mbak Rina yang mengingatkan saya agar menulis lagi.

-------------------------

KOTA & MADANI

Madani arti gampangnya adalah "beradab". Bila disambung dengan kata "masyarakat", maka Nabi Muhammad menjadikan artinya sebagai 'kota Madinah', pada saat beliau mengubah nama daerah Yatsrib menjadi kota Madinah. Benar - benar kota yang sebenarnya. Artinya ya 'masyarakat kota yang beradab'; karena Muhammad mengubah masyarakat Yatsrib menjadi lebih beradab. Semula bangsa Arab kawula pengembara --bukan kota-- memang lebih liar kondisinya. Kota Madinah adalah kota "Kota".

Kalau kita mengutip pendapat Aswab Mahasin yang ada dalam buku Ernest Gellner "Membangun Masyarakat Sipil", istilah "masyarakat madani" akan berpadan dengan istilah "civil society", artinya "masyarakat kota" atau "masyarakat yang berperadaban maju". Ya mungkin karena pendekatan dari "civilisation" (peradaban) dan "civitas dei" (kota Ilahi).
Anak saya Si Nurma-- nama panjangnya Alyya Nourmadani, istilah plesetan saya untuk 'Aliyah Nur Madani', Cahaya Peradaban yang Tinggi.
Pun pula Nurcholish Madjid mendirikan Yayasan yang bernama Paramadina, yang terkonsentrasi membahas masalah 'peradaban manusia'.

Dengan uraian tersebut, pantaslah bila ditarik kesimpulan sementara bahwa masyarakat kota lebih beradab dari masyarakat yang lain, masyarakat pengembara ataupun masyarakat desa. Bahwa yang disebut masyarakat beradab adalah masyarakat kota. Identitas peradaban berada di kota. Secara teori begitulah.
Namun, apakah ternyata kota - kota yang ada sekarang benar - benar menunjukkan bahwa masyarakat kota lebih beradab ? Apakah benar bahwa masyarakat kota lebih beradab ketimbang masyarakat desa ?

Peradaban memiliki banyak elemen, salah satunya adalah etika. Etika bermasyarakat sangat luhur dalam komunitas masyarakat yang beradab. Ini salah satu tolok ukur ke-beradab-an suatu masyarakat.Parameter kedua adalah kebudayaan. Semakin luhur peradaban akan melahirkan kedigdayaan kebudayaan. Budaya masyarakat menulis lahir dari peradaban masyarakat intelektual. Budaya garong lahir dari manusia biadab; tidak beradab. Dari kondisi peradaban, budaya, dan etika inilah maka jaman dulu kala Muhammad membaiat Kota Madinah, kota Peradaban, kota "kota".

Kalau itu adalah jaman dulu, mungkin beda lagi jaman sekarang. Amat menarik menyimak wawancara suatu stasiun tivi dengan personel grup rock alternatif dari kota Manchester Inggris; Oasis. Salah satu personilnya mengemukakan bahwa sebagai penduduk kota Revolusi Industri Manchester, ada empat pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan seseorang. Yakni menjadi pekerja pabrikan, menjadi pengedar narkotika, menjadi pemain bola, atau menjadi musisi. "Di kota ini saya tidak punya keahlian untuk bekerja sebagai orang pabrik, apalagi sebagai pemain bola. Saya juga tidak punya nyali menjadi pengedar narkotika, untuk itu saya memilih alternatif untuk menjadi musisi".

Manchester adalah kota bisnis dan industri yang besar, pelopor revolusi industri yang mengubah wajah dunia. Seperti kota - kota industri lainnya, ternyata mereka menyimpan sisi kelam di lembah terdalam bertolak belakang dengan sisi gemerlapnya. Antara lembah kekelaman dan pucuk menara gading.
Dalam jaman industri ini, setiap negara memiliki kota - kota bisnis yang besar. Yang sebenarnya dalam kota itu terdapat dua sisi: sisi gemerlap dan sisi kelam. Banyak contohnya. Hampir setiap gemerlap ibukota negara selalu memiliki sisi kumuh kehidupan kota. Kawasan Broadway ternyata hanya memiliki sisi gemerlap yang sedemikian sedikit ketimbang sisi kelam yang demikian mengerikan saat jam malam. Orang - orang kaya pada larut malam akhir pekan keluar dari gedung tontonan yang berharga mahal, dikawal bodyguard, lantas mobil limusinnya melintas cepat melewati puluhan gelandangan malam yang kedinginan mengais sisa sandwich polisi yang dibuang begitu saja.Apakah kota seperti ini yang dimaksud sebagai masyarakat yang beradab ?

Kesangsian akan peradaban masyarakat kota sedikit banyak terkuak dalam buku 'Membangun Jalan Tengah' tulisan Alija Ali Izetbegovic, Presiden Bosnia-Herzegovina. Alija menyangsikan posisi peradaban kota terhadap elemen budaya.Masyarakat desa memiliki pengalaman estetik dan kultural. Namun di kota tidak, karena unsur estetis kota yang diwakili oleh museum, konser, dan pameran yang digelar dikota hanya diminati segelintir orang. Menurut Alija ini adalah kebohongan yang paling dungu dewasa ini. Bagi Alija, masyarakat kota modern tidak mengenal pengalaman estetik dan kultural yang baik.Alija juga mempermasalahkan gairah hidup dan tingkat religius masyarakat kota yang sedemikian minim. "Masyarakat kota modern hanya bergairah saat ada pertandingan sepak bola atau tinju", ungkapnya.Bagi Alija, relijiusitas dan kebudayaan desa lebih alamiah dan luhur ketimbang peradaban kota.

Bila peradaban adalah identitas dari kondisi perkotaan saat ini, dan apabila definisi dari peradaban sudah tidak seiring lagi dengan elemen kebudayaan, maka akan sangat patut bila kali ini muncul kesangsian terhadap peradaban kota.

Dalam album "Mata Dewa", Maestro Iwan Fals juga mengungkapkan kesangsiannya akan kondisi peradaban kota Jakarta.....

Langkahmu cepat seperti terburu,
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapat ?
Di angkuh gedung-gedung tinggi
Riuh pesta pora sahabat sejati yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan enyahlah pribadi

Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka,

Mengejek langkah kura-kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota....
('Berkacalah Jakarta'-Iwan Fals).
[] haris fauzi - 15 Februari 2006



BAGAIMANA SEBUAH
KEBIASAAN MENULAR


Interaksi antar kelompok manusia akan mengakibatkan pertukaran kebiasaan - pertukaran budaya. Sebetulnya jawabannya adalah hanya itu. Kita bisa melihat bagaimana masyarakat pesisir kebanyakan memiliki ragam pola hidup yang lebih banyak ketimbang masyarakat gunung atau gurun. Karena di pesisirlah bersua para saudagar dan pelaut. Mereka berinteraksi di sana. Dari beragam budaya dan latar belakang. Dari Parsi, India, Tiongkok, hingga Eropa. Dari penyebaran agama hingga pertukaran minuman keras dan wanita pelacur. Hal yang disebut terakhir ini terbukti lebih intens dibanding yang awal.
Hal tersebut tidak dialami oleh masyarakat gunung atau gurun. Paling - paling kaum nomaden gurun kebanyakan bersua dengan sesama nomaden. Mereka saling sapa dengan gaya yang sama, atau mereka akan saling tikam dengan kebuasan yang hampir sama pula.

Kita juga dengan mudah menemukan bukti bahwa invasi kelompok masyarakat terhadap kelompok lain akan mengakibatkan asimilasi dan tukar budaya. Serbuan pasukan Tiongkok ke Jawa membuat orang Jawa mengerti bagaimana membuat kapal perang yang tangguh. Dan para prajurit Tiongkok-pun mengetahui, bahwa ada suatu pulau yang demikian kaya hasil bumi, pulau itu bernama Jawadwipa. Panglima Tiongkok-pun tau bahwa selain memiliki prajurit yang ulet, pulau Jawa juga memiliki stok wanita yang cukup masuk kualifikasi untuk dikirim sebagai upeti kepada Rajanya.

Yang jelas memang tidak selamanya interaksi seperti ini berdampak positif. Dan ini pastilah tidak dikehendaki oleh sebagian orang. Yang jelas - jelas adalah dibangunnya tembok Cina dengan alasan mencegah invasi. Bukan sekedar invasi militernya, tetapi juga mencegah dua hal, yang pertama adalah terkontaminasinya budaya lokal oleh budaya luar. Yang kedua adalah alasan kebalikannya, mungkin Tiongkok ogah menularkan kebudayaannya. Kita tau jaman itu Tiongkok-lah negara maju saat itu. Mereka sudah menciptakan kertas hingga roket. Mereka sudah menulis di kertas jauh sebelum Eropa mengenalnya, dan mereka sudah berpesta mercon sebelum Eropa mengerti cara menyalakan mesiu. Bahkan Muhammad-pun mengajarkan untuk 'menuntut ilmu hingga Tiongkok'.

Contoh kedua adalah tahun 1990-an ketika jembatan Suramadu --(Surabaya-Madura) urung didirikan. Konon Madura hendak dijadikan pulau alternatif industri --layaknya Batam. Madura hendak disulap jadi kota industri pendamping lingkar Surabaya-Gresik-Waru-Sidoarjo. Namun tokoh masyarakat Madura menolak karena belum siap merubah kultur masyarakat Madura menjadi masyarakat industri dan urban.
Dengan menjadi kota industri, pulau Madura akan kedatangan banyak orang. Mereka beragam pola, namun satu tujuan : Bisnis Industri - Industri Bisnis.

Beberapa masyarakat memang cenderung takut ----hati-hati---- untuk menghadapi invasi budaya-- menghadapi perubahan kebiasaan. Termasuk beberapa negara sering ogah bila dijadikan pangkalan militer oleh Amerika. Selain masalah politik, salah satunya adalah mereka tidak siap dengan invasi budaya tentara Amerika yang bergaya koboi menggenggam leher botol sampanye lantas masuk pintu dengan menendang pintu bar.

Dalam kasus yang lebih sempit, tak jarang dijumpai seorang Ibu yang berkeberatan bila anaknya diajak oleh pengasuhnya nongkrong di pos ojek. Memang obrolan tukang ojek kadangkala belum saatnya untuk ditirukan oleh balita.

Ya karena dari interaksi antar bangsa, antar masyarakat, antar orang, antar bocah, relatif lebih gampang menularkan hal - hal yang negatif ketimbang hal - hal positif. Kebiasaan buruk lebih gampang ditularkan dan diterima ketimbang kebiasaan yang baik. Karena kebiasaan buruk memang disponsori oleh sewujud makhluk yang bernama setan. Namun dijaman nirkabel ini, setan memiliki media invasi yang sangat canggih, salah satunya adalah televisi, salah duanya adalah dunia maya. Selain mempublikasikan berita dan ilmu pengetahuan, televisi dan dunia maya juga mengkampanyekan budaya negatif. Dan mungkin yang disebut terakhir bisa jadi lebih intens ketimbang yang pertama. Kampanye kebobrokan moral lebih mungkin untuk menjadi juara.
Untuk masalah ini hal yang paling gampang untuk dilakukan adalah membatasi aktivitas kedua media tersebut; televisi dan dunia maya. Resiko ketinggalan jaman rasanya lebih bijak daripada menanggung kebobrokan moral. Karena, sekali lagi-- budaya negatif memiliki promotor yang hebat, dia bernama setan.[] haris fauzi - 17 Februari 2006



BERITA TENTANG ENERGI

Dalam siaran radio BBC rilis Indonesia yang saya dengarkan pada saat mengemudi pulang kerja, diberitakan bahwa pemerintahan George W.Bush menginformasikan tentang kebijakan energi terbaru negeri Paman Sam, yakni Amerika Serikat berusaha mengurangi ketergantungan terhadap minyak Timur - Tengah, beberapa aspek politik melatar belakangi hal tersebut. Untuk itu Bush akan menggalakkan sumber daya energi alternatif. Biaya besar akan dikeluarkan untuk riset hal ini. Salah satu yang dipelajari adalah kemungkinan energi kotoran sapi. Masalah studi per-sapi-an ini dipusatkan di kota Texas, yang meng-klaim sebagai ibukota sapi sejagad. Seperti diketahui sapi memang banyak hidup di sana. "Andai seminggu ada delapan hari, maka hari kedelapan-pun kami masih menyantap daging sapi", gitu wawancara dalam radio tersebut.

Begitu banyaknya sapi sehingga bila kotoran sapi di Texas bisa terkumpul dalam sebuah lubang sebesar lapangan sepak bola.Untuk mengurangi ketergantungan minyak, untuk mengurangi ketergantungan dari negeri Timur Tengah, Amerika mencoba mengalihkan energi minyaknya ke energi alternatif kotoran sapi. Atau singkatnya Amerika akan mencoba menggantungkan harapan energinya kepada sapi. Dibanding ketergantungan kepada negara - negara di Timur Tengah, secara politis hal itu mungkin lebih menguntungkan, karena sapi tidak mengenal politik.

Pagi hari sebelumnya, kali ini dalam rangka berangkat kerja, saya menyimak berita tentang permainan kartu energi di belahan dunia Eropa. Yang punya ulah adalah Rusia. Hampir 40% energi Eropa disuplai oleh Rusia. Negeri beku tersebut ternyata dahsyat. Sudah benar bila Hitler dulu sangat hati - hati terhadap Stalin. Kini dalam percaturan ekonomi global Rusia memainkan kartu energinya terhadap negara - negara Eropa.Dari sisi politik Rusia juga memainkan kartu energinya. Semenjak Uni Sovyet berantakan, banyak sudah negara yang merdeka --atau memisahkan diri. Ternyata memerdekakan diri itu tidak gampang. Kali ini Rusia menghentikan suplai energi-nya kepada mereka. Rusia hanya menyalurkan energinya kepada negara - negara satelit yang loyal terhadap kepentingan Rusia. "Kami memberi imbalan kepada negara yang kooperatif dengan kami", begitu ujar pejabat energi Rusia dalam wawancaranya.

Sementara di Amerika Latin, Brasil kabarnya sekarang lagi getol-getolnya mengembangkan energi alternatif dari tetumbuhan, salah satunya adalah dari tebu dibuat etanol dan dari kedelai dibuat bio-diesel. Hampir seluruh pabrik gula di Brasil bisa sewaktu - waktu berubah wujud menjadi pabrik etanol. Tergantung harga pasar yang lagi bagus. Begitu bergairahnya masyarakat Brasil terhadap kemunculan energi dari tebu ini, hingga hampir sebagian besar taksi sudah menggunakan bahan bakar ganda, bahan bakar minyak dan etanol. "Yang repot adalah penumpang taksi, karena tidak tersedia lagi bagasi karena sudah terisi dengan tabung etanol".
Kalau nggak salah orang Brasil juga lagi senang menanam kedelai. Katanya bisa dibuat bahan bakar yang bernama bio-diesel. Detilnya gimana saya tidak terlalu faham, karena saya mendengarkan radio sambil nyetir mobil.

Sekitar seminggu sebelumnya, isu sentral pengembangan energi nuklir di Iran telah menyita perhatian dunia dan makin memanas setelah terpilihnya Kepala Pemerintahan baru Republik Islam Iran, Mr.Ahmadinejad.Juga masih dalam wacana berita energi nuklir Iran, kali ini Perancis sebagai salah satu raksasa reaktor nuklir ikut berkomentar dan cenderung membela Amerika yang berhasrat menyeret Iran dan Korea Utara ke sidang internasional masalah nuklir. Tema yang diangkat adalah 'realisasi senjata nuklir', padahal Iran dan Korea Utara berkilah sedang mengembangkan 'energi nuklir', belum mencapai tahap pengembangan senjata.

Apa yang dituduhkan Amerika dan sekutunya mirip ketika hendak mulai membajak Iraq dengan alasan 'industri senjata pemusnah massal'. Namun sampai kini isu tersebut tidak pernah terbuktikan. Iraq malah terlanjur morat - marit. Sampai Baghdad hancur lebur-pun ternyata tuduhan tersebut belum pernah terbukti.Benar salahnya saya nggak tau. Saya hanya menyimak berita - berita tersebut.

Dari dalam negeri belum ada berita yang signifikan tentang energi. Cuma di awal bulan saya sempat urung beli bensin Pertamax karena harganya ternyata naik lagi .....[] haris fauzi - 20 Februari 2006



KEKERASAN dan ASPEK SPIRITUAL

"...mulai dari Amerika Serikat, sampai ke Jepang dan di Eropa, maka kini pemakaian kekerasan untuk mendapatkan perubahan - perubahan sosial yang dikehendaki muncul sebagai satu ciri baru kebudayaan.Sebenarnya pula kekerasan dalam kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang baru.." (Mochtar Lubis -Majalah Horison-Januari 1970)

Saya tidak hendak membicarakan topik "kekerasan material" yang menjadikan rekan saya Mr.Anindito meraih gelar doktoralnya di negeri Jepang. Mr.Anindito memang salah satu pakarnya kekuatan material --terutama logam. Sekali lagi saya tidak hendak membicarakan hal itu.

Nah, mungkin malah rekan saya yang mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin, namanya Mas Yudhi Ariyadi-- lebih pas membicarakan hal ini. Beliau semasa kuliah merupakan mahasiswa pelopor penentang kekerasan. Dimana --seingat saya-- pernah membagi - bagikan pucuk bunga dalam rangka kampanye anti kekerasan.

Ya. Kekerasan memang budaya yang melegenda. Pendapat Mochtar Lubis yang menyikapi ihwal kekerasan dalam rangka perubahan tata-masyarakat, seperti demonstrasi, tindakan anarkis, kejahatan struktural, hingga kekerasan individual seperti rampok, jambret, dan perkelahian memang lagi merebak. Sejak keturunan nabi Adam pertama-pun telah terjadi pembunuhan. Kali ini kita sering dicekok-i tayangan televisi yang berisi kisah-nyata budaya kekerasan: pembantaian, perampokan, penghajaran, sampai tawuran. Semua itu penggambaran budaya kekerasan yang sedang dijalankan oleh masyarakat di dunia ini.
Budaya kekerasan kali ini --saat ini-- memang sudah sangat keterlaluan. Mas Yudhi sudah sering mengingatkan dahulu, bahwa perploncoan di kalangan mahasiswa baru bakal berdampak merebaknya budaya kekerasan dimasa mendatang. Dia benar sekali.

Bagi saya pribadi ada banyak faktor yang menyebabkan merebaknya budaya kekerasan ini. Kondisi ekonomi jelas sudah memicu hal ini. Desakan ekonomi bisa membutakan nurani.Bahkan tak jarang seorang anak sering dimarahi oleh orang tuanya di suatu malam, tak lain karena Bapak - Ibu-nya sudah kecapekan seharian bekerja, dan sudah tidak ingin melayani rengekan bermain halma anaknya. Ini menanamkan bibit budaya kekerasan ke anak tersebut.

Kalau kita bicara lebih global, maka akan muncul faktor yang lebih utama, yakni faktor spiritual. Ditengah gencarnya peradaban materialisme yang mementingkan kapital, maka aspek non material jelas tersisih. Aspek spiritual jelas tersisih.Halaman pertama masa Renaissance --pada awal dikampanyekannya peradaban materialisme di Eropa, pertama - tama yang terjadi adalah sekularisasi aspek spiritual dan agama. Kota - kota yang mengaku pusat peradaban berusaha menyisihkan tempat peribadatan ke pinggir kota. Kota diisi dengan kegiatan - kegiatan bisnis dan ekonomi ; economical-centris perlambang kapital.

Dengan semakin digdayanya budaya meterialisme ini, maka semakin tergeser pula aspek spiritualnya. Sekularisasi semakin hari memiliki tabir yang semakin tebal, padahal aspek spiritual menawarkan susunan etika dan filsafat. Dimasa sekarang, susunan etika dan filsafat sudah digeser dengan mekanisasi kapital.

Singkat cerita genosid spiritual ini berdampak kepada butanya hati nurani. Kebutaan ini memandulkan budi pekerti. Ketidakberdayaan budi pekerti mengakibatkan turunnya derajat etika. Maka yang muncul adalah kebiadaban.

Bila membicarakan spiritual, bisa jadi kita tak lepas pada definisi agama karena memang sangat identik dengan aspek spiritual.Namun, yang membuat serba salah juga, sejarah telah mencatat bahwa agama menempati ranking tertinggi dalam pertumpahan darah. Hampir seluruh peperangan disulut oleh agama. Perang salib dan perang sunni-syiah membuktikan hal tersebut.

Namun perang dunia kedua membuka fakta lain, bahwa peperangan terbesar yang pernah ada ini disulut oleh ego sentris dan pertentangan -isme.Lantas apa yang salah ?

Jadi rupanya yang memicu pertempuran --kekerasan-- itu bukanlah faktor agama (saja), melainkan faktor manusianya. Bagaimana di jaman dahulu manusia berperang mengatas-namakan agama. Lantas di masa Hitler, para jenderal berperang mengatas-namakan ego dan -isme.
Dari sisi agama, agama yang saya peluk --Islam,-- disebut juga agama Salam. Artinya selamat. Toh terus terang juga masih mengijinkan adanya kekerasan. Salah satu hadits nabi Muhammad kurang lebih berbunyi demikian,"...pukullah anakmu bila dia tidak melakukan solat padahal sudah berumur akil-balik". Pemukulan jelas - jelas adalah tindak kekerasan.Atau ada hadits nabi yang menguraikan perihal amarah sebagai berikut,"Barangsiapa yang tidak marah disaat seharusnya marah, maka dia seperti keledai. Dan barangsiapa yang marah padahal tidak seharusnya marah, dia seperti setan".Kemarahan adalah tahap awal tindak kekerasan. Orang bisa menjadi biadab karena marah. Dari hadits ini jelas, bahwa kemarahan seseorang adalah tergantung manusianya. Lebih tepatnya lebih tergantung pada kedalaman spiritual manusianya. Dengan pemahaman spiritual, manusia bisa menentukan kapan harus marah dan kapan harusnya tidak perlu marah. Bagaimanapun juga nabi Muhammad pernah marah. Pernah berperang.

Kalau yang terjadi sekarang adalah tindak kekerasan yang merajalela tanpa alasan yang signifikan. Tanpa ada alasan yang jelas seseorang bisa memukul rekannya, tanpa ada alasan yang jelas maka Amerika menyerbu Iraq, tanpa ada alasan yang jelas sebuah gedung diledakkan, dan hanya gara - gara seribu rupiah seseorang ditusuk belati.Alasan tidak jelas ? Saya rasa alasannya sih jelas, namun tidak masuk akal bila alasan - alasan ini melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan. Hanya atas alasan ego dan sempitnya pikiran bisa memicu seseorang memukul teman atau meledakkan gedung, alasan kekayaan minyak bumi bisa membuat Amerika menyerbu Iraq, dan alasan duit seribu perak memicu belati beraksi. Ini jelas - jelas perlambang kapital meterialisme.Alasan - alasan ini menunjukkan kedangkalan budi pekerti. Kedangkalan spiritual.

Bila beranjak dari hadits soal amarah diatas, masalahnya hanya tinggal seberapa dalam pemahaman spiritual kita, sehingga sekarang kita hendak menjadi keledai, atau setan, atau manusia. Paling tidak, kedalaman spiritual bisa mengendalikan amarah kita, kedalaman spiritual bisa mendapatkan alasan yang tepat sebelum kita memuntahkan metraliur amarah, dan sedapat mungkin bisa meredakan rebaknya budaya kekerasan yang ada.[] haris fauzi - 22 Februari 2006

KENISAH Januari 2006

kenisah, [bukutergores], gearbox,
tumpukan CD dan buku


23 Juli 2004 untuk pertama kalinya saya posting tulisan saya. Tulisan ini menjadi pembuka bagi seri kolom "kenisah". Hingga pada 7 Juli 2005 untuk kali terakhir saya menulis kolom tersebut. Dalam hitungan saya genaplah seratus tulisan kolom kenisah telah ter-posting dalam setahun. Tentang 100 tulisan kenisah sudah pernah saya muat dalam tulisan kenisah yang terakhir itu sendiri.

'Kenisah' merupakan satu kisah sukses bagi saya, yang menyisakan kisah - kisah gagal di lain pihak. Karena terus terang akhir - akhir ini saya teramat malas membaca. Apakah saya dulu seorang yang rajin membaca ? Ah, tidak juga. Saya adalah pemalas yang jadi makin malas dalam membaca. Sebabnya saya tidak tau benar mengapa.
Dampaknya adalah saya berhenti menulis [bukutergores] sejak 13 Oktober 2005. Seri[bukutergores] mulai saya tulis 3 Desember 2004 dan hingga hari ini baru mencapai delapan belas tulisan. Dalam menulis [bukutergores] saya memang 'wajib' mencuplik kalimat dalam suatu literatur. Semakin sering saya membaca, maka semakin banyak kalimat yang bisa saya cuplikkan dan saya tuliskan dalam [bukutergores], demikian juga sebaliknya.

Ya salah satu alasannya adalah memang saya makin jarang membeli buku karena harga buku yang terus - menerus naik. Kebijakan saya membeli buku sekarang adalah membeli bila ada kortingan. Entah di pasar loak dekat Sriwedari-Solo, pangkalan buku bekas di dekat stasiun kereta api Malang, lapak-lapak Kwitang-Jakarta. Atau titip rekan yang hadir pameran buku atau titip adik yang sering nyanggong di toko buku mahasiswa. Pokoknya cari yang murah. Berharap dapat korting harga minimal 20%.
Namun alasan 'membeli buku' ini ternyata tidak valid. dalam verifikasi diri saya, semalas-malasnya saya membeli buku, ternyata saya lebih malas membacanya. Terbukti masih banyak buku bertumpuk yang belum sempat terbaca. Bahkan masih ada yang bersegel dan berbungkus plastik, rapi jali.
Mudik lebaran kemarin saya memborong buku cukup banyak. Baik buku baru yang beli di toko buku bekas, atau nyomot koleksi almarhum ayah saya. Sampai detik ini, baru dua buku yang saya buka dari sekitar 10 buku yang terbawa ke rumah.
Ya. Intinya memang saya sedang malas untuk membaca. Demikian juga dengan beberapa koleksi lagu dan film saya. Beberapa CD mangkrak di meja tanpa tersentuh. Mereka ngantri untuk berdendang. Seperti halnya kaset-kaset lama yang kini sudah tidak tahu lagi entah kapan diputar untuk terahir kalinya, dan entah kapan hendak diputar ulang. Hanya debu dan sarang laba - laba yang menyuarakan kebisuan mereka.
Hal ini banyak terkait dengan waktu saya yang banyak tersita untuk kegiatan di luar rumah. Ini alasan saya semata. Dan kalaupun di rumah, saya pasti kalah berebut player dengan anak saya. Walhasil CD koleksi saya masih perlu ngantri lagi buat disetel. Setengah kasihan saya melihat mereka. Buku-buku, kaset, dan disk teronggok menanti giliran. Walaupun saya menyayangi koleksi saya tersebut, tetapi saya ternyata telah menelantarkannya.

Mungkin saya beranggapan saya tidak punya waktu untuk membaca. Sibuk bekerja-kah ?
Kesibukan saya bekerja menginspirasi saya untuk menulis seri lain, yakni 'gearbox'. 'Gearbox' yang berisi tentang hal - hal yang berbau pekerjaan saya di dunia pabrik mulai saya tulis pada 6 Juli 2005 setelah era 'kenisah' lewat. Tetapi ternyata 'gearbox' tidaklah se-rutin 'kenisah'. Buktinya adalah hingga sekarang 'gearbox' baru tertuang dalam 11 tulisan. Sungguh memalukan !
Artinya dunia kerja tidak cukup menginspirasi diri saya untuk menulis dengan rajin. Padahal semakin sibuk kita bekerja, artinya semakin banyak inspirasi atau hal - hal yang bisa dijadikan bahan tulisan. Tetapi ini malah kebalikannya.
Lho ?
Ya ! Artinya saya kali ini memang terjangkit penyakit malas menulis juga --disamping malas membaca. Ini salah satu poin penting dalam evaluasi akhir tahun bagi diri saya sendiri.
Setahun ini saya memang malas untuk membaca dan menulis. Dua hal inilah yang membuat 'gearbox' dan [bukutergores] akhirnya tidak memenuhi kuotanya. Dua hal tersebut memang suatu kesalahan yang harus saya akui. Kalaupun saya tidak mengakuinya, maka berarti saya telah membuat kesalahan berikutnya, yakni malu mengakui kesalahan diri - sendiri. Selamat tahun baru 2006.[] 19 Desember 2005

salam,haris fauzi

_______

...... semula saya ingin melanjutkan seri [gearbox] yang terlunta-lunta,
namun tulisan yang jadi kok malah mirip kolom 'kenisah' yang sudah saya tutup juli lalu.
yo wis lah,....daripada saya vakum terlalu lama, maka saya posting tulisan berjudul 'jaket merah' ini, sekaligus pertanda bahwa kenisah sesi ke-2 di mulai (....walau tanpa sengaja..)....


-------------

JAKET MERAH

....I may never find all the answersI may never understand whyI may never proveWhat I know to be trueBut I know that I still have to try.....

Pagi ini saya bersua dengan meja kerja. Rutin setiap pagi seperti itu. Memang kantor dimana saya kerja belum memasuki masa libur akhir tahun. Malah kali ini seakan-akan si meja kerja menyeringai sambil menawarkan setumpuk problem. Saya berusaha tidak menatap seringai si meja walau sebenarnya sadar saya memiliki cukup nyali untuk menghadapinya. Saya memilih untuk terlebih dahulu menyalakan komputer dan speakernya. Sederet syair mulai terdengar. Saya belum mengenakan baju seragam, saya masih mengenakan jaket berwarna merah.

***

Masa - masa kuliah dulu, saya sering didera permasalahan. Baik seputar studi atau organisasi. Bagaimana dengan masalah cinta ? kadangkala hal tersebut menghadang. Tetapi ini masalah sepele, karena semasa kuliah saya tidak pernah berpacaran. Saya hanya pernah naksir beberapa teman wanita tanpa kesampaian menyampaikan sepucuk puisi cinta kepadanya. "Saya bukanlah Gibran yang sering berpantun tentang kasih sayang...", pikir saya arogan.

Masalah studi laksana menjadi dentuman godam karena saya memang kurang bisa mewujudkan harapan orang tua. Istilahnya mungkin saya terlalu bodoh untuk mencapai nilai - nilai yang diharapkan orang tua. Dan ini terjadi dengan cukup sering, karena hampir setiap minggu terdapat kuis atau ujian. Bahkan di semester - semester awal jantung saya selalu berdegup kencang bila tiba hari pengumuman nilai ujian. Hal ini sering saya alami semenjak umur dua belas tahun. Sejak itu --kelas 1 SMP-- saya tidaklah pernah bisa mewujudkan impian Ibu menjadi juara kelas lagi. Pokoknya sejak saat itu masalah nilai studi menjadikan saya berolah-raga jantung.

Berbeda dengan masalah di organisasi. Kendala yang ada seringkali membuat kehilangan semangat. Disinilah saya belajar, bahwa sebuah problem itu akan menjadi lebih besar apabila kita tidak memiliki niat atau semangat untuk menuntaskannya. Gunung itu tidak akan tertaklukkan bila kita tidak memiliki semangat untuk memanjatnya.
Cara terbaik untuk menanggulangi problem adalah menjaga semangat agat tetap menyala laksana mata naga, membakar. Adalah omong kosong bila kita hendak menaklukkan masalah tetapi nyatanya tidak memiliki semangat.

Di dalam kamar berkarpet hijau, --kala itu, saya sering tertunduk di atas bangku. Tertunduk hingga rambut panjang menutupi muka, dan rambut tengkuk terjun ke lengan. Problem - problem di atas memang tidak pernah berhenti menawarkan dagangannya. Lampu baca ataupun cahaya dari jendela mungkin sia - sia hendak menjangkau mata saya. Di rak sebelah musik rock yang cukup keras terdengar dari mini compo yang nangkring berhimpitan dengan buku - buku diktat. Emosi saya memang seakan dengan mudah dimainkan dan dibuai oleh pergerakan melodi musik rock, .....setidaknya saya bisa menenangkan perasaan dengan cara itu. Berusaha untuk hanyut dalam alunan hiruk pikuk. Di saat seperti ini album 'Wild Frontier' dari Gary Moore menjadi favorit;--- hard-rock tulen.

Awalnya saya rasakan melodi gitar seakan menyuruh menenangkan diri, mencampakkan segala emosi. Sebagai mahasiswa teknik saya sadar benar bahwa emosi yang berkecamuk tidaklah memperbaiki keadaan. Emosi hanya melumpuhkan logika, padahal dengan logika saya berharap bisa menaklukkan tantangan. Saya memang hanya berpikir sesederhana itu.

Melodi memang membantu untuk memadamkan emosi, namun saya membutuhkan hentakan drum untuk memaksa agar bangkit terbakar semangat baru. Semangat yang lebih besar untuk menghantam persoalan yang menghadang. Sekali lagi musik rock berjasa kepada saya. Musik rock memang banyak memberi inspirasi, termasuk menyuntikkan heroin ke otak agar ter-akselerasi dalam hal mencari problem solving.
Kalau orang bilang ihwal 'kebutuhan terapi', mungkin yang saya jalani bisa jadi memang terapi.

Setelah terbuai dentuman musik rock, setelah emosi lenyap, dan setelah 'heroin' musik rock bekerja di otak,...... dalam hati saya akan berujar ,"......mari kita selesaikan...". Saya bangkit dari duduk, melangkah menuju pintu kamar sambil menyambar jaket merah. Jaket yang sering menemani dalam suka duka sebagai mahasiswa. Acapkali jaket ini memberi tambahan energi ketika dikenakan. Jaket itu tidak bermacam pola, hanya berwarna merah polos dengan badge bertuliskan "SOLID, student press movement-faculty of engineering".[] haris fauzi - 26desember 2005


MAS EDY

Dalam suatu rapat akhir tahun yang cukup menyita perhatian, seorang pimpinan kerja saya menyampaikan pesannya:"... dalam rapat kita harus jujur menyampaikan permasalahan dalam unit kerja kita, sehingga bisa dicarikan pemecahan masalahnya... hal ini akan memperlancar tujuan kita di masa mendatang...".Kurang lebih demikianlah bunyinya.

Saya jadi teringat --kira-kira-- pada tahun 1991, dimana saya mulai menapaki dunia organisasi kemahasiswaan. Saya berjumpa dengan beberapa orang kakak senior yang cukup mengesankan bagi saya. Mas Hakim yang memberi paradigma baru kepada wawasan saya, Mas Pungky --namanya sih seingat saya adalah Endang Purnomo-- yang begitu pandai memotivasi adik kelasnya, hingga saya sempat berkenalan juga dengan Mas Eric Salman (almarhum) yang membuat saya berdecak kagum sebab dari beliau jugalah muncul ide pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang cukup heboh itu karena melibatkan tokoh nasional seperti B.J. Habibie, Prof. Amien Rais, Dipo Alam, dan lainnya.

Senior - senior itu banyak membentuk pribadi diri saya terutama dalam hal organisasi.Nah, berkenaan dengan paragraf awal yang saya tuliskan di atas, saya jadi teringat benar dengan Mas Edy. Tepat namanya adalah Edy Nurhamid Amin. Senior tiga tahun di atas saya. Beliau adalah ketua Senat Mahasiswa Fakultas teknik dimana saya turut berbaur. Seperti tokoh pegiat kemahasiswaan yang lain, Mas Edy adalah sosok yang bersahaja. Seorang organisator ulung yang seingat saya juga senang menggeluti strategi Sun Tzu, tokoh yang populer dikalangan mahasiswa kala itu. Pandai pula mengarahkan bawahannya. Sehingga pantaslah dia memegang tampuk jabatan tersebut.

Selain itu, Mas Edy --sebenarnya-- adalah calon kuat lulusan cum-laude dari jurusan mesin, namun gelar insinyur cum-laude itu terpaksa Mas Edy lepaskan karena beliau harus menuntaskan dahulu kiprahnya sebagai ketua Senat Mahasiswa sehingga masa studi-nya jadi molor satu semester. Beliau berada di persimpangan antara lulus cum-laude di simpang lainnya adalah menuntaskan amanah jabatannya. Dia memilih Senat Mahasiswa, dan terbanglah gelar cum-laude tersebut.
" Dalam setahun, mungkin fakultas teknik meluluskan lima mahasiswa cum-laude, tetapi dalam setahun cuma ada satu ketua senat mahasiswa", demikian dalih Mas Edy yakin.Ya tentu saja Mas Edy cuma menjabat selama satu tahun saja.

Dalam beberapa forum pertemuan mahasiswa seringkali Mas Edy menyampaikan pesannya. Salah satu pesannya yang paling saya ingat adalah perihal kejujuran dalam berorganisasi." Janganlah berbohong walau kecil. Satu kebohongan kecil harus ditutupi dengan kebohongan yang lebih besar. Demikian seterusnya akhirnya kamu akan berbohong dengan sangat banyak dan besar...Semakin besaaaar kebohongan itu, semakin repot kita menutupinya....".
Terus terang... saya bersyukur pernah berkenalan dengan orang seperti Mas Edy.[]haris fauzi - 9 januari 2006


PUISI DI KALIURANG,
BELASAN TAHUN LALU....

Sekitar pukul 21.00. tepatnya saya tidak hafal betul. Malah mungkin pukul sebelas-an. Tergoda saya untuk keluar ruangan training. Masih nampak Sang Instruktur disitu sedang berkemas pula, namanya Mas Subarkah. Saya rasa semua tugas training hari ini telah selesai. Terdengar diluar genjrengan gitar teman - teman sesama peserta training sungguh menggoda. Gelap menyergap sekujur tubuh , dinginnya hawa malam pegunungan seakan memeluk leher. Bekal jaket pinjaman rupanya menjadi dewa penolong, rislitingnya musti mentok ke leher. Jaket milik saya sendiri malah dipinjam teman saya, dia kini terlihat tengah tertawa berderai bersama kawan lain. Mereka duduk ditepi jalan, membentuk lingkaran. Kelihatan Si Taufan sedang mengempit gitar dan duduk ditengah lingkaran.

Di tepi jalan ini kabut ternyata lebih pekat dari yang saya duga. Djoni --yang pinjam jaket merah saya-- masih saja ngakak - ngakak. Rupanya dia jadi maskot kali ini. Si Subhan Zen juga menjadi aktor lengkap dengan surban taplak meja. Sementara si Baihaqi belum nampak konyolnya. Sekitar dua puluhan orang tengah berkumpul disitu, duduk di aspal di salah satu pertigaan jalan raya Kaliurang - Yogyakarta. Sudah teramat dekat dengan air terjun Kaliurang yang legendaris itu. Laki - perempuan --tepatnya mahasiswa - mahasiswi--- tertawa bercanda sesekali diselingi kilatan lampu blitz.

Sayup nampak serombongan orang habis turun membuang waktu, rupanya hendak bergabung pula. Setelah dekat barulah nampak saya bahwa Baihaqi ada diantaranya. Saya rasa saya tidak kehilangan kesempatan berharga ini. Benarlah. Pertunjukan utama dimulai. Baihaqi mengeluarkan segenggam buku, membukanya dan berusaha membaca dengan temaram cahaya rembulan. Dia selalu begitu. Memulai pertunjukan spontanitasnya dengan puisi, seperti halnya aktivis pers mahasiswa yang lain. Kalau dia yang membaca, plesetan dan guyonan pasti terlontar. Inilah yang saya enggan melewatkannya.

Bukan hanya itu, timpalan dari Subhan, Djoni, Miming, dan seorang lagi yang selalu ber-ikat pinggang kain sarung --nama lengkapnya Muhamad Alfan Alfian-- menambah segar suasana. Rupanya dialek Jawa Timur mereka mengundang geli hati. Bagi kebanyakan orang --bahkan orang Yogya sekalipun-- dialek Jawa Timur yang khas menekankan huruf - huruf tertentu ternyata menyenangkan, --lucu. Saptopo putra Mataram yang pendiam itu terus saja berusaha menahan ledakan tawanya. Petikan gitar Taufan masih menyalak tak kenal lelah. Sesekali dia juga nyeletuk seperlunya.

Habis sudah ide si aktor, dia segera memberikan buku puisi tersebut ke peserta lain. Ganti giliran aktor baru membaca sekenanya. Kalo udah mentok, segera dia menyerahkan buku puisi tadi ke yang lain. Beginilah acara hiburan spontanitas para pegiat pers mahasiswa. Ciri yang paling khas adalah rutinitas pembacaan puisi. Bergantian, spontanitas. Terus terang saya belum pernah ikut membaca puisi seperti mereka, saya tidak cukup punya nyali untuk berbuat itu. Jadinya ya saya cuma nonton saja sambil ketawa - tawa.

Acara malam itu sebenarnya sungguh menarik,-- tapi apa daya, saya di dera batuk dan ngantuk. Saya segera pamitan untuk menuju pendiangan. Mereka sebagian mentertawakan saya,"...aktivis kok tidur...haaa..haa..haa......!!".
Namun ternyata berada di dalam kamar saya nggak bisa tidur. Batuk tanpa henti. Dan terutama dorongan hendak bergabung lagi amat kuat. Memang benar kata si Djoni,"...Ris,... jauh - jauh dari Malang kamu malah tidur melewatkan malam yang menyenangkan ini....". Akhirnya saya bergabung lagi untuk menikmati pembacaan puisi spontanitas ini. Asli sungguh menyenangkan. Setiap saya tertawa, batuk pasti ikut mengekor.

Mereka --para aktivis jurnalistik mahasiswa-- selalu bisa menikmati acaranya, yang penuh sajak - puisi - dan tawa. Kadangkala puisi cinta, namun tak jarang mereka melontarkan puisi kritik sosial. Lontaran pemberontakan. Kadangkala mereka tertawa di malam hari, setelah siangnya sempat berurusan dengan penegak hukum gara - gara ulahnya sendiri. Gara - gara idealismenya. Malam ini-pun saya rasa demikian. Saya duduk di aspal agak belakang. Tidak semua orang yang tertawa disini saya kenal. Maklumlah, ini acara mahasiswa tingkat nasional. Dihadiri mungkin lebih dari delapan puluh peserta. Setelah beberapa hari menggelar acara training dan konggres aktivis jurnalistik mahasiswa, saya setengah yakin diantara kita malam ini tentu terdapat intelijen. Rumornya sih begitu. Mungkin ada benarnya juga apa yang selalu dikatakan salah satu sobat saya ,"Ris,...diantara mahasiswa, dalam 48 jam pasti sudah ada intelijen...Tetapi idealisme tidak pernah tergadaikan...". Malam makin larut, saya tetap saja tidak bisa mengenali semua yang berada disini.[] haris fauzi - 12 januari 2006



...DAN JAMAN (MAKIN) SUSAH

Sebetulnya saya sudah mulai merasakan jaman susah dan makin susah ini sejak tahun 2003. Tahun itu saya merasa cekikan pertama terhadap perekonomian keluarga mulai menjerat dompet. Setelah berunding dengan Istri, seiring dengan kenaikan harga BBM-- maka saya memutuskan untuk mengurangi pos pengeluaran transportasi. Pengalihan konsumsi BBM dari pertamax ke premium ternyata tidak banyak menolong. Saya akhirnya mengambil jalan yang lebih konkrit untuk mengurangi pengeluaran. Lebih jelasnya adalah saya tidak lagi menggunakan mobil pribadi untuk berangkat ke kantor, kecuali kalau kepepet. Alternatifnya adalah bisa dengan menumpang --atau naik bis umum. Soalnya jarak ke kantor yang sekitar seratus kilo sekali jalan itu ternyata memang menyita banyak biaya bila ditempuh dengan mengendarai kendaraan pribadi.

Selain transportasi, pos - pos pengeluaran di rumah juga makin di reduksi oleh istri saya. Sedapat mungkin kami membeli barang consumable kelas murahan saja. Apalagi yang bersifat fashion jelas kena babat habis. Yang paling lucu adalah dihapuskannya pos pembelian 'kaos kaki' buat saya. Jadi sejak itu saya sudah tidak pernah membeli kaos kaki lagi, yang berakibat saya sedapat mungkin bersepatu tanpa kaos kaki. Bahkan seingat saya, tahun ini pulalah mulai diberlakukannya larangan pembelian baju baru lebaran. Baju lebaran yang terakhir saya beli adalah sepotong kemeja berwarna kuning kecoklatan seharga tiga-puluh ribuan, saya beli setahun sebelumnya.

Tahun 2004 keadaan semakin menjepit. Hal inilah yang salah satunya membuat saya mengurangi konsumsi penggunaan air PDAM, karena taripnya memang gila - gilaan naiknya. Untuk hal ini saya memang harus memperbaiki kualitas air sumur, dan ini tentunya butuh biaya pula. Tak apalah. Cost for Save. Dengan mengonsumsi air sumur, saya 'cuma' harus mengeluarkan biaya listrik untuk pompa air. Namun ini jauh lebih murah dari harga air PDAM.

Demi penghematan, mudik tahun 2004 tidak saya lakukan di saat lebaran, melainkan di akhir tahun. Tidak mudik di jaman lebaran memberi banyak keuntungan secara ekonomi, diantaranya adalah tidak perlu menyediakan budget untuk menginap di penginapan karena terjebak kemacetan. Dan juga tidak perlu membeli baju baru. Saya hanya perlu membelikan satu set baju tidur untuk anak sulung saya.Dan untungnya pula istri saya menyimpan baju Si Sulung jaman bayi. Baju - baju bayi tersebut disimpan berdasarkan umur. Dan ketika anak kedua saya lahir, maka dengan sedikit modal benang dan jarum untuk menjahit dan menisik bagian yang tercabik, maka bisa-lah perlengkapan bayi tersebut digunakan oleh adiknya yang baru lahir. Memang warnanya sedikit pudar, bahkan ada yang ternoda bubur atau kecap. Tapi bayi tidaklah terlalu perlu fashion. Cukup mengenakan baju bekas tak pa-pa. Istilahnya adalah "baju lungsuran". Celana lungsuran yang kolornya melar ternyata masih bisa dipakai lagi oleh adiknya dengan menambah ikatan karet gelang di sisi belakangnya, mirip ekor bebek. Lucu malahan jadinya.

Tahun 2004 ini pula saya mulai menyetop pembelian buku - buku yang biasanya reguler saya beli. Kebutuhan akan buku saya penuhi dengan membeli buku diloakan atau kortingan, jadi sedapat mungkin tidak membeli buku di toko buku. Kalau toh jalan - jalan ke Gramedia, mungkin saya lebih suka mencatat judul-judul buku yang saya minati dan lantas mencatat harganya. Suatu saat saya membeli bila ada kortingan atau mencarinya di loakan.
Seperti saya prediksi, keadaan memang makin menjerat di tahun 2005. Pos dapur mulai memberlakukan pengetatan. Daging mulai jarang dihidangkan oleh istri saya. Tak apalah, --toh banyak kasus kambing atau sapi anthrax di sekitar kota saya tinggal--. Yang penting madu, susu, dan tahu-tempe-telor tetap setia menjadi santapan. Madu yang biasa membeli di Cibubur atau toko seharga lima puluh ribu se-botol diganti dengan madu yang akan kami impor dari Malang seharga dua-puluh ribu sebotol. Saya telah menguji kualitasnya, tak beda jauh. Bahkan saya lebih sreg dengan produk Malang yang murah tersebut.

Memang perihal acara "mengonsumsi daging" ini sangat boros. Disamping harganya cukup mahal, cara memasaknya-pun boros bumbu dan minyak. Dan ketika peralatan dapurnya dicuci juga sangat boros sabun cuci, maklumlah banyak lemak yang merekat kuat disitu. Saya kira sungguh tepatlah untuk menjauhi makanan yang satu ini, soalnya saya sendiri juga tidak terlalu menyukai masakan daging.

Acara makan ke restoran di hari libur juga kami tiadakan. Apabila kami jalan - jalan di hari libur, maka kami membawa bekal makan siang, jadi nggak perlu jajan makan siang. Ini sungguh sangat signifikan dari sisi ekonomi.

Yang perlu saya catat di tahun 2005 adalah adanya bencana atap roboh. Atap kamar utama rumah kami roboh karena terserang rayap. Repotnya, kalau tidak di cor semen maka bakal dirayapi lagi. Jadi percuma saya bangun ulang bila tidak di cor sekalian.Saya cukup kelabakan dengan 'biaya tak terduga' ini, karena memang harga material bahan bangunan sangat mahal. Akhirnya dengan berdaya upaya saya bisa mereduksi biaya sekitar seperempatnya. Saya membeli semua kayu tidak di toko bangunan, melainkan di lapak kayu madura. Dengan berbekal bicara logat Jawa-Timur-an, saya dapat potongan harga cukup banyak. Setelah itu saya nego juga perihal kayu - kayu sisa bangunan untuk saya jual kembali ke mereka. Saya cukup puas dengan hasil ini.

Pada saat mudik di bulan Nopember 2005, dimana saya bersua dengan adik dan kakak saya, kami juga sempat membicarakan keterpurukan ekonomi tanpa kebangkitan ini. Setelah mengobrol dengan saudara - saudara, kami cukup sepakat bahwa tahun 2006 akan makin ambruk. Dan ini akan berakibat makin tingginya biaya hidup, termasuk biaya untuk mudik. Kebutuhan biaya untuk mudik yang bagi kami sangat menguras kantong. Karena mudik tahun 2005 merupakan perjalanan jauh kami yang pertama dengan mengkonsumsi "BBM harga Presiden Yudhoyono" yang bagi kami sangat mahal itu. Walhasil keluarlah kesepakatan bersama bahwa kami bersaudara yang biasanya mudik setiap tahun maka pada kesempatan berikutnya akan melakukan ritual mudik dua tahun sekali.Ya daripada duit habis untuk mudik dan membeli bensin, mending disiapkan untuk biaya sekolah anak - anak. Itu pemikiran kami semua, dan ibu saya merestui hal ini. Bahkan Ibu sempat mengingatkan pesan Ayah kami almarhum tentang "hutang". Ya, memang Bapak saya punya prinsip ekonomi "menjauhi hutang". Dengan tidak berhutang, kita lebih aman; "lebih baik menjahit baju bekas ketimbang memakai baju baru hasil hutang", begitu pesannya.

Dalam mengawali tahun 2006, saya memulai dengan pemikiran:"...apalagi yang harus saya lakukan untuk perekonomian keluarga saya ?" []haris fauzi-16 Januari 2006



GAY, PLAYBOY, APALAGI ?

Pada suatu saat lampau, saya pernah menjumpai sampul tabloid (?) yang bertajuk "Gay@ Nusantara". Semula saya membaca sekilas sebagai "Gaya Nusantara". Tapi lama - kelamaan kok jadinya kebaca: 'Gay'. Wah. Apakah ini tabloid-nya komunitas Gay di Nusantara ? Saya nggak ngerti benar. Tapi nyerempet - nyerempet sih emang. Bila memang itu majalah komunitas gay-lesbi, berarti Gay-lesbi yang selama ini ditabukan di masyarakat kita kali ini dapat pengakuan resmi dengan terbitnya tabloid tersebut.

Itu sih kabar beberapa tahun silam, sebelum --atau hampir bebarengan dengan bombardir buku - buku bertema gay dan lesbi yang mulai menjadi best seller di tengah tahun 2004-an. Kabarnya sih buku - buku novel bertema gay dan lesbi kala itu amat diminati oleh kalangan mahasiswi dan mahasiswa, layaknya buku "Jakarta Undercover". Dan seingat saya oplah penjualannya gede juga, mungkin hanya bisa disaingi oleh buku "Harry Potter" atau "The Da Vinci Code". Saya sih nggak tau persis juga. Soalnya baik buku gay-lesbi, Harry Potter, atau Da Vinci saya belum ada yang punya.

Awal tahun 2006 ini, --disaat kita cukup dipusingkan dengan kenaikan harga-harga yang seakan nggak masuk akal,-- saya sempat heran juga dengan rencana dirilisnya majalah Playboy edisi Indonesia. Apalagi ini ? Rencananya sih terbit bulan Maret 2006. Siapa bintang sampulnya ? Ah. Siapa-pun cover girl-nya , yang pasti jelas sensual. Manteb mbok ! Maklumlah, edisi perdana.

Mungkin bagi sebagian orang yang suka melepaskan kepenatan dengan 'mencuci mata', rencana terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia ini jadi angin segar di tengah kesulitan ekonomi. Mungkin juga gak ada pengaruhnya bagi orang yang cuek. Tapi bagi sebagian yang lain, --ditengah segala bencana dan kesulitan yang bertubi - tubi menghantam bangsa ini,-- penerbitan majalah 'panas' tersebut membikin makin gerahnya suasana. Kalau nggak bisa dibilang menambah petaka baru.

Kontroversi kelahiran majalah seksi ini memang masih menghangat sekarang. Pro dan kontra masalah pajangan puser wanita. Kok gini ya bangsa ini ? Padahal masih banyak hal - hal positif yang bisa dan harus dikerjakan. Ini malah mau pajang foto puser. Rencana penerbitan majalah 'gebleg' ini menurut saya pribadi sih nggak ada manfaatnya sama sekali, malah berpotensial menimbulkan kerusuhan. Ini pendapat saya pribadi lho ya...
Kalau sekarang --sebelum majalah itu terbit-- mungkin pertikaiannya masih sebatas diskusi dan polemik antara pengagum puser versus kaum normatif. Baru sekedar menuai bicang wacana. Namun, --nanti bila terwujud terbit,-- bukan tidak mungkin polemik itu berkembang karena bisa jadi ada sekelompok masyarakat yang berang. Nah, kalau yang berang itu sudah mengangkat kepalan tangan, apa nggak lantas timbul bentrok fisik? Ribut lagi. Ribut lagi.
Apapun alasannya, bagi saya penerbitan majalah sensual ini malah bikin perkara. Ah, bangsa ini memang selalu nantangin petaka. Heran saya jadinya. [] haris fauzi - 17 Januari 2006



KATA HATI

Pada saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya sempat membeli buku kumpulan cerita pendek dari penulis Rusia : Anton Chekov. Belakangan ada yang menuliskan dengan Cekhov, atau Cekov sekalian. Entah mana yang benar.
Tulisan - tulisan Anton Chekov sungguh merasuk hati saya. Dalam arti, dia menulis dengan detail deskripsi setiap kejadian yang bisa menyentuh perasaan. Dan spesialisasinya adalah deskripsi ketertekanan. Mungkin karena beliau termasuk penderita depresi politik komunisme di USSR sana. Kabar - kabarnya sih kondisi kemerdekaan pribadi amat sengsara disana kala itu. Entahlah. Saya juga tidak tau persis.

Yang jelas saya terpengaruh begitu membaca cerpen - cerpennya. Bagi saya, cerpen tersebut merupakan kata hati dari perasaan si Chekov. Bisalah saya anggap itu sebagai diary --catatan harian pribadi. Chekov menawarkan kedukaan dan kepekatan yang dialaminya, yang dilihatnya, yang dirasakannya. Dia melakukannya dengan sempurna sekali.

Apa yang dilakukan Chekov sebenarnya bisa kita lakukan juga. Tentunya nggak usah sehebat Chekov, dan dalam format tulisan - tulisan kita sendiri.
Setiap dari kita --terutama perempuan--, sering menuliskan perasaannya dalam suatu diary, terutama perasaan kalut atau patah hati. Tapi tulisan itu jadi konsumsi diri sendiri. Bahkan beberapa bulan setelah di tulis, maka tulisan itu jadi malah memberi rasa malu bila di baca sendiri. Bayangkan ! Di baca sendiri aja memalukan. Gimana kalo dibaca orang lain ?

Suatu hari saya berpikir, adalah tidak mustahil bila coretan perasaan itu bisa dikonsumsi oleh orang lain. Pastilah dari perjalanan perasaan itu mengandung hikmah, dan hikmah adalah hal yang sebaiknya disampaikan kepada orang lain. Berarti tulisan tersebut harus bisa dan layak dibaca orang lain. Ya tentunya harus dikemas dalam bahasa yang 'tidak memalukan' untuk di baca orang lain.
Contohnya adalah apabila anda sedang patah hati dengan calon jodoh anda, anda bisa menuliskan dengan :"..... adalah tidak bijaksana meletakkan seluruh cita - cita hidup kita kepada seseorang, karena cita - cita itu adalah milik kita sendiri".
Kalimat tersebut bisa dikonsumsi oleh banyak orang, walau mungkin mengandung kesamaan arti dengan tulisan 'lagu cengeng' lainnya.
Kita semua bisa mencoba membuat kalimat seperti itu berdasar perasaan masing - masing. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi yang tengah kita alami ini, tentu hati ini lebih sensitif dan produktif untuk melontarkan ungkapannya. Begitulah, masih banyak lagi kata hati yang bisa di sampaikan kepada orang lain untuk berbagi rasa. Disamping sebagai alternatif pelampiasan.

Pada walnya memang secara teknis menulis seperti itu akan canggung. Pekerjaan apapun akan seperti itu. Tapi, kalau itu dilakukan setiap hari tentunya akan semakin terasah kemampuannya. Dan akan makin wahid apabila ditambah rajin membaca. Hal ini jugalah yang kali ini juga sedang saya usahakan secara amatiran. Membaca - Merasakan - Menuliskan - Membagikan. Seperti halnya Muhammad, beliau juga memulai dengan wahyu pertama-Nya : 'IQRA', artinya "Bacalah...".[] haris fauzi - 19 Januari 2006



SURAT DARI PAKLIK

"....Ia makin sempoyongan ketika para pengendara lain pada datang dan ikut melayangkan tangan dan kakinya. Ia terkapar layu tak berharga seperti selembar kertas yang kehujanan...." (Surat dari Paklik)

Seorang Paklik saya yang baru pulang tugas dari Eropa terkejut dengan perubahan metropolis Jakarta ini. Paklik memaparkan hal pencoleng jalanan, kekerasan jalan raya, dan segala kebiadaban metropolitan yang menurut dia sangat terkait dengan fenomena kemiskinan struktural. "Jalanan Jakarta menjadi semakin beringas," gitu pendapatnya. Dia mengakhiri suratnya dengan istighfar.

Sebagai catatan, Paklik saya bukanlah tipe 'selebritis'. Dia masihlah seorang lulusan pondok Gontor yang tetap setia mudik ke tanah kelahirannya di kaki gunung Merapi - pinggir Yogyakarta. Saya yakin Paklik tidak akan lupa pengalaman dia manakala harus berhadapan maut ketika investigasi kasus waduk Kedungombo. Saya juga begitu yakin bahwa dia tidak bakalan lupa ketika menggunakan dokar untuk berangkat wisuda dari desanya menuju kampus.

Saya masih ingat kamar dia kala mahasiswa yang bertilam tanpa dipan. Sambil sarungan main gaple kami nyetel lagu - lagu 'Telephone Mama' dan 'I Like Chopin' karya Gazebo di sana. Hari pertama Paklik pulang ke Jakarta saya menelepon ke rumah kontrakannya, saya dengar beliau berkelakar di ujung telpon sana:"....Ris, jangan ke sini dulu. Sekarang saya kalo tidur masih di atas karpet...haa.. haa... haa..".

Saya tau kali ini Paklik 'hanya' sedikit mengalami shock karena beliau terbiasa menyetir di Bonn atau Paris yang cukup tertib lalu lintasnya. Saya bisa maklum, karena Paklik sudah dalam hitungan tahun meninggalkan metro Jakarta ini. Saya-pun ketika pulang setelah dua minggu di Singapura sempat merasa Bandara Cengkareng begitu semrawut. Bayangkan ! Dua minggu di kota yang penuh aturan, membuat Jakarta yang saya tinggali sebelumnya jadi seakan begitu semrawut.

Bagi sebagian orang yang senantiasa dan setiap hari mondar - mandir di Jakarta, perubahan ini tidaklah terlalu dirasakan, bagi mereka yang berpikiran pragmatis maka harga BBM yang menjulanglah yang begitu menusuk kantong. Masalah kriminalitas jalanan tidaklah terlalu berubah. Atau bahkan mungkin mereka malahan merasa tidak ada perubahan, merasa stagnan.

Bagi saya pribadi, Jakarta --dan Indonesia-- tidak stagnan semrawut, melainkan bergerak dan senantiasa bergerak. Namun bergerak tenggelam dan semakin tenggelam. Semrawut dan makin saja semrawut. Benarlah pendapat Paklik saya: "Jakarta makin beringas!". Segala aturan dan tata kota yang baru dan senantiasa dibuat, seakan tidak kuasa menahan kejamnya kekelaman peradaban. Jakarta adalah medan pertempuran yang sebenarnya.

Bagi seorang Paklik yang sudah sekian tahun tidak pernah nyetir di jalanan metropolitan, tentu merasa perubahan tersebut sangat drastis. Sebagai orang luar tentu Paklik lebih peka.
Kalau toh memang Paklik melimpahkan dosa utama terletak pada kemiskinan struktural, maka bagi sebagian besar kita tentu melimpahkan dosa kepada kenaikan harga dan keterpurukan ekonomi. Tapi, itu semua apakah ada bedanya ? Sama saja. Ketimpangan kaya-miskin inilah yang menimbulkan jurang. Dan jurang ini mencipkatan kekelaman dan kebuasan. Jakarta adalah ladang perburuan. Ada pemburu, ada pencoleng, dan ada korban. Hanya Winnetou yang mampu bertahan. Hanya harimau yang tidak bakal kelaparan. Selamat datang di Jalanan Metropolitan, Paklik ![] haris fauzi - 24 Januari 2006
______
Paklik (Bapak Cilik ; bahasa jawa) = Om = adik lelaki dari Ayah, atau adik lelaki dari Ibu.





?

Wanita itu masih memiliki keraguan yang cukup besar ketika Bapaknya menganjurkannya menikahi Pemuda yang telah sering mengunjunginya. Wanita itu belum sreg. Namun entah kenapa, alasan terakhir dari Bapaknya akhirnya dia terima jua. Ya. Pemuda yang telah sering menyambanginya itu memang anak tunggal seorang usahawan berhasil, dan kelak usaha orang tuanya itu bakal turun diwariskan ke Pemuda itu, artinya ke wanita itu jua, dan artinya pula Sang Bapak jelas kecipratan kenaikan status ekonominya. Ikutan kaya karena menantunya telah diwarisi usaha.

Dengan mengadakan pesta pernikahan, maka Wanita dan Lelaki itu telah sah menjadi suami-istri. Sang Suami --yang anak tunggal itu-- ingin sesegera mungkin memiliki anak, sementara Istri beralasan masih ingin menjaga tubuhnya. Dengan berjalannya waktu, Si Suami semakin tidak mengerti mengapa Istrinya tidak juga ingin menjadi Ibu dari anak mereka. Tidak ingin ? Tidak mau ? Tidak mampu ? Ah, Wanita itu ternyata selalu diam - diam menenggak pil kontrasepsi. Dia memang tidak ingin punya anak ! ....Dan suaminya tidaklah mengetahuinya -- sejauh ini.

Apa yang dinasehatkan oleh Bapak Wanita itu terjadilah. Besan-nya menyerahkan usahanya kepada anak Lelaki --Suami Anaknya. "Anak perempuanku telah kaya.... Dia telah memiliki separoh kekayaan Besanku", gumam lelaki itu. Tanpa menunggu lebih lama dia segera memanggil anak perempuannya --yang hingga kini belum juga hamil--. "....Segera kamu atur perceraianmu, ...dan kamu sekarang boleh menikahi lelaki yang kamu maui...", ujarnya disambut mata berbinar - binar anak perempuannya. Bapak - Anak itu kali ini sepakat bulat.

****

Kisah di atas mirip penggalan ceritera dalam sinetron (Shit-netron...) yang senantiasa mendongengi masyarakat kita pada jam tujuh malam. Namun, sebenarnya itu adalah kisah nyata. Saya sampai terbengong - bengong ketika diberi kabar bahwa kenalan saya mengalami hal tersebut. Kenyataan di atas apakah terinspirasi dari sinetron ? Ataukah sinetron yang ada malah terinspirasi dari kenyataan tersebut ?

Seorang kenalan milis pernah mengatakan kepada saya bahwa media informasi (televisi dll) dan budaya tulisan (buku) adalah cerminan peradaban dan budaya masyarakat. Artinya tayangan televisi dan buku-buku itu menggambarkan kondisi masyarakat yang ada. Kalau masyarakatnya bobrok, maka hal itu akan tercermin dalam karya buku-buku dan tayangan televisi. Jadi secara dominan dipaparkan bahwa budaya masyarakatlah yang membentuk redaksional buku dan siaran televisi. Adanya masyarakat gay akan membentuk redaksional khusus untuk kaum gay. Redaksional buku dan media informasi merupakan refleksi budaya masyarakat.
Apakah pendapat kawan milis saya ini salah ?
Dia tidak salah, tetapi kurang lengkap.

Karena seorang rekan lain lagi berpendapat lain. Dia memberi pendapat yang lebih komprehensif. Bagi dia, selain budaya masyarakat terefleksi dalam buku dan tayangan televisi, maka ada arah kebalikannya. Yakni redaksional buku dan tayangan televisi punya andil yang besar dalam membentuk budaya masyarakat. Andai siaran televisi dan buku menganjurkan kekerasan, maka terbentuklah budaya kekerasan. Hal yang lumrah karena bagaimanapun juga televisi dan buku merupakan sarana propaganda yang ampuh.
Saya pribadi lebih dominan dengan pendapat kedua. Budaya dan redaksional buku-media memang memiliki dua mata sisi : refleksi dan propaganda. Artinya, media informasi dan redaksional buku merupakan sarana propaganda disamping hasil refleksi (cerminan) dari suatu budaya. Itulah pendapat saya, entah bagaimana pendapat Anda...[] haris fauzi - 27 Januari 2006

Thursday, April 13, 2006

KENISAH desember 2005 - maret 2006

kenisah, [bukutergores], gearbox,
tumpukan CD dan buku

23 Juli 2004 untuk pertama kalinya saya posting tulisan saya. Tulisan ini menjadi pembuka bagi seri kolom "kenisah". Hingga pada 7 Juli 2005 untuk kali terakhir saya menulis kolom tersebut. Dalam hitungan saya genaplah seratus tulisan kolom kenisah telah ter-posting dalam setahun. Tentang 100 tulisan kenisah sudah pernah saya muat dalam tulisan kenisah yang terakhir itu sendiri.

'Kenisah' merupakan satu kisah sukses bagi saya, yang menyisakan kisah - kisah gagal di lain pihak. Karena terus terang akhir - akhir ini saya teramat malas membaca. Apakah saya dulu seorang yang rajin membaca ? Ah, tidak juga. Saya adalah pemalas yang jadi makin malas dalam membaca. Sebabnya saya tidak tau benar mengapa.
Dampaknya adalah saya berhenti menulis [bukutergores] sejak 13 Oktober 2005. Seri[bukutergores] mulai saya tulis 3 Desember 2004 dan hingga hari ini baru mencapai delapan belas tulisan. Dalam menulis [bukutergores] saya memang 'wajib' mencuplik kalimat dalam suatu literatur. Semakin sering saya membaca, maka semakin banyak kalimat yang bisa saya cuplikkan dan saya tuliskan dalam [bukutergores], demikian juga sebaliknya.

Ya salah satu alasannya adalah memang saya makin jarang membeli buku karena harga buku yang terus - menerus naik. Kebijakan saya membeli buku sekarang adalah membeli bila ada kortingan. Entah di pasar loak dekat Sriwedari-Solo, pangkalan buku bekas di dekat stasiun kereta api Malang, lapak-lapak Kwitang-Jakarta. Atau titip rekan yang hadir pameran buku atau titip adik yang sering nyanggong di toko buku mahasiswa. Pokoknya cari yang murah. Berharap dapat korting harga minimal 20%.
Namun alasan 'membeli buku' ini ternyata tidak valid. dalam verifikasi diri saya, semalas-malasnya saya membeli buku, ternyata saya lebih malas membacanya. Terbukti masih banyak buku bertumpuk yang belum sempat terbaca. Bahkan masih ada yang bersegel dan berbungkus plastik, rapi jali.
Mudik lebaran kemarin saya memborong buku cukup banyak. Baik buku baru yang beli di toko buku bekas, atau nyomot koleksi almarhum ayah saya. Sampai detik ini, baru dua buku yang saya buka dari sekitar 10 buku yang terbawa ke rumah.
Ya. Intinya memang saya sedang malas untuk membaca. Demikian juga dengan beberapa koleksi lagu dan film saya. Beberapa CD mangkrak di meja tanpa tersentuh. Mereka ngantri untuk berdendang. Seperti halnya kaset-kaset lama yang kini sudah tidak tahu lagi entah kapan diputar untuk terahir kalinya, dan entah kapan hendak diputar ulang. Hanya debu dan sarang laba - laba yang menyuarakan kebisuan mereka.
Hal ini banyak terkait dengan waktu saya yang banyak tersita untuk kegiatan di luar rumah. Ini alasan saya semata. Dan kalaupun di rumah, saya pasti kalah berebut player dengan anak saya. Walhasil CD koleksi saya masih perlu ngantri lagi buat disetel. Setengah kasihan saya melihat mereka. Buku-buku, kaset, dan disk teronggok menanti giliran. Walaupun saya menyayangi koleksi saya tersebut, tetapi saya ternyata telah menelantarkannya.

Mungkin saya beranggapan saya tidak punya waktu untuk membaca. Sibuk bekerja-kah ?
Kesibukan saya bekerja menginspirasi saya untuk menulis seri lain, yakni 'gearbox'. 'Gearbox' yang berisi tentang hal - hal yang berbau pekerjaan saya di dunia pabrik mulai saya tulis pada 6 Juli 2005 setelah era 'kenisah' lewat. Tetapi ternyata 'gearbox' tidaklah se-rutin 'kenisah'. Buktinya adalah hingga sekarang 'gearbox' baru tertuang dalam 11 tulisan. Sungguh memalukan !
Artinya dunia kerja tidak cukup menginspirasi diri saya untuk menulis dengan rajin. Padahal semakin sibuk kita bekerja, artinya semakin banyak inspirasi atau hal - hal yang bisa dijadikan bahan tulisan. Tetapi ini malah kebalikannya.
Lho ?
Ya ! Artinya saya kali ini memang terjangkit penyakit malas menulis juga --disamping malas membaca. Ini salah satu poin penting dalam evaluasi akhir tahun bagi diri saya sendiri.
Setahun ini saya memang malas untuk membaca dan menulis. Dua hal inilah yang membuat 'gearbox' dan [bukutergores] akhirnya tidak memenuhi kuotanya. Dua hal tersebut memang suatu kesalahan yang harus saya akui. Kalaupun saya tidak mengakuinya, maka berarti saya telah membuat kesalahan berikutnya, yakni malu mengakui kesalahan diri - sendiri. Selamat tahun baru 2006.[] 19 Desember 2005

salam,haris fauzi

_______

...... semula saya ingin melanjutkan seri [gearbox] yang terlunta-lunta,
namun tulisan yang jadi kok malah mirip kolom 'kenisah' yang sudah saya tutup juli lalu.
yo wis lah,....daripada saya vakum terlalu lama, maka saya posting tulisan berjudul 'jaket merah' ini, sekaligus pertanda bahwa kenisah sesi ke-2 di mulai (....walau tanpa sengaja..)....

-------------

JAKET MERAH

....I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try.....

Pagi ini saya bersua dengan meja kerja. Rutin setiap pagi seperti itu. Memang kantor dimana saya kerja belum memasuki masa libur akhir tahun. Malah kali ini seakan-akan si meja kerja menyeringai sambil menawarkan setumpuk problem. Saya berusaha tidak menatap seringai si meja walau sebenarnya sadar saya memiliki cukup nyali untuk menghadapinya. Saya memilih untuk terlebih dahulu menyalakan komputer dan speakernya. Sederet syair mulai terdengar. Saya belum mengenakan baju seragam, saya masih mengenakan jaket berwarna merah.

***

Masa - masa kuliah dulu, saya sering didera permasalahan. Baik seputar studi atau organisasi. Bagaimana dengan masalah cinta ? kadangkala hal tersebut menghadang. Tetapi ini masalah sepele, karena semasa kuliah saya tidak pernah berpacaran. Saya hanya pernah naksir beberapa teman wanita tanpa kesampaian menyampaikan sepucuk puisi cinta kepadanya. "Saya bukanlah Gibran yang sering berpantun tentang kasih sayang...", pikir saya arogan.

Masalah studi laksana menjadi dentuman godam karena saya memang kurang bisa mewujudkan harapan orang tua. Istilahnya mungkin saya terlalu bodoh untuk mencapai nilai - nilai yang diharapkan orang tua. Dan ini terjadi dengan cukup sering, karena hampir setiap minggu terdapat kuis atau ujian. Bahkan di semester - semester awal jantung saya selalu berdegup kencang bila tiba hari pengumuman nilai ujian. Hal ini sering saya alami semenjak umur dua belas tahun. Sejak itu --kelas 1 SMP-- saya tidaklah pernah bisa mewujudkan impian Ibu menjadi juara kelas lagi. Pokoknya sejak saat itu masalah nilai studi menjadikan saya berolah-raga jantung.

Berbeda dengan masalah di organisasi. Kendala yang ada seringkali membuat kehilangan semangat. Disinilah saya belajar, bahwa sebuah problem itu akan menjadi lebih besar apabila kita tidak memiliki niat atau semangat untuk menuntaskannya. Gunung itu tidak akan tertaklukkan bila kita tidak memiliki semangat untuk memanjatnya.
Cara terbaik untuk menanggulangi problem adalah menjaga semangat agat tetap menyala laksana mata naga, membakar. Adalah omong kosong bila kita hendak menaklukkan masalah tetapi nyatanya tidak memiliki semangat.

Di dalam kamar berkarpet hijau, --kala itu, saya sering tertunduk di atas bangku. Tertunduk hingga rambut panjang menutupi muka, dan rambut tengkuk terjun ke lengan. Problem - problem di atas memang tidak pernah berhenti menawarkan dagangannya. Lampu baca ataupun cahaya dari jendela mungkin sia - sia hendak menjangkau mata saya. Di rak sebelah musik rock yang cukup keras terdengar dari mini compo yang nangkring berhimpitan dengan buku - buku diktat. Emosi saya memang seakan dengan mudah dimainkan dan dibuai oleh pergerakan melodi musik rock, .....setidaknya saya bisa menenangkan perasaan dengan cara itu. Berusaha untuk hanyut dalam alunan hiruk pikuk. Di saat seperti ini album 'Wild Frontier' dari Gary Moore menjadi favorit;--- hard-rock tulen.

Awalnya saya rasakan melodi gitar seakan menyuruh menenangkan diri, mencampakkan segala emosi. Sebagai mahasiswa teknik saya sadar benar bahwa emosi yang berkecamuk tidaklah memperbaiki keadaan. Emosi hanya melumpuhkan logika, padahal dengan logika saya berharap bisa menaklukkan tantangan. Saya memang hanya berpikir sesederhana itu.

Melodi memang membantu untuk memadamkan emosi, namun saya membutuhkan hentakan drum untuk memaksa agar bangkit terbakar semangat baru. Semangat yang lebih besar untuk menghantam persoalan yang menghadang. Sekali lagi musik rock berjasa kepada saya. Musik rock memang banyak memberi inspirasi, termasuk menyuntikkan heroin ke otak agar ter-akselerasi dalam hal mencari problem solving.
Kalau orang bilang ihwal 'kebutuhan terapi', mungkin yang saya jalani bisa jadi memang terapi.

Setelah terbuai dentuman musik rock, setelah emosi lenyap, dan setelah 'heroin' musik rock bekerja di otak,...... dalam hati saya akan berujar ,"......mari kita selesaikan...". Saya bangkit dari duduk, melangkah menuju pintu kamar sambil menyambar jaket merah. Jaket yang sering menemani dalam suka duka sebagai mahasiswa. Acapkali jaket ini memberi tambahan energi ketika dikenakan. Jaket itu tidak bermacam pola, hanya berwarna merah polos dengan badge bertuliskan "SOLID, student press movement-faculty of engineering".[] haris fauzi - 26desember 2005


MAS EDY

Dalam suatu rapat akhir tahun yang cukup menyita perhatian, seorang pimpinan kerja saya menyampaikan pesannya:"... dalam rapat kita harus jujur menyampaikan permasalahan dalam unit kerja kita, sehingga bisa dicarikan pemecahan masalahnya... hal ini akan memperlancar tujuan kita di masa mendatang...".Kurang lebih demikianlah bunyinya.

Saya jadi teringat --kira-kira-- pada tahun 1991, dimana saya mulai menapaki dunia organisasi kemahasiswaan. Saya berjumpa dengan beberapa orang kakak senior yang cukup mengesankan bagi saya. Mas Hakim yang memberi paradigma baru kepada wawasan saya, Mas Pungky --namanya sih seingat saya adalah Endang Purnomo-- yang begitu pandai memotivasi adik kelasnya, hingga saya sempat berkenalan juga dengan Mas Eric Salman (almarhum) yang membuat saya berdecak kagum sebab dari beliau jugalah muncul ide pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang cukup heboh itu karena melibatkan tokoh nasional seperti B.J. Habibie, Prof. Amien Rais, Dipo Alam, dan lainnya.

Senior - senior itu banyak membentuk pribadi diri saya terutama dalam hal organisasi.Nah, berkenaan dengan paragraf awal yang saya tuliskan di atas, saya jadi teringat benar dengan Mas Edy. Tepat namanya adalah Edy Nurhamid Amin. Senior tiga tahun di atas saya. Beliau adalah ketua Senat Mahasiswa Fakultas teknik dimana saya turut berbaur. Seperti tokoh pegiat kemahasiswaan yang lain, Mas Edy adalah sosok yang bersahaja. Seorang organisator ulung yang seingat saya juga senang menggeluti strategi Sun Tzu, tokoh yang populer dikalangan mahasiswa kala itu. Pandai pula mengarahkan bawahannya. Sehingga pantaslah dia memegang tampuk jabatan tersebut.

Selain itu, Mas Edy --sebenarnya-- adalah calon kuat lulusan cum-laude dari jurusan mesin, namun gelar insinyur cum-laude itu terpaksa Mas Edy lepaskan karena beliau harus menuntaskan dahulu kiprahnya sebagai ketua Senat Mahasiswa sehingga masa studi-nya jadi molor satu semester. Beliau berada di persimpangan antara lulus cum-laude di simpang lainnya adalah menuntaskan amanah jabatannya. Dia memilih Senat Mahasiswa, dan terbanglah gelar cum-laude tersebut.
" Dalam setahun, mungkin fakultas teknik meluluskan lima mahasiswa cum-laude, tetapi dalam setahun cuma ada satu ketua senat mahasiswa", demikian dalih Mas Edy yakin.Ya tentu saja Mas Edy cuma menjabat selama satu tahun saja.

Dalam beberapa forum pertemuan mahasiswa seringkali Mas Edy menyampaikan pesannya. Salah satu pesannya yang paling saya ingat adalah perihal kejujuran dalam berorganisasi." Janganlah berbohong walau kecil. Satu kebohongan kecil harus ditutupi dengan kebohongan yang lebih besar. Demikian seterusnya akhirnya kamu akan berbohong dengan sangat banyak dan besar...Semakin besaaaar kebohongan itu, semakin repot kita menutupinya....".
Terus terang... saya bersyukur pernah berkenalan dengan orang seperti Mas Edy.[]haris fauzi - 9 januari 2006



PUISI DI KALIURANG,
BELASAN TAHUN LALU....

Sekitar pukul 21.00. tepatnya saya tidak hafal betul. Malah mungkin pukul sebelas-an. Tergoda saya untuk keluar ruangan training. Masih nampak Sang Instruktur disitu sedang berkemas pula, namanya Mas Subarkah. Saya rasa semua tugas training hari ini telah selesai. Terdengar diluar genjrengan gitar teman - teman sesama peserta training sungguh menggoda. Gelap menyergap sekujur tubuh , dinginnya hawa malam pegunungan seakan memeluk leher. Bekal jaket pinjaman rupanya menjadi dewa penolong, rislitingnya musti mentok ke leher. Jaket milik saya sendiri malah dipinjam teman saya, dia kini terlihat tengah tertawa berderai bersama kawan lain. Mereka duduk ditepi jalan, membentuk lingkaran. Kelihatan Si Taufan sedang mengempit gitar dan duduk ditengah lingkaran.

Di tepi jalan ini kabut ternyata lebih pekat dari yang saya duga. Djoni --yang pinjam jaket merah saya-- masih saja ngakak - ngakak. Rupanya dia jadi maskot kali ini. Si Subhan Zen juga menjadi aktor lengkap dengan surban taplak meja. Sementara si Baihaqi belum nampak konyolnya. Sekitar dua puluhan orang tengah berkumpul disitu, duduk di aspal di salah satu pertigaan jalan raya Kaliurang - Yogyakarta. Sudah teramat dekat dengan air terjun Kaliurang yang legendaris itu. Laki - perempuan --tepatnya mahasiswa - mahasiswi--- tertawa bercanda sesekali diselingi kilatan lampu blitz.

Sayup nampak serombongan orang habis turun membuang waktu, rupanya hendak bergabung pula. Setelah dekat barulah nampak saya bahwa Baihaqi ada diantaranya. Saya rasa saya tidak kehilangan kesempatan berharga ini. Benarlah. Pertunjukan utama dimulai. Baihaqi mengeluarkan segenggam buku, membukanya dan berusaha membaca dengan temaram cahaya rembulan. Dia selalu begitu. Memulai pertunjukan spontanitasnya dengan puisi, seperti halnya aktivis pers mahasiswa yang lain. Kalau dia yang membaca, plesetan dan guyonan pasti terlontar. Inilah yang saya enggan melewatkannya.

Bukan hanya itu, timpalan dari Subhan, Djoni, Miming, dan seorang lagi yang selalu ber-ikat pinggang kain sarung --nama lengkapnya Muhamad Alfan Alfian-- menambah segar suasana. Rupanya dialek Jawa Timur mereka mengundang geli hati. Bagi kebanyakan orang --bahkan orang Yogya sekalipun-- dialek Jawa Timur yang khas menekankan huruf - huruf tertentu ternyata menyenangkan, --lucu. Saptopo putra Mataram yang pendiam itu terus saja berusaha menahan ledakan tawanya. Petikan gitar Taufan masih menyalak tak kenal lelah. Sesekali dia juga nyeletuk seperlunya.

Habis sudah ide si aktor, dia segera memberikan buku puisi tersebut ke peserta lain. Ganti giliran aktor baru membaca sekenanya. Kalo udah mentok, segera dia menyerahkan buku puisi tadi ke yang lain. Beginilah acara hiburan spontanitas para pegiat pers mahasiswa. Ciri yang paling khas adalah rutinitas pembacaan puisi. Bergantian, spontanitas. Terus terang saya belum pernah ikut membaca puisi seperti mereka, saya tidak cukup punya nyali untuk berbuat itu. Jadinya ya saya cuma nonton saja sambil ketawa - tawa.

Acara malam itu sebenarnya sungguh menarik,-- tapi apa daya, saya di dera batuk dan ngantuk. Saya segera pamitan untuk menuju pendiangan. Mereka sebagian mentertawakan saya,"...aktivis kok tidur...haaa..haa..haa......!!".
Namun ternyata berada di dalam kamar saya nggak bisa tidur. Batuk tanpa henti. Dan terutama dorongan hendak bergabung lagi amat kuat. Memang benar kata si Djoni,"...Ris,... jauh - jauh dari Malang kamu malah tidur melewatkan malam yang menyenangkan ini....". Akhirnya saya bergabung lagi untuk menikmati pembacaan puisi spontanitas ini. Asli sungguh menyenangkan. Setiap saya tertawa, batuk pasti ikut mengekor.

Mereka --para aktivis jurnalistik mahasiswa-- selalu bisa menikmati acaranya, yang penuh sajak - puisi - dan tawa. Kadangkala puisi cinta, namun tak jarang mereka melontarkan puisi kritik sosial. Lontaran pemberontakan. Kadangkala mereka tertawa di malam hari, setelah siangnya sempat berurusan dengan penegak hukum gara - gara ulahnya sendiri. Gara - gara idealismenya. Malam ini-pun saya rasa demikian. Saya duduk di aspal agak belakang. Tidak semua orang yang tertawa disini saya kenal. Maklumlah, ini acara mahasiswa tingkat nasional. Dihadiri mungkin lebih dari delapan puluh peserta. Setelah beberapa hari menggelar acara training dan konggres aktivis jurnalistik mahasiswa, saya setengah yakin diantara kita malam ini tentu terdapat intelijen. Rumornya sih begitu. Mungkin ada benarnya juga apa yang selalu dikatakan salah satu sobat saya ,"Ris,...diantara mahasiswa, dalam 48 jam pasti sudah ada intelijen...Tetapi idealisme tidak pernah tergadaikan...". Malam makin larut, saya tetap saja tidak bisa mengenali semua yang berada disini.[] haris fauzi - 12 januari 2006


...DAN JAMAN (MAKIN) SUSAH

Sebetulnya saya sudah mulai merasakan jaman susah dan makin susah ini sejak tahun 2003. Tahun itu saya merasa cekikan pertama terhadap perekonomian keluarga mulai menjerat dompet. Setelah berunding dengan Istri, seiring dengan kenaikan harga BBM-- maka saya memutuskan untuk mengurangi pos pengeluaran transportasi. Pengalihan konsumsi BBM dari pertamax ke premium ternyata tidak banyak menolong. Saya akhirnya mengambil jalan yang lebih konkrit untuk mengurangi pengeluaran. Lebih jelasnya adalah saya tidak lagi menggunakan mobil pribadi untuk berangkat ke kantor, kecuali kalau kepepet. Alternatifnya adalah bisa dengan menumpang --atau naik bis umum. Soalnya jarak ke kantor yang sekitar seratus kilo sekali jalan itu ternyata memang menyita banyak biaya bila ditempuh dengan mengendarai kendaraan pribadi.

Selain transportasi, pos - pos pengeluaran di rumah juga makin di reduksi oleh istri saya. Sedapat mungkin kami membeli barang consumable kelas murahan saja. Apalagi yang bersifat fashion jelas kena babat habis. Yang paling lucu adalah dihapuskannya pos pembelian 'kaos kaki' buat saya. Jadi sejak itu saya sudah tidak pernah membeli kaos kaki lagi, yang berakibat saya sedapat mungkin bersepatu tanpa kaos kaki. Bahkan seingat saya, tahun ini pulalah mulai diberlakukannya larangan pembelian baju baru lebaran. Baju lebaran yang terakhir saya beli adalah sepotong kemeja berwarna kuning kecoklatan seharga tiga-puluh ribuan, saya beli setahun sebelumnya.

Tahun 2004 keadaan semakin menjepit. Hal inilah yang salah satunya membuat saya mengurangi konsumsi penggunaan air PDAM, karena taripnya memang gila - gilaan naiknya. Untuk hal ini saya memang harus memperbaiki kualitas air sumur, dan ini tentunya butuh biaya pula. Tak apalah. Cost for Save. Dengan mengonsumsi air sumur, saya 'cuma' harus mengeluarkan biaya listrik untuk pompa air. Namun ini jauh lebih murah dari harga air PDAM.

Demi penghematan, mudik tahun 2004 tidak saya lakukan di saat lebaran, melainkan di akhir tahun. Tidak mudik di jaman lebaran memberi banyak keuntungan secara ekonomi, diantaranya adalah tidak perlu menyediakan budget untuk menginap di penginapan karena terjebak kemacetan. Dan juga tidak perlu membeli baju baru. Saya hanya perlu membelikan satu set baju tidur untuk anak sulung saya.Dan untungnya pula istri saya menyimpan baju Si Sulung jaman bayi. Baju - baju bayi tersebut disimpan berdasarkan umur. Dan ketika anak kedua saya lahir, maka dengan sedikit modal benang dan jarum untuk menjahit dan menisik bagian yang tercabik, maka bisa-lah perlengkapan bayi tersebut digunakan oleh adiknya yang baru lahir. Memang warnanya sedikit pudar, bahkan ada yang ternoda bubur atau kecap. Tapi bayi tidaklah terlalu perlu fashion. Cukup mengenakan baju bekas tak pa-pa. Istilahnya adalah "baju lungsuran". Celana lungsuran yang kolornya melar ternyata masih bisa dipakai lagi oleh adiknya dengan menambah ikatan karet gelang di sisi belakangnya, mirip ekor bebek. Lucu malahan jadinya.

Tahun 2004 ini pula saya mulai menyetop pembelian buku - buku yang biasanya reguler saya beli. Kebutuhan akan buku saya penuhi dengan membeli buku diloakan atau kortingan, jadi sedapat mungkin tidak membeli buku di toko buku. Kalau toh jalan - jalan ke Gramedia, mungkin saya lebih suka mencatat judul-judul buku yang saya minati dan lantas mencatat harganya. Suatu saat saya membeli bila ada kortingan atau mencarinya di loakan.
Seperti saya prediksi, keadaan memang makin menjerat di tahun 2005. Pos dapur mulai memberlakukan pengetatan. Daging mulai jarang dihidangkan oleh istri saya. Tak apalah, --toh banyak kasus kambing atau sapi anthrax di sekitar kota saya tinggal--. Yang penting madu, susu, dan tahu-tempe-telor tetap setia menjadi santapan. Madu yang biasa membeli di Cibubur atau toko seharga lima puluh ribu se-botol diganti dengan madu yang akan kami impor dari Malang seharga dua-puluh ribu sebotol. Saya telah menguji kualitasnya, tak beda jauh. Bahkan saya lebih sreg dengan produk Malang yang murah tersebut.

Memang perihal acara "mengonsumsi daging" ini sangat boros. Disamping harganya cukup mahal, cara memasaknya-pun boros bumbu dan minyak. Dan ketika peralatan dapurnya dicuci juga sangat boros sabun cuci, maklumlah banyak lemak yang merekat kuat disitu. Saya kira sungguh tepatlah untuk menjauhi makanan yang satu ini, soalnya saya sendiri juga tidak terlalu menyukai masakan daging.

Acara makan ke restoran di hari libur juga kami tiadakan. Apabila kami jalan - jalan di hari libur, maka kami membawa bekal makan siang, jadi nggak perlu jajan makan siang. Ini sungguh sangat signifikan dari sisi ekonomi.

Yang perlu saya catat di tahun 2005 adalah adanya bencana atap roboh. Atap kamar utama rumah kami roboh karena terserang rayap. Repotnya, kalau tidak di cor semen maka bakal dirayapi lagi. Jadi percuma saya bangun ulang bila tidak di cor sekalian.Saya cukup kelabakan dengan 'biaya tak terduga' ini, karena memang harga material bahan bangunan sangat mahal. Akhirnya dengan berdaya upaya saya bisa mereduksi biaya sekitar seperempatnya. Saya membeli semua kayu tidak di toko bangunan, melainkan di lapak kayu madura. Dengan berbekal bicara logat Jawa-Timur-an, saya dapat potongan harga cukup banyak. Setelah itu saya nego juga perihal kayu - kayu sisa bangunan untuk saya jual kembali ke mereka. Saya cukup puas dengan hasil ini.

Pada saat mudik di bulan Nopember 2005, dimana saya bersua dengan adik dan kakak saya, kami juga sempat membicarakan keterpurukan ekonomi tanpa kebangkitan ini. Setelah mengobrol dengan saudara - saudara, kami cukup sepakat bahwa tahun 2006 akan makin ambruk. Dan ini akan berakibat makin tingginya biaya hidup, termasuk biaya untuk mudik. Kebutuhan biaya untuk mudik yang bagi kami sangat menguras kantong. Karena mudik tahun 2005 merupakan perjalanan jauh kami yang pertama dengan mengkonsumsi "BBM harga Presiden Yudhoyono" yang bagi kami sangat mahal itu. Walhasil keluarlah kesepakatan bersama bahwa kami bersaudara yang biasanya mudik setiap tahun maka pada kesempatan berikutnya akan melakukan ritual mudik dua tahun sekali.Ya daripada duit habis untuk mudik dan membeli bensin, mending disiapkan untuk biaya sekolah anak - anak. Itu pemikiran kami semua, dan ibu saya merestui hal ini. Bahkan Ibu sempat mengingatkan pesan Ayah kami almarhum tentang "hutang". Ya, memang Bapak saya punya prinsip ekonomi "menjauhi hutang". Dengan tidak berhutang, kita lebih aman; "lebih baik menjahit baju bekas ketimbang memakai baju baru hasil hutang", begitu pesannya.

Dalam mengawali tahun 2006, saya memulai dengan pemikiran:"...apalagi yang harus saya lakukan untuk perekonomian keluarga saya ?" []haris fauzi-16 Januari 2006



GAY, PLAYBOY, APALAGI ?

Pada suatu saat lampau, saya pernah menjumpai sampul tabloid (?) yang bertajuk "Gay@ Nusantara". Semula saya membaca sekilas sebagai "Gaya Nusantara". Tapi lama - kelamaan kok jadinya kebaca: 'Gay'. Wah. Apakah ini tabloid-nya komunitas Gay di Nusantara ? Saya nggak ngerti benar. Tapi nyerempet - nyerempet sih emang. Bila memang itu majalah komunitas gay-lesbi, berarti Gay-lesbi yang selama ini ditabukan di masyarakat kita kali ini dapat pengakuan resmi dengan terbitnya tabloid tersebut.

Itu sih kabar beberapa tahun silam, sebelum --atau hampir bebarengan dengan bombardir buku - buku bertema gay dan lesbi yang mulai menjadi best seller di tengah tahun 2004-an. Kabarnya sih buku - buku novel bertema gay dan lesbi kala itu amat diminati oleh kalangan mahasiswi dan mahasiswa, layaknya buku "Jakarta Undercover". Dan seingat saya oplah penjualannya gede juga, mungkin hanya bisa disaingi oleh buku "Harry Potter" atau "The Da Vinci Code". Saya sih nggak tau persis juga. Soalnya baik buku gay-lesbi, Harry Potter, atau Da Vinci saya belum ada yang punya.

Awal tahun 2006 ini, --disaat kita cukup dipusingkan dengan kenaikan harga-harga yang seakan nggak masuk akal,-- saya sempat heran juga dengan rencana dirilisnya majalah Playboy edisi Indonesia. Apalagi ini ? Rencananya sih terbit bulan Maret 2006. Siapa bintang sampulnya ? Ah. Siapa-pun cover girl-nya , yang pasti jelas sensual. Manteb mbok ! Maklumlah, edisi perdana.

Mungkin bagi sebagian orang yang suka melepaskan kepenatan dengan 'mencuci mata', rencana terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia ini jadi angin segar di tengah kesulitan ekonomi. Mungkin juga gak ada pengaruhnya bagi orang yang cuek. Tapi bagi sebagian yang lain, --ditengah segala bencana dan kesulitan yang bertubi - tubi menghantam bangsa ini,-- penerbitan majalah 'panas' tersebut membikin makin gerahnya suasana. Kalau nggak bisa dibilang menambah petaka baru.

Kontroversi kelahiran majalah seksi ini memang masih menghangat sekarang. Pro dan kontra masalah pajangan puser wanita. Kok gini ya bangsa ini ? Padahal masih banyak hal - hal positif yang bisa dan harus dikerjakan. Ini malah mau pajang foto puser. Rencana penerbitan majalah 'gebleg' ini menurut saya pribadi sih nggak ada manfaatnya sama sekali, malah berpotensial menimbulkan kerusuhan. Ini pendapat saya pribadi lho ya...
Kalau sekarang --sebelum majalah itu terbit-- mungkin pertikaiannya masih sebatas diskusi dan polemik antara pengagum puser versus kaum normatif. Baru sekedar menuai bicang wacana. Namun, --nanti bila terwujud terbit,-- bukan tidak mungkin polemik itu berkembang karena bisa jadi ada sekelompok masyarakat yang berang. Nah, kalau yang berang itu sudah mengangkat kepalan tangan, apa nggak lantas timbul bentrok fisik? Ribut lagi. Ribut lagi.
Apapun alasannya, bagi saya penerbitan majalah sensual ini malah bikin perkara. Ah, bangsa ini memang selalu nantangin petaka. Heran saya jadinya. [] haris fauzi - 17 Januari 2006



KATA HATI

Pada saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya sempat membeli buku kumpulan cerita pendek dari penulis Rusia : Anton Chekov. Belakangan ada yang menuliskan dengan Cekhov, atau Cekov sekalian. Entah mana yang benar.
Tulisan - tulisan Anton Chekov sungguh merasuk hati saya. Dalam arti, dia menulis dengan detail deskripsi setiap kejadian yang bisa menyentuh perasaan. Dan spesialisasinya adalah deskripsi ketertekanan. Mungkin karena beliau termasuk penderita depresi politik komunisme di USSR sana. Kabar - kabarnya sih kondisi kemerdekaan pribadi amat sengsara disana kala itu. Entahlah. Saya juga tidak tau persis.

Yang jelas saya terpengaruh begitu membaca cerpen - cerpennya. Bagi saya, cerpen tersebut merupakan kata hati dari perasaan si Chekov. Bisalah saya anggap itu sebagai diary --catatan harian pribadi. Chekov menawarkan kedukaan dan kepekatan yang dialaminya, yang dilihatnya, yang dirasakannya. Dia melakukannya dengan sempurna sekali.

Apa yang dilakukan Chekov sebenarnya bisa kita lakukan juga. Tentunya nggak usah sehebat Chekov, dan dalam format tulisan - tulisan kita sendiri.
Setiap dari kita --terutama perempuan--, sering menuliskan perasaannya dalam suatu diary, terutama perasaan kalut atau patah hati. Tapi tulisan itu jadi konsumsi diri sendiri. Bahkan beberapa bulan setelah di tulis, maka tulisan itu jadi malah memberi rasa malu bila di baca sendiri. Bayangkan ! Di baca sendiri aja memalukan. Gimana kalo dibaca orang lain ?

Suatu hari saya berpikir, adalah tidak mustahil bila coretan perasaan itu bisa dikonsumsi oleh orang lain. Pastilah dari perjalanan perasaan itu mengandung hikmah, dan hikmah adalah hal yang sebaiknya disampaikan kepada orang lain. Berarti tulisan tersebut harus bisa dan layak dibaca orang lain. Ya tentunya harus dikemas dalam bahasa yang 'tidak memalukan' untuk di baca orang lain.
Contohnya adalah apabila anda sedang patah hati dengan calon jodoh anda, anda bisa menuliskan dengan :"..... adalah tidak bijaksana meletakkan seluruh cita - cita hidup kita kepada seseorang, karena cita - cita itu adalah milik kita sendiri".
Kalimat tersebut bisa dikonsumsi oleh banyak orang, walau mungkin mengandung kesamaan arti dengan tulisan 'lagu cengeng' lainnya.
Kita semua bisa mencoba membuat kalimat seperti itu berdasar perasaan masing - masing. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi yang tengah kita alami ini, tentu hati ini lebih sensitif dan produktif untuk melontarkan ungkapannya. Begitulah, masih banyak lagi kata hati yang bisa di sampaikan kepada orang lain untuk berbagi rasa. Disamping sebagai alternatif pelampiasan.

Pada walnya memang secara teknis menulis seperti itu akan canggung. Pekerjaan apapun akan seperti itu. Tapi, kalau itu dilakukan setiap hari tentunya akan semakin terasah kemampuannya. Dan akan makin wahid apabila ditambah rajin membaca. Hal ini jugalah yang kali ini juga sedang saya usahakan secara amatiran. Membaca - Merasakan - Menuliskan - Membagikan. Seperti halnya Muhammad, beliau juga memulai dengan wahyu pertama-Nya : 'IQRA', artinya "Bacalah...".[] haris fauzi - 19 Januari 2006



SURAT DARI PAKLIK

"....Ia makin sempoyongan ketika para pengendara lain pada datang dan ikut melayangkan tangan dan kakinya. Ia terkapar layu tak berharga seperti selembar kertas yang kehujanan...." (Surat dari Paklik)

Seorang Paklik saya yang baru pulang tugas dari Eropa terkejut dengan perubahan metropolis Jakarta ini. Paklik memaparkan hal pencoleng jalanan, kekerasan jalan raya, dan segala kebiadaban metropolitan yang menurut dia sangat terkait dengan fenomena kemiskinan struktural. "Jalanan Jakarta menjadi semakin beringas," gitu pendapatnya. Dia mengakhiri suratnya dengan istighfar.

Sebagai catatan, Paklik saya bukanlah tipe 'selebritis'. Dia masihlah seorang lulusan pondok Gontor yang tetap setia mudik ke tanah kelahirannya di kaki gunung Merapi - pinggir Yogyakarta. Saya yakin Paklik tidak akan lupa pengalaman dia manakala harus berhadapan maut ketika investigasi kasus waduk Kedungombo. Saya juga begitu yakin bahwa dia tidak bakalan lupa ketika menggunakan dokar untuk berangkat wisuda dari desanya menuju kampus.

Saya masih ingat kamar dia kala mahasiswa yang bertilam tanpa dipan. Sambil sarungan main gaple kami nyetel lagu - lagu 'Telephone Mama' dan 'I Like Chopin' karya Gazebo di sana. Hari pertama Paklik pulang ke Jakarta saya menelepon ke rumah kontrakannya, saya dengar beliau berkelakar di ujung telpon sana:"....Ris, jangan ke sini dulu. Sekarang saya kalo tidur masih di atas karpet...haa.. haa... haa..".

Saya tau kali ini Paklik 'hanya' sedikit mengalami shock karena beliau terbiasa menyetir di Bonn atau Paris yang cukup tertib lalu lintasnya. Saya bisa maklum, karena Paklik sudah dalam hitungan tahun meninggalkan metro Jakarta ini. Saya-pun ketika pulang setelah dua minggu di Singapura sempat merasa Bandara Cengkareng begitu semrawut. Bayangkan ! Dua minggu di kota yang penuh aturan, membuat Jakarta yang saya tinggali sebelumnya jadi seakan begitu semrawut.

Bagi sebagian orang yang senantiasa dan setiap hari mondar - mandir di Jakarta, perubahan ini tidaklah terlalu dirasakan, bagi mereka yang berpikiran pragmatis maka harga BBM yang menjulanglah yang begitu menusuk kantong. Masalah kriminalitas jalanan tidaklah terlalu berubah. Atau bahkan mungkin mereka malahan merasa tidak ada perubahan, merasa stagnan.

Bagi saya pribadi, Jakarta --dan Indonesia-- tidak stagnan semrawut, melainkan bergerak dan senantiasa bergerak. Namun bergerak tenggelam dan semakin tenggelam. Semrawut dan makin saja semrawut. Benarlah pendapat Paklik saya: "Jakarta makin beringas!". Segala aturan dan tata kota yang baru dan senantiasa dibuat, seakan tidak kuasa menahan kejamnya kekelaman peradaban. Jakarta adalah medan pertempuran yang sebenarnya.

Bagi seorang Paklik yang sudah sekian tahun tidak pernah nyetir di jalanan metropolitan, tentu merasa perubahan tersebut sangat drastis. Sebagai orang luar tentu Paklik lebih peka.
Kalau toh memang Paklik melimpahkan dosa utama terletak pada kemiskinan struktural, maka bagi sebagian besar kita tentu melimpahkan dosa kepada kenaikan harga dan keterpurukan ekonomi. Tapi, itu semua apakah ada bedanya ? Sama saja. Ketimpangan kaya-miskin inilah yang menimbulkan jurang. Dan jurang ini mencipkatan kekelaman dan kebuasan. Jakarta adalah ladang perburuan. Ada pemburu, ada pencoleng, dan ada korban. Hanya Winnetou yang mampu bertahan. Hanya harimau yang tidak bakal kelaparan. Selamat datang di Jalanan Metropolitan, Paklik ![] haris fauzi - 24 Januari 2006
______
Paklik (Bapak Cilik ; bahasa jawa) = Om = adik lelaki dari Ayah, atau adik lelaki dari Ibu.





?

Wanita itu masih memiliki keraguan yang cukup besar ketika Bapaknya menganjurkannya menikahi Pemuda yang telah sering mengunjunginya. Wanita itu belum sreg. Namun entah kenapa, alasan terakhir dari Bapaknya akhirnya dia terima jua. Ya. Pemuda yang telah sering menyambanginya itu memang anak tunggal seorang usahawan berhasil, dan kelak usaha orang tuanya itu bakal turun diwariskan ke Pemuda itu, artinya ke wanita itu jua, dan artinya pula Sang Bapak jelas kecipratan kenaikan status ekonominya. Ikutan kaya karena menantunya telah diwarisi usaha.

Dengan mengadakan pesta pernikahan, maka Wanita dan Lelaki itu telah sah menjadi suami-istri. Sang Suami --yang anak tunggal itu-- ingin sesegera mungkin memiliki anak, sementara Istri beralasan masih ingin menjaga tubuhnya. Dengan berjalannya waktu, Si Suami semakin tidak mengerti mengapa Istrinya tidak juga ingin menjadi Ibu dari anak mereka. Tidak ingin ? Tidak mau ? Tidak mampu ? Ah, Wanita itu ternyata selalu diam - diam menenggak pil kontrasepsi. Dia memang tidak ingin punya anak ! ....Dan suaminya tidaklah mengetahuinya -- sejauh ini.

Apa yang dinasehatkan oleh Bapak Wanita itu terjadilah. Besan-nya menyerahkan usahanya kepada anak Lelaki --Suami Anaknya. "Anak perempuanku telah kaya.... Dia telah memiliki separoh kekayaan Besanku", gumam lelaki itu. Tanpa menunggu lebih lama dia segera memanggil anak perempuannya --yang hingga kini belum juga hamil--. "....Segera kamu atur perceraianmu, ...dan kamu sekarang boleh menikahi lelaki yang kamu maui...", ujarnya disambut mata berbinar - binar anak perempuannya. Bapak - Anak itu kali ini sepakat bulat.

****

Kisah di atas mirip penggalan ceritera dalam sinetron (Shit-netron...) yang senantiasa mendongengi masyarakat kita pada jam tujuh malam. Namun, sebenarnya itu adalah kisah nyata. Saya sampai terbengong - bengong ketika diberi kabar bahwa kenalan saya mengalami hal tersebut. Kenyataan di atas apakah terinspirasi dari sinetron ? Ataukah sinetron yang ada malah terinspirasi dari kenyataan tersebut ?

Seorang kenalan milis pernah mengatakan kepada saya bahwa media informasi (televisi dll) dan budaya tulisan (buku) adalah cerminan peradaban dan budaya masyarakat. Artinya tayangan televisi dan buku-buku itu menggambarkan kondisi masyarakat yang ada. Kalau masyarakatnya bobrok, maka hal itu akan tercermin dalam karya buku-buku dan tayangan televisi. Jadi secara dominan dipaparkan bahwa budaya masyarakatlah yang membentuk redaksional buku dan siaran televisi. Adanya masyarakat gay akan membentuk redaksional khusus untuk kaum gay. Redaksional buku dan media informasi merupakan refleksi budaya masyarakat.
Apakah pendapat kawan milis saya ini salah ?
Dia tidak salah, tetapi kurang lengkap.

Karena seorang rekan lain lagi berpendapat lain. Dia memberi pendapat yang lebih komprehensif. Bagi dia, selain budaya masyarakat terefleksi dalam buku dan tayangan televisi, maka ada arah kebalikannya. Yakni redaksional buku dan tayangan televisi punya andil yang besar dalam membentuk budaya masyarakat. Andai siaran televisi dan buku menganjurkan kekerasan, maka terbentuklah budaya kekerasan. Hal yang lumrah karena bagaimanapun juga televisi dan buku merupakan sarana propaganda yang ampuh.
Saya pribadi lebih dominan dengan pendapat kedua. Budaya dan redaksional buku-media memang memiliki dua mata sisi : refleksi dan propaganda. Artinya, media informasi dan redaksional buku merupakan sarana propaganda disamping hasil refleksi (cerminan) dari suatu budaya. Itulah pendapat saya, entah bagaimana pendapat Anda...[] haris fauzi - 27 Januari 2006



"kok nggak pernah kirim tulisan lagi ?"
....terima kasih buat Mas Azis dan Mbak Rina yang mengingatkan saya agar menulis lagi.

-------------------------

KOTA & MADANI

Madani arti gampangnya adalah "beradab". Bila disambung dengan kata "masyarakat", maka Nabi Muhammad menjadikan artinya sebagai 'kota Madinah', pada saat beliau mengubah nama daerah Yatsrib menjadi kota Madinah. Benar - benar kota yang sebenarnya. Artinya ya 'masyarakat kota yang beradab'; karena Muhammad mengubah masyarakat Yatsrib menjadi lebih beradab. Semula bangsa Arab kawula pengembara --bukan kota-- memang lebih liar kondisinya. Kota Madinah adalah kota "Kota".

Kalau kita mengutip pendapat Aswab Mahasin yang ada dalam buku Ernest Gellner "Membangun Masyarakat Sipil", istilah "masyarakat madani" akan berpadan dengan istilah "civil society", artinya "masyarakat kota" atau "masyarakat yang berperadaban maju". Ya mungkin karena pendekatan dari "civilisation" (peradaban) dan "civitas dei" (kota Ilahi).
Anak saya Si Nurma-- nama panjangnya Alyya Nourmadani, istilah plesetan saya untuk 'Aliyah Nur Madani', Cahaya Peradaban yang Tinggi.
Pun pula Nurcholish Madjid mendirikan Yayasan yang bernama Paramadina, yang terkonsentrasi membahas masalah 'peradaban manusia'.

Dengan uraian tersebut, pantaslah bila ditarik kesimpulan sementara bahwa masyarakat kota lebih beradab dari masyarakat yang lain, masyarakat pengembara ataupun masyarakat desa. Bahwa yang disebut masyarakat beradab adalah masyarakat kota. Identitas peradaban berada di kota. Secara teori begitulah.
Namun, apakah ternyata kota - kota yang ada sekarang benar - benar menunjukkan bahwa masyarakat kota lebih beradab ? Apakah benar bahwa masyarakat kota lebih beradab ketimbang masyarakat desa ?

Peradaban memiliki banyak elemen, salah satunya adalah etika. Etika bermasyarakat sangat luhur dalam komunitas masyarakat yang beradab. Ini salah satu tolok ukur ke-beradab-an suatu masyarakat.Parameter kedua adalah kebudayaan. Semakin luhur peradaban akan melahirkan kedigdayaan kebudayaan. Budaya masyarakat menulis lahir dari peradaban masyarakat intelektual. Budaya garong lahir dari manusia biadab; tidak beradab. Dari kondisi peradaban, budaya, dan etika inilah maka jaman dulu kala Muhammad membaiat Kota Madinah, kota Peradaban, kota "kota".

Kalau itu adalah jaman dulu, mungkin beda lagi jaman sekarang. Amat menarik menyimak wawancara suatu stasiun tivi dengan personel grup rock alternatif dari kota Manchester Inggris; Oasis. Salah satu personilnya mengemukakan bahwa sebagai penduduk kota Revolusi Industri Manchester, ada empat pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan seseorang. Yakni menjadi pekerja pabrikan, menjadi pengedar narkotika, menjadi pemain bola, atau menjadi musisi. "Di kota ini saya tidak punya keahlian untuk bekerja sebagai orang pabrik, apalagi sebagai pemain bola. Saya juga tidak punya nyali menjadi pengedar narkotika, untuk itu saya memilih alternatif untuk menjadi musisi".

Manchester adalah kota bisnis dan industri yang besar, pelopor revolusi industri yang mengubah wajah dunia. Seperti kota - kota industri lainnya, ternyata mereka menyimpan sisi kelam di lembah terdalam bertolak belakang dengan sisi gemerlapnya. Antara lembah kekelaman dan pucuk menara gading.
Dalam jaman industri ini, setiap negara memiliki kota - kota bisnis yang besar. Yang sebenarnya dalam kota itu terdapat dua sisi: sisi gemerlap dan sisi kelam. Banyak contohnya. Hampir setiap gemerlap ibukota negara selalu memiliki sisi kumuh kehidupan kota. Kawasan Broadway ternyata hanya memiliki sisi gemerlap yang sedemikian sedikit ketimbang sisi kelam yang demikian mengerikan saat jam malam. Orang - orang kaya pada larut malam akhir pekan keluar dari gedung tontonan yang berharga mahal, dikawal bodyguard, lantas mobil limusinnya melintas cepat melewati puluhan gelandangan malam yang kedinginan mengais sisa sandwich polisi yang dibuang begitu saja.Apakah kota seperti ini yang dimaksud sebagai masyarakat yang beradab ?

Kesangsian akan peradaban masyarakat kota sedikit banyak terkuak dalam buku 'Membangun Jalan Tengah' tulisan Alija Ali Izetbegovic, Presiden Bosnia-Herzegovina. Alija menyangsikan posisi peradaban kota terhadap elemen budaya.Masyarakat desa memiliki pengalaman estetik dan kultural. Namun di kota tidak, karena unsur estetis kota yang diwakili oleh museum, konser, dan pameran yang digelar dikota hanya diminati segelintir orang. Menurut Alija ini adalah kebohongan yang paling dungu dewasa ini. Bagi Alija, masyarakat kota modern tidak mengenal pengalaman estetik dan kultural yang baik.Alija juga mempermasalahkan gairah hidup dan tingkat religius masyarakat kota yang sedemikian minim. "Masyarakat kota modern hanya bergairah saat ada pertandingan sepak bola atau tinju", ungkapnya.Bagi Alija, relijiusitas dan kebudayaan desa lebih alamiah dan luhur ketimbang peradaban kota.

Bila peradaban adalah identitas dari kondisi perkotaan saat ini, dan apabila definisi dari peradaban sudah tidak seiring lagi dengan elemen kebudayaan, maka akan sangat patut bila kali ini muncul kesangsian terhadap peradaban kota.

Dalam album "Mata Dewa", Maestro Iwan Fals juga mengungkapkan kesangsiannya akan kondisi peradaban kota Jakarta.....
Langkahmu cepat seperti terburu,
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapat ?
Di angkuh gedung-gedung tinggi
Riuh pesta pora sahabat sejati yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan enyahlah pribadi

Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka,
Mengejek langkah kura-kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota....
('Berkacalah Jakarta'-Iwan Fals). [] haris fauzi - 15 Februari 2006


BAGAIMANA SEBUAH
KEBIASAAN MENULAR


Interaksi antar kelompok manusia akan mengakibatkan pertukaran kebiasaan - pertukaran budaya. Sebetulnya jawabannya adalah hanya itu. Kita bisa melihat bagaimana masyarakat pesisir kebanyakan memiliki ragam pola hidup yang lebih banyak ketimbang masyarakat gunung atau gurun. Karena di pesisirlah bersua para saudagar dan pelaut. Mereka berinteraksi di sana. Dari beragam budaya dan latar belakang. Dari Parsi, India, Tiongkok, hingga Eropa. Dari penyebaran agama hingga pertukaran minuman keras dan wanita pelacur. Hal yang disebut terakhir ini terbukti lebih intens dibanding yang awal.
Hal tersebut tidak dialami oleh masyarakat gunung atau gurun. Paling - paling kaum nomaden gurun kebanyakan bersua dengan sesama nomaden. Mereka saling sapa dengan gaya yang sama, atau mereka akan saling tikam dengan kebuasan yang hampir sama pula.

Kita juga dengan mudah menemukan bukti bahwa invasi kelompok masyarakat terhadap kelompok lain akan mengakibatkan asimilasi dan tukar budaya. Serbuan pasukan Tiongkok ke Jawa membuat orang Jawa mengerti bagaimana membuat kapal perang yang tangguh. Dan para prajurit Tiongkok-pun mengetahui, bahwa ada suatu pulau yang demikian kaya hasil bumi, pulau itu bernama Jawadwipa. Panglima Tiongkok-pun tau bahwa selain memiliki prajurit yang ulet, pulau Jawa juga memiliki stok wanita yang cukup masuk kualifikasi untuk dikirim sebagai upeti kepada Rajanya.

Yang jelas memang tidak selamanya interaksi seperti ini berdampak positif. Dan ini pastilah tidak dikehendaki oleh sebagian orang. Yang jelas - jelas adalah dibangunnya tembok Cina dengan alasan mencegah invasi. Bukan sekedar invasi militernya, tetapi juga mencegah dua hal, yang pertama adalah terkontaminasinya budaya lokal oleh budaya luar. Yang kedua adalah alasan kebalikannya, mungkin Tiongkok ogah menularkan kebudayaannya. Kita tau jaman itu Tiongkok-lah negara maju saat itu. Mereka sudah menciptakan kertas hingga roket. Mereka sudah menulis di kertas jauh sebelum Eropa mengenalnya, dan mereka sudah berpesta mercon sebelum Eropa mengerti cara menyalakan mesiu. Bahkan Muhammad-pun mengajarkan untuk 'menuntut ilmu hingga Tiongkok'.

Contoh kedua adalah tahun 1990-an ketika jembatan Suramadu --(Surabaya-Madura) urung didirikan. Konon Madura hendak dijadikan pulau alternatif industri --layaknya Batam. Madura hendak disulap jadi kota industri pendamping lingkar Surabaya-Gresik-Waru-Sidoarjo. Namun tokoh masyarakat Madura menolak karena belum siap merubah kultur masyarakat Madura menjadi masyarakat industri dan urban.
Dengan menjadi kota industri, pulau Madura akan kedatangan banyak orang. Mereka beragam pola, namun satu tujuan : Bisnis Industri - Industri Bisnis.

Beberapa masyarakat memang cenderung takut ----hati-hati---- untuk menghadapi invasi budaya-- menghadapi perubahan kebiasaan. Termasuk beberapa negara sering ogah bila dijadikan pangkalan militer oleh Amerika. Selain masalah politik, salah satunya adalah mereka tidak siap dengan invasi budaya tentara Amerika yang bergaya koboi menggenggam leher botol sampanye lantas masuk pintu dengan menendang pintu bar.

Dalam kasus yang lebih sempit, tak jarang dijumpai seorang Ibu yang berkeberatan bila anaknya diajak oleh pengasuhnya nongkrong di pos ojek. Memang obrolan tukang ojek kadangkala belum saatnya untuk ditirukan oleh balita.

Ya karena dari interaksi antar bangsa, antar masyarakat, antar orang, antar bocah, relatif lebih gampang menularkan hal - hal yang negatif ketimbang hal - hal positif. Kebiasaan buruk lebih gampang ditularkan dan diterima ketimbang kebiasaan yang baik. Karena kebiasaan buruk memang disponsori oleh sewujud makhluk yang bernama setan. Namun dijaman nirkabel ini, setan memiliki media invasi yang sangat canggih, salah satunya adalah televisi, salah duanya adalah dunia maya. Selain mempublikasikan berita dan ilmu pengetahuan, televisi dan dunia maya juga mengkampanyekan budaya negatif. Dan mungkin yang disebut terakhir bisa jadi lebih intens ketimbang yang pertama. Kampanye kebobrokan moral lebih mungkin untuk menjadi juara.
Untuk masalah ini hal yang paling gampang untuk dilakukan adalah membatasi aktivitas kedua media tersebut; televisi dan dunia maya. Resiko ketinggalan jaman rasanya lebih bijak daripada menanggung kebobrokan moral. Karena, sekali lagi-- budaya negatif memiliki promotor yang hebat, dia bernama setan.[] haris fauzi - 17 Februari 2006


BERITA TENTANG ENERGI

Dalam siaran radio BBC rilis Indonesia yang saya dengarkan pada saat mengemudi pulang kerja, diberitakan bahwa pemerintahan George W.Bush menginformasikan tentang kebijakan energi terbaru negeri Paman Sam, yakni Amerika Serikat berusaha mengurangi ketergantungan terhadap minyak Timur - Tengah, beberapa aspek politik melatar belakangi hal tersebut. Untuk itu Bush akan menggalakkan sumber daya energi alternatif. Biaya besar akan dikeluarkan untuk riset hal ini. Salah satu yang dipelajari adalah kemungkinan energi kotoran sapi. Masalah studi per-sapi-an ini dipusatkan di kota Texas, yang meng-klaim sebagai ibukota sapi sejagad. Seperti diketahui sapi memang banyak hidup di sana. "Andai seminggu ada delapan hari, maka hari kedelapan-pun kami masih menyantap daging sapi", gitu wawancara dalam radio tersebut.

Begitu banyaknya sapi sehingga bila kotoran sapi di Texas bisa terkumpul dalam sebuah lubang sebesar lapangan sepak bola.Untuk mengurangi ketergantungan minyak, untuk mengurangi ketergantungan dari negeri Timur Tengah, Amerika mencoba mengalihkan energi minyaknya ke energi alternatif kotoran sapi. Atau singkatnya Amerika akan mencoba menggantungkan harapan energinya kepada sapi. Dibanding ketergantungan kepada negara - negara di Timur Tengah, secara politis hal itu mungkin lebih menguntungkan, karena sapi tidak mengenal politik.

Pagi hari sebelumnya, kali ini dalam rangka berangkat kerja, saya menyimak berita tentang permainan kartu energi di belahan dunia Eropa. Yang punya ulah adalah Rusia. Hampir 40% energi Eropa disuplai oleh Rusia. Negeri beku tersebut ternyata dahsyat. Sudah benar bila Hitler dulu sangat hati - hati terhadap Stalin. Kini dalam percaturan ekonomi global Rusia memainkan kartu energinya terhadap negara - negara Eropa.Dari sisi politik Rusia juga memainkan kartu energinya. Semenjak Uni Sovyet berantakan, banyak sudah negara yang merdeka --atau memisahkan diri. Ternyata memerdekakan diri itu tidak gampang. Kali ini Rusia menghentikan suplai energi-nya kepada mereka. Rusia hanya menyalurkan energinya kepada negara - negara satelit yang loyal terhadap kepentingan Rusia. "Kami memberi imbalan kepada negara yang kooperatif dengan kami", begitu ujar pejabat energi Rusia dalam wawancaranya.

Sementara di Amerika Latin, Brasil kabarnya sekarang lagi getol-getolnya mengembangkan energi alternatif dari tetumbuhan, salah satunya adalah dari tebu dibuat etanol dan dari kedelai dibuat bio-diesel. Hampir seluruh pabrik gula di Brasil bisa sewaktu - waktu berubah wujud menjadi pabrik etanol. Tergantung harga pasar yang lagi bagus. Begitu bergairahnya masyarakat Brasil terhadap kemunculan energi dari tebu ini, hingga hampir sebagian besar taksi sudah menggunakan bahan bakar ganda, bahan bakar minyak dan etanol. "Yang repot adalah penumpang taksi, karena tidak tersedia lagi bagasi karena sudah terisi dengan tabung etanol".
Kalau nggak salah orang Brasil juga lagi senang menanam kedelai. Katanya bisa dibuat bahan bakar yang bernama bio-diesel. Detilnya gimana saya tidak terlalu faham, karena saya mendengarkan radio sambil nyetir mobil.

Sekitar seminggu sebelumnya, isu sentral pengembangan energi nuklir di Iran telah menyita perhatian dunia dan makin memanas setelah terpilihnya Kepala Pemerintahan baru Republik Islam Iran, Mr.Ahmadinejad.Juga masih dalam wacana berita energi nuklir Iran, kali ini Perancis sebagai salah satu raksasa reaktor nuklir ikut berkomentar dan cenderung membela Amerika yang berhasrat menyeret Iran dan Korea Utara ke sidang internasional masalah nuklir. Tema yang diangkat adalah 'realisasi senjata nuklir', padahal Iran dan Korea Utara berkilah sedang mengembangkan 'energi nuklir', belum mencapai tahap pengembangan senjata.

Apa yang dituduhkan Amerika dan sekutunya mirip ketika hendak mulai membajak Iraq dengan alasan 'industri senjata pemusnah massal'. Namun sampai kini isu tersebut tidak pernah terbuktikan. Iraq malah terlanjur morat - marit. Sampai Baghdad hancur lebur-pun ternyata tuduhan tersebut belum pernah terbukti.Benar salahnya saya nggak tau. Saya hanya menyimak berita - berita tersebut.

Dari dalam negeri belum ada berita yang signifikan tentang energi. Cuma di awal bulan saya sempat urung beli bensin Pertamax karena harganya ternyata naik lagi .....[] haris fauzi - 20 Februari 2006


KEKERASAN dan ASPEK SPIRITUAL

"...mulai dari Amerika Serikat, sampai ke Jepang dan di Eropa, maka kini pemakaian kekerasan untuk mendapatkan perubahan - perubahan sosial yang dikehendaki muncul sebagai satu ciri baru kebudayaan.Sebenarnya pula kekerasan dalam kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang baru.." (Mochtar Lubis -Majalah Horison-Januari 1970)

Saya tidak hendak membicarakan topik "kekerasan material" yang menjadikan rekan saya Mr.Anindito meraih gelar doktoralnya di negeri Jepang. Mr.Anindito memang salah satu pakarnya kekuatan material --terutama logam. Sekali lagi saya tidak hendak membicarakan hal itu.

Nah, mungkin malah rekan saya yang mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Mesin, namanya Mas Yudhi Ariyadi-- lebih pas membicarakan hal ini. Beliau semasa kuliah merupakan mahasiswa pelopor penentang kekerasan. Dimana --seingat saya-- pernah membagi - bagikan pucuk bunga dalam rangka kampanye anti kekerasan.

Ya. Kekerasan memang budaya yang melegenda. Pendapat Mochtar Lubis yang menyikapi ihwal kekerasan dalam rangka perubahan tata-masyarakat, seperti demonstrasi, tindakan anarkis, kejahatan struktural, hingga kekerasan individual seperti rampok, jambret, dan perkelahian memang lagi merebak. Sejak keturunan nabi Adam pertama-pun telah terjadi pembunuhan. Kali ini kita sering dicekok-i tayangan televisi yang berisi kisah-nyata budaya kekerasan: pembantaian, perampokan, penghajaran, sampai tawuran. Semua itu penggambaran budaya kekerasan yang sedang dijalankan oleh masyarakat di dunia ini.
Budaya kekerasan kali ini --saat ini-- memang sudah sangat keterlaluan. Mas Yudhi sudah sering mengingatkan dahulu, bahwa perploncoan di kalangan mahasiswa baru bakal berdampak merebaknya budaya kekerasan dimasa mendatang. Dia benar sekali.

Bagi saya pribadi ada banyak faktor yang menyebabkan merebaknya budaya kekerasan ini. Kondisi ekonomi jelas sudah memicu hal ini. Desakan ekonomi bisa membutakan nurani.Bahkan tak jarang seorang anak sering dimarahi oleh orang tuanya di suatu malam, tak lain karena Bapak - Ibu-nya sudah kecapekan seharian bekerja, dan sudah tidak ingin melayani rengekan bermain halma anaknya. Ini menanamkan bibit budaya kekerasan ke anak tersebut.

Kalau kita bicara lebih global, maka akan muncul faktor yang lebih utama, yakni faktor spiritual. Ditengah gencarnya peradaban materialisme yang mementingkan kapital, maka aspek non material jelas tersisih. Aspek spiritual jelas tersisih.Halaman pertama masa Renaissance --pada awal dikampanyekannya peradaban materialisme di Eropa, pertama - tama yang terjadi adalah sekularisasi aspek spiritual dan agama. Kota - kota yang mengaku pusat peradaban berusaha menyisihkan tempat peribadatan ke pinggir kota. Kota diisi dengan kegiatan - kegiatan bisnis dan ekonomi ; economical-centris perlambang kapital.

Dengan semakin digdayanya budaya meterialisme ini, maka semakin tergeser pula aspek spiritualnya. Sekularisasi semakin hari memiliki tabir yang semakin tebal, padahal aspek spiritual menawarkan susunan etika dan filsafat. Dimasa sekarang, susunan etika dan filsafat sudah digeser dengan mekanisasi kapital.

Singkat cerita genosid spiritual ini berdampak kepada butanya hati nurani. Kebutaan ini memandulkan budi pekerti. Ketidakberdayaan budi pekerti mengakibatkan turunnya derajat etika. Maka yang muncul adalah kebiadaban.

Bila membicarakan spiritual, bisa jadi kita tak lepas pada definisi agama karena memang sangat identik dengan aspek spiritual.Namun, yang membuat serba salah juga, sejarah telah mencatat bahwa agama menempati ranking tertinggi dalam pertumpahan darah. Hampir seluruh peperangan disulut oleh agama. Perang salib dan perang sunni-syiah membuktikan hal tersebut.

Namun perang dunia kedua membuka fakta lain, bahwa peperangan terbesar yang pernah ada ini disulut oleh ego sentris dan pertentangan -isme.Lantas apa yang salah ?

Jadi rupanya yang memicu pertempuran --kekerasan-- itu bukanlah faktor agama (saja), melainkan faktor manusianya. Bagaimana di jaman dahulu manusia berperang mengatas-namakan agama. Lantas di masa Hitler, para jenderal berperang mengatas-namakan ego dan -isme.
Dari sisi agama, agama yang saya peluk --Islam,-- disebut juga agama Salam. Artinya selamat. Toh terus terang juga masih mengijinkan adanya kekerasan. Salah satu hadits nabi Muhammad kurang lebih berbunyi demikian,"...pukullah anakmu bila dia tidak melakukan solat padahal sudah berumur akil-balik". Pemukulan jelas - jelas adalah tindak kekerasan.Atau ada hadits nabi yang menguraikan perihal amarah sebagai berikut,"Barangsiapa yang tidak marah disaat seharusnya marah, maka dia seperti keledai. Dan barangsiapa yang marah padahal tidak seharusnya marah, dia seperti setan".Kemarahan adalah tahap awal tindak kekerasan. Orang bisa menjadi biadab karena marah. Dari hadits ini jelas, bahwa kemarahan seseorang adalah tergantung manusianya. Lebih tepatnya lebih tergantung pada kedalaman spiritual manusianya. Dengan pemahaman spiritual, manusia bisa menentukan kapan harus marah dan kapan harusnya tidak perlu marah. Bagaimanapun juga nabi Muhammad pernah marah. Pernah berperang.

Kalau yang terjadi sekarang adalah tindak kekerasan yang merajalela tanpa alasan yang signifikan. Tanpa ada alasan yang jelas seseorang bisa memukul rekannya, tanpa ada alasan yang jelas maka Amerika menyerbu Iraq, tanpa ada alasan yang jelas sebuah gedung diledakkan, dan hanya gara - gara seribu rupiah seseorang ditusuk belati.Alasan tidak jelas ? Saya rasa alasannya sih jelas, namun tidak masuk akal bila alasan - alasan ini melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan. Hanya atas alasan ego dan sempitnya pikiran bisa memicu seseorang memukul teman atau meledakkan gedung, alasan kekayaan minyak bumi bisa membuat Amerika menyerbu Iraq, dan alasan duit seribu perak memicu belati beraksi. Ini jelas - jelas perlambang kapital meterialisme.Alasan - alasan ini menunjukkan kedangkalan budi pekerti. Kedangkalan spiritual.

Bila beranjak dari hadits soal amarah diatas, masalahnya hanya tinggal seberapa dalam pemahaman spiritual kita, sehingga sekarang kita hendak menjadi keledai, atau setan, atau manusia. Paling tidak, kedalaman spiritual bisa mengendalikan amarah kita, kedalaman spiritual bisa mendapatkan alasan yang tepat sebelum kita memuntahkan metraliur amarah, dan sedapat mungkin bisa meredakan rebaknya budaya kekerasan yang ada.[] haris fauzi - 22 Februari 2006



SEKARAT

Saya belum pernah merasakan. Hanya beberapa referensi pernah saya jumpai menggambarkan tentang prosesi tercabutnya -- atau pencabutan nyawa manusia. Jadi ini adalah prosesi antara hidup dan mati. Proses ini disebut sekarat atau sakaratul maut. Salah satu yang membuat saya terpekur adalah kisah sakaratul maut-nya nabi Muhammad, yang ditulis dengan sangat menyayat oleh Ali Syariati -- Cendekiawan Muslim Iran.
Kata banyak orang soleh seyogyanya kita harus sering mencermati proses sekarat ini, sebagai bekal penambah iman.

Di lain sisi kisah, beberapa film atau ceritera juga mengisahkan tentang masa sekarat ;--sakaratul maut. Ada yang digambarkan begitu sengsara, begitu pedih, hingga begitu gampang --enteng melegakan. Ada juga yang menggambarkannya dengan fashion dan gaya, bahkan ada film fiksi yang menceritakan proses sekarat yang penuh petualangan. Bisa dinikmati, bisa dihidupkan kembali, dan diulangi kembali. Mirip main game di komputer, kalo mati dan game over bakal bisa diulang lagi. Mereka berpetualang di garis antara hidup dan mati. Petualangan yang memacu adrenalin. Tapi ini cuma film. Cuma bohongan.

Penggambaran yang paling gamblang --tepatnya: paling gampang-- tentang prosesi sekarat baru saya temukan beberapa hari lalu. Walau saya masih belum yakin tingkat kebenarannya. Tapi penjelasan ini yang bisa saya tangkap dengan mudah. Cukup sederhana hingga saya punya cukup nyali untuk membayangkannya. Bahwa sekarat itu ada dua, gampang dan susah. Yang gampang; ya nyawa itu terbang dengan lancar laksana air yang tertuang dari corong teko. Mancur manteb.
Sementara yang seret katanya laksana menyisir bulu domba keriting yang basah. Bolak - balik, naik turun, tarik ulur, kadang ke-'jenggit' hingga mbrodol bulunya. Atau bahkan patah gigi sisirnya. Pokoknya susah deh. Nyisir rambut keriting saja sudah tidak gampang. Apalagi ini bulu domba yang gembel. Sudah gitu basah lagi ! Kebayang nggak kalo nyawa kita ditarik ulur seperti itu ? [] haris fauzi - 3 Maret 2006


EINSTEIN

......

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?
Jawaban yang sederhana adalah -; karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak - budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan......
...........
(cuplikan pidato Albert Einstein tahun 1938 di depan Mahasiswa California Institute of Technology. Dimuat dalam buku 'Ilmu dalam Perspektif' susunan Jujun S.Suriasumantri - Yayasan Obor 1999)

Dalam buku tersebut, pidato Einstein dimuat dalam halaman 248 dan 249. Tidak penuh dua halaman, total semuanya hanya satu seperempat halaman, karena hanya sekitar enam paragraf. Tetapi pidato yang disampaikan 68 tahun lalu, rasanya masih aktual dan bisa menuntut kita untuk merenung lebih dalam.

Manusia hidup memakai otaknya. Otak ini bergumul dengan ilmu pengetahuan. Tetapi, ternyata ilmu itu belum kita gunakan belum wajar. Artinya, otak kita-pun belum pula digunakan dengan wajar. Walhasil, hidup kita-pun --setidaknya menurut Einstein-- belum wajar pula.Ternyata kisah peradaban manusia unggul masih jauh di ufuk sana.[] haris fauzi - 9 Maret 2006



BERJAMAAH

Menarik sekali rasanya kala mengingat - ingat jaman saya diajari shalat berjamaah oleh mendiang Ayah saya. Mulai diajari iqamah (tanda dimulainya shalat berjamaah), hingga proses masbukh (menyusul kala tertinggal shalat berjamaah).

Salah satu 'ritual' yang sebaiknya dikerjakan oleh imam / pemimpin shalat berjamaah adalah menengok shaf / barisan dari makmum / pengikut-nya. Sang Imam harus bisa memastikan bahwa barisan telah rapi dan rapat sebaik mungkin sebelum shalat itu dikerjakan.
Pun pula, kalau sempat, sang Imam harus bisa menaksir makmum-nya.
Menaksir 'golongan' dari makmumnya itu, karena shalat itu banyak ragamnya. Kalau toh ada aliran yang tidak menghendaki ritual tertentu, hendaknya Sang Imam mampu mempertimbangkan pelaksanaannya. Contohnya adalah ritual doa qunut yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, namun sebagian yang lain tidak menjalankannya. Dituntut kearifan Sang Imam dalam hal ini.

Mungkin juga diantara barisan itu ada yang sudah bersandar karena capek. Ini lebih ditekankan pada saat shalat yang marathon, seperti shalat tarawih misalnya.
Disini Sang Imam di tuntut untuk mengerti kondisi pengikutnya.
Komando setiap gerakan dalam shalat adalah ucapan takbir (AllahuAkbar). Setelah ucapan ini barulah dilakukan gerakan. Prinsipnya adalah gerakan tidaklah diperkenankan untuk mendahului takbir. Begitu kata Ayah saya.
Dalam berjamaah, ini menjadi semacam orkestra yang indah. Sang Imam bertakbir lantas bergerak. Sementara sang makmum belum boleh bertakbir sebelum takbir sang Imam usai. Otomatis, gerakan makmum tidak boleh --jangankan mendahului-- membarengi gerakan Imam. Sangat ritmis. Satu komando, tidak tergesa - gesa, tidak saling salip, satu koordinasi.

Apabila gerakan Imam ternyata salah, maka ada dua opsi yang harus dipilih makmum. Mengikuti saja, atau mengingatkan dengan tata cara tertentu pula. Keduanya opsi ini tidaklah mengapa, tidak mengandung dosa. Setelah dingatkan, Imam harus menghentikan lantas meralat gerakannya. Bentuk koreksi yang win-win solution.

Dalam sholat, ada doa - doa yang harus di baca perorangan. Apabila gerakan Imam dirasa terlalu cepat sehingga salah satu makmum tidak sempat menyelesaikan doanya, maka hal itu tidaklah jadi problem, karena pada dasarnya sebagian besar doa sudah dilakukan oleh Imam, makmum tinggal ikut saja. Ini representasi tanggung jawab pimpinan.

Masih banyak lagi yang bisa saya ambil dari pelajaran shalat yang diajarkan oleh Ayah saya. Sekarang baru terpikir untuk menuliskan hal di atas, mungkin lain kali saya tambahkan lagi.[] haris fauzi - 10 maret 2006


KEJADIAN ALAM

...Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (Al Quran : 30; 24)

Selang tahun lalu, ada fenomena alam yang berupa luapan air laut, nama komersilnya adalah bencana tsunami. Lokasinya di Aceh. Sebetulnya kita toh nggak cuma bisa tau hal itu. Banyak sudah gunung meletus, luapan sungai, dan jatuhnya meteor. Semuanya adalah fenomena alam, peristiwa alami biasa.

Beberapa orang mengaitkan dengan dosa - dosa dan hukuman Tuhan terhadap peristiwa itu. "Azab Tuhan", gitu katanya. Bahkan hingga berkesan terlalu gaib. Sebagian masyarakat --terutama masyarakat kota-- berusaha menyisihkan pikiran tentang azab dan segala kegaiban itu, dan menganggap kejadian - kejadian di atas adalah peristiwa alam biasa. Ya bila lempengan dasar bumi ini bergerak, tentu akan mengacaukan muatan air laut. Ini tentu berdampak timbulnya gelombang. Gelombang inilah yang menjadi air bah menyerbu ke daratan. "Sama sekali bukan peristiwa spiritual ! Ini peristiwa alam semata", begitu kalangan 'intelek' berkata.

Kejadian mewabahnya penyakit flu burung, penyakit sampar di Eropa di abad pertengahan, dan beragam penyakit misterius pada jaman kuno dulu, sebetulnya juga fenomena alam biasa. Juga kasus penyakit aneh yang menimpa penduduk sodom dan gomorah, suatu komunitas gay dan lesbi jaman Nabi Luth. Mirip pula penyakit AIDS yang spesial diperuntukkan bagi penggemar gay modern abad ini.
Demikian juga dengan proses terjadinya serangan jantung yang menjadi momok kematian masyarakat kota.

Lantas meledaknya gunung Pompeii yang menenggelamkan kota metropolitan, adanya banjir besar jaman Nabi Nuh, porak-porandanya tentara raja Abrahah oleh ribuan burung yang membawa batu api, dan juga terjadinya badai (apapun namanya), petir, halilintar, ..... judulnya sama saja: kejadian alam semata.

Perkara itu azab atau bukan, perkara itu menunjukkan eksistensi Tuhan atau hanya 'kejadian biasa', semua itu persepsi masing - masing individu. Tinggal bagaimana kita memikirkan, meresapi, dan menyikapinya.

Di balik semua diagram dan grafik analisa gejala alam, tentu ada beberapa faktor yang kadangkala luput untuk dianalisa. Bagi yang percaya bahwa alam ini ciptaan Tuhan, maka sungguh tidak 'etis' bila dalam memperbincangkan suatu fenomena alam ini tidak menyertakan peran Tuhan dalam wacananya. Karena sebetulnya banyak sekali tanda - tanda alam yang bisa kita amati dan kita pikirkan, untuk selanjutnya menjadikan pengakuan bahwa Tuhan itu memang ada. Bahwa Tuhan itu bertindak. Ya. Seringkali kita lupa, bahwa Tuhan-lah yang mengatur semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Kita terlalu sibuk dibalik jutaan diagram dan segala lembar - lembar analisa canggih yang penuh denyut sinyal digital. Sekali lagi, kadang kita lupa bahwa Tuhan itu bertindak. Bertindak untuk mengingatkan kita. [] haris fauzi - 14 maret 2006


KE MUSEUM

Hari Minggu kemarin saya dan keluarga sempat mengunjungi dua museum, museum pertama adalah Museum Purna Bhakti Pertiwi yang berada di luar kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Persis sebelum pintu masuk Taman Mini.

Pukul sepuluh pagi kurang sedikit, saya sudah menggenggam tiket seharga lima ribu-an dan mobil saya melaju memasuki kawasan museum berbentuk tumpeng tersebut. Mirip dengan 'Monumen Jogja Kembali' yang berada di ring-road Yogyakarta. Kalau dari pesawat, kompleks bangunan ini benar - benar seperti tumpeng komplit yang biasa disajikan masyarakat ningrat jawa untuk syukuran. Sungguh suatu kawasan yang berarsitektur 'penuh makna', tentunya bagi yang menggemari falsafah 'jawa'.

Ini untuk kedua kalinya saya memasuki museum ini. Museum terebut digunakan untuk menyimpan koleksi cinderamata Pak Soeharto -Presiden RI ke II-- dari beberapa koleganya. Tentunya cinderamata bertaraf internasional ini sungguh memikat hati.
Sasaran saya yang utama adalah adanya ukiran kayu akar karet raksasa yang ada patung sembilan dewa. Sungguh memesona. Ukirannya sungguh detil di tiap percabangan.

Ada beberapa perubahan yang saya amati, terutama kondisi museum yang seingat saya seharusnya terdiri dari tujuh lantai, namun kali ini hanya tiga lantai yang bisa dikunjungi. Beberapa atap bocor ditandai dengan adanya ember - ember penadah air tampak mengganggu pandangan.

Di hari minggu, museum tetap saja sepi. Maklum, orang sekarang lebih suka membuang waktu mereka di mall, plaza, dan pusat perbelanjaan. Saya jadi leluasa menikmati dan memotret koleksi cinderamata bertaraf internasional ini. Padahal tiketnya cukup murah, mungkin sama dengan harga parkir satu mobil di mall, --namun tetap saja miskin pengunjung. Ya saya jadi maklum, tentunya biaya operasional dan perawatannya tidak akan tersedia, mangkanya banyak atap bocor disini.

Yang surprise adalah ketika jam sebelas datang rombongan anak - anak sekolah. Tiga bis penuh yang langsung berlarian mengacaukan suasana. Museum yang semula hikmat kali ini jadi hiruk - pikuk layaknya taman bermain. Mereka naik turun tangga, memanjat kursi koleksi, menjitak patung, atau bahkan memukuli dengan liar koleksi gamelan yang dikeramatkan. Namun mereka tidak sampai satu jam berkunjung disini, langsung kabur lagi entah kemana.

Pukul setengah satu, sambil menanti anak - anak minum susu, saya sempat naik ke lantai dua sekali lagi, kali ini dari ruang 'perjuangan' yang menjadi satu dengan main hall. Dan disana saya menemukan foto kuno bergambar sembilan orang tentara yang dibuat tahun 1949 bertuliskan berikut :" Komando Tentara & Teritorial Djawa Tengah Devisi IV Diponegoro Semarang Tahoen 1949 Tjandi Baroe.
Soeprapto - Soediarto - Soeadi - Soeharto - Gatot Soebroto - M.Sarbini - Moch.Bachrum - Soepardi - Achmad Yani".
Sia - sia saya mengenali mereka, saya hanya hafal wajah Pak Harto muda. Saya sempat curious karena saya sebenarnya punya saudara bernama Moch. Bachrum juga. Mungkin harus klarifikasi ke sesepuh keluarga tentang ini.[] haris fauzi - 20 Maret 2006



KE MUSEUM (II)

Sempat pula saya berkunjung ke museum 'Bayt Al-Quran' yang berlokasi di dalam kompleks Taman Mini. Kita harus membeli tiket masuk Taman Mini seharga sembilan ribu per-kepala. Padahal tiket masuk museum ini hanya dua ribu rupiah. Ya nggak pa-pa lah, udah tanggung ini.

Untuk kedua kalinya pula saya menginjakkan kaki di museum ini. Dulu saya pernah ke sini, tapi masih dalam taraf pembangunan sekitar tahun 1998. Kali ini kondisinya malahan lebih parah dari museum Purna Bhakti Pertiwi. Museum Bayt Al-Quran yang bertujuan menyimpan koleksi beragam kaligrafi, mushaf-mushaf yang ada di Indonesia, ukiran kayu bernafaskan Qurani, sejarah perkembangan Islam Nusantara, dan dokumentasinya ini ternyata sangat memprihatinkan. Beberapa lampu sorot mati, sehingga beberapa galeri tidak sedap dinikmatinya. Juga atap bocor di sana sini. Bahkan ada koleksi foto mesjid kuno yang terkena air. Beberapa identitas pamer juga sudah lenyap.

Saya jadi bersyukur menyegerakan untuk mendatangi museum ini. Soalnya saya sempat terbengong - bengong kecewa berat ketika hendak mendatangi untuk ketiga kalinya museum 'Ripley's - Believe or Not' di kawasan Pondok Indah, ternyata museum itu sudah raib berganti wahana lainnya

Target saya memasuki museum ini adalah menengok foto - foto mesjid peninggalan Walisongo dan mushaf Wonosobo, mushaf Al Quran terbesar se-Indonesia, segede meja pingpong. Walah, saya sampai kesulitan mengambil fotonya. Belum lagi pengunjung jail yang membuka - buka dengan iseng Al Quran raksasa tersebut. Kuatir malahan robek karena beban berat kertas istimewa itu. Nggak tau kenapa Al Quran raksasa ini dipamerkan dalam keadaan terbuka pas dihalaman 555.

Bagi istri saya yang alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, adalah hal yang membanggakan ketika tafsir Al Quran versi Universitas Islam Indonesia ikut dipamerkan disini.
Bagi anak saya yang lagi demen - demennya menghafal surat Al-Fiil, dia begitu gembira ketika melihat ilustrasi surat Al Fiil yang berupa gambar pasukan gajah dihajar bom batu api yang dijatuhkan oleh sekelompok burung dari langit.

Di salah satu koridor ada koleksi bedug raksasa. Guedhe. Saya jadi ingat beberapa tahun lalu saya sempat berfoto di bedug mesjid Ciromed yang berada di jalur cadas pangeran Cirebon - Bandung.

Sekali lagi, museum ini berkonsep galeri -- pameran. Jadi tata ruang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa urut menikmati dari dinding satu ke dinding berikutnya sampai habis. Hampir dua jam saya berada di museum ini. Yang saya jadi prihatin, lha wong foto - foto mesjid kuno disini aja setengah terbengkalai. Saya jadi khawatir kondisi mesjid kuno yang sebenarnya. Semoga perawatan mesjidnya lebih baik ketimbang koleksi fotonya.

Museum Bayt Al Quran juga dilengkapi dengan toko buku yang bagi saya kurang memadai, karena di situ tidak menjual buku katalog museum. Berbeda dengan museum Purna Bhakti Pertiwi yang menjual beragam buku berkaitan dengan isi barang pamer museumnya.

O ya, salah satu catatan saya untuk museum ini adalah adanya seorang pengunjung anak - anak yang membawa pistol air. Dia kerap menembakkan pistolnya ke barang pamer hingga basah. Ini sungguh tindakan yang tidak lucu sama sekali. [] haris fauzi - 21 Maret 2006



... rasanya sudah cukup lama saya tidak menulis ihwal musik.
dunia musik bagi saya adalah dunia pasif,
saya hanya bisa menikmatinya tanpa bisa melakukannya
namun saya cukup bersyukur masih memiliki jiwa untuk menikmati musik...


----------------------------

KISAH KEBERUNTUNGAN

Nama kelompok musik ini adalah ELP, kepanjangan dari Keith Emerson, Greg Lake, dan Carl Palmer. Salah satu evergreen-nya adalah lagu 'Cest La Vie'. Saya mengenalnya lebih dalam pada tahun 1986 ketika terjadi perubahan struktur musisi dimana Palmer digantikan Cozy Powell, namanya tetap inisial ELP. Saya membeli kaset album yang berjudul 'Emerson, Lake, Powell' seharga duaribu dua ratus lima puluh rupiah. Langsung kesengsem, namun saya tidak segera mengoleksi album - album lain sebelumnya hingga akhirnya harga kaset melonjak dan tak terjangkau menjadi lima ribu rupiah di tahun 88-an.

Ditahun - tahun tersebut, grup ini terancam bubar, hingga Emerson dan Palmer reuni untuk membuat album '...to the power of three...' bersekutu dengan musisi lain bernama Robert Berry. Walhasil namanya bukan ELP lagi, tapi diubah jadi ' the 3'. Mereka rilis album tersebut dalam jumlah sedikit, dan tentunya dengan banderol baru : lima ribu rupiah untuk kaset. Disamping harga tidak terjangkau oleh saya, juga susah di cari.

Sebetulnya bisa jadi ELP ini grup yang cukup dahsyat, karena rumornya pada tahun 70-an ada seorang promotor musik wahid yang hendak mengubah namanya dari ELP menjadi HELP. Tak lain karena promotor tersebut hendak menggabungkan satu orang jawara gitar kala itu. Gitaris yang urung bergabung itu bernama Jimi Hendrix. Entah gimana jadinya bila HELP bener - bener terwujud.

Keberuntungan saya berawal di tahun 90-an ketika saya berjalan - jalan di deretan tukang loak, disitu saya bisa membeli kaset the very best ELP keluaran Team Records seharga kira - kira dua atau tiga ribu rupiah. Keadaannya masih lumayan mulus.

Kalau tidak salah, semenjak keluarnya album 'Emerson,Lake, Powell', grup ini tidak lagi menelurkan album studio, hingga akhirnya diantara tahun 1990-1995 di koran Republika saya membaca rencana keluarnya album baru yang berjudul 'Blackmoon'.
Katanya album heboh karena Carl Palmer bakal balik kucing sebab Powell cabut keluar.
Saya kurang berminat mengoleksinya karena tentu grup langka ini juga berharga mahal produknya, maklum sudah jaman royalti. Hingga akhirnya dengan bantuan dewi fortuna saya bisa mendapatkan CD aslinya di lapak loak (lagi...) dengan harga dua belas ribu rupiah kalo nggak salah. Ini keberuntungan kedua saya dalam mengoleksi ELP.

Keberuntungan ketiga ketika seorang teman baik memiliki koleksi lagu - lagu ELP dalam format mp3. Gratis saya mendapatkan gandaan disc-nya. Cukup komplit untuk meremajakan kaset yang saya miliki.
Babak peremajaan kaset ke digital ini dilengkapi dengan kiriman tak terduga juga. Seorang teman email dan sms berbaik hati --(saya malah belum pernah berjumpa) yang dengan tanpa 'beban' mengirimkan CD album 'Emerson, Lake, Powell' dan ' the 3' dengan cuma - cuma. Rasanya sudah cukup beruntung sekali saya sekarang. Memang di jaman susah begini, keberuntungan merupakan obat yang ampuh tiada tara.[] haris fauzi - 22 Maret 2006


JANJI EKSENTRIK SEORANG KARIB

Lelaki kurus itu namanya Ainul Ghurri. Bapak saya sempat bingung mengartikan nama teman saya yang satu ini. Ainul artinya 'mata'. Ghurri ? Kalo nggak salah dalam bahasa Arab ghurrur artinya bohong. Saya mengenal Ainul tahun 1990 karena kami berdua masuk dalam jurusan yang sama saat kuliah. OPSPEK bersama dan satu kelas di akademis.

Akhir tahun 1990 --semester pertama kuliah-- hingga tahun 1991-an saya ikut ke Senat Mahasiswa Fakultas Teknik jadi kacung-- istilah untuk para yunior. Sementara Gaguk (panggilan buat Ainul --yang jarang sekali saya pakai) kala itu lebih sering ke mesjid dan mengikuti diklat dasar jurnalistik.

Sampai akhirnya tahun 1992 (?) saya dihadapkan dua pilihan pada saat penyusunan kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas : antara Bidang Penalaran versus Bidang Penerbitan. Kedua Ketua Bidang meminang saya. Saya memilih bidang Penerbitan, yang mana akhirnya saya bersua dengan Ainul dalam kancah aktivitas kemahasiswaan untuk pertama kalinya. Kami berdua duduk sebagai redaktur Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik : SOLID.

Tahun 1993 terjadi perubahan struktur organisasi kemahasiswaan, kali ini giliran saya --anak kolong lulusan training manajemen mahasiswa-- untuk duduk menggantikan senior menjadi Ketua Bidang Penerbitan, sekaligus menjadi Pimpinan Umum Majalah SOLID. Sementara Ainul --anak Blitar penggemar Gus Dur lulusan diklat jurnalistik-- duduk sebagai Pemimpin Redaksi. Kami bekerja beriringan selama setahun menerbitkan tiga majalah, beberapa majalah dinding, dan merintis lahirnya Tabloid.

Tahun 1994 saya mengambil spesifikasi akademis Mesin Produksi, sementara Ainul menentukan kuliah di Mesin Konversi Energi. Kami jarang lagi terlihat bersama - sama sampai tahun 1995 saya lulus duluan dan langsung mencari nafkah di Jakarta,.... sekitar tiga bulan kemudian saya dengar Ainul menyusul lulus.

Di stasiun Kereta Api Bogor, di tengah berlompatan menghindari beceknya jalanan, saya dikejutkan sapaan khas Jawa Timuran "..he.. Ris..!"... saya tengok ternyata Ainul yang menyapa saya melompat dari mikrolet. Tak disangka kami bertemu di situ. Ternyata dia kerja di Pulogadung Jakarta, dan punya kakak di Bogor. Sementara saya kerja di Sunter dan punya Paklik di Bojonggede. Sejak itu kami sering bersua, dan akhirnya melibatkan beberapa teman yang lain untuk sekedar kongkow - kongkow ngobrol ngalor ngidul, bisa jadi di deretan buku bekas Kwitang, ke Yayasan Muthahhari Bandung, ke kawasan kuno & kumuh di bandar Batavia, atau kemanapun...

Sekitar tahun 1997 - 1998 Ainul memutuskan untuk kuliah di Universitas Indonesia, sementara saya lebih tertarik mempersiapkan pernikahan dan terus bekerja di Sunter. Tahun 1999 saya menikah dan pindah rumah ke Bogor. Sementara Ainul yang telah lulus S2 merintis karir di dunia pendidikan di pulau Bali. Pernikahan saya di Solo dihadiri olehnya yang berangkat dari Denpasar. Semenjak itu kami cuma berkomunikasi lewat telpon, sms, atau e-mail. Setahun sekali kami reuni di Malang--saat lebaran. Dia masih seperti dulu, makin kritis pikirannya -- hingga badannya tidak kunjung gemuk.

Tahun kemaren, karib saya penggemar tulisan Bertrand Russell ini menikah di Denpasar. Saya di undang, namun tidak kuasa hadir. Pada saat lebaran saya sekeluarga --dan kakak saya sekeluarga juga-- menyempatkan berkunjung gantian ke kampung halamannya di Blitar. Ah. Ternyata dia mudik tidak membawa istrinya--katanya masih mabok karena hamil muda..... Masih seperti dulu, kurus badannya, kritis omongannya, cuma sekarang dia berkaca mata dan berhadapan dengan notebook. Saya jadi ingat janji eksentrik Ainul pas masih mahasiswa ; "....selama kuliah S1 dan S2, saya harus bisa buktikan bahwa komputer tidak perlu beli, adanya rental komputer sudah cukup membuat kita lulus kuliah...". [] haris fauzi - 23 Maret 2006


BIOSKOP & GENDER

Terakhir nonton film di gedung bioskop sekitar tahun 1999. Kalo nggak salah film-nya Mr. Bean, di Solo. Soalnya setelah nikah saya tidak pernah mengunjungi gedung bioskop lagi. Yang pertama karena harga tiket ternyata tidak masuk kuota dompet, yang kedua karena anak saya tidak akan ikut serta, sementara yang ketiga karena selera saya kurang cocok dengan film - film sekarang. Walau tidak semuanya.
Salah satu film yang nancep di hati saya adalah 'The Untouchables' yang dibintangi Kevin Costner dan Robert de Niro. Ceritanya tentang perseteruan antara seorang Akuntan bernama Elliot Ness melawan raja mafia dan gangster Al-Capone. Muanteb.

Sekali lagi ini masalah selera. Contohnya gini, saya kurang berminat dengan film action - habis - habisan berlaga seperti 'Rambo' (Sylvester Stallone) dan 'Commando' (Arnold Schwarzenegger). Justru malah menyukai Arnold main sebagai polisi dan guru TK di 'Kindergarten Cop'.
Demikian juga saya kurang berminat dengan film aksi gebug - gebugan yang dibintangi wanita seperti 'Tombrider', 'Electra', atau 'Ultraviolet'. Bila saya amati, rasanya film aksi laga dengan jagoan perempuan ini makin subur saja. Saya nggak tau ini ada kecenderungan apa. Saya cuma bisa menduga bahwa ini adalah dampak dari kampanye universalisasi dan kesetaraan gender. Jadi di jaman sekarang ini musti ada jago gebug perempuan, kalo perlu ada Rambo-wati.

Ya mungkin di belahan dunia 'sana' tren 'jagoan berantem perempuan' ini memang sudah membudaya, dan bisa jadi saya yang tidak tanggap terhadap kesetaraan gender ini. Memang jagoan perempuan bisa lebih 'exciting' karena bisa diekspos dengan lebih vulgar ketimbang James Bond sekalipun. Rambo-wati dengan kaos singlet tentu lebih eksotis ketimbang Rambo beneran. Ini sih bukan masalah berantem dan menggebug. Soalnya kalo masalah berantem kan tinggal sutradaranya mengatur, siapa yang harus menang dan siapa yang musti bonyok - bonyok.

Saya sempat kaget ketika saya pulang kerja pas itu anak sulung saya lagi nonton kartun yang judulnya 'Perusha', ditayangkan oleh tv saluran khusus anak - anak 'Spacetoon'.Yang bikin kaget saya adalah di kartun itu jagoan anak cewek lagi gulat wrestling. Lha kartun perempuan model apa pula ini ? Terus terang saya nggak setuju kalo anak perempuan saya besok bergulat wrestling. Akhirnya saya matikan saja televisinya. Saya sama sekali nggak selera dengan acara itu.

Menulis tentang selera film gebug - gebugan memang tak kunjung habis. 'Untouchables'-pun ada gebung - gebugannya. Ada bersimbah darah di hajar puluhan peluru, ada pula gambar taplak meja makan bersimbah darah karena kepala dipenthung tongkat bisbol. Bagi saya, bukan gebugan yang jadi tema utama film tersebut.
Namun apapun pembelaan saya, itu memang selera saya --yang jelas - jelas subyektif dan bisa jadi berbeda tiap orang-- . Jadi semua terserah kepada masing - masing, kalo saya sih sampai sekarang (sekali lagi) masih kurang suka dengan film gebug - gebugan semata, apalagi kalo yang musti berantem itu perempuan.[] haris fauzi - 29 Maret 2006