Monday, December 31, 2007

kenisah : belajar memaknai


BELAJAR MEMAKNAI

....Manusia berusaha, Tuhan mengecewakan.... Seingat saya gitu kata Goenawan Mohamad...

Masihkah ingat tulisan saya soal panggung Dream Theater Nite ? Ya, 'nggedabrus' soal band - band yang manggung meng-cover lagu - lagu Dream Theater. Sebagai penonton, saya sempat berkenalan dengan penonton lain, salah satunya bernama Tole, saya mengenalnya sebelum pertunjukan mulai. Tole sengaja datang dari Bandung untuk nonton ke Bogor. Tole begitu apresiatif terhadap konser 'cover' tersebut. Tole pake kaos bergambar Dream Theater segala. Saya rasa persiapan dia untuk menonton begitu berlebihan, hampir semua lagu - lagu sudah dia hafalkan. Mania of the mania. Dan Tole siap bergadang menunggu fajar menyingsing untuk kemudian menggelandang langkah kaki ke terminal pulang ke Bandung. Maklum, konser 'cover' yang dahsyat itu sendiri kelar sekitar jam setengah satu dini hari.
Coba bayangkan bila Tole ini pada Januari 2008 kelak berkesempatan nonton Dream Theater beneran yang bakal ngamen di Singapura ? Bagaimana pula kelakuan Tole ?

Sebelum memasuki cafe, pertanyaan itu juga sempat saya lontarkan ke Tole. Tetapi dengan senyum dia menjawab,"...belum ada kesempatan...". Saya dalam hati juga begitu, saya juga pengen berangkat ke Singapura untuk nonton Dream Theater ngamen, niat udah di ujung ubun - ubun, tapi apa daya duit gak cukup. Pupus sementara. Jelas saya lihat Tole dengan semangat 'metropolis' menapakkan langkah menuju venue.

Ya. Bagi saya Tole berhasil memaknai konser 'cover' tersebut. Bila sudah bicara hal ini, maka realitas kehidupan hanyalah sebatas labirin yang kadang tak tembus oleh logika, namun suatu saat malah menjadi transparan dan kita memiliki sel dan energi untuk melaluinya dengan mudah, untuk menembusnya. 'Makna' adalah kekuatan, seperti kekuatan dan keberhasilan Tole dalam mengapresiasi musik Dream Theater. Saya kepikiran ihwal ini.

Lha lantas mengapa saya harus menulis ihwal ini ? Alasan utama adalah inilah kegelisahan saya kali ini, akhir tahun ini. Sebenernya kisah 'Tole' ini nggak terlalu menggelisahkan pikiran saya andai tidak ada kejadian lain yang menyertai hal itu. Kelanjutannya adalah ketika Sabtu kemarin seorang sahabat secara mendadak mengunjungi saya, dia bernama Fao. Menjelang maghrib dia konfirmasi hendak bertemu. Bertemu Fao berarti adalah bertukar pikiran, --artinya harus menyiapkan waktu khusus--.
Kami bercakap - cakap hampir semalaman. Bersua bakda isya --setelah di antara gerimis Fao membunyikan lonceng pagar rumah,-- dan kami saling mengucap salam perpisahan menjelang pukul satu dini hari.
Malam itu saya muntahkan ke Fao ihwal kegelisahan saya dalam mencerna pendapat - pendapat Edward W.Said. Sementara dia melontarkan potongan - potongan pemikiran Goenawan Mohamad yang makin membuat resah. Entah kenapa bahasan jadi meluap - luap kesegala penjuru referensi. Hingga harus melakukan pers conference segala, telpon ke seorang sahabat bernama Gaguk, yang malam itu sedang berada di Denpasar Bali. Gaguk adalah pegiat kampus di sana.

Fao bercerita bahwa Istrinya membelikan sebuah buku sebagai kado ulang tahunnya. "Manusia berusaha, .... Apa kelanjutannya, Ris ?", gitu kata Fao. "..biasanya dilanjutkan dengan frasa kodian: Tuhan yang menentukan...", sahut saya sambil mengangkat bahu ragu - ragu. "....Manusia berusaha, Tuhan mengecewakan.... Seingat saya gitu kata Goenawan Mohamad...kita jadi mempertanyakan keimanan disini...", urai Fao sambil memuntir sendok mengikuti gaya sentrifugal. "Kita jadi kafir...apakah kafir ? Apakah maknanya bila kita dinilai kafir ?...kita meranah ke kesakralan Al-Qur'an...", ..waduh mulai mbulet nih. Ya kerena mbulet maka saya pintas saja perbincangan saya dengan Fao.

Di warung kopi, Fao malam juga mencoba mengaduk - aduk ihwal 'makna'. Apakah maknanya Al-Qur'an andai dibaca terus menerus, tanpa bisa mengerti artinya ? Mengapa Islam sebagai ajaran seperti 'hanya' terjebak pada sebendel buku bernama Al-Quran yang kemudian di baca keras - keras lewat mikrofon ? Dimana keagungan ajaran Islam yang mengubah kebiadaban jahiliyah menjadi madani? Adakah memang sebendel buku yang disakralkan ini cukup untuk memperbaiki kebobrokan dunia ? Buku yang dibersihkan dan disucikan, dibaca lantang, lantas disimpan kembali ? Lantas ...? Lantas...?

"Tidak, Ris....Nggak mungkin hanya melantunkan ayat suci maka dunia ini wujudnya berubah. Muhammad melakukan lebih dari itu. Kita belum memaknai dengan benar apa itu ajaran dari Muhammad...",papar Fao yang menarik diri ke posisi 'kafir'. Fao selalu tidak peduli dengan pandangan dan tuduhan orang lain yang hampir selalu dipastikan selalu mempertanyakan keimanannya. Dia memang selalu dan lebih senang seperti itu,"Sejauh ini kita hanya menjadikan Al-Qur'an sebagai ikon, tanpa bisa menjadikannya sebagai way of life..., Bukankah Al Qur'an harus menggerakkan revolusi ...?", terawangnya. Lagi - lagi Fao menguraikan dan mengingatkan kepada kiprah tokoh ideal Abu Dzar Al-Ghiffari. Fao memang seperti itu.
Aslinya saya tidak ingat lagi bagaimana detil percakapan malam itu, tetapi saya sedikit menangkap bahwa kegusaran saya hampir identik dengan kegusarannya. Kegusaran yang berujung tulisan absurd ini. Tulisan ngalor - ngidul. Maaf, memang tulisan ini tidaklah runut, seiring dengan teracak-acaknya kegelisahan ini.

Saya pamit, membiarkan Fao membayar minuman dan menyeberang jalan. Saya sendiri membanting pintu mobil lantas menyalakan mesin dan audio-nya. Menderu menjelang terbangunnya matahari dengan 'Carpet Crawlers' meningkahi telinga, lagu tentang proses metafisis seorang tokoh bernama 'Rael'. Atmosfir masih berinai rintik hujan, sisa - sisanya membulir di kaca mobil dan menggantung di ujung - ujung rambut. Saya membiarkannya.
Di akhir tahun ini sang waktu mengajarkan sesuatu kepada saya. Mengajarkan untuk tidak ragu - ragu terjerumus ke dalam kubangan makna, terjerumus meninggalkan identitas jubah - jubah yang menipu. Menuntun kepada jalan yang makin jelas, bahwa dalam meretas jalan hidup, makna adalah segalanya. Makna - makna memiliki nilai lebih dari sebagai mutiara. Apalah arti intelektual bila yang dikehendaki adalah lautan problem yang harus diselami ? Apalah arti kesakralan kitab suci tanpa aksi ? Apalah arti jubah - jubah anggun itu tanpa makna ? Apalah guna derai sejuta tawa bila yang dikehendaki adalah makna senyum bidadari ? [] haris fauzi - 31 desember 2007


salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Sunday, December 23, 2007

kenisah : paket akhir tahun 'the miracle' (the coda)

PAKET AKHIR TAHUN 'THE MIRACLE' (THE CODA)
 
"…mudah-mudahan Mirror bukan cuma reuni singkat…".
 
Menyambung dua tulisan sebelumnya, ini tulisan yang terakhir ihwal ini. Tamat. Janji deh. Awalnya ceritanya cukup panjang. Sekitar lebaran, saya dapat woro – woro dari teman yang bernama Bung Posan, bahwa di bulan Desember 2007 Bung Posan mau punya hajatan di hotel Salak, Bogor.
Dan kebetulan saya sempat ingat, bahwa di Bogor ada seorang teman yang mungkin bisa memberikan kontribusi nilai lebih untuk hajatan tersebut, teman ini namanya Mas Luky. Saya mengenal Mas Luky hanya lewat milis masyarakat Classic-Rock.  Mas Luky merekomendasikan kelompok musik the Mirror agar tampil di hajatan tersebut.
 
Setelah ngobrol email – email-an, --maklumlah Mas Luky wira – wiri Jakarta Bandung – Bogor, saya sendiri pulang larut melulu karena kantor di Karawang, sehingga gak pernah bisa bertatap muka walau di Bogor sekalipun-- barulah ketahuan bahwa kelompok the Mirror ini lagi vakum, alias gak ngapa – ngapain, bahkan ada yang bilang kalo udah sering gak ketemuan. Walah. Lha berhubung Mas Luky sangat merekomendasikan the Mirror, mangkanya dihubungilah salah satu orang lagi, namanya Mas Yadi. Lewat Mas Yadi dan Mas Luky-lah –dan mungkin lewat beberapa orang lainnya lagi yang nggak ketahuan oleh saya,-- akhirnya the Mirror kumpul lagi dan mau mentas di acara tersebut.
 
Sayangnya Mas Luky sendiri sedang ada acara di luar kota, dan sehari sebelum acara dia kirim pesan ke saya,"Sori besok gak bisa gabung liat Miracle, lagi di Bandung. Tapi Yadi and Gank katanya mau datang. Mudah-mudahan Mirror bukan cuma reuni singkat…". Saya-pun berharap the Mirror bisa mengikuti jejak koleganya the Miracle yang kini sedang sibuk dan 'bungah' hatinya karena merilis album rekaman perdana.
 
Beberapa hari sebelum acara tersebut, lagi – lagi Bung Posan woro – woro ke saya untuk datang ke bilangan Rasuna. Ada acara tumpengan dan soft-launching album perdana dari grup band the Miracle. Sore itu, tanggal 18 Desember 2007, saya datang ke sono menembus kemacetan. Dalam perjalanan ke sana, karena masih agak sore saya cukup selamat dari tragedi kemacetan, walau saya sempat nyerempet seekor kambing. Untungnya nggak papa, mungkin dia hanya sedikit puyeng. Cuma saya jadi bahan tertawaan rekan – rekan ketika saya ceritakan hal ini. Maklum hari itu mendekati Hari Raya Idul Adha, banyak banget kambing berkeliaran di jalanan. Udah banyak, semaunya sendiri dan sulit diatur lagi. Jelas Pak Polisi pasti ogah mengatur mereka. Singkat cerita malam itu saya menggenggam album perdana tersebut. Album itu bakal masuk pasar bulan Januari 2008.
 
Walhasil, saya beberapa kali terkonsentrasi untuk rangkaian urusan satu ini. Enjoy sih. Rasanya cukup komplet menyimak paket akhir tahun ini, mulai dari album perdana the Miracle, konser reuni the Mirror, dan the Miracle manggung di Dream Theater Nite. Ini saling terangkai. Wis-lah. Manteb pokok-e. Nek gak manteb yo direken manteb. Ngono wae kok angel - angel.
Memang sih, kabarnya beberapa minggu lagi kelompok Dream Theater bakal ngamen di Singapura, dan gak bisa dibajak buat sejenak ngamen di ibukota Jakarta. Catat dengan garis tebal ya : Ini Dream Theater beneran, format komplit si kekar James laBrie, si gembleleng Mike Portnoy, si tukang sihir gundul Jordan Rudess, pendekar kalem John Petrucci, dan si rambut panjang John Myung. Mereka di Singapura mau jualan album 'Systematic Chaos'. Tapi ya karena keterbatasan duit, --maklum, wong cilik,-- mangkanya saya nggak bisa nonton mereka. Kebayang sudah berapa biayanya kalo musti nonton mereka ngamen di Singapura sono. Kecewa sudah pasti….ihik…..ihik…. Tetapi apapun, saya berusaha seperti Ali bin Abi Thalib pernah ajarkan:"….Apabila yang terjadi tidak sesuai yang diharapkan, maka syukurilah apa yang terjadi…"[] haris fauzi – 23 Desember 2007.


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

kenisah : paket akhir tahun 'the miracle' (the stage)

PAKET AKHIR TAHUN 'THE MIRACLE' (THE STAGE)
 
22.12.07 05.51AM – yadi-klaro
"…Ok ntar janjian di lobi hotel salak jam 7.30 malem."
 
"Salma, …Ayah berangkat dulu, pulangnya malam. Salma sama Moncil jangan terlalu malam tidurnya…..besok pagi kita main bola dan sepedaan lagi, ya..! Assalamu'alaikum", gitu lambai saya dari jendela mobil ke anak – anak yang nunggu di balik pagar.
"Ya.. Ayah…Waalaikum-salam…", mereka berdua berebutan melambai tangan. Istri saya mengintip dari balik pintu, juga melambaikan tangan –dia memang sepeti itu, selalu melambai tangan, bukan mengacungkan ketupat bangkahulu…. Haa…. Haa…. Haa….
 
Malam baru pukul 19.00,  saya berangkat sendirian hendak nonton acara Dream Theater Nite di Hotel Salak Bogor. Acara biasa, yakni band – band lokal malam itu hendak beradu panggung dengan kesepakatan menampilkan lagu – lagu dari kelompok besar, 'Dream Theater'. Semacam tribute show gitu-lah. Ya karena domisili di Bogor, saya jadi punya kesempatan nonton hajatan temen – temen saya ini. Biasanya sih diadakan di Jakarta atau Bandung. Dan saya seperti biasa nggak pernah bisa punya kesempatan untuk hadir.
 
Memasuki lobi hotel, saya sempat nongkrong dulu baca koran sambil dengerin pemain alat musik tradisional mengalunkan lagu – lagu daerah. Keren. Sampai akhirnya temen – temen kumpul dan memutuskan memasuki lokasi acara tersebut. Di pelataran kafe saya sempat berbasa – basi dengan para calon penonton yang lain. Para penggemar Dream Theater yang mungkin saja nggak kesampaian buat nonton konser Dream Theater beneran.
 
Catat. Dream Theater adalah kelompok musik yang menganut ciri progresif, jadi jangan kaget bila yang bakalan ditampilkan para 'ummat' Dream Theater malam ini adalah duel keyboard segala. Musik boleh metal tetapi bunyi keyboard merajalela. Ada tiga band malam itu. Band pembuka, Godsave, saya kurang menyimak, karena saat itu saya lagi ngobrol dengan teman – teman yang lain. Apalagi saya pas itu sedang berada di sayap atas samping, jadi nggak bisa liat ke arah panggung dengan bebas.
 
Ketika the Mirror hendak naik panggung, saya sempat harap – harap cemas. Dari sayap atas VIP saya sengaja turun ke bawah, biar kelihatan jelas dan bisa menyimak dengan baik. Mencari tempat fokus suara dekat perangkat sound-mixer. Menjelang tampil malam ini the Mirror hanya dua kali latihan, katanya gitu. Bukan karena minimnya latihan yang saya khawatirkan, tetapi  katanya grup ini terancam bubar. Ada masalah internal. Di lobi hotel, sempat saya lihat personil the Mirror datang sendiri – sendiri. Namun, mereka saling berpelukan dan berjabat tangan di dekat pintu masuk. Tanda – tanda positif. Vokalisnya sangar tapi tenang. Sisanya kalem – kalem semuanya. Keyboardisnya apalagi, cool abis. Drummer-nya sedikit nyontek penampilan Mike Portnoy, pake celana tiga perempat. Sempat sama Mas Yadi disuruh pake overcoat petinju segala, biar makin mirip Portnoy. Dia cuma senyum akrab. Ya. Siapa bilang dunia musik heavy metal garang. Gak kok. Kalau bikin kuping agak budeg, nah ini baru mungkin.
 
The Mirror mulai tampil dengan start gebugan drum yang membahana. Seperti ada beban berat yang menggantung di atmosfer mereka. Ya mungkin karena masalah internal mereka. Namun semakin lama the Mirror bermain semakin baik. Sound system yang cukup mengganggu karena trouble sana – sini, sempat membuat gusar sang vokalis dan keyboardis. Catatan penting bagi sang keyboardis. Dia bermain bukan seperti penampilan Jordan Rudess, --penampilan sosok orangnya lebih mirip Tony Banks, keyboardis Genesis. Anteng. Hanya jemarinya yang kebut – kebutan. Sesekali melempar senyum ke penonton. Aplus penonton sering diarahkan ke dia. Memang hebat. Dengan peralatan standar kafe yang cuma segitunya, dia bisa menciptakan bunyi – bunyi yang menyihir. Suasana gedung yang berasap rokok membuat saya terbatuk – batuk. Karena inilah saya pengennya gak ikutan bersenandung, tetapi hal ini ternyata susah. Secara spontan sesekali saya ikutan bersenandung, ikutan berteriak. Trus dilanjut, "…uhuk…uhuk…uhuk…!".
 
Ada kejadian lucu pas the Mirror tampil. Yakni pas masuk sesi instrumental dan vokalisnya hendak turun ke belakang panggung. Ya karena mikrofon yang dipakai adalah cordless, mungkin kelupaan, mikrofon itu dibawa sekalian ke balik panggung. Lucunya, rupanya vokalis berambut kayak Rene Higuita ini kepleset kakinya atau kesangkut rambutnya, pokoknya kayak mau jatuh. Spontan dia cukup keras beristighfar,"Astaghfirullah…". Ya karena mikrofonnya masih dia pegang, maka suara istighfar itu masuk ke sound system. Saya lihat beberapa penonton tersenyum simpul mendengar ini. Para personil the Mirror juga sedikit menyungging senyum dan saling lempar pandang.
 
Terbukti the Mirror yang asli Bogor ini memang termasuk grup band jagoan dalam urusan meng-cover lagu – lagu Dream Theater. Kenalan baru saya yang berprofesi jadi juragan rekaman sempat kasih komentar ke saya,"..kalo the Mirror mainnya keren, tekniknya jagoan dan rapi, tolong suruh mereka bikin demo rekaman dan kasihin ke saya, ya…dalam dua tahun ini, tren Dream Theater masih oke…". Saya cuma bisa meng-iya-kan.
 
Kelar the Mirror manggung sekitar 50 menit, barulah band yang baru rilis album, the Miracle naik panggung. Karena dalam karya – karya Dream Theater unsure bunyi keyboard sangat dominant, mungkin atas alas an inilah keyboardis-nya the Miracle tampak sibuk mengganti perangkat mainannya  dengan yang lebih gedhe. Sempat saya cari informasi apa saja materi lagu dari the Miracle. Tetapi katanya gak jelas mau nyanyiin apa aja. "Tunggu dan ikutin aja". Yo wis. Harapan saya, the Miracle membawa sedikitnya dua lagu dari album mereka sendiri. Jangan  melulu nge-Dream Theater.
 
Tiba juga waktunya buat the Miracle manggung. Gak cuma lagunya Dream Theater yang dibawakan dengan baik oleh The Miracle, penampilannya para personilnya juga hampir nyaris mirip. Vokalisnya sering memaparkan tangannya seperti James LaBrie, drummernya pake udeng bajak laut mirip Mike Portnoy. Udah gitu pake gaya pukul simbal sambil berdiri lagi. Mirip pokok-e. Cuma kok gak pake kacamata hitam bunder. Keyboardisnya akan jadi lebih mirip Jordan Rudess bila dudukan keyboard-nya dibikin lebih pendek sehingga bermainnya sambil membungkuk. Lebih komplit lagi bila keyboard-nya berdiri di single-stand dan bisa muter – muter. Dan akan makin mirip bila mau menggunduli rambutnya. Jordan Rudess adalah keyboardis yang gundul, bukan? Hanya sosok bassis-nya yang gak  mirip dengan John Myung. Mungkin susah melihara rambut sepanjang dan selurus rambut Myung.
 
Gak perlu dibahas, mereka memainkan lagu – lagu karya Dream Theater dengan baik. Catatan penting adalah bagaimana mereka mengajak para penonton untuk menyanyi bersama, ada dua lagu yang dibikin seperti itu. Dan the Miracle juga menyisakan dua lagu untuk 'jamming' main bareng dengan personil the Mirror. Wah, ketika para personil the Mirror ikutan naik, maka penuh sesak panggungnya. Duel vokal, gitar dan bass. Yang keren adalah para pemain bass-nya yang sering bercanda gayeng berduaan. Sementara kedua gitarisnya memilih meniru John Petrucci, berdiri berjejer anteng sambil menyayat gitar. Keyboardis the Miracle memakai portable keyboard yang dicangklong itu kayak Fariz Rustam Munaf. Keyboardis the Mirror kayaknya gak nampak. Lha wong panggung kecil itu penuh. Kedua vokalis yang satu di sayap kiri, satunya di sayap kanan. Pas teriak bareng dahsyat bener. Harusnya ada dua drum set dan dua keyboard. Bakal dahsyat, saya yakin seyakin - yakinnya, karena salah satu kedahsyatan karya – karya Dream Theater ya di gebugan drum dan bunyi-bunyi keyboard yang menyihir.
 
Sampai ending dari jamming tadi, ternyata the Miracle malah nggak nyanyiin lagu mereka sendiri. Walah. Agak kecewa hati saya. Yo wis lah. Katanya sih tour untuk album baru ini baru akan mulai awal tahun 2008. Sekali lagi : yo wis lah. Jam satu malam –eh, dini hari ding, -- saya masuk rumah dan membuat minuman cokelat panas. Kuping masih agak budeg.[] haris fauzi – 'feeling stranger & out of place' – 23 desember 2007


salam,
haris fauzi
 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Thursday, December 20, 2007

kenisah : paket akhir tahun 'the miracle' (the disc)

PAKET AKHIR TAHUN 'THE MIRACLE' (THE DISC)
 
Menggenggam cakram album perdana The Miracle : 'theM – let him make his choice…', mungkin akan timbul beberapa pertanyaan. Ya. The Miracle adalah grup lokal, bukan grup bule. Judulnya-pun pake bahasa Inggris, tapi semua syair dalam album tersebut berbahasa Indonesia. Transisinya ada di tracklist-nya. Di semua tracklist terdapat dua bahasa. Contohnya seperti ini : ChapterOne : Mawar Hitam.
 
Pertanyaan kedua yang muncul adalah sampul albumnya. Bergambar separoh (eh, seperempat ding…) wajah wanita, konsentrasi di bagian mata kanan, dimana di hitam matanya ada gambar bunga mawar merah pekat. Kelihatannya sih seperti itu. Warna latarnya juga hijau lunak pelepah pohon pisang. Seorang rekan yang melihat sampul album tersebut –tanpa mendengarkan musiknya terlebih dahulu—berkomentar, "…ini album pop, ya ?". Saya bengong. Bener juga kayaknya ya, kok mengingatkan pada sampul album – album musik pop highlights Indonesia. Atau saya yang ketinggalan jaman ?.
 
Kontan teman saya tersebut langsung saya ajak mendengarkan isinya. Begitu menit pertama langsung ritem gitar yang padat  dan drum berebutan suara, sekali lagi dia komentar: "..mas…sampulnya terlalu soft untuk musik yang demikian nge-rock..".
 
Oke. Kita lewati saja kontradiksi seputar sampul. Kita bicara musiknya sekarang. Bener kata Bung Icann, yang menjadi juragan produksi album ini, dia bilang kalo album ini isinya komplet-teknikal, dan hampir semua lagunya bobotnya seimbang. Saya setuju. Secara bobot memang hamper rata semuanya. Bila kita mendengar dan menyukai lagu pertama, pasti semuanya akan bisa ditelan dengan mudah dan nikmat. Cuma masalahnya, apakah sajian The Miracle ini bisa anda telan ? Oke. Untuk itu ada bijaknya bila anda langsung berlari ke notifikasi di keterangan album tersebut. Dijelaskan bahwa album ini dipengaruhi oleh banyak kelompok musik, yang paling dominan adalah kelompok besar Dream Theater. Pengakuan The Miracle, dia terpengaruh 25% oleh Dream Theater. Sungguh dominan. Artinya bila anda doyan karya – karya Dream Theater, maka anda akan menyukai album 'TheM' ini.
 
Pengaruh terbesar lainnya diakui adalah oleh GodBless, jagoan musik rock Indonesia. Padahal GodBless punya banyak album yang berbeda – beda. Awalnya dia art-rock, trus jadi progressive-rock, trus dia bikin glam rock di album 'Semut Hitam'. Pas album keren 'Raksasa', GodBless lebih mirip kelompok hard-rock Van Halen gara – gara Eet Syachranni yang pernah nyekolah di sekolah gitar Eddie van Halen ikutan join.
 
Sebenarnya masih banyak kontribusi yang lain, seperti Metallica atau Slank sekalipun. Ya udah. Saya ambil prosentase terbesar, Dream Theater. Jreng ! Habis ya kesan itulah yang masuk kuping dan hati. Nampak awal langsung di gaya main Reza, sang drummer. Gimana bunyi drumnya, gimana mengatur ketukan dan mengisi ruang kosong, mirip apa yang dilakukan oleh jagoan nge-drum Dream Theater, Mike Portnoy. Kasian perangkat drum-nya Reza, Reza nggebug-nya rata, semua dipukul dengan intensitas hampir sama. Pasti babak – belurnya sama rata juga.
 
Suara gitar Faisal walaupun sangar bener namun berkesan lebih lunak ketimbang John Petrucci (gitaris Dream Theater), manouvernya juga gak se-'laknat' Petrucci, tetapi tetap saja bayangan Petrucci nggak bisa hilang, apalagi saat – saat pengisian interlude dengan melodi yang kadangkala musti berlomba dengan suara keyboard yang disusun megah. Walah, Dream Theater centris.
Namun suatu kali di lagu 'chaptertwo:bebas', --di deket-deket menit ketiga-- bunyi gitar dan gebugan drum mengingatkan kepada kelompok Megadeth. Lho kok bukan Metallica, sih ?
 
Keyboard ? Wah. Jangan tanya lagi, Jordan Rudess rules. Di lagu 'chapterthree:bertemu', Yessi mengawali dengan baik gaya Rudess ini. Apalagi saat suara piano musti mengisi keheningan, bunyi sendirian hanya beriring dengan vokal. Keren. Seperti lilin yang menyala redup diiringi kepak sayap merpati. Coba anda dengar di 'chaptersix:pergi'. Juga di lagu pamungkas :'reprise:bertemu', keyboard dan ritem gitarnya sangat padu ala Dream Theater. Apalagi tambah bunyi drum yang kompleks kayak gitu –hampir semua elemen bedug ini gak pernah berhenti digebug dengan merata-- , dah deh, sangat mirip konsep bunyi milik Dream Theater. Yessi, sang keyboardis, memang jagoan. Rasanya selain bisa mengadopsi dengan baik ciri Rudess, bagi saya pribadi Yessi juga banyak dipengaruhi oleh keyboardis lain. Saya sekilas – sekilas menangkap gaya Tony Banks (keyboardis Genesis) dan nampak jelas di lagu 'Dosa', dan beberapa sentuhan David Bryan, keyboardis-nya Bonjovi yang suka menari-nari dengan bunyi tunggal. Tapi dua band ini; Genesis dan Bonjovi, tidak masuk dalam daftar 'pengaruh'.
 
Sementara permainan bass Vedy, seakan mengamini rekan – rekannya. Dia mengikuti jejak John Myung-nya Dream Theater, walau lebih berkesan 'sembunyi - sembunyi'. Lha memang karena saya bego soal musik, mangkanya untuk mendengar bunyi bass Vedy saya harus mengubah susunan equalizer.
 
Hanya di sektor vokal saja yang lebih merdeka dari pengaruh James laBrie, vokalis Dream Theater. Olah vokal Chemmy rasanya sudah bisa menjelajah ala LaBrie. Chemmy rasanya bisa dengan baik menyanyikan lagu ala LaBrie. Maklum saja, grup ini dulunya memang suka manggung nyanyiin lagu – lagu Dream Theater. Namun vokal Chemmy rasanya lebih ramping ketimbang LaBrie, lebih halus dan bening, namun masih berkesan metal. Kondisi ini sering menjebak ke kesan pop. Kesan pop ini nampak di lagu 'chapter three:bertemu' dan 'chapterseven: kembali'. Andai Chemmy bisa bernyanyi dengan lebih dark lagi, lebih powerfull lagi, mungkin vokalnya akan sangat dahsyat.
 
Saya kurang terlalu mengerti ihwal alat musik, jadi mungkin saya selesaikan saja urusan ini. Saya tertarik dengan urutan lagu di album konsep ini. Album ini bercerita urut dari awal hingga akhir. Rasanya berkiblat ke album Dream Theater 'Six Degrees Of Inner Turbulence'. Secara tempo, penelusurannya sudah mengasyikkan, karena seperti kata Bung Icann, memang komposisi lagu – lagunya seimbang. Hanya di 'chapterthree:bertemu', ada kejutan. Karena di kuping saya rangkaian emosi yang dibikin garang dari chapterone:mawarhitam' ke 'chaptertwo:bebas', jadi seperti sedikit kehilangan kendali. Alias tempo metal turun agak nge-pop, sangat kentara di sektor vokal. Inilah yang saya bilang menjebak tadi. Namun jangan salah, lagu 'chapterthree:bertemu' ini rasanya bagi saya malah bisa dijagokan buat radio-hits. Lha ini kan mirip nasib lagu "Solitary Shell'-nya album Six Degrees Of Inner Turbulence. Bukan begitu ?
 
Apa bedanya dengan Dream Theater kalo gitu ? Apa bedanya dengan album 'Six Degrees Of Inner Turbulence' ?
Ya jelas beda. Dari sisi lirik, The Miracle memilih untuk membuat syair yang tidak perlu membuat kita berkerut dahi. Liriknya nggak perlu bermakna ganda, tidak bersayap – sayap. Silakan bedakan dengan lirik Dream Theater di album 'Scenes From A Memory', misalnya. Dream Theater berkutat dengan urusan reinkarnasi, urusan metafisika, urusan politik, urusan kejiwaan, urusan alam bawah sadar, dan hal – hal yang filosofi lainnya. Sementara The Miracle tidak. Lebih terang dan gampang. Sempat terbersit rasa sayang juga. Musik yang sudah sedemikian technically kompleks kenapa liriknya nggak digeber ruwet sekalian sahaja ?
 
Dari sisi pasar, pemilihan lirik yang 'terang' dan 'gampang' ini menunjang sekali. Dibalik kompleksitas dalam teknis musik yang ditebarkan The Miracle, lirik menjadi satu senjata agar bisa diterima terlebih dahulu oleh kuping. Sadar atau tidak sadar, idealisme The Miracle untuk mengusung aliran musik progressive-rock yang cenderung heavy ini rasanya memang susah menyeruak pasar musik Indonesia yang selalu didominasi oleh musik pop. Sekali lagi mengamini ujaran Bung Icann, "target kita di market ga muluk-muluk….".
 
Saya jadi teringat pada saat saya membeli album Yes "Union". Seorang teman bertanya kepada saya, "lagu mana yang bakal jadi radio-hits ?". Dan, saya tidak bisa menjawab dengan baik. Hitungan saya seperti itu juga. Kondisi selera pasar bisa berbanding –bahkan cenderung-- terbalik dengan musikalitas itu sendiri. Bila ingat kelompok musik Discus misalnya. Kompleksitas bermusiknya yang demikian berkualitas ternyata tidak bisa memanen hasil yang besar di pasar lokal. Ya, memang idealisme tidak perlu harus untung besar – besaran. Namun perlu dicatat, idealisme bermusik bisa menumbuhkan legenda. Karena rasanya hampir semua legenda musik blantika rock terisi oleh musisi – musisi idealis. Bukankah begitu ? Dan, bisa jadi The Miracle lewat album 'TheM' ini memang memilih jalur kedua, jalur legenda.
 
Apakah ada lagi yang bisa di samakan dengan Dream Theater ? Ada. Di notifikasi album 'TheM', The Miracle menuliskan berikut :'…but sometimes they call us "Jo". Saya baru sadar maksudnya adalah mereka saling sapa dengan kata awal 'Jo', misalnya 'Jo Yessi, Jo Chemmy, mungkin begitu. Jadi mereka bikin predikat nama awal Jo. Persamaannya dengan Dream Theater adalah semua musisinya juga berawal dengan huruf J kecuali Mike Portnoy. Pas ? [] haris fauzi – 'whisper & handshake'; 19 desember 2007, larut malam.


salam,
haris fauzi
 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Tuesday, December 18, 2007

kenisah : setelah larry gonick. apa ?

SETELAH LARRY GONICK. APA ?
 
Bagi saya jawabnya adalah Gola Gong, Astrid Lindgren, dan Mario Puzo. Tuntas sudah saya membeli dan membaca tiga buku seri Riwayat Peradaban buah tangan kartunis sableng Larry Gonick. Yakin tuntas ? ..eh,enggak ding… Tinggal bayarnya, karena saya membelinya menggunakan kartu kredit. Apalagi sebenarnya bundel komik karya Larry Gonick masih menyisakan satu buku lagi, yakni seri Peradaban Modern. Saya menunda untuk menikmatinya, agak klemunen mata dan kepala saya menuntaskan komik lucu tapi sarat pesan itu. Apalagi gaya celelekan-nya menggoda iman, atas ihwal inilah mangkanya saya bilang Gonick adalah kartunis sableng. Dari wajahnya saja sudah kelihatan. Tengoklah di halaman bagian belakang komik tersebut, ada foto dia terpasang nyengir.
 
Kenapa saya menjawab Gola Gong ? Selain karena antara saya dan Gola Gong adalah sesama penggemar mantan vokalis Genesis bernama Peter Gabriel, dan saya juga kadangkala menangkap berita ihwal 'Komunitas Rumah Dunia' yang dikelola Gola Gong bersama istrinya ; Tias Tatanka, maka jelas sekali karena saya mengenal Gola Gong dari tulisannya yang melegenda di majalah remaja Hai, berjudul Balada Si Roy. Itu bacaan populer ketika saya remaja. Hingar bingarnya hanya bisa dikalahkan oleh seri Lupus, tulisan Hilman,-- yang lebih populer dan men-'Duran - Duran', ikon kosmo masa itu. Roy adalah petualang, Lupus adalah kluyuran. Roy adalah Peter Gabriel, Lupus adalah Simon LeBon.
 
Semula saya hendak membeli kumpulan cerita Balada si Roy tersebut. Pasti hebat rasanya punya koleksi buku seperti itu. Namun buku - buku tersebut saya keluarkan kembali dari basket belanjaan karena ada yang lain, yakni serial Lazuardi, bikinan Gola Gong juga. Bisa jadi seri Lazuardi tidaklah sepopuler Balada Si Roy, tetapi coba bacalah narasinya. Lazuardi adalah Si Roy yang lebih spiritualis. Mungkin anda awalnya akan ragu, tetapi saya tidak. Ada beberapa kejadian yang membuat saya mantab. Bung Gola Gong pernah berkirim surat elektronik kepada saya yang hina ini. Dalam surat tersebut Gola Gong bercerita bahwa dia pernah begitu sengsara dan sakit, sehingga dia melakukan negoisasi dengan malaikat maut untuk menunda kematian. Dan, akibat peristiwa ini Bung Gola Gong mengaku mulai menapak jalur spiritual. Balada Si Roy yang sudah demikian keren saja masih ditambah ranah spiritual ? Wah, ini sih perfeksionis. Tak ragu, saya ambil ketiga judul seri Labirin Lazuardi:Langit Merah Saga, Ketika Bumi Menangis, dan Pusaran Arus Waktu. Tentunya itu berarti ada tiga buku yang siap dibuka segel plastiknya, lantas dibaca, dan bulan depan dibayar tagihan kartu kreditnya. Segampang itukah ? ..eh,enggak ding, soalnya Istri pasti menanyakan kenapa bulan – bulan ini cukup banyak tagihan yang tidak terkait dengan belanja bulanan.
 
Astrid Lindgren mulai saya gandrungi sejak adik saya mengoleksi buku seri 'Anak - Anak Desa Bullerbyn' yang mana buku itu kini telah raib entah kemana. Katanya sih disumbangin, entah juga mungkin diloakin. Lindgren terkenal dengan seri Pipi Kaus Kaki Panjang, tapi saya kurang menyukainya. Greget Lindgren makin nyata bagi saya ketika tahun 1997 saat jalan - jalan di salah satu toko buku di Jogjakarta dengan pacar  membeli buku tulisan Lindgren berjudul "Emil dari Lonneberga" Saya beli karena tipis, murah, dan warnanya kuning. Saya beli juga karena alasan kampungan, yakni daripada nggak beli apa – apa. Andai ini terjadi –saya tak beli apapun--  pasti saya tinggal membayangkan martabat saya bakal runtuh dihadapan sang pacar. Emil adalah anak lima tahun yang nakalnya seperti setan. Rusuh abis. Mengingatkan saya kepada kenakalan saya….eh, nggak ding. Saya dulu adalah anak kecil yang tidak rusuh.
 
Nah, mungkin sekitar empat bulan lalu, saya mendapatkan --tentunya dengan membeli-- dua buku tulisan Lindgren yang lain, judulnya 'Lotta' dan 'Karlsson Si Manusia Atap'. Saya membelinya dan membacanya, keren. Anak saya yang masih berusia tujuh tahun juga melahap dengan antusias, terutama 'Lotta', pun Istri saya demen banget dengan 'Lotta' dan dengan segera menganjurkan saya agar segera melengkapi buku - buku karya Astrid Lindgren ini. Buku ini juga coba saya tawarkan kepada rekan kantor. Responnya positif. Ajaib memang buku 'Lotta' ini.
 
Suatu hari saya musti mengantar anak saya yang diundang temannya berulang tahun. Kedua anak saya ikutan kondangan ini, pastilah dengan Ibu-nya karena mereka telah saling kenal baik. Anak kenal anak, Ibu kenal Ibu. Lantas saya ngapain ? Walah, saya pernah mengantar anak saya datang ke acara ulang tahunan seperti ini. Saya bengong sendirian, anak - anak cekakakan, Ibu - Ibu cekikikan. Saya bego layaknya keledai. Atas dasar pengalaman inilah, maka Istri dan kedua anak saya saya tinggal, dan saya sejenak meratapi nasib kesendirian ini dengan jalan - jalan ke toko buku terdekat. Walhasil, saya mendapatkan beberapa judul buku karya Astrid Lindgren berikutnya. Tanpa pikir panjang lagi segera saya masukkan ke keranjang buku - buku tersebut, tentunya buat dibeli, karena nyolong gak bakalan mungkin oleh sebab nyali saya nggak cukup, kuatir digebugin satpam. Ketiga buku itu judulnya adalah 'Semua Beres Kalau ada Emil', 'Kenakalan - Kenakalan Baru Emil', dan 'Hari - hari Bahagia di Bullerbyn'. Puas dan merasa beruntung karena bisa mendapatkan buku – buku yang agak sulit dicari itu. Mungkin bisa lebih merasa beruntung lagi apabila bisa nilep alias nyolong buku tesebut. Tetapi ini tak kejadian. Bukan karena iman, tetapi karena takut.
 
Sebelum ini, karena anjuran Istri saya, saya cukup getol mencari judul - judul karya Lindgren. Pernah saya sedikit meradang di sebuah toko buku ketika menjumpai tidak ada satupun buku yang ada, padahal di katalog toko buku tersebut hampir semuanya ada daftarnya. Mungkin belum rejeki, dan barulah ketika musti melepas waktu mengantar bocah, saya berkesempatan mendapatkan tiga buku tersebut. Inipun sama, bulan depan musti dibayar tagihan kartu kreditnya. Kan gak nilep ?
 
Aslinya saya suka membaca buku petualangan termasuk cerita detektif dan kisah mafioso. Mangkanya ketika saya membeli buku 'The Sicilian' karya Mario Puzo, Istri saya sempat komentar;" ..Itu buku dibawa kemana - mana. Bangun tidur, habis makan, langsung nggegem (menggenggam) buku mafia...". Ya karena keren, mangkanya saya menyukainya. Asli keren. Maco, mangan coro.
 
Saya sempat berkirim pesan pendek kepada sahabat saya, menanyakan manakah karya Puzo yang bagus selain 'The Sicilian'. Jawabnya adalah 'Godfather' dan 'The Last Don'. Kedua buku itu kelanjutan kisah dari buku 'The Sicilian', walau bisa dibaca secara terpisah. Sahabat saya menambahkan,"...saya juga punya yang berjudul 'Omerta'..". Waduh. Setelah sedikit menyisir rak buku, ketiga judul buku tersebut saya temukan. Untuk judul 'Godfather' tersedia dua pilihan yang hard cover dan sampul lunak. Sebetulnya saya pengen ada pilihan ketiga: yakni yang gratis, tapi itu tak ada cerita. Akhirnya saya memilih yang sampul lunak, lebih murah. Ketiga buku ini melengkapi koleksi film 'Godfather' yang ada di rumah. Namun tidak melengkapi koleksi buku colongan.
 
Acara selanjutnya adalah : membacanya...! Ah, salah lagi tebakan kali ini. Yang benar adalah membayar tagihan kartu kreditnya, dengan terlebih dahulu menyembunyikan buku itu dari mata Istri saya. Saya menginapkan buku – buku tersebut beberapa hari dalam bagasi mobil.  Maksudnya biar nggak ditanyain harganya. Harga buku Puzo relatif mahal di mata saya, apalagi bagi Istri. Perkara membacanya mungkin bisa ditunda, apalagi sekarang kepala saya sedang dijejali masalah wanita.....eh, nggak ding, karena saya dalam dua hari membolak - balik buku kecil tulisan Edward.W.Said. Sumprit, Edward W.Said mengacak - acak idealisme saya, dan seakan – akan memancing saya untuk bertindak. Gila bin edan, membaca buku kecil tersebut bagi saya dampaknya seperti membaca tulisan Ali Syari'ati, atau tulisan Frantz Fanon. Saya seakan diminta untuk marah, emosi, merasa bodoh, dan hendak menghunus belati. Buku Edward W.Said tersebut berjudul 'Peran Intelektual'. Sebaiknya anda tidak membacanya. [] haris fauzi – 18 desember 2007


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Monday, December 17, 2007

kenisah : EWS

EWS
 
"...dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya..." (Edward W. Said)
 
Kalimat dari EWS ini sungguh mengusik saya sejak lama. Tertuang dalam buku "Peran Intelektual", sebuah buku tipis berisi ajaran - ajaran ihwal segala macem dari EWS, yang juga dikenal dengan Edward W. Said. Jurnalis dan pengamat sosial setengah bule yang berjiwa timur - tengah. Buku itu tipis, saya beli bulan nopember 1998 terbitan yayasan Obor.
Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat, para intelektual adalah pencipta bahasa --dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.
 
Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan, bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya. Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya, untuk itu dia butuh 'makna'. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali Syari'ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari'ati seringkali 'membebankan' perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan, yang dalam pendapat Syari'ati disebut dengan 'raushanfikr'.
Menurut Syari'ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif dengan posisi status quo (ihwal posisi ini saya ulas sedikit di paragraf berikutnya).  Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati'ati adalah Muhammad pendakwah Islam.
 
EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam. Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi  kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif. Dan, karena tuntutan untuk 'tidak sekedar berbicara', melainkan harus bertindak dan bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat, setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh Mussolini.
 
Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata --menurut Julien Benda dan diamini dengan lantang oleh EWS,  jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur, sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.
Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.
 
Mengulang ketakutan saya sendiri. Terus terang, selepas dari bangku kuliah, saya punya cita - cita menjadi seorang intelektual. Tolong ledek saya bila memang anda menginginkannya. Namun, mendalami tulisan EWS ini saya jadi semakin kecut karena pola perjalanan seorang intelektual versi EWS ini sungguh riskan. Kadangkala karena saya merasa 'sok intelektual' maka bisa saja polah saya akan berujung kepada romantisme semata. Dan hal ini juga tidak diinginkan. Problem masyarakat, ketidak-jujuran, tidak akan selesai hanya melalui tahap romantisme. Harus melalui aksi yangmenumbangkan.
 
Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana komunikasi modern membanamkan kita. Well. Susah banget saya mencoba mencerna kalimat sosiolog itu. Brengsek, otak saya belum nyampe. Bila memang terlalu sulit, kali ini saya mencoba meretas jalan saya sendiri. Saya mencontek EWS. EWS juga melakukan hal serupa, menyisir jalan dan sejarah dia sendiri untuk menuliskan makna - makna peran intelektual. Tapi bedanya nyata: EWS adalah intelektual beneran, saya adalah bocah sok intelektual.
Untuk menjalankan peran intelektual berbasis pemikiran logika, saya tidak sepenuhnya bisa akomodatif terhadap 'rasa'. Saya kesulitan merajut makna dari 'rasa'. Padahal dari 'rasa'-lah kepekaan itu muncul. Karena mengabaikan unsur perasaan ini, maka saya tidak pernah bisa menjangkau pantai romantisme, apalagi melankolis. Kesulitan ini saya jawab dengan logika, sampai suatu saat tindakan saya mengundang petir yang menyadarkan saya. Seorang teman baik yang mendengar saya berujar seperti itu langsung menukas dengan kalimat yang menusuk dan menyadarkan saya:".....apa yang salah dengan romantisme ?". Sengit dan menyengat. Namun menyadarkan walau sejenak menumbukkan ke culdesac.
 
Saya baru sadar, bahwa perasaan merupakan belati yang cukup tajam untuk menorehkan slogan revolusi yang menggerakkan seperti apa yang dibilang oleh Frantz Fanon. Lontaran kebebasan dari ketertekanan. Karena rasa, maka ada peduli dan kepekaan.
 
Belum usai saya mengerti sepenuhnya tulisan EWS, namun pikiran saya sudah melayang entah kemana, membayangkan bahwa kaum intelektual tidaklah bersemayam dalam kedamaian. Tetapi dia berlari dalam proses perdamaian. Dan ketika kedamaian itu terwujud, sang minoritas dan oposan itu sudah tidak lagi berada disitu. Tinggal bayangan. Dia berlari kembali dalam kesendirian sebagai representatif problem, sebagai tokoh yang 'gentle'. Sendiri dan terasing, berperang di pihak yang lemah dan tak terwakili. Hanya sesekali diuntungkan oleh romantisme dan legenda. Dan hal ini tidak pernah usai. Berat nian. Baca aja udah capek, gimana njalaninnya?
Dan buku tipis itu masih tergulung dalam genggaman tangan. [] haris fauzi – 17 desember 2007
 


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Saturday, December 15, 2007

kenisah : lentera asa

LENTERA ASA
Live another day
Climb a little higher
Find another reason to stay
Ashes in your hands
Mercy in your eyes
If you're searching for a silent sky
You won't find it here
Look another way
You won't find it here
So die another day
…..
('Another Day'- Dream Theater, Images & Words)
Catatlah. Kali ini saya tidak membicarakan ihwal musik rock kegemaran kuping saya. Cuma kebetulan lirik di atas adalah ciptaan kelompok musik keras berpanji 'Dream Theater'. Saya usulkan agar anda menyempatkan sedikit – sedikit menyimak lirik dari lagu – lagu kelompok musik Dream Theater ini. Cukup mengasyikkan, setidaknya dari sudut pandang kacamata saya walau kemampuan bahasa Inggris saya sangat menyedihkan. Mereka menulis lirik dengan serius, bahkan menyusun album – album mereka laksana empu Gandring mencipta sebuah karya agung. Mereka hitung dan merumuskan berapa kali pengulangan kalimat, berapa jumlah lagu dan konstrain durasi yang harus ada untuk album tertentu, bila album keenam, maka ada enam lagu, maka judul albumnya SIX. Mereka mencoba menyisipkan keajaiban – keajaiban unik yang bakal melegenda. Salah satu lagu yang sampai sekarang menjadi perbincangan dalam ranah filsafat adalah lagu 'Scene Eight : The Spirit Carries On' yang termuat dalam album 'Metropolis Pt.2 : Scenes From A Memory'. Isi lagunya seputar reinkarnasi jiwa.
Ya, memang sekali lagi, kemampuan bahasa menentukan hasil tafsir dan penerjemahan karya lirik ini. Saya berusaha semampu saya, dan mohon maaf apabila tafsiran saya ini salah. Tolong koreksi tulisan saya ini. Namanya juga belajar. Ya. Inilah tafsir subyektif versi saya. Dasar saya ndableg. Tulisan ini hanyalah hasil interpretasi saya yang keseringan mendengarkan lagu ini di dalam mobil. Berulang – ulang puluhan kali dalam perjalanan kemanapun.
Oh,ya. Beberapa kali saya tidak sendirian mendengarkan lagu ini, sesekali ada teman yang otomatis ikut mendengarkan lagu ini karena dia duduk manis di bangku sebelah. Saya kurang tau apakah teman duduk dalam mobil saya juga memiliki interpretasi yang sama dengan saya soal lagu ini. Ya itulah. Namanya juga lagi belajar. Saya sedikit percaya, bahwa pemahaman dan pengalaman hidup juga cukup menentukan dalam menafsirkan sebuah prosa atau syair. Inilah faktor yang bisa membuat penafsiran memiliki bobot subyektif. Dan berbeda. Bukannya begitu ?
Dalam lagu 'Another Day', Dream Theater berbicara dengan lantang ihwal penggapaian asa dalam kehidupan. Lagu ini lebih gampang dimengerti ketimbang yang ngomongin soal reinkarnasi tadi. Anda bisa dapatkan lirik lagu ini dimana saja, soalnya kalo saya tulis penuh maka jadinya tulisan ini akan terlalu panjang.
Penekanan pesan dari lagu 'Another Day' terlihat cukup jelas dalam empat baris yang dinyanyikan berulang – ulang :
You won't find it here
Look another way
You won't find it here
So die another day
Ada masalah pilihan bagi saya yang awam ini dalam penafsiran dari kata "won't", yang berarti 'tidak mau' ataukah berarti 'tidak akan'. Karena akan ada perbedaan arti mendasar. 'Tidak mau', berarti si Pencari memiliki nyali yang tidak cukup untuk mendapatkan atau menemuinya. Sementara arti 'tidak akan' lebih cenderung bahwa si Pencari kali ini tidak mendapatkan apa yang dia cari. Tolong masukannya. Untuk sementara mari kita lewati saja problem ini. Saya secara awam mengartikannya dengan 'tidak akan', karena di baris sebelumnya ada kata 'if' sebelum ' ..you're searching for a silent sky…..'.
Mendengar bait – bait tadi, saya jadi membayangkan bahwa asa adalah sebuah lentera yang hendak dicapai. Dan, manusia adalah makhluk yang secara fitrah ditakdirkan untuk mencari dan mendapatkan asa tersebut. Dan seperti dalam lirik tersebut, mencapai asa tidaklah mudah. Mencapainya harus dengan perjuangan, dan tidak sekali – dua, bila perlu ribuan kali kita musti mencoba dan berjuang mendapatkannya. Apabila kita gagal dalam suatu cara, maka hendaknya kita mengerjakannya dengan cara yang lain. Bila masih belum jua mendapatkan, maka carilah terus cara yang lain. Inilah prinsip penggapaian asa. Namun hal ini juga yang sering membuat orang akhirnya melakukan cara yang neko – neko. Halal haram hantam kromo.
Perjuangan yang tidak mudah. Beberapa pencari asa harus dihadapkan dengan gunung yang menghadang, problem yang menjerat, dan jebakan yang mematikan. Suatu saat kilau lentera ini semakin kecil, sementara rintangan semakin dahsyat. Kadangkala fakta ini membuat manusia gentar, dan mencari saat yang tepat untuk …...melarikan diri dari masalah tersebut.
Selain manusia ber-fitrah sebagai pencari asa, manusia juga memiliki sifat pengecut, yang kadangkala muncul dan harus dibinasakan. Sifat pengecut ini membuat kegagalan pertama dalam pencarian asa, karena selalu mengajak untuk melarikan diri dari masalah. Dream Theater juga menyiratkan hal ini dalam lagu tersebut.
Dan apabila lentera itu akhirnya padam ketika kita belum kuasa mendapatkannya, maka kita harus bisa memendam kekecewaan kita, untuk kemudian menunggu lentera itu terpantik dan menyala kembali. Lantas kita berusaha menggapai lain hari.
Asa itu tidak mati seiring matinya lentera tersebut. Asa itu masih ada, dan menunggu masa untuk memancarkan kembali nyala lenteranya. Pada prinsipnya, kita harus menantinya, tidaklah bijak bila ketika lentera itu mati, lantas kita terlanjur pupus, layu, untuk kemudian mati berkalang tanah.
Dalam lagu 'Another Day' Dream Theater memastikan hal itu: "…apabila asa itu tidak kau dapatkan kali ini disini, maka janganlah kau mati sekarang….".Dream Theater mengajak kita untuk terus berusaha dan berusaha menggapai asa yang kita harapkan. Dalam lirik yang diulang – ulang tadi, James LaBrie sang vokalis juga menekankan pesan tersebut lewat olah vokalnya. Sengaja semakin diulang, maka nada yang digunakan juga semakin tinggi dan semakin tinggi. Teriakan LaBrie semakin keras dan semakin keras. Maksudnya mungkin LaBrie mengingatkan bahwa toh bila sudah berkali - kali kita tak jua mendapatkan asa tesebut, maka kita harus semakin keras berusaha menggapainya. Dan jangan mati sekarang, karena asa itu masih menanti kita untuk menggapainya. Agar kita memperoleh dan lantas memeluknya. [] haris fauzi – 15 desember 2007



salam,
haris fauzi


majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah



Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.

Wednesday, December 12, 2007

kenisah : ratiban

RATIBAN
Ratiban adalah seremonial pelepasan jamaah haji dari rumah masing - masing. Biasanya mengundang handai tolan dan tetangga kerabat. Sambil berdoa bersama dan ceramah. Ada tiga kali ratiban yang begitu meninggalkan kesan dalam lubuk hati saya. Saya hendak berceritera tentang itu.
Yang pertama ketika entah tahun berapa --saya masih kanak - kanak--, Kakek dan Nenek dari pihak Ibu hendak menunaikan ibadah haji. Maka kami berbondong - bondong ke kaki gunung Merapi, desa beliau. Lantas malam hari sebelum pelepasan, Lek Aji mengkoordinir teman - teman desanya untuk bergadang mempersiapkan tenda dan membuat nomer urut untuk mobil - mobil yang bakal berombongan besok paginya menghantarkan Kakek - Nenek. Tenda cukup luas karena orang sekampung bakal hadir. Mobil - mobil diurutkan nomernya karena memang cukup banyak mobil yang hendak beriringan mengantar. Saya kebagian mobil dengan nomer urut 07.
Paginya, --agak siang sedikit--, kami semua berangkat --seingat saya ke bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Saya masih ingat, Kakek dan Nenek mengenakan busana batik. Dan saya masih ingat, Kakek melangkah begitu tegap lengkap dengan kacamata dan slayer-nya, sementara Nenek menitikkan air mata seiring lambaikan kami.
Agustus 1986. Saat itulah Bapak memutuskan untuk beranjak naik haji bersama Ibu. Ratiban diadakan di rumah kami. Rame sekali, kerabat Bapak banyak yang berkunjung. Maklum, Bapak masa itu memang sedang banyak aktif di berbagai kegiatan, jadi temannya juga banyak. Agak siangan kami berombongan menuju mesjid Sabilillah,-- salah satu mesjid terbesar di kota Malang kala itu. Saya ikut satu rombongan dengan Bapak - Ibu, naik mini-bis bantuan dari Angkatan Darat. Di mesjid Sabilillah itulah dikumandangkan azan yang demikian syahdu. Mata saya berkaca - kaca mendengarnya. Saya berumur 14 tahun. Yang menjadi muazzin adalah teman kantor Bapak.
Akhirnya kami harus meng-ikhlas-kan orang tua untuk menuju tandusnya padang pasir. Adik saya menangis dan tak kuasa menahan emosi, hingga sepulang dari mesjid, dia ikut boyongan Kakek Nenek berlibur ke kaki gunung Merapi. Kami akan ditinggal selama sebulan. Bapak berjanji akan sering berkirim kartu pos, dan beliau menepati janjinya. Setiap berkirim kartu-pos, beliau mengirimkan empat kartu sekaligus, satu untuk masing - masing anaknya. Sayangnya kartu - kartu pos tersebut sekarang ketlisut entah dimana. Sayang sekali.
Seperti ketika tulisan ini dibuat, bulan Desember 2003 adalah musim haji juga, banyak ratiban diadakan. Dan salah satu ratiban ada yang begitu tertanam dalam benak saya, walau saya sendiri tidak menghadirinya. Tepatnya hari itu tanggal 28 Desember 2003.
Kalao dari cerita yang saya dengar, di kampung halaman di Malang ada ratiban seorang tetangga, hanya selisih tiga rumah. Saya sendiri sedang melancong ke Plered, dalam perjalanan pulang dari rumah Paklik di Buah Batu Bandung.
Dalam ratiban tersebut Bapak saya diundang, sekaligus diminta tolong untuk memberikan ceramah perpisahan calon haji. Akan istilah tersebut, disebut perpisahan karena memang keberangkatan haji itu harus diikhlaskan sebagai perpisahan. Begitu kata Sosiolog Ali Syariati. Karena perjalanan haji belum berarti bersambut dengan kepulangan ke tanah air kembali.
Sekali lagi masih dengar dari cerita orang lain, dengan tenang --karena memang sudah tua dan agak dililit masalah jantung-- Bapak memberikan ceramahnya sambil berdiri. Biasanya ceramah yang dilakukannya sekitar dua puluh menit, tetapi ceramah kali itu tidaklah selesai. Sekitar setelah sepuluh menit berdiri, Bapak ambruk terkena serangan jantung. Ceramah perpisahan haji itu tidak selesai, namun bagi kami itulah ceramah terakhir Bapak, ceramah perpisahan. [] haris fauzi - 12 desember 2007


salam,
haris fauzi


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Saturday, December 01, 2007

kenisah : sepeda dan 'solsbury hill'

SEPEDA DAN 'SOLSBURY HILL'
Climbing up on solsbury hill
I could see the city light
Wind was blowing, time stood still
Eagle flew out of the night
He was something to observe
Came in close, i heard a voice
Standing stretching every nerve
I had to listen had no choice
I did not believe the information
Just had to trust imagination
My heart was going boom boom, boom
"son," he said, "grab your things, i've come to take you home."
("Solsbury Hill" - Peter Gabriel Concert - Growing Up Live)
Beberapa hari lalu saya memutar DVD rekaman konser Peter Gabriel tersebut sebanyak tiga kali, --meng-usai-kannya hingga lewat tengah malam--, dan belum puas juga.
Awalnya adalah ketika minggu lalu saya ke supermarket mengantar Istri belanja, dan kebetulan di area elektronik yang berjualan televisi super lebar itu memutar lagu ini, saya-pun mengulangnya hingga tiga kali –khusus lagu 'Solsbury Hill' ini. Hingga sang penjaga terheran – heran, apalagi saya tidak bertanya, apalagi saya tidak beli. Dalam konser tersebut Gabriel bernyanyi sambil bersepeda, berkeliling panggung yang merupakan lingkaran di tengah – tengah penonton. Sepeda yang ditungganginya berwarna krom indah sekali. Sekali lagi, indah sekali. Pernah sudah hal ini saya ungkapkan kepada teman baik saya (….ah, bukan sekedar baik, ia teman yang sangat baik). Sayangnya dia belum pernah menyaksikan aksi indah Gabriel ini. Mungkin lain kali.
***
Sabtu pagi ini cerah dan sejuk sekali. Mungkin karena kota kecil dimana kami tinggal, Bogor, sejak siang hingga malam di guyur hujan tak kunjung berhenti. Mereda di tengah malam. Dan pagi itu sejuk hawa oksigen menyelimuti mengilhami kami untuk segera keluar rumah. Salma berangkat sekolah sekitar pukul enam pagi kurang sedikit (Salma sekolah di SD Negeri, dan Sabtu bukan hari libur). Adiknya –Si Moncil-- libur dan ikut saya ngobrol dan bermain – main dengan tetangga yang kebetulan juga sedang menikmati sejuknya udara pagi itu. Beberapa Bapak - Bapak bertelanjang kaki menapak ke konblok jalanan komplek. Melintas, saling sapa, atau mampir ikutan ngobrol. Ngobrol masalah mobil, macetnya jalanan kemaren, dan…..sepak bola.
Anak – anak berlarian saling kejar belalang di taman di tengah – tengah kepungan rumah. Yang bayi juga ikutan berteriak – teriak memekik girang. Istri saya menjumpai beberapa tetangga sobatnya dan saling menggoda anaknya.
Maksud hati sebenernya hendak mencuci mobil, tapi berhubung banyak tetangga yang lagi pada ngobrol ketawa – tawa, ya akhirnya saya menunda maksud tadi. Ikutan 'ngetuprus' jadinya. Yah, seminggu sekali, bercanda dengan tetangga, bersantai, mumpung cuaca juga sangat bersahabat.
Memang seringkali kami tidak membikin – bikin acara jalan keluar komplek, karena kami ogah untuk beradu kebisingan di luar sana. Kalau tidak ada acara yang musti beranjak keluar, maka kita lewatkan waktu di rumah, di taman, di jalanan komplek ini. Kadang kami sesekali nongkrong di setu (danau kecil buatan) tak jauh dari rumah. Cuma sayangnya akhir – akhir ini kondisinya tidak ter-urus. Ya. Rumah ini sudah cukup tenteram bagi kami. Jauh dari lintasan jalan raya, tumbuhan merindang di taman depan rumah, anak – anak bebas berlarian dan bersepeda di jalanan. Apalagi ?
***
Seminggu lalu, paket dari Ibu saya –dari Malang—tiba. Sepeda jengki merk "Phoenix" bikinan RRC, kalau Ibu menyebutnya dengan RRT, Republik Rakjat Tjina. Konon cerita saya dibelikan sepeda tersebut pada tahun 1980-an, ketika saya kelas tiga Sekolah Dasar. Itulah kendaraan yang saya punyai satu – satunya sejak SD hingga akhirnya saya lulus kuliah. Banyak sekali gunanya kala itu, apalagi ketika harus membantu Pak RT membagikan undangan untuk seluruh warga kampung, misalnya. Dan begitu saya lulus kuliah, dan pula adik saya menyusul lulus, maka sepeda itu jadi onggokan di ujung gudang. Entah berapa tahun dia bercengkrama dengan jaring laba-laba dan debu atap.
Kalao boleh cerita, saya memang mengumpulkan beberapa benda kenang-kenangan jaman dulu. Beberapa saat lalu saya membawa satu set papan nama, yang terdiri dari dua keping papan berwarna pelitur coklat tua. Masing – masing ukurannya sekitar tiga puluh senti lawan tujuh senti, tebalnya satu senti kira – kira. Papan pertama bertuliskan nama Bapak saya :"Drs. Fahadaina – Mayor Inf.". Papan kedua bertuliskan : 'KA ROH IS'. Artinya Kepala Kerohanian Islam. Ya. Itu jabatan terakhir mendiang Bapak di ke-tentara-an. Papan – papan itu semula di gantung di atas pintu ruang kantor Bapak. Dan ketika dipindah-tugaskan –sekitar tahun 1983-an, Bapak mengambil kedua papan tersebut, dan memberikannya kepada saya. Dan walhasil sekarang tergantung di rumah Bogor.
Selain papan, lebaran tahun lalu saya juga menggondol tape - compo yang dibelikan oleh orang tua ketika saya duduk di bangku SMP. Mengangkut seluruh kaset koleksi jaman SMA hingga kuliah –dimana kebanyakan dibeli di pasar loak. Tiga kaset pertama yang saya beli masih ada dan layak putar hingga kini. Dan tak lupa tentunya buku – buku, termasuk buku – buku koleksi Bapak ikut bermigrasi ke Bogor.
***
Sepeda "Phoenix" itu warnanya biru. Sudah mulai memudar warnanya. Namun bunyi rantai melawan gear-nya masih seperti dulu…tik...tik...tik…! Komponen ini masih belum pernah tergantikan. Loncengnya sudah raib entah kemana. Dua slebornya, depan – dan belakang sudah tidak bisa ketemu walau di cari di sudut manapun di rumah Malang. Ketika paket sepeda tersebut tiba, beberapa komponen harus diganti, diantaranya yaitu sistem pengereman, roda komplit luar – dalam – depan - belakang, serta sadel (jok) kulit yang sudah cabik – cabik itu. Sisanya orisinil RRT.
Sabtu pagi itu, setelah di rasa cukup waktu mengobrol ngalor – ngidul dengan tetangga, saya balik masuk rumah hendak mencuci mobil, kegiatan yang tertunda. Namun saya mengurungkannya sekali lagi, karena mata dan hati saya kepincut dengan sang Phoenix yang terparkir di samping sepeda Salma. Segera saya duduk di jok-nya. Genggaman tangan ini segera mengingatkan masa – masa kepengurusan Karang Taruna.
Mengetahui saya hendak bersepeda, Moncil akhirnya bergegas menunggangi sepedanya sendiri, dan bersi-cepat mengendarainya ke jalanan. Saya memberinya jalan duluan, lantas memundurkan sepeda melintas pagar hingga roda depan dan belakang bergantian bisa menjejak jalanan.
Pelan – pelan saya kayuh sepeda tersebut, seakan melayang melintasi konblok dengan tergetar teratur. Bunyi 'tik…tik…tik….' seakan menambah akselerasi mundur mesin waktu. Saya rasakan kesetimbangan kemudinya, ringan sekali. Pikiran saya melayang ke beberapa puluh tahun silam ketika saya mengendarainya memutar barak tentara, melintas lapangan latihan baris – berbaris, melintas deretan truk dan tank. Mengendarai melintas jalanan kota Malang, memutari alun – alun kota yang legendaris itu, berburu buku dan kaset loak di ujung kantor pos. Mengendarainya saban hari berboncengan dengan Kakak ke sekolah semasa SMA, disalip teman – teman yang bermotor dan bermobil.
Saya biarkan pikiran saya merantau, saya biarkan juga sepeda membawa saya memutar beberapa kali taman depan rumah sambil berdendang pelan :
…..
Climbing up on solsbury hill
I could see the city light
Wind was blowing, time stood still
Eagle flew out of the night
………
[] haris fauzi – 1 desember 2007


salam,
haris fauzi


Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.