Friday, November 12, 2010

kenisah : yang dipelajari

YANG DIPELAJARI

Ada hal yang saya pelajari dalam minggu terakhir ini tentang do'a. Rasanya sudah cukup banyak buku yang membahas soal do'a, demikian juga dengan pengajian - pengajian. Tengoklah di toko buku dan di majelis - majelis. Ritual berdo'a, saat - saat yang tepat untuk berdo'a, serta segala hal-nya rasanya sudah komplit dibahas. Begitu.

Beberapa bulan ini --terutama semenjak awal tahun-- saya mengalami kesulitan ekonomi keluarga. Krisis. Dalam arti, --tentunya semua juga mengerti makna 'kesulitan ekonomi'. Saya cukup kelabakan memenuhi kebutuhan harian keluarga. Hingga akhirnya harapan terbaik adalah mengandalkan tabungan yang ada. Selama itu pula, saya mencoba berusaha dan senantiasa berdo'a untuk mencari rejeki semampunya, karena tentunya tabungan ada batasnya.

Berjalan beberapa bulan, rasanya stok tabungan makin - makin menipis saja. Tentu saja jamak, karena selama itu besar pasak daripada tusuk gigi. Semakin hari, pemantauan saldo tabungan dan aliran dana keuangan makin ketat, kalo istilah jaman reformasi dulu adalah 'detik per-detik'. Seperti mengamati letusan gunung berapi. Makin mepet - makin mepet. Dan sementara itu pula usaha yang diupayakan belum menampakkan hasil.

Tentunya kepeningan di kepala menjurus ke panik. Beberapa peluang ternyata gagal di-embat, istilahnya mungkin belumlah rejekinya. Dan dalam segala usaha itu kenyataannya kondisi belum membaik jua karena memang belum ada hasil yang signifikan, sementara krisis masih menjerat. Do'a terus dibaca, usaha terus diupaya. Hingga suatu ketika terpikirkan akan beberapa hal. Dari beberapa pengajian, baca-baca, dan referensi lain, iseng - iseng saya mencoba dalami dengan lebih cermat atas segala masukan yang ada. Akhirnya --rasanya-- seperti ada secercah kesimpulan. Seperti sedikit mengalami pencerahan dan merasa ada segenggam rasa yakin. Walau tentunya belumlah sempurna kesimpulan pencerahan yang saya tarik, tetapi, rasanya cukup bisa dipertanggung-jawabkan. Setidaknya, ternyata kesimpulan itu sedikit - sedikit terbukti bagi diri pribadi.

Apakah kesimpulan dalam pencerahan tersebut ? Jadi begini, semula dalam berdo'a --ringkas cerita-- adalah meminta kemudahan rejeki. Ya karena saya sedang terlilit krisis, mangkanya do'a-nya seperti itu. Setiap habis sholat, dalam sujud tahajjud, dalam sholat dhuha, tidaklah pernah ketinggalan do'a itu dipanjatkan. Do'a dalam bahasa Indonesia dan Arab saya baca dengan sebaik - baiknya. Saya juga meminta restu dan do'a kepada sesepuh, keluarga, dan kerabat. Saya yakin mereka semua men-do'a-kan dengan ikhlas. Seperti itulah saya menjalani sekitar delapan bulan semenjak awal tahun. Namun, sepertinya tidak ada perubahan dalam rejeki. Nafkah masihlah bergantung kepada tabungan sebagai tali utama. Saya mencoba menghibur diri akan janji Tuhan yang tertunda. Ini hal baik bagi batin kami sekeluarga, walau tabungan makin menipis.

Setelah memikirkan dan mendapat cercah pencerahan itu, saya mencoba memanjatkan do'a dengan sedikit perubahan. Saya melafalkan do'a dalam bahasa Indonesia, agar lebih bisa memaknai do'a tersebut. Yang penting, sebelum berdo'a, saya berusaha untuk sedikit bermeditasi. Bukan meditasi yang sulit, tidak perlu hingga duduk melayang, karena saya tidak bisa melakukan hal itu. Hanya mencoba mengingat, bahwa semua rejeki itu dalam kuasa Tuhan. Rejeki berasal dari Tuhan. Itu saja.

Selain itu juga mencoba untuk bersyukur. Merasa mujur,-- walau sebetulnya masih berada dalam kesulitan-- karena toh masih ada yang 'baik' di balik kesulitan - kesulitan tersebut. Mensyukuri bahwa masih banyak handai-tolan yang mendukung dengan do'a-do'a dan segalanya. Merasa beruntung bahwa masih bisa ber-'nafas' menggunakan tabungan. Juga hal - hal lain dicoba untuk disebutkan sebagai rahmat yang disyukuri. Ini bukan suatu hal yang rumit. Misalnya ketika ada peluang hendak mendapatkan 'order-an' dan ternyata gagal, saya mencoba mensyukurinya. Bahwa ternyata masih ada peluang dan jalan yang bisa ditempuh, masih ada yang hendak memberi jalan, walau ternyata belum berhasil. Hasil-nya tidaklah terlalu dirisaukan, yang penting mensyukuri peluang tersebut. Setiap ada jalan --walau hasilnya masih nol-- saya coba syukuri jalan 'nol' itu. Ungkapan syukur itu diucapkan setelah mengingat nama Tuhan, dan sebelum memanjatkan do'a meminta pertolongan kepada-Nya.

Singkat ceritera, adalah masih ada rasa mujur, masih di-rahmat-i kelimpahan kesempatan untuk menempuh peluang dan jalan yang ditawarkan untuk mengais rejeki. Walau sekali lagi,-- ternyata segala jalan yang saya tempuh sejauh itu masihlah belum berhasil. Sejatinya saya tidak terlalu hafal temponya. Hingga tibalah suatu saat ... sekitar satu minggu setelah berdo'a dengan cara seperti itu akhirnya ponsel saya berdering. Kami bercakap - cakap tentang sebuah peluang. Seseorang yang baik hati menawarkan pekerjaan honorer, mulai minggu depannya.

Apakah do'a itu terkabul ? Semoga. Karena kurang dari seminggu setelah ponsel berdering, saya nyata - nyata memulai rutinitas baru untuk berada di suatu kantor sebagai tenaga honorer. Dan sekarang adalah minggu kedua. Menurut saya, do'a itu terjawab. Dan semoga akan selalu seperti itu. [] haris fauzi - 12 nopember 2010.


Tuesday, November 02, 2010

kenisah : petruk pertanda

PETRUK PERTANDA

Pagi tadi dalam siaran televisi saya menyaksikan sebuah keajaiban. Keajaiban tingkah laku para pengamat aktivitas gunung berapi, namanya gunung Merapi. Saya cukup akrab dengan gunung ini karena leluhur saya berasal dari daerah tersebut. Bahkan detik ini, ketika tulisan ini dibuat, Ibu saya sedang menemani Kakek saya di Kaliurang sana, di kaki gunung Merapi. Konon disana masih aman dari ancaman aktivitas vulkanik yang sudah berjalan sekitar satu minggu ini, hanya pernah kebagian debu. Mudah – mudahan aman terus. Soalnya pada erupsi gunung tersebut beberapa tahun lalu, lahar dingin sempat membludak di kali Boyong –berikut gelundungan batu – batu kali segede ampun. Kali Boyong adalah sebuah kali yang menembus desa leluhur. Pas itu laharnya meluap nggak karu – karuan sehingga menggenangi sawah dan masuk rumah seperti pada banjir – banjir umumnya di Jakarta. Cuma kalo di Jakarta yang masuk rumah adalah air, nah yang di desa leluhur adalah lahar dingin. Ngepelnya berat. Bahkan untuk mencari kain pel-nya saja sudah susah karena terhanyut.

Saya sebut 'ajaib' karena ada interpretasi unik tentang bentuk awan atau asap yang muncul dari kawah Sang Gunung Merapi yang menjadi legenda ini. Dikabarkan –dari siaran televisi—bahwa semburan asap kawah tersebut membentuk wajah tokoh wayang purwo, Petruk. Dalam siaran tersebut sempat ditayangkan, memang sih mirip banget dengan Petruk. Mulai dari hidung mancungnya yang ditiru Pinokio, atau kuncir rambutnya. Cuma kuncirnya terlalu melengkung, menurut saya.
Para pengamat gunung berapi –pengamat mistikal ini-- menyatakan bahwa penampakan rupa mBah Petruk ini merupakan pertanda. "Pertanda bahwa Pemimpin Bangsa ini kurang memperhatikan rakyatnya", seingat saya begitu ujar seseorang yang diwawancarai di televisi tersebut.

Mungkin postulatnya tidak salah. Memang asapnya berbentuk mBah Petruk. Juga, bisa jadi –seperti pendapat banyak orang— rakyat bangsa ini memang banyak yang merasa hidup susah dan patut dapat perhatian lebih dari pemerintah. Dua pernyataan ini bisa jadi benar. Namun, masalahnya adalah apakah ada hubungan logis antara gambaran asap gunung dengan performa pemerintahan ? Inilah yang dalam kasus 'asap Petruk' ini akhirnya dijawab oleh dunia mistikal kali ini. Apalagi ini memang gunung yang me-legenda. Demikian me-legenda sehingga acapkali bersentuhan dengan dunia mistis dan wacana klenik. Sebut saya kisah mBah Marijan Sang Juru Kunci Gunung Merapi yang eksotis layaknya cerita jaman Walisongo itu.

Saya tak hendak menuliskan ihwal mistik terlalu jauh. Sudah banyak siaran televisi yang memuakkan perut dengan tayangan hantu dan dedemit. Ihwal pemerintahan juga sudah banyak dikupas di media hingga membosankan. Namun, preseden seperti layaknya era Walisongo ini setidaknya menyimpan satu hal kemungkinan lain. Bahwa ada harapan – harapan yang semestinya disampaikan dan diaspirasikan melewati jalur logis, bisa jadi mentok dan mentok dan lagi – lagi mentok sehingga akhirnya ditempuhkan jalur mistik.

Secara lazim manusia memang selalu dihadapkan kepada persoalan - persoalan, dan lantas secara natural instingnya akan bergerak untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara logis - materialistis. Tindakan awal umumnya selalu berupa 'tindakan nyata'. Misalnya ketika seorang manusia lapar, maka secara logis - materialistis dia akan mencari makan. Namun ketika jalur logis - materialistis sudah mentok, tak jarang jalur spiritual ditempuh. Bila tetap saja kelaparan, bisa jadi orang tadi akan meminta kepada roh halus untuk mencarikan makan, atau berdo'a kepada Tuhan agar memberikannya rejeki dari arah yang tidak disangka – sangka. Dua cara ini ada di jalur spiritual, yang satu mistis, satunya lagi mengikuti ajaran agama samawi.

Intinya, manusia mempunyai batas nalar dan batas logis, istilahnya : 'mentok'. Bila mentok batas logisnya, memang harus dicari jalan keluarnya. Bila memang sudah penasaran dengan aspirasi dan harapan – harapan yang disalurkan secara logis, memang tak seharusnya tinggal diam. Ada dua sisi yang patut dilihat. Sisi pertama adalah respon dari tumpuan harapan. Istilahnya, bagaimana tanggapan dari pihak yang di-'saluri' aspirasi. Cuek-kah ? Responsif-kah ? Andai dianggap mentok, artinya aspirasi tersebut di-cuek-in, ditelantarkan. Pihak yang cuek ini seharusnya memiliki sensitivitas ihwal aspirasi rakyat ini. Harus introspeksi, apakah mentok karena memang terlalu sibuk dengan urusan yang lain ? Ataukah – gimanalah. Pokoknya diupayakan untuk mencari kausal-nya mengapa sampai ada kejadian seperti ini. Asbabun nuzul-nya gimana, gitu. Bukan asbun-nujum-nya, asal bunyi ramal-meramal. Trus kalo sudah ketahuan sebabnya ya ditindak-lanjuti.

Paling tidak, -setidaknya- jangan sampai membiarkan aspirasi tersebut mentok pada jalan buntu sehingga rakyatnya lepas harapan dan akhirnya mengambil jalan mistik -hingga mereka – reka gambar asap gunung berapi untuk menunjukkan gambaran kinerja pemerintahan sebuah negara. Kinerja sebuah organisasi masa kini setidaknya digambarkan dari data statistik dan aplikasi produk kebijakannya, bukan dari perupaan asap gunung berapi. Kalo seperti itu ternyata yang terjadi –dan dibiar-biarkan-, wah, bisa repot kita. Sekarang sudah bukan lagi jamannya wangsit atau pertanda, walaupun kadang - kadang kayak gitu asyik juga sih. Hahahaha..... [] haris fauzi – 2 nopember 2010


salam,

haris fauzi