Thursday, June 25, 2009

kenisah : fakir & kafir

FAKIR DAN KAFIR

 

"kefakiran dekat dengan kekafiran..."(Muhammad saw)

 

Fakir, dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah 'orang yang tidak mampu', 'orang yang kekurangan', atau 'orang miskin yang disengaja'. 'Disengaja' disini maksudnya mungkin adalah memprofesikan dirinya sebagi layaknya fakir, bertirakat menjauhi harta benda, mengembara, dan sebangsanya.

 

Sementara dalam beberapa buku panduan zakat, fakir artinya orang yang kekurangan karena tidak memiliki penghasilan tetap. Sementara miskin, artinya adalah orang yang memiliki penghasilan tetap tetapi masih kekurangan. Oleh karena itu di dalam panduan zakat sering disebutkan kaum fakir, kaum miskin, dan kaum fakir - miskin.

 

Kafir, menurut adik saya yang berprofesi sebagai ustadzah, artinya adalah 'orang yang mengingkari', 'orang ingkar', dekat maknanya dari asal kata 'kufur'. Bila merujuk kepada kasus - kasus keagamaan, maka notabene pengingkarannya adalah terhadap hukum - hukum atau ketentuan Tuhan. Melanggar perintah-Nya. Melanggar instruksi nabi. Ingkar keimanan. Ingkar fitrah. Begitulah kira - kira definisinya.

 

Dalam pengajian, khutbah, dan ceramah sering kita dengar bahwa apabila seseorang yang kekurangan --serba kekurangan materi-- di tengah lilitan kemiskinan, maka tak heran bila orang itu lantas melanggar ajaran Tuhan, menggadaikan keimanannya. Oleh karena itulah muncul 'wejangan' dari Muhammad seperti tercantum di baris atas itu. Supaya tidak celaka menjadi kafir, disarankan agar seseorang janganlah fakir. Karena keadaan fakir disinyalir mudah menjerumuskan manusia menjadi kafir.

 

Hadits Muhammad tersebut sering diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya.

 

Jaman terus berganti, problem senantiasa bertambah dari sisi muatan atau kekerapannya. Terbukti Muhammad memang manusia pilihan, sehingga apa yang beliau sampaikan ternyata juga aplikatif sehingga jaman kini, dan sangat mungkin masih valid hingga jaman kiamat menjelang kelak.

Apabila kita tengok dari problem kekinian, sebenarnya, kondisi Muhammad secara fisik kala itu juga sudah miskin. Bila Muhammad hidup di Indonesia, --sekarang--, mungkin sudah sempat berpredikat Gakin (Keluarga Miskin) sehingga namanya tercantum di kelurahan sebagai penerima 'Raskin' (Beras Keluarga Miskin) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Bila ada seseorang yang ketika meninggal hanya mewariskan gubuk, tikar, baskom, dan sandal; apakah itu bukan orang yang 'kekurangan'? Muhammad memang memiliki penghasilan, namun dia tidak memiliki harta benda yang berarti. Dan memang cuma itu warisannya. Adakah di tengah kondisi kekurangan akan materi itu Muhammad menggadaikan keimanannya dan berubah menjadi kafir ? Rasanya tidak. Muhammad adalah orang paling beriman yang pernah lahir di muka bumi ini.

 

Dari sisi materi, apa yang dimiliki Muhammad memang cuma itu, --kalau ada benda lain, mungkin juga tak banyaklah-- tetapi dia tidaklah fakir, tidaklah miskin, dan tentunya tidak pula menjadikannya kafir. Beliau 'kaya', karena beliau tidaklah kekurangan. Tidak kepingin yang neko - neko. Apa yang dia miliki baginya sudah lebih dari cukup, dan ini adalah sifat orang kaya: 'merasa cukup'. Inilah kaya yang sebenarnya. Merasa berkecukupan dengan apa yang ada, bersyukur atas rahmat yang diterima. Perasaan bersyukur akan rahmat ini yang membuat Muhammad menjadi berlapang dada dan ikhlas, menjadikan dia 'kaya' secara spiritual. Sikap inilah yang menjaganya agar tetap beriman, menjaganya agar tidak terjerumus menjadi ingkar, tidak menjadi pelanggar hukum, tidak menjadi kafir.

 

Perbincangan ihwal 'kaya - miskin' memang tidak bisa dipungkiri selalu lekat dengan paradigma kondisi harta benda. Hal ini karena era kini adalah era materialisme. Namun janganlah senantiasa terjebak dalam konteks materi. Cobalah sejenak kita memasuki dunia pikir spiritual. Dan hal ini tidaklah sulit kalau hanya sekedar memasuki dunia spiritual untuk mencoba mendefinisikan sesuatu, dalam hal ini adalah definisi kaya - miskin. Dan seyogyanya hadits Muhammad tadi diinterpretasikan pula dari sisi spiritual. Dalam dunia spiritual, memang hampir semuanya ditakar dengan hati nurani dan akal budi. Pemilik sepotong baju bisa jadi lebih 'kaya' dibanding dengan pemilik segudang pakaian. Ya itu tadi, bila diukur dari kelegaan hati. Diukur dengan rasa syukur. 'Teori'-nya memang se-gampang itu. Prakteknya mungkin tidaklah gampang.

 

Bandingkan apa yang dimiliki Muhammad sebagai manusia yang 'hatinya kaya' dengan tabiat manusia kapitalis modern. Bisa jadi memiliki tiga rumah, satu vila, dan enam mobil, masihlah belum cukup. Mungkin dia sudah --bukan lagi selembar tikar-- memiliki puluhan gulung karpet, mungkin dia sudah --bukan lagi sepasang sandal-- memiliki sejumlah pasang terompah dan sepatu yang tak terhitung, mungkin pula dia sudah --bukan hanya sebuah baskom-- memiliki mungkin puluhan guci berharga mahal. Hatinya masih belum puas, sehingga dia berusaha menempuh jalan haram untuk memuaskan hawa nafsunya. Korupsi untuk mendapatkan rumah keempat, korupsi untuk mendapatkan vila kedua, dan korupsi untuk mendapatkan mobil ke tujuh.

 

Inilah yang saya sebut dengan problem kekinian. Sekarang sudah banyak orang yang kemaruk harta, mungkin juga saya. Rakus, seakan kekurangan, seakan merasa masih miskin, seakan berpredikat fakir, serba ingin lebih. Tidak bisa mensyukuri kondisi yang ada. Perilaku rakus harta tadi, membuat pelaku ber-korupsi-ria. Melakukan korupsi adalah tindakan yang melanggar, dan tentunya mengingkari hukum - hukum. Saya yakin semua agama melarang hal seperti ini. Melanggar artinya 'kufur'. Artinya 'kafir'.

 

Sehingga, apabila memang seseorang secara fisik hanya memiliki sandal, baskom, gubuk, dan tikar, namun bisa jadi dia merupakan orang yang tidak fakir karena hatinya telah merasa kecukupan.Pun pula kebalikannya, berapapun banyaknya harta yang telah dimiliki oleh seseorang, bila memang hati dia tidak lapang, tidak bisa bersyukur, dan merasa kekurangan selalu, maka dia adalah fakir. Orang yang selalu kekurangan. Orang yang fakir, cenderung melanggar karena kebutuhan akan materinya. Oleh ulahnya yang melanggar, maka dia menjadi orang yang ingkar. Orang ingkar artinya kafir, bukankah begitu ? dibolak - balik ya tetep seperti itu.

 

Dari sudut pandang de facto materi dan sudut pandang dunia spiritual, hal ini bisa berlaku baik untuk perseorangan --individu-- maupun untuk sekelompok orang. Karena sebenarnya, sekelompok orang bisa dianalogikan sebagai seorang manusia juga. Kelompok dan individu kadang memiliki beberapa kesamaan metodologi. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan konteks komunal, --kelompok, keluarga, masyarakat, organisasi, bangsa-- pastilah tidak sesederhana pembahasan individu, karena  berurusan dengan lebih banyak elemen dan fakta. Demikian juga dengan aplikasi hadits Muhammad ini. Contoh yang paling jelas mungkin adaah bangsa kita sendiri. Dalam sekumpulan manusia yang bermasyarakat, bernegara, apabila bangsa itu tidak memiliki kekuatan devisa, terlilit hutang menggunung puluhan tahun, maka tak heran bila di dalam bangsa tersebut akan banyak sekali terjadi pelanggaran, pengingkaran hukum yang sebenarnya sudah ditetapkan bersama, hukum dan fitrah yang sudah di-'iman'-i bersama. Bangsa yang miskin akan banyak berisi orang - orang yang melanggar, orang - orang yang 'kafir'. Demikian juga kebalikannya, bangsa yang banyak berisi orang - orang yang 'ingkar', bangsa yang berisi manusia - manusia 'pelanggar' akan membawa bangsa itu menuju kefakiran.

 

Ditambah pula bila di tinjau dari sisi dunia spiritual, makin terjerumuslah bangsa itu menjadi bangsa yang ingkar apabila bangsa tersebut makin merasa kekurangan selalu. Tidak mensyukuri kekayaan yang dipunyainya sehingga tidak mau mengelola dengan baik kekayaan yang ada. Merasa kekurangan selalu, karena hati sanubarinya tidak bisa merasa cukup. Selalu ingin lebih, selalu berharap mendapatkan dari orang lain. Di sini, dari segala aspek, terbukti sudah bahwa kefakiran itu 'ber-tetangga' dengan kekafiran. Kekurangan itu duduk sebangku dengan ke-ingkar-an.

 

Intinya memang ada di hati. Dengan hati yang berkecukupan, rasa syukur itu akan berbunga. Dengan ini, kita bisa meredam nafsu akan materi. Dan, menjauhkan diri dari tindakan yang melanggar, menjauhkan diri dari tindakan ingkar. Baik secara individu maupun secara komunal, baik pribadi maupun secara ber-bangsa, --sekali lagi-- intinya ada di hati sanubari.

 

Sekarang problemnya adalah seberapa yang harus dimiliki seseorang atau sebuah bangsa untuk bisa masuk kategori 'tidak fakir' sehingga dia tidak menjadi 'kafir' ? Nah, ini pertanyaan yang mudah untuk muncul, namun tidak gampang menjawabnya. Tolong bantu saya menjawabnya. Bila kita kesulitan menjawabnya, cuplikan lagu GodBless --yang akhir - akhir ini sering saya putar berulangkali-- mungkin cukup membantu:

...

Hanya bilik bambu tempat tinggal kita,

tanpa hiasan, tanpa lukisan

Beratap jerami, beralaskan tanah,

namun semua ini punya kita

memang semua ini milik kita sendiri

...

Segala nikmat dan anugerah yang Kuasa,

semuanya ada disini

rumah kita

...

[]haris fauzi - 22 Juni 2009



 
salam,

haris fauzi

Friday, June 05, 2009

kenisah : dengarkan

DENGARKAN

"Dengarkan khutbah jum'at....", begitu kata orang - orang alim. Khutbah jum'at memang merupakan bagian dari rangkaian ritual sholat jum'at yang tidak bisa ditinggalkan. Istilah yang sering digunakan adalah "mendengarkan", ya berarti mendengar dan menyimak. Memang, yang membatalkan ibadah sholat jumat salah satunya adalah berbicara ketika sang khatib (juru khutbah) sedang berbicara. Bila ini dilakukan, maka nihil sudah pahalanya. Karena memang ada pedoman khusus, yakni larangan berbicara ketika sang khatib sudah naik mimbar. Jelas sudah, siapapun yang berbicara ketika itu, entah untuk urusan apapun, maka dia melanggar aturan. Juga pernah dirilis aturan "dilarang membaca ketika khatib naik mimbar". Juga ada larangan chatting dan berkirim-kiriman pesan pendek lewat ponsel. Suatu hari bakal ada larangan "dilarang akses facebook ketika khatib di atas mimbar". Bila hal itu dilakukan, maka sudah jelas melanggar aturan mesjid. Dan korbannya adalah buyarlah pahala kita. Setuju.

Namun, ternyata urusannya bukan cuma kita --para makmum-- dilarang bersuara, dilarang membaca, dilarang sms-an, dan dilarang chatting..... Bukan hanya itu. Adapula larangan "dilarang tidur di dalam mesjid" dan "dilarang tidur ketika khatib sedang di atas mimbar". Saya nggak hendak membahas semua masalah sms-an de-el-el tadi. Saya kali ini tertarik dengan urusan "tidur ketika ada khutbah". Kenapa ? Soalnya saya punya kebiasaan buruk. Yakni tidur ketika ada khutbah jum'at. Lebih tepatnya tertidur. Memang tidur saya tidak membatalkan wudlu karena saya cuma terkantuk - kantuk, dan pula saya tidak bersandar atau 'meletakkan kepala'. Konon, menurut beberapa orang alim, bila kita tertidur hingga kepala tersandar, punggung menyender, atau dagu di topang, maka bubar sudah wudlu-nya karena tidur seperti itu berarti 'raib ingatan'. Dan untuk itu, sebelum memulai sholat diwajibkan untuk mengambil air wudlu terlebih dahulu. Malesnya minta ampun deh kalo udah gini.

Konon, dalam saat khutbah jum'at berlangsung, itulah saat yang paling enak untuk tidur. Ga ada yang lebih enak ketimbang saat itu. Kabarnya ada seloroh," ...bila ada orang yang punya penyakit ga bisa tidur, cobalah ajak jum'atan...pasti tertidur sampe ngiler...". Dan konon pula, pas khutbah jum'at itulah setan meniup - niup syaraf mata kita sehingga kita bener - bener ngantuk. Tiupannya bener - bener manjur-jur-jur-syuuur, pokoknya. Lho ? kok ada setan di mesjid sih ? Ah, bisa ajalah. Bener gak-nya coba kita hubungi ghostbuster.

Memang saya merasakan sendiri. Bukan merasakan kehadiran setan itu, tapi merasakan ngantuknya yang manjur-jur-jur-syur nan amboi tenan itu. Ngantuknya ya cuma pas khutbah. Giliran dikuat-kuatin melek pas khutbah trus usai jum'atan ditidurin ternyata nol besar. Direbahin di kasur super gedhe super empuk super mahal --tambah AC pula, masih ga bisa tidur jua. Kantuknya udah kabur entah kemana. Di gondol setan tadi.

Kembali ke urusan terkantuk - kantuk saat ada khutbah jum'at. Dalam keadaan terkantuk - kantuk --tertidur ayam-- seperti itulah pertanyaan ini muncul. Adakah saya "mendengarkan" sang khatib berkhutbah ? Ternyata tidak. Astaghfirullah. Ternyata dalam keadaan terkantuk - kantuk seperti itu, sensor pendengaran saya lebih banyak error-nya ketimbang siaga.

Coba saya ulang kembali apa kata orang alim tadi. "Dengarkanlah khutbah jum'at". Jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya sama sekali. Dan, ternyata selama ini saya tidak mendengarkan. Saya terkantuk - kantuk.

Tetapi,....Nah, beginilah orang Indonesia. Sering dalam pernyataannya ada buntutnya. dan buntut itu sering menggunakan kata "tetapi". Begini, misalkan saja dalam sebuah forum seminar. Apabila ada beberapa orang audiens seminar tersebut ternyata 'terkantuk - kantuk', siapakah yang salah ? Yang terkantuk - kantuk ? Atau yang membuatnya 'terkantuk - kantuk' ? Bila dalam persidangan dewan rakyat misalnya, ada yang terlelap. Siapakah yang membuat dia terlelap ? Dia-nya yang memang ngantuk ? atau pimpinan sidang yang membuat jemu ?

Bisa jadi, para pengkhutbah (khatib) mimbar sholat jum'at itu yang membuat suasana jadi mengantuk. Gimana nggak ngantuk bila cara berkhutbahnya seperti cara membaca dongeng sebelum tidur ? Dibaca dengan metode text-book dengan intonasi pidato yang --bagi saya-- cukup menjemukan.

Kalo boleh usul, nih. Seandainya materi khutbah, cara penyajian, dan termin khutbahnya pas, mungkin para audiens ini tidak akan mengantuk. Bukannya saya sedang membela para sesama tukang ngantuk lho ya. Ini adalah usulan yang konstruktif untuk kedua belah pihak agar bisa masuk surga bersama - sama. Selain para audiens harusnya menyiapkan fisik agar tidak mengantuk saat jum'atan, menurut saya seyogyanya para khatib melakukan improvement terhadap penampilannya di atas mimbar. Kalo perlu mengikuti pelatihan presentasi. Ya biar audiens-nya nggak ngantuk. Biar materi dakwahnya didengar dan tersampaikan. Biar ilmunya para peserta khotbah jumat ini bertambah. Supaya imannya meningkat, dan ujung - ujungnya masyarakat ini makin tertib dan sejahtera. Bukannya begitu, sobat ? [] haris fauzi - jum'at, 5 juni 2009


salam,

haris fauzi

Thursday, June 04, 2009

kenisah : unta berumur dua tahun

UNTA BERUMUR DUA TAHUN


"Ketika terjadi fitnah, jadilah seperti anak unta yang berumur dua tahun, yang tidak memiliki punggung kuat untuk ditunggangi dan tidak (pula) mempunyai air susu untuk diperah". (Nahjul Balaghah - Ali bin Abi Thalib)


Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah terakhir era Khulafaur Rasyidin, sebutan bagi khalifah para penerus kepemimpinan Muhammad SAW. Khalifah yang relatif berusia muda dengan memiliki masa pemerintahan singkat. Di masa kepemimpinan Ali, carut - marut pemerintahan mungkin sudah se-rumit seperti sekarang ini. Konstelasi politik dan teori kudeta yang terjadi sudah melebihi era-nya. Bila filsuf Nietzche pernah mengatakan,"...aku tiba lebih cepat dari masanya...", mungkin demikian pula kejadian masa kepemimpinan Ali yang jenius itu. Entah atas alasan apa Tuhan menimpakan deretan perebutan kekuasaan yang demikian mutakhir kala itu. Yang saya tau, mungkin Tuhan mencoba memberikan contoh, sehingga kita yang hidup beberapa tahun setelah kejadian itu mampu untuk menarik pelajaran dengan baik.

Mungkin Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah yang paling intens digoyang tampuk kepemimpinannya. Tampuk yang penuh prahara. Bagaimana wilayah 'warisan' khalifah Umar bin Khattab yang sudah demikian luas, struktur administrasi negara yang demikian kompleks warisan khalifah Utsman bin Affan, dan tentunya kondisi sosio kultur yang demikian heterogen semenjak era Abubakar as-Shiddiq, semuanya harus dikomando oleh khalifah Ali. Dan semuanya itu memiliki potensi permasalahan masing - masing. Bertubi - tubinya permasalahan yang timbul sama sekali bukan karena ketidak-becusan Ali. Bukan pula karena khalifah sebelumnya memelihara api dalam sekam. Ali adalah pemimpin yang sungguh ekselen, demikian juga tiga khalifah sebelumnya. Sejatinya memang permasalahan itu semata muncul di masa kepemimpinan Ali. Semua potensial problem itu mengerucut ke satu hal, perebutan kekuasaan. Dan sang khalifah harus merelakan anaknya terpenggal, dan bahkan jiwanya untuk menuntaskan permasalahan itu. Tidak sedikit darah yang tertumpah, tidak jarang pedang yang berkelebat demi merebut kuasa. Demikian dahsyat problem yang terjadi sehingga jejak dan luka permasalahan itu bahkan masih tersisa hingga sekarang, hingga detik ini. Sementara duplikasi problemnya mungkin kita juga bisa merasakan di era modern sekarang ini.

Dalam bukunya, 'Nahjul Balaghah', khalifah Ali menyampaikan banyak pelajaran seputar masa pemerintahannya. Dan bagi saya, pelajaran itu masih valid hingga kini. Dalam buku yang sarat filsafat itu disebutkan bahwa dalam struktur perebutan kekuasaan, salah satu hal yang menjadi masalah besar adalah munculnya 'fitnah'. Ya. Dan kita bisa membaca dengan gamblang bahwa fakta itu juga terjadi sekarang. Setiap terjadi pergolakan kekuasaan, maka fitnah bertebaran dimana - mana. Pekat, seperti asap yang turun, menyelimuti, lantas meracuni.

Tak bisa dipungkiri bahwa kita seringkali terlarut dalam hingar - bingar opini publik. Terlebih ketika beredar opini ihwal percaturan kekuasaan. Opini yang demikian menyita. Geret sana geret sini, tarik ulur, berikut pula limpahan kata - kata yang merayu, mengajak, atau menghunjam para pesaingnya. Antara janji, pujian, cercaan, tipuan, dan fitnah melebur menjadi satu bagai air bah. Demikian pekat karena dunia ini adalah dunia kata - kata. Karena deretan kata - kata telah menguasai kita, seperti asap pekat yang dengan berat turun ke bumi, menyelimuti, dan meniadakan semuanya. Jumlah huruf yang berjajar membentuk opini, membentuk perintah, membentuk kebijakan, ataupun membentuk tipuan sudah tak terhingga banyaknya.

Saya orang awam. Sangat awam terhadap percaturan kekuasaan. Banyaknya kejadian berseliweran muncul di sekeliling dan semua itu sudah cukup membuat saya puyeng. Ditambah resesi yang juga mencekik demikian kuat. Semakin saya puyeng, maka semakin susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang rekayasa, mana yang sebenarnya kerjadi. Mana yang fitnah, dan mana yang bukan. Seperti kabut. Seperti awan. Entah, apakah suatu saat nanti awan ini begitu pekat sehingga kita semakin menjadi awam, semakin puyeng, semakin panik, dan tidak bisa membuat keputusan.

Opini yang beredar, jajaran huruf yang tersaji mungkin akan membenamkan kita semua, sehingga membuat kita tidak lagi bisa berpikir logis. Ujungnya, kita seakan didorong - dorong untuk mengambil keputusan - keputusan yang instan. Yang belum tentu logis, dan kadang hanya berdasar emosi semata. Emosi yang larut karena opini yang membingungkan.

Dalam skala perebutan kekuasaan, jelas - jelas muatan fitnah itu ada diantara opini yang terbentuk. Walau semua pihak tidak mengakui, ini malah merupakan tindak kesalahan kedua. Dalam perjalanan sejarah perebutan kekuasaan, 'menikam' adalah wajar. Beberapa penulis menyampaikan bahwa sejarah kekuasaan identik dengan tentara, pedang, darah, dan fitnah. Mengerikan. Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa para pencari kekuasaan itu melakukan hal itu semua. Tidak terlalu berguna pertanyaan semacam itu. Jawabannya-pun tak akan jauh dari "... atas nama rakyat, ...atau ... atas nama Tuhan". Hanya jawaban seperti itu.

Disisi lain, saya punya keyakinan bahwa tidak semua perebutan kekuasaan berlangsung dengan ujung bedil. Banyak cara untuk menempuh perolehan kekuasaan. Tidak harus dengan pedang, bedil, dan atau darah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa fitnah merajalela di atmosfir seperti itu. Ya. Fitnah dan perebutan kekuasaan seperti batu dan bayangan, selalu muncul bersamaan seiring sejalan, seperti bisa disimak dalam berbagai literatur sejarah.

Dan apabila terlalu sedikit yang bisa kita fahami dengan baik, dalam keadaan bergelimang fitnah seperti itu, maka petuah Ali bin Abi Thalib yang sarat kebijakan itu sungguh bermanfaat. Tuhan telah memberikan pelajaran dalam sejarah yang ditorehkan khalifah Ali bin Abi Thalib, dan kita berhak untuk memetiknya sekarang.[] haris fauzi - 4 Juni 2009




salam,

haris fauzi

Wednesday, June 03, 2009

kenisah : pomad... pomad ...

"POMAD....POMAD..."

Sekitar menjelang pukul sembilan malam, ditengah rinai gerimis yang sudah kelelahan, lamat terdengar melodi "Cinema Show" dari ponsel, pertanda ada pesan pendek yang masuk.
"Ayah pulang jam berapa ?", rupanya si Sulung berkirim pesan.
"Ayah sudah sampe terminal, bisnya ngetem. Sekitar setengah sepuluh sampai rumah",
balas saya.

Bis itu seperti kebanyakan bis lain yang melintas,  terseok - seok dengan gemuruh suara knalpot yang membahana menembus hujan, dipadati asap rokok para penumpangnya yang rata - rata bahu pakaiannya basah. Saya memeluk ransel duduk sambil sesekali meringis, penyakit pencernaan ini terus saja bercokol di perut saya. Sudah empat hari perut saya bermasalah.

Malam itu saya pulang naik bis tiga-per-empat. Gitu istilah orang - orang. Agak apes juga. Ketika hari itu saya memutuskan untuk mengistirahatkan mobil, malah turun hujan. Saya yang terbiasa dimanjakan berada di dalam mobil, kali itu sekaligus kelupaan tidak membawa jaket.

Entah kebetulan atau tidak, malam sebelumnya saya bermimpi tentang mobil saya. Dalam mimpi itu saya berkendara melintasi sebuah resto yang cukup besar dengan taman yang asri. Lengkap dengan cottage dan gazebo-nya. Indah. Saya tidak sendirian, ada beberapa mobil di depan dan di belakang berjalan beriringan lambat menikmati keindahan pemandangan. Beberapa mobil menepi dan singgah, saya terus melaju lambat. Setelah puas memandang taman asri di perjalanan, sadarlah saya bahwa ternyata jalan itu berujung tebing. Tebing yang melenakan. Nampak mobil di depan saya terhumbalang jatuh ke tebing dengan terbentur dinding tebing kiri dan kanan. Jatuh seperti genteng runtuh dari atap, terbentur dinding, dan lantas berkeping - keping terhempas ke tanah nun jauh di bawah sana.

Dalam cerita tidur alias mimpi itu, rupanya saya cukup sigap juga ternyata untuk punya kesempatan menginjak rem kuat - kuat sehingga mobil di belakang --yang belum mengetahui adanya tebing-- menekan klakson penuh amarah. Nyaris membentur. Saya tidak terlalu peduli dengan klakson, pikiran saya terpusat ke jalan buntu dan hendak berusaha memutar mobil, berbalik dengan susah payah. Dan setelah berhasil, beberapa mobil di belakang mengikuti berputar. Rupanya mereka baru sadar bila jalan ini buntu dan berhenti di curam tebing.

Namanya juga mimpi, pasti khayal. Nah, inilah khayalnya. Setelah memutar arah jalannya mobil, saya melintas kembali taman, resto, dan segala kemewahannya. Hebatnya, entah kenapa kemudian saya memarkir mobil butut di salah satu cottage yang cukup indah, dan kemudian saya tinggal di dalamnya. Setelah saya mengagumi keindahan korden yang ditarik - tarik istri saya, saya lupa kelanjutan cerita mimpi itu.

Namun kenyataan malam berbeda ceriteranya. Ditengah turunnya hujan yang nyaris membekukan kaki, saya membuang cukup banyak waktu di dalam bis yang merayap lelah. Bis yang sering mengumbar klakson bila terhalangi oleh sesama angkutan umum. Walau dirinya sendiri sering melintang berhenti di tengah jalan dan ini tentunya menghalangi laju mobil lain. Tak ayal, parade klakson pun bersahutan tanpa ampun. Bikin pekak. Membuat beberapa orang tersenyum kecut.
Sekitar empat puluh menit bis itu melaju, sang Kernet yang masih remaja itu berteriak - teriak,"... Winner...Winner....Pomad..Pomad...!!!". Teriakan yang membongkar ingatan saya. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya sangat terbiasa menggunakan fasilitas angkutan umum bis tiga-per-empat ini. Sepuluh tahun lalu saya belum punya mobil. Sepeda motor satu - satunya jatah kantor kala itu sudah saya jual buat menambah kebutuhan dana bakal beli rumah yang sekarang saya tempati.
Teriakan sang Kernet itu memaksa saya mengingat jaman lalu, dan juga membuat saya segera beranjak turun dari bis, karena memang telah sampai tujuan. Saya harus turun di gang Pomad lantas melanjutkan menembus hujan dengan naik ojek, seperti sepuluh tahun lalu juga seperti itu. Kala itu ongkos naik ojek sekitar lima ratus rupiah, dan malam ini jasa angkutan ojek dihargai lima ribu rupiah. Beranjak sepuluh kali lipat dalam sepuluh tahun, seiring perjalanan waktu yang merenta, seiring kebutuhan ekonomi yang makin sulit.
Dalam sepuluh menit saya sudah mendarat di teras rumah yang semakin lapuk, termakan hujan dan terserang rayap. Terbebas dari nyeri dinginnya air hujan, saya mencium bau pertisida. Rupanya sore tadi ada kayu teras yang runtuh dari atap, membuyarkan pasukan rayap yang terhempas ke ubin. Dan Istri saya menghukumnya dengan semprotan serangga. "Duh, ada lagi yang harus dibayar...", keluh saya dalam hati sambil mendongak menyaksikan bongkah kayu yang terpenggal di langit - langit teras. Saya masih teringat tulisan rekan saya tentang harta calon presiden, krisis ekonomi, dan keterjepitan kondisi keuangan pribadinya. Saya membacanya kemarin.
Malam yang dicekam hujan itu telah lewat berganti pagi yang dingin dan berembun sejuk menusuk. Saya kali ini --lagi - lagi-- berada di balakang kemudi mobil butut. Menghela nafas, dan masih merenung ihwal fragmen - fragmen yang tersajikan di dua malam yang lalu. Antara mimpi berkendara di jalan bertebing dan mimpi cottage mewah. Antara kenyataan kehujanan naik bis dan kenyataan atap rumah yang digerogoti rayap. Antara masa lalu tanpa mobil dan habis - habisan untuk memiliki sepetak rumah. Hidup itu memang terisi dengan beberapa fragmen. Fragmen masa lalu yang kadang terbongkar kembali, fragmen mimpi yang kadang indah kadang mencekam, dan fragmen kekinian yang harus dihadapi. Mimpi belum tentu lebih indah dibanding kenyataan, dan masa lalu-pun begitu. Mereka bergerak seperti fluktuasi tarian ekualiser perangkat audio. Kadang lebih indah masa lalu, kadang lebih indah yang lain, dan itu tidak tentu. Terian itu tergantung untaian nada yang dimainkan. Namun yang jelas pagi ini kehidupan dimulai lagi. Kehidupan yang dirasa makin sulit dan makin sulit. Saya berangkat menuju timur, menantang mentari, diiringi melodi Joe Satriani. [] haris fauzi - 3 Juni 2009


salam,

haris fauzi