Thursday, December 25, 2008

kenisah : seperempat buku

SEPEREMPAT BUKU

 

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh generasi Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari empat pemimpin, Abubakar As-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Keempat khalifah ini secara bergantian meneruskan dan menjaga kemurnian ajaran Muhammad. Kegemilangan era Khulafaur Rasyidin ini dilanjutkan dengan generasi berikutnya. Tiga generasi setelah kepemimpinan Muhammad SAW –yang diisi oleh para tokoh sahabat, para tabi'in, dan tabi-tabi'in,-- disebut generasi "Salaf". Generasi Salaf adalah generasi para saleh ulama yang hidup sederhana menjaga kemurnian ajaran Muhammad SAW dan tidak terbelah-pecah. Rentang waktunya tidak dijelaskan, yang paling sering disebut berada di era abad VI M, jaman Khulafaur Rasyidin.

 

Singkat sejarah, generasi terus berganti seiring perjalanan waktu. Paska pemerintahan para sahabat hingga pada sekitar abad XIII telah terdapat beragam aliran dan sekte dalam jumlah yang tak terhingga. Dan kacaunya, benih beragamnya aliran dan sekte dalam Islam juga berbuah dimasa ini, yakni munculnya beragam perbedaan penafsiran hingga munculnya tambahan – tambahan peribadatan menurut persepsi masing – masing sekte yang sungguh tidak diperlukan. Penambahan – penambahan seperti ini populer disebut dengan 'Bid'ah'. Belum lagi adanya sekte – sekte yang berkolaborasi dengan kalangan mistik dan magis, sehingga memunculkan peribadatan klenik dan tahayul. Penyimpangan seperti ini populer dengan sebutan 'Khurafat'.

 

Dan entah kenapa, pada abad itu juga terjadi penyerbuan gerombolan Hulagu Khan –pemimpin bangsa Mongol-- ke Bagdad, pusat ibukota dinasti Abbasyah, sebuah kota yang modern dan mewah, dengan para pejabat yang mentereng. Penyerbuan orang Mongol yang sadis ini berdampak kepada dua hal, yakni hancurnya segala peradaban Islam tanpa sisa, karena seluruh perpustakaan dibakar dan dimusnahkan bukunya. Pemusnahan segala literasi ini berakibat fatal terhadap kelangsungan agama Islam. Sehingga para ulama tidak lagi memiliki referensi yang kuat, apalagi proses diskusi juga dibungkam penguasa. Penguasa Mongol melarang ulama yang tidak 'menguntungkan' posisinya, dan setiap ulama yang sudah diijinkan berdakwah, harus memiliki pengikut yang patuh, tidak bertanya banyak macam. Disinilah awal ditutupnya pintu pemikiran islam, pintu ijtihad. Ya. Pemerintah Mongol menyetir ulama, ulama menyetir ummat. Karena pintu ijtihad dilarang, maka jadilah para pengikut yang patuh buta sehingga menuhankan sang ulama sendiri. Kepatuhan semacam ini dikenal dengan sebutan "Taqlid".

 

Dampak lain dari penyerbuan bar-bar ini adalah kepada berantakannya pola kemewahan dinasti Abbasyah. Jaman itu dinasti Abbasyiah yang berkuasa hidup dengan kecukupan, bahkan cenderung berlebihan. Penyerbuan Mongol membuat pola hidup mewah yang hiruk – pikuk itu berganti dengan pola hidup sang penguasa baru, orang – orang Mongol yang nomaden, biadab, dan tak berpengetahuan modern. Back to Jungle.

 

Di tengah carut – marut itulah muncul seorang tokoh pembaharuan, yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah ini menyeru kepada seluruh ummat Islam agar kembali mempelajari kehidupan Khulafaur Rasyidin dan para sahabat, mempelajari cara hidup generasi salaf. Secara sederhana, gerakan pembaharuan yang dikibarkan Ibnu Taimiyyah untuk mengikuti jejak generasi salaf mencakup tiga hal, pertama adalah melestarikan kemurnian ajaran Muhammad SAW dengan meniadakan Bid'ah dan Khurafat, kedua adalah menjadi satu ummat dengan mengajak bersatu seluruh ummat Islam yang terbelah dalam berbagai golongan, ketiga adalah dibukanya peluang pemikiran islam / ijtihad sehingga tidak terjadi kepatuhan mutlak (Taqlid). Gerakan reformasi Ibnu Taimiyyah ini ternyata menjadi gerakan yang cukup kekal, "everlasting move".

 

Gerakan pembaharuan Ibnu Taimiyyah kembali berkibar di era modern. Pada abad XIX M, Muncullah seorang tokoh peradaban, pakar politik, ahli filsafat yang berhasil menerapkan ajaran Ibnu Taimiyyah dalam peri hidup dunia masyarakat-politik Islam. Tokoh ini bernama Jamaluddin al-Afghani. Seruan utama gerakan reformasi Al-Afghani untuk merujuk generasi salaf dimulai dengan mencoba mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia dengan meminggirkan madzhab dan golongan serta menghilangkan eksklusivisme kelompok. Al-Afghani berjuang didampingi seorang murid yang akhirnya menjadi partner terhebatnya, dia adalah ahli pendidikan bernama Muhammad Abduh yang berasal dari Mesir.

 

Kondisi era duet Al-Afghani-Abduh memang rumit. Kala itu Mesir sedang carut – marut. Terusan Suez di-'lego' oleh pemerintah Mesir karena krisis moneter. Juga adanya kekisruhan di lembaga peradilan dan penegakan hukum, hingga memaksa Raja Ismail yang berkuasa harus rela meletakkan tahtanya. Kekisruhan seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Mesir. Hampir semua negara Islam sedang tercabik – cabik memperparah keadaan ummat Islam yang sudah sengsara sehingga mudah sekali dijejali budaya Barat. Memang, serbuan "westernisasi" mulai dalam gelombang besar pada era tersebut. Dalam era itu, kalo nggak ke-barat – baratan, ya mistik. Kalo nggak gitu ya ribut antar sekte. Seperti itulah yang membuat duet Al-Afghani – Abduh ini prihatin.

 

Namun usaha duet Al-Afghani – Abduh tidaklah menyerah untuk melanjutkan perjuangan reformasi Ibnu Taimiyyah. Dari sekian banyak kendala, masalah terbesar adalah dalam internal ummat Islam sendiri. Muhammad Abduh pernah menyampaikan bahwa diantara ummat Islam sendiri sering terjadi permusuhan dan saling menjelek – jelekkan. " Saya anjurkan agar sesama ummat Islam janganlah saling ejek - saling hasut. Karena hal ini berakibat perpecahan".

Al-Afghani sebagai pelopor pembaharuan modern juga pernah menyampaikan bahwa penyakit ummat Islam adalah perpecahan. "Setiap diajak bersatu, mereka malah berselisih atas nama golongan masing – masing".

 

Dalam majalah berkala-nya yang sungguh populer, "Al-Urwah Al-Wusqa", Jamaluddin Al-Afghani menyeru persatuan ummat Islam untuk membangun kembali peradaban Islam menuju peradaban generasi salaf, sehingga bisa kokoh menolak serbuan budaya Barat.

Langkah kongkrit ajakan Al-Afghani – Abduh secara ringkas adalah mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia ini tanpa memandang golongan. "Perbedaan faham, madzhab, firqah, termasuk sunni-syiah jangan menjadi penghambat untuk bersatu".

 

Dalam buku karya Prof.Dr.H.Aboebakar Atjeh yang berjudul "Salaf – Muhji Atsaris Salaf Gerakan Salafijah di Indonesia", dikupas dengan baik bagaimana sejarah gerakan reformasi Ibnu Taimiyyah hingga bagaimana reformasi Jamaluddin Al-Afghani ini sampai ke Indonesia, termasuk siapa tokoh ajaran salaf di Indonesia. Buku ini terbitan Permata- Jakarta tahun 1970. Dan saya baru membaca seperempatnya.[] haris fauzi – 25 desember 2008

salam,

haris fauzi

Sunday, December 21, 2008

kenisah : seperti tahun lalu

SEPERTI TAHUN LALU,

KETIKA BATU BERLUMUT

 

"…cepat angkat pena-mu…

cepat angkat, sebelum segalanya berlalu

dan tuliskan itu…"

 

Seperti tahun lalu, senja hari itu adalah senja Desember. Kota ini disiram hujan cukup sering. Agak ragu – ragu saya hendak menembus tirai hujan yang tidak terlalu deras namun cukup rapat itu. Mata saya menatap ke tanah, menyaksikan butir – butir kristal air yang terhempas lantas tercerai – berai, namun kemudian menyatu kembali dalam keutuhan alirannya. Kehidupan memang seperti itu, mengikuti ritualnya, tak kuasa kau melawannya.

 

Seperti tahun lalu, ketika hujan tak kunjung reda, membuat bebatuan lembab dan berkelir lumut. Setiap tahun seperti itu. Hujan menciptakan batu yang semula garang menjadi lembut. Selembut lumut. Ada yang tak bisa kita sangka, segalanya. Karena perubahan itu sebuah keniscayaan, perubahan apapun, seperti bagaimana batu itu kini halus berlumut. Sayapun menyikapi hal ini, mengerti bahwa dalam suatu masa telah mengubah saya, dan saya menghaturkan terima kasih kepada segala yang telah mengajarkan saya akan keniscayaan dan perubahan itu sendiri. Mungkin, hujan senja ini tak hendak segera mereda. Saya mengangkat kerah jaket lebih tinggi lagi sehingga bisa melindungi ubun – ubun dari guyuran hujan. Bersegera memasuki mobil. Dan berkendara menembus rinai gerimis.

 

Seperti tahun lalu, atmosfir memercikkan kristal airnya. Berurutan seperti percikan relief kenangan demi kenangan. Jalan waktu yang telah dilakoni. Rasanya saya tak terlalu memacu kendaraan yang sudah uzur ini. Biarlah mobil ini berjalan pelan, agar gerak mozaik kenangan itu tidak berlalu segera. Supaya saya bisa menamatkan dengan khidmat sebelum dia berlalu menjauh. Ya. Mungkin dia menjauh, tetapi kristalnya terpahat dalam kenangan. Saya terus mengikuti pergerakan mozaik ini, laksana pemandangan yang bergerak dalam bingkai kaca mobil yang juga berubah – ubah. Hingga akhirnya mobil ini berhenti sesampai tujuan, dan sketsa yang semula bergerak itu kini terdiam. Hanya terangguk ketika terterpa angin.

 

Seperti tahun lalu, senja ini-pun saya terbawa pusaran arus waktu. Yang hendak melibas siapa saja yang menghalangi. Karena pusaran itu terus dan terus sahaja bergerak sesuai kehedaknya. Berjalan menuju masa berikutnya. Saya bersegera mencoretkan pena ini. Sebelum pusaran masa ini melanjutkan perjalanannya, menuju tahun berikutnya. [] haris fauzi – manggarai, 19 desember 2008

 

salam,

haris fauzi

Saturday, December 13, 2008

kenisah : baru sekilas

BARU SEKILAS

 

....

Bila karena Tuhan, apakah penjara-penjara itu membuatmu sengsara ?

Bila karena Tuhan, apakah siksaan itu membuatmu takut ?

....

 

Padahal sudah lama paket itu datang. Mungkin tiba di awal tahun. Sudah lama saya buka, dan dua keping cakram itu saya selipkan diantara keping cakram yang lain dalam sebuah map tebal. Saya seringkali mempunyai kebiasaan eperti itu, tak bersegera menengok isinya.

Seperti halnya ketika saya membeli keping album Dream Theater 'Six Degrees Of Inner Turbulence' dan 'Mothership'-nya Led Zeppelin, saya tak segera memutarnya. Bukannya kenapa. 'Six Degrees of Inner Turbulence' saya sudah sejak dulu memiliki format padat lain, dan baru kesampaian membeli cakram padatnya barusan. Demikian juga dengan 'Mothership' yang merupakan kompilasi saya sudah pernah memiliki dalam format kaset. Jadinya format CD mereka kali ini adalah berupa legitimasi koleksi, karena saya sudah pernah menikmati dalam format lain.

 

Namun, kiriman adik saya ini berbeda. Dia mengirimkan dua keping cakram berjudul "RUHULLAH". Berisi film dokumentasi biografi Ruhullah Khomeini, tokoh tertinggi revolusi Islam yang paling masif abad dua puluh ini. Dalam era modern, mungkin sampai detik ini, belum ada gerakan agama Islam yang lebih dahsyat dibandingkan revolusi Iran ini.

 

Saya baru sekilas menontonnya minggu lalu, dan film sepanjang dua jam lebih itu membuat saya tercenung. Ruhullah kecil lahir dari seorang Bapak yang pemberani, tahun awal abad. Seorang pedagang --ya, hanya pedagang-- yang melawan kawanan perompak dan meninggal dalam perlawanan sengit itu, tak lama sebelum Ruhullah lahir. Ya. Ruhullah tak sempat bertatap muka dengan Bapaknya. Ruhullah yang memiliki darah keturunan Rasul Muhammad SAW itu tumbuh dibimbing saudaranya dan kemudian belajar di sekolah agama, semacam pesantren.

 

Jiwa kritis Ruhullah muda terpanggil menyikapi keadaan kala itu. Dimana pemerintahan semakin berkiblat ke Turki dalam arus modernisasi dan westernisasi. Dimana urusan pemerintahan terpisah dari urusan agama, agama disini adalah Islam tentunya sebagai mayoritas di Iran.

Ruhullah menangkap kegelisahan dan menjadi bagian ketidak-sesuaian itu. Apalagi kurikulum pesantren dibatasi oleh pemerintah, hanya membicarakan masalah syariat agama. Dan terutama, ilmu politik tidak diperkenankan untuk dibicarakan di forum pesantren.

 

"Ini negeri mullah, mengapa pesantren di anak tiri-kan ?". Usia remaja Ruhullah memberontak dengan pola pikir seperti itu sehingga Ruhullah sendiri sempat dipinggirkan oleh rekan - rekan santri dan ustadz - ustadznya. "...Ada yang salah dengan Ruhullah. Dia selalu membicarakan masalah politik...padahal ini kan pesantren...".

 

Ruhullah tidak mudah ber-putus-asa.Umat Islam harus memiliki pemimpin, dan politik adalah lahan kepemimpinan. Ruhullah tak henti - hentinya menyuarakan hal ini sehingga menggerahkan kalangan pemerintah, militer, hingga kalangan pesantren sendiri. Beberapa kepincangan pemerintah karena pengabaian unsur relijius, dia kritisi dengan lantang. Sehingga para pemikir muda semakin banyak yang berpihak kepada Ruhullah. Ruhullah semakin dalam memasuki dunia politik.

 

Meresahkan kalangan status quo. Itulah Ruhullah. Ruhullah menyuarakan kemerdekaan. Maklum, kala itu memang Syah Iran terlalu didikte oleh Gedung Putih, Amerika Serikat. Mulai dari hubungan luar negeri, politik dalam negeri, keuangan dan ekonomi,kebijakan militer, penanaman investasi, kebudayaan dan pendidikan, hingga urusan agama. Semuanya adalah paket kiriman dari Gedung Putih. Dan ini tidak dikehendaki oleh Ruhullah. Ketika Ruhullah semakin banyak pendukungnya, semakin banyak kelalaian pemerintah yang menjadi sorotan, pada akhirnya membuat penguasa saat itu : Syah Iran, berminat menyingkirkan Ruhullah. Akhirnya Ruhullah diasingkan secara paksa, lewat peran polisi rahasia.

 

Pengasingan Ruhullah tidak menyurutkan pergerakan menentang status quo.Bahkan malah jadi perkara. Mulai bermunculan demonstrasi agar Ruhullah dipulangkan ke Iran. Seiring krisis pemerintahan yang semakin tajam, penentangan itu semakin marak. Di kampus, mahasiswa mendiskusikan masalah pemerintahan masa depan, di kantor karyawan tidak bekerja, di pasar toko - toko tutup, orang - orang bergerombol dan berpidato menuntut pembaharuan. Tekanan ini, seperti biasa dalam teori tirani, maka dilawan oleh gerakan militer. Maka berjatuhanlah korban peluru panas. Namun anehnya, mahasiswa, ulama, dan masyarakat yang bergerak di bawah komando Ruhullah tidak melawan tindakan represif militer. Mereka malah mengajak tentara untuk desersi demi kebenaran, dengan cara memeluk dan memberikan sekuntum bunga.

"Tentara tidak perlu dilawan. Mereka adalah teman perjuangan. Ajaklah untuk berjuang bersama", demikian fatwa Ruhullah Khomeini dari pengasingan. Dan dampaknya dahsyat. Banyak sekali tentara yang berbalik arah.

 

Ada kisah lucu dari sejarah desersi tentara di Iran ini. Untuk mencegah tentara desersi, maka semua tentara digundulin. Jadi, kalo desersi akan ketahuan dan mudah diciduk. Namun mahasiswa tidak kurang akal. Mahasiswa ikutan gundul, hampir semua mahasiswa pria menggunduli kepalanya. Jadi ketika ada tentara desersi, tidak berbeda dengan mahasiswa. Para panglima dan perwira semakin bingung.

 

Eskalasi revolusi semakin tinggi. Para demonstran turun ke jalan, mengenakan kain kafan. Siap mati. Demonstrasi digerakkan dari luar negeri Iran, dimana Ruhullah diasingkan. Seakan kehabisan akal, pemerintah mulai melenyapkan satu-persatu tokoh revolusi Iran, termasuk anak lelaki Ruhullah. Dan yang paling membuat sedih Ruhullah adalah dibantainya ustadz ahli filsafat, Sayyid Murtadha Muthahhari.

 

Tuntutan agar Syah Iran meletakkan jabatan semakin kuat. Singkat cerita Syah Iran-pun harus meninggalkan Iran. Sebelum hengkang Syah Iran menunjuk dan membentuk pemerintah bayangan. Saat inilah Ruhullah baru bisa pulang, dimana setelah turun dari pesawat dan dielu-elukan disepanjang jalan, Ruhullah segera menggelar pidato. Pidatonya satu topik: Revolusi belum selesai. Dan  pemerintah bayangan ini dituntut segera untuk bubar.

 

Setelah pemerintah bayangan dengan mudah dibubarkan massa pro-revolusi, maka Ruhullah menggelar referendum. Dan tercapailah bentuk negara baru : Republik Islam Iran. Tentunya dengan adanya dewan reliji yang independen yang memonitor para pelaksana pemerintahan.

 

Ruhullah adalah manusia biasa. Di usia senja, Ruhullah sakit. Dalam keadaan terbaring lemah, Ruhullah masih sempat memberi instruksi - instruksi demi jalannya pemerintahan Republik Islam Iran. Ruhullah juga masih memaksakan untuk sholat dengan berdiri. Dengan dijaga agar tidak limbung, Ruhullah membaca Takbiratul Ihram, Iftitah, al-Fatihah, dan rangkaian doa shalat hingga Tahiyyat sebagaimana biasa. Pada adegan inilah membuat saya semakin tercekat. Sungguh besar jiwa Ruhullah, demikian bersahaja, dan hanya berpikir semua dikerjakan demi ibadahnya kepada Tuhan. Beberapa kali saya menahan nafas menyaksikan Ruhullah membaca doa sujud dengan tertatih - tatih, lemah. Seorang besar yang merasa sangat kecil di hadapan Tuhan.

 

Fisik Ruhullah semakin lemah. Setelah beberapa waktu menderita sakit, akhirnya Ruhullah menghadap sang Khaliq. Membawa duka kepada relung hati jutaan orang yang memadati jalanan dari rumah duka hingga jalanan macet dan kereta jenazah tidak bisa lewat. "Dalam keadaan jalanan seperti ini, dalam beberapa hari-pun, jenazah Ayatullah tidak akan bisa tiba ke pemakaman. Saya sudah melindas beberapa telapak kaki pelayat yang nekat memeluk mobil, tapi saya tidak mau ada korban...", demikian pengakuan sang Sopir. Sang sopir yang membawa jenazah Ruhullah akhirnya membanting setir memasuki high-way dan secara tiba - tiba jenazah ditarik naik oleh helikopter.

 

Masalah berikutnya timbul. Helikopter tidak bisa mendarat untuk menguburkan jenazah. Area pekuburan sudah penuh sesak oleh pelayat yang saling berdesakan. Gema takbir berkumandang keras dan tanpa henti diantara isak tangis. Air mata membasahi bumi Iran. Akhirnya jenazah diturunkan dengan menggunakan tambang. Tapi ini tidak menyelesaikan masalah. Jenazah diterima oleh pelayat yang segera memperebutkan kain kafan almarhum, sehingga dengan terpaksa jenazah ditarik kembali ke atas, balik ke helikopter. Setelah para keluarga, puluhan ustadz, dan tokoh - tokoh masyarakat menenangkan massa, barulah jenazah bisa dimasukkan ke liang lahat. Sungguh, entah sebulan-pun, mungkin massa akan setia mengikuti proses pemakaman ini. Massa yang berduka menyemut seperti lautan, dari ujung - ke ujung kota. Memenuhi jalanan hingga area pemakaman. Mereka berduka. Namun, Ruhullah tetaplah manusia biasa, dan pasti akan menutup usia.

 

Baru sekilas saja saya menyaksikan film ini. Saya masih berhasrat untuk menyaksikan ulang. Sungguh, film ini mengajarkan kepada kita, bagaimana berlaku sebagai manusia yang menghamba kepada sang Pencipta, yang beribadah dengan ikhlas, dan berjuang untuk Tuhan. Bila karena Tuhan, adalah yang kau ragukan ? [] haris fauzi - 13 desember 2008



salam,

haris fauzi

Sunday, November 30, 2008

kenisah : "Krrrrk...!!!"

Krrrrrrk….!!!, telpon meja kerja saya berbunyi.

“Ya. Halo…”, saya angkat.

“Ini dari HRD, konfirmasi tentang acara nanti, tamunya dateng jam 10 ya, Pak, di ruang meeting direksi”, bunyi dari seberang, staff HRD berbicara.

“Ya”

“Makasih”

Klik

 

Menjelang pukul sepuluh, saya mengemasi buku kerja dan hand-out, flashdisc masuk kantong. Beranjak menuju ruang meeting direksi. Sesampai di sana ternyata ruangan masih kosong melompong. Komputer dan proyektor sudah siap, tapi belum ada orang. Saya iseng mencolokkan flashdisc dan mengemudikan komputer, menyalakan player –‘Huma di Atas Bukit’-nya GodBless berkumandang dengan megahnya.

 

Hari itu pikiran saya bercabang – cabang. Sambil menunggu acara, saya iseng membuka aplikasi notepad. Memang saya sangat suka dengan aplikasi ini. Enak dibuat nulis, hobi saya di kala iseng, dan kecil kapasitasnya. Ya. Pas itu saya iseng mencoba menulis alakadarnya, dan entah kenapa kali itu saya melancarkan jemari menulis tentang anak jalanan.

 

Sekitar pukul 10.20, staff HRD masuk ruangan. Dia yang menelepon saya tadi.

“Pak, acaranya diundur, sekitar jam sebelasan ya…”

“Ya. Saya disini aja, nunggu sambil iseng mainin komputer. Boleh kan ?”

“Boleh, Pak…”

Saya melanjutkan menulis paragraf demi paragraf. Kali ini lagu kenangan “Do You Dream Of Me” dari Michael W.Smith. Berikutnya lagu dari Yes “ And You And I”. Saya tetap iseng menulis.

 

Pukul sebelas, tulisan itu sudah mencapai halaman ketiga. Tamu mulai berdatangan. Mereka menyusun perlengkapan audio video. Ada peralatan pencahayaan segala. Saya masih asyik bolak – balik membaca dan menyempurnakan tulisan saya itu. Saat itulah saya terinspirasi sebuah judul untuk tulisan saya itu,”REMUK”. Entah kenapa tulisan ini menjadi seperti cerita pendek sepanjang empat halaman. Bernuansa cenderung kelam.

 

Tak lama kemudian saya membuka aplikasi dialog chatting. Saya klik nama seseorang yang saya kenal gemar membaca. Dan dia juga mengenal pola tulisan saya. Maksud saya, saya hendak coba asistensikan ke dia tulisan iseng barusan, untuk di koreksi tentunya. Saya teringat, bahwa dari media maya, saya pernah membaca akan adanya seleksi karya sastra untuk majalah budaya yang bakal terbit awal tahun 2009. Setelah saya timbang – timbang, bisa jadi tulisan saya barusan mungkin akan saya kirim ke dewan redaksi tersebut. Toh kriterianya nyerempet – nyerempet. Untuk itu saya butuh seseorang yang bisa mengoreksi dan memberi masukan. Dan dia bersedia. Segera saya kirimkan tulisan saya itu kepada rekan tadi.

 

Pukul 11.10 para peserta acara yang lain mulai berdatangan memenuhi bangku. Petugas juga sudah hilir mudik mengacungkan jempol tangan berkali – kali. Saatnya untuk meninggalkan pekerjaan iseng tulis – menulis ini. Saya menutup aplikasi notepad dan membuka aplikasi presentasi. Dan segalanya telah siap. Sekarang saatnya bekerja.

 

Acara kantor itu dimulai, dan selesai menjelang pukul dua belas, saat istirahat siang. Saya menutup semua aplikasi, mencabut flash disc, dan balik ke meja menenteng buku kerja. Menjelang makan siang, saya tanyakan pendapatnya tentang tulisan saya tadi. Beberapa masukan dia berikan. Segera saya koreksi tulisan saya sesuai katanya, walau nggak sepenuhnya saya kerjakan semuanya. Sempat saya lontarkan pertanyaan sederhana,

”...tulisan itu tentang apa ?”.

“Anak jalanan, bener ga ?”

“Bener”, tutup saya.

Beres. Sekarang saatnya membuka aplikasi surat elektronik.

 

Klik. Saya tekan tombol pengiriman. Tulisan itu terkirim via surat elektronik ke dewan redaksi majalah budaya tersebut. Saya mendapat konfirmasi penerimaan naskah dan jadwal pemberitahuan proses seleksinya. 24 Nopember 2008. Saya tandai hari tersebut di agenda kerja saya. Tak lupa saya sampaikan kepada rekan saya tadi tentang seleksi dan tanggal pengumumannya. Kepada dia, saya bilang bahwa pengumumannya akan dirilis tanggal 25 Nopember. Sengaja saya selang satu hari. Dia menjawab,”Mudah – mudahan lulus…” sambil senyum.

 

Senin tanggal 24 Nopember 2008, sejak pagi saya perbaharui kolom surat saya, dan hingga menjelang senja belum ada pengumuman soal itu. Tak sabar hati ini, tanggal 25 pagi hari, saya berkirim pesan pendek ke ponsel dewan redaksi, dan tidak dibalas. Baru pada sekitar menjelang siang, saya menerima sebuah suratelektronik yang pada kolom subyeknya bertuliskan :” INI DIA CERPEN DAN PUISI YG LOLOS SELEKSI –yangmana singkatnya—berbunyi seperti ini :
.....
10 Cerpen Pilihan:
1. Virus Politik karya Asyiah Nurul Fajri
2. Secawan Kopi Untukmu, Pacarku! karya Vin Vulaize Kumbang
3. Pada Suatu Akhir karya Anggit Saranta
4. I Love Bogor karya Windi Hastuti
5. Remuk karya Haris Fauzi
6. Soneta di Musim Hujan karya Indi Saragi
7. Biarlah Mendungnya Menjadi Hujan karya Dadi M.H.B.
8. Kota Masa Depan karya Helmy Fahruroji
9. Nafsu Bukan Cinta karya Wahyudimalamhari
10.Becak dan Prinsip Karya Janwar
.....
[] haris fauzi - 29 nopember 2008

MUSIK PROGRESIF DAN KITA

 

Musik Progresif

 

Banyak definisi tentang musik rock progresif (atau sering disebut dengan 'progresif' atau 'prog' saja), yang mana tersedia dalam berbagai literatur. Secara sederhana musik Rock Progresif adalah musik yang kompleks diisi banyak elemen musik mulai dari musik klasik hingga tradisional, simfonik, tidak monoton, mengandalkan kepiawaian memainkan alat musik, dan sering berdurasi panjang untuk menampung banyaknya ide dan cerita yang variatif serta komposisi yang berubah - ubah.

 

Ada tiga kelompok besar genre musik rock progresif yang cukup subur. Yakni Progresif Metal, Neo Progresif (Modern Progresif), dan Rock Progresif itu sendiri sebagai biangnya.

Rock Progresif sebagai cikal – bakal diawali oleh The Beatles dan terus berkembang di tahun 60-70-an. Genre ini nampak jelas dalam karya – karya Yes, Genesis, Peter Gabriel, ELP, King Crimson, dan Pink Floyd.Sementara progresif metal dan neo progresif baru mewabah sekitar belasan tahun terakhir, setelah kelompok musik pengusung rock progresif mulai meredup satu - persatu. Progresif metal dan neo progresif lebih tersegmen, tidak seperti buyutnya yang seakan – akan 'apa aja dimakan', tak kurang musisi rock progresif memanfaatkan alat musik tradisional, bunyi hentakan kaki, atau apa saja demi berkarya. Sungguh campur-baur.

 

Secara awam, mereka bisa dibedakan dari ciri – ciri permainan musiknya. Progresif metal adalah kelompok musik yang memainkan ciri progresif dengan sentuhan heavy metal. Ini sungguh kondang sekarang. Drum yang rapat, bunyi bass yang menggelora, sayatan keyboard yang berkelebatan seperti samurai, serta gitar yang menderu laksana kereta cepat dengan beberapa kali melodi yang menyayat – nyayat. Vokalnya juga menjelajah banyak oktaf, diimbangi durasi lagu yang panjang, sekitar belasan menit. Bagaimana musisi – musisi nordic dengan hebatnya memainkan genre ini. Namun, tentunya yang paling gampang dijadikan kiblat adalah Dream Theater,Rhapsody, atau Symphony-X. Bila anda menjumpai musisi heavy metal dengan dominasi keyboard, bisa jadi mereka pengusung genre ini.

 

Sementara neo-progresif, adalah genre musik rock yang menyenandungkan ritmis yang lebih simfonik, dengan melodi – melodi manis yang selalu tak lupa disisipkan dengan indahnya. Pengisian bunyi keyboard juga sangat mengena dengan manis, ketukan drum lebih mengisi ritmis yang pas, tidak menggebu – gebu. Bagi pendengar awam, maka bisa jadi mengira genre ini adalah fusion (salah satu cabang silang dari Jazz). Cukup banyak kemiripannya, salah satunya adalah interlude panjang penuh improvisasi dengan dua atau tiga duel perangkat musik, dan sering pula berkarya instrumentalia dengan dua keyboards. Perbedaan yang jelas dibandingkan dengan fusion adalah neo-progresif lebih memiliki power, karena dia sendirinya berada di jalur rock. Jaman sekarang ini, aliran ini cukup pupoler mengalahkan buyutnya sendiri, progresif rock. Yang mempopulerkan diantaranya adalah Spock's Beard, The Flower Kings, dan Trans-Atlantic.

 

 

Di Indonesia

 

Secara ringkas, musik Indonesia juga mengalami hal serupa. Bagaimana di awal karirnya GodBless terinfeksi genre yang demikian mewabah ini, yang sangat nyata di album "Cermin". Bukan hanya itu, album – album perdana dari penyanyi pop Chrisye-pun tak luput berkiblat ke genre rock progresif di album "Percik Pesona" dan "Pantulan Cita". Jaman 70-an  memang era-nya progresif seiring dengan berkembang suburnya rock n roll.

 

Bagaimana Indonesia sekarang ? Bila kita bicara kekinian, maka kita membicarakan neo progresif dan progresif metal. Dan di Indonesia, mungkin kita pernah mendengar kelompok Vantasma, kelompok pengusung neo-progresif  yang merilis album studio di tahun 2006 berjudul "Beyond Fallen Dreams". Ya. Indonesia memiliki musisi genre ini juga. Selain itu, Makara, dalam rangka re-born pertengahan tahun 2008 juga merilis album barunya berjudul "Maureen" yang diakui banyak pengamat bermain di mainstream genre neo progresif ini.

 

Dari sisi progresif metal Indonesia juga tidak absen. Awal tahun 2008 kita ketiban rilis album perdana The Miracle, pemuja Dream Theater ini menelurkan album progresif metal berjudul "TheM…" yang lebih soft ketimbang kiblatnya. Walaupun lebih poppy, namun tetap saja permainan mereka complicated dan dengan keahlian yang sempurna.

 

Vantasma, Makara, dan The Miracle tidak hanya memeriahkan bursa deretan album musik di toko – toko, namun mereka juga beberapa kali naik panggung. Dan sebagai ciri khas pengusung musik progresif yang sangat bergantung kepada keahlian musisinya memainkan alat musik, maka mereka juga sangat mumpuni ketika berada di atas pentas.

 

Bagaimana dengan restan orde rock progresif ? Untuk urusan ini, bangsa kita punya Discus. Kelompok musik yang memiliki dua album "1st" (1999) dan "…Tot Licht!" (2003) dan memiliki jadwal naik panggung di Eropa – Amerika yang cukup tinggi. Album - albumnya mendapat sambutan yang baik di Eropa, namun tidak sempat populer di tanah airnya sendiri. Di ajang dalam negeri Discus sempat meraih award untuk kategori Band Progresif terbaik 2004 dari AMI.

 

Discus

 

Berbeda dengan Makara atau Vantasma yang mengusung neo progresif. Atau Lord Symphony dan The Miracle yang berbendera progresif metal. Discus ber-akar dari "akar". Dan sungguh lebar ranah bermusiknya. Menilik dari punggawanya, Discus meramu segala aliran musik yang ada dari klasik, jazz, rock, hingga etnis layaknya Peter Gabriel, dan nggak canggung pula sesekali bermain keras ala heavy metal.

Dari catatan album "…tot licht!", tercantum nama Fadhil Indra (lead vocals, keyboards, electronic percussion, gongs, rindik, kempli, gender); Iwan Hasan (lead vocals, electric & classical guitars, 21 strings harpguitar, keyboard, guitalele & stummed violin); Kiki Caloh (lead vocal, electric bass); Anto Praboe (lead vocals, suling, flute, clarinet, bass clarinet, tenor saxophone); Eko Partitur (lead vocal, violin); Hayunaji (vocals, drums, kempli);Krisna Prameswara (vocal, keyboards), dan Nonnie (vocals). Betapa beragamnya alat musiknya, bahkan keyboards bertebaran dimana – mana. Belum lagi ada tambahan musisi dalam menyelesaikan album tersebut, diantaranya yang menarik adalah peran Ombat Nasution (vokalis grup heavy metal 'Tengkorak') yang ikut urun suara di lagu 'breathe'.

 

Ya, Discus mengusung rock progresif yang sudah uzur dan sangat kompleks itu. Walau uzur, genre ini masih ada disini, salah satunya adalah karena memang komunitasnya ada. Komunitas resmi musik progresif di Indonesiasalah satunya adalah Indonesian Progressive Society (IPS). Dan di bawah bendera IPS, telah banyak musisi progresif Indonesia yang lahir dan berkarya. Mulai dari pementasan hingga album rekaman. Diantaranya adalahVantasma, Pendulum, Anane, Discus, Imanissimo, dan beberapa lagi.

 

 

Discus di Salihara

 

Dalam medio November ini, Discus berkesempatan naik panggung di Komunitas Salihara. Tentunya sebuah produk entertainment yang memikat dan bermutu. Menunggu Discus manggung rasanya sudah seperti menanti bidadari turun dari langit. Jangan dikira Discus akan manggung layaknya musisi rock. Mereka lebih mirip musisi klasik atau orkestra. Penampilan panggung mereka harus ditunjang oleh akustik gedung dan sistem suara yang mapan. Penontonnya pun pasti santun seperti nonton konser klasik. Memasuki gedung mengingatkan akan beberapa tahun lalu saya nonton duet gitar akustik klasik di Erasmus Huis.

 

Format panggung adalah Anto Praboe ada di kiri depan dengan segala perangkat tiupnya, dan di belakangnya ada Krisna Prameswara bertopi merah berikut korg set keyboardnya.

Di tengah panggung, ada Iwan Hasan dengan menenteng gitar hijau, berkemeja hijau, berjaket krem. Agak belakang sedikit, dengan busana hitam, sang vokalis, Yuyun, sering lewat kesana – kemari sambil menari. Persis di tengah belakang, dengan perkasanya bercokol Hayunaji. Gebugannya benar – benar memukau. Di panggung depan agak ke kanan, ada Kiki Caloh berbusana setengah kimono, sering tersenyum sambil mencabik bass mengingatkan Chris Squire-nya YES.

 

Dari sisi kanan depan, si rambut gondrong Eko Partitur sesekali kebelit kabel biolanya. Sungguh menjadi penyihir dia malam ini. Di belakang Eko, berjubel Fadhil Indra dengan beragam perangkat gamelan dan tentu saja keyboard kesayangan Fadhil. Di tambah satu lagi, seorang gitaris yang saya ga tau namanya yang mainnya mirip David Gilmour-nya Pink Floyd.

 

Dalam panggung itu, dimana didedikasikan untuk para 'teman – teman Discus',--demikian menurut Fadhil Indra sebagai juru bicara,  Discus menampilkan kurang lebih sepuluh lagu. Beberapa saya nggak faham judul lagunya, karena memang ada yang meddley dengan aransemen yang sungguh berbeda. Atau lagu untuk pengisi album baru, dan ada satu lagu yang hanya dirilis di Jepang.

 

Setidaknya  yang saya hafal adalah lagu pembukaan konser yakni  Contrasts (dari album 1st), yang merupakan lagu adaptasi progresif dari lagu tradisional Gambang Suling. Formasi komplit Discus sungguh memukau pas lagu ini dibawakan. Lagu berikutnya langsung nge-prog total dengan  'verso kartini (door duisternis tot licht)', dan disambung 'breathe' dari album kedua, namun sayangnya nggak ada growl Ombat Nasution seperti di album studionya. Sang drummer, Hayunaji, keren bener mainnya. Mantap pukulannya, apalagi Kiki Caloh setia mengiringi dengan betotan bass-nya. Mereka berdua seakan punya energi cadangan hingga ditutupnya konser apik ini.

 

Discus, yang dalam narasi Iwan Hasan disampaikan bahwa kelompok ini semula ber-genre jazz, akhirnya menampilkan satu lagu yang bener – bener nge-jazz.Sebelum itu, Discus sempat ber-'sesi akustik' dengan tiga orang saja, Iwan Hasan, Anto Praboe, dan Eko Partitur merangkai meddley dari adaptasi akustik lagu mereka. Judulnya saya lupa.

 

Selain itu semua yang saya sebutkan, Discus nge-prog habis – habisan. Nge rock sampe Iwan Hasan kehabisan suara. Dan lucunya, dia mengakuinya. Lantas menyerahkan vokal kepada Kiki Caloh di lagu berikutnya, kalau nggak salah judulnya 'Misfortuner Lunatic'.

 

Pada dasarnya memang Discus adalah musisi rock, walau berangkat dari grup jazz. Pertunjukan malam itu di dominasi oleh dentuman musik rock yang memiliki kadar etnik cukup tinggi. Fadhil nggak jarang meninggalkan keyboard untuk memukul bunyi – bunyian tradisional. Juga Anto Praboe yang berkali – kali memanfaatkan alat musik tiup daerah. Seakan nggak cukup itu, Krisna juga piawai melahirkan bunyi – bunyian bernuansa 'world music' dan etnis dari perangkatnya. Di tengah ritmis musik rock yang padu, Discus dengan lihai mengkombinasikan segala pernak – pernik etnik tersebut.

 

Dalam panggung itu, semua bermain dengan baik, nggak terkecuali gitaris yang mojok di belakang Eko Partitur, walau dia berkesan pendiam, tapi kontribusinya sungguh berarti. Iwan dan Fadhil bener – bener nyantai, mereka berdua menjadi juru bicara yang nggak protokoler sama sekali.

 

Ada beberapa lagu baru yang katanya hendak dimuat di album mendatang. Cukup menjanjikan. Dan semoga, album baru itu terwujud. Sekaligus pembuktian, bahwa progresif di Indonesia masihlah ada, baik di panggung ataupun di cakram rekaman. []

 

CATATAN KAKI :

Cuplikan dari wikipedia sebagai catatan tambahan :

 

Progressive rock,

… atau sering disingkat prog adalah jenis musik yang mulai berkembang pada akhir dekade 60-an dan mencapai masa jayanya di tahun 70-an, menggabungkan elemen-elemen dari rock, jazz dan musik klasik. Kadang pengaruh dari blues dan musik tradisional juga terasa.

Berawal dari eksperimentasi musisi rock saat itu, diinspirasi oleh The Beatles dan The Beach Boys mereka mulai menggabungkan musik tradisional, musik klasik dan jazz ke dalam komposisi mereka. Beberapa band progressive rock terkemuka adalah Yes, King Crimson, UK, Pink Floyd dan Genesis dari sekitar tahun 1969, Rush dari tahun 70-an dan Marillion, Dream Theater dari 80-an.

Seperti halnya aliran-aliran musik yang lain, adalah sangat sulit untuk mendefinisikan musik rock progresif secara tepat. Karena inilah terdapat banyak perdebatan mengenai apakah satu kelompok musik prog atau tidak. Namun ada beberapa ciri khas musik prog yang biasanya dapat ditemui dalam karya-karya musisi prog. Di antaranya adalah ritme yang tidak konvensional (bukan 4/4 atau sinkopasi), penguasaan alat musik yang mahir dengan permainan solo yang rumit, dan lagu-lagu yang panjangnya melebihi normal (lebih dari 5 menit, biasanya sekitar 12-20 menit atau bahkan lebih panjang).

Banyak grup progressive rock yang menerbitkan satu album dengan lagu-lagu yang bertemakan sama atau sambung-menyambung menceritakan satu cerita (disebut album konsep). Contoh-contoh album konsep di antaranya adalah Metropolis 2: Scenes from a Memory dari Dream Theater dan The Lamb Lies Down on Broadway dari Genesis. Banyak pula group musik progressive saat ini yang mulai keluar dari stigma musik progressive sebagai genre dan kembali ke pemikiran inti musik progressive sebagai pandangan yang amat sangat kuat dipengaruhi pandangan Jazz.

 

 

Discus,

…adalah kelompok musik progressive rock asal Indonesia yang memadukan unsur-unsur musik rock, jazz, klasik, metal, dan musik tradisional Indonesia. Discus dibentuk pada tahun 1996 dan sampai saat ini telah merilis dua album.

Pembentukannya berawal dari pertemuan antara Iwan Hasan dengan Anto Praboe. Mereka lalu mengajak Fadhil Indra untuk bergabung.

 

Penampilan di Mancanegara

Discus sudah sering tampil di mancanegara. Antara lain dalam "ProgNight" di San Francisco, "Knitting Factory" diNew York, dan "ProgDay" di North Carolina. Semuanya digelar di Amerika Serikat.

Discus juga tampil dalam "BajaProg" di Baja, Meksiko tahun 2001, "Progsol" di Pratteln, Swiss tahun 2005, dan yang terakhir "FreakShow" di Wurzburg, Jerman tahun 2005 juga.

Sebenarnya, Discus juga dijadwalkan tampil di festival Zappalane di Bad Doberan, Jerman, tahun 2007. Sayang, karena tidak kebagian tiket pesawat, Discus batal tampil. Padahal, Discus tidak hanya mewakili Indonesia, tapi juga Benua Asia.

[sunting] Album

Discus telah merilis 2 album, yaitu "1st" dan "...Tot Licht!" yang terjual total sekitar 20 ribu keping.

Tahun 2004, Discus meraih penghargaan "AMI Samsung Award 2004" lewat lagu Anne di album "...Tot Licht!" dan "Band Rock Progresif Terbaik 2004".

Anggota

1.         Iwan Hasan - vokal, gitar, kibor, 21-string harp guitar

2.         Fadhil Indra - vokal kedua, perkusi, rindik

3.         Anto Praboe - klarinet, flute, saksofon

4.         Kici Caloh - bas, vokal kedua

5.         Eko Partitur - biola, vokal kedua

6.         Yuyun - vokal kedua, perkusi

7.         Krisna Prameswara - kibor

8.         Hayunaji - drum

Diskografi

•           1st (1999)

•           ...Tot Licht! (2003)