Monday, April 28, 2008

kenisah : tiga beda

TIGA BEDA
 
Sebetulnya sih lazim - lazim saja. Ada beberapa resep, racikan yang berubah, memberikan rasa yang berbeda, namun masih tetap nyaman untuk dinikmati dan didengarkan. Kadang memang terlalu subyektif, tapi ya mau bagaimana lagi. Menyangkut selera sih. Lho, trus kenapa kok cuma ketiga musisi ini saja ? Walah..... Sebenarnya sih banyak, seperti Sammy Hagar menggantikan David Lee Roth di Van Halen di semenjak album '5150',  tetapi apa iya sih harus ditulis semuanya ?
 
EUROPE : Out Of This World - 1988
Siapa yang tidak mendengar kesuksesan grup rock asal Swedia, 'Europe' melalui album 'The Final Countdown'. Rilis sekitar tahun  1986, 'The Final Countdown' populer dimana - mana, lagu - lagunya banyak dijajal di tangga lagu, jadi raja. Anak balita juga hafal intro keyboard lagu 'The Final Countdown'. Ya. Album ini memang sangat hebat, hampir semua lagunya keren punya. Salah satunya adalah karena kehebatan gitarisnya : John Norum, maka album Final Countdown menjadi demikian dahsyat.
 
Apa yang terjadi kemudian ? Saya tidak menyangka bila John Norum undur diri secepat itu. Dan lebih tidak menyangka lagi, bahwa Europe dengan cepat dan percaya diri merilis album baru dua tahun kemudian tanpa Norum.  Tahun 1988 Europe merilis album baru bertajuk 'Out Of This World' dengan gitaris baru : Kee Marchelo. Kecewa ? jangan terburu syak wasangka. Racikan musiknya memang berbeda. Kehalusan petikan Norum digantikan bunyi ciptaan Kee yang demikian bersemangat. Saya pribadi, pada akhirnya malah lebih suka mendengarkan 'Out Of This World' ketimbang album 'The Final Countdown'. Ditengah nuansa rock yang demikian memacu adrenalin, olah vokal Joe Tempest makin garang. Suara kecilnya yang mirip suara malaikat itu, kadang menggeram di album 'Out Of This World'. Silahkan mendengar album itu ketika menyetir mobil pagi - pagi. Pasti anda akan menginjak pedal gas lebih dalam. Hahahaha.
 
Dari sisi penjualan, 'Out Of This World' memang tidak terlalu segempar 'Final Countdown' rasanya. Saya mungkin tidak membahas itu, tetapi dari sisi 'rasa', 'taste', album ini lebih menampakkan spiritnya sebagai rock eropa ketimbang sebelumnya.
At the end,  saya takjub dengan perubahan mendasar di kelompok ini. Mereka datang dengan lebih menyengat,"...more than meets the eye".
 
GODBLESS : Raksasa - 1989
Dunia musik Indonesia geger ketika di tahun 1988 GodBless merilis album 'Semut Hitam'. GodBless come back!. Setidaknya hampir semua teman di kelas membeli album ini, lantas hafal lirik lagu sekaligus urutan lagu dalam album ini. Rangkaian lagu yang indah --bernuansa sweet rock-- menjelajah seluruh unsur musikal. Peran Yockie Suryoprayogo dan Ian Antono begitu kentara. Keyboard dan gitar. Pokoknya keren abis.
 
Lagi - lagi bermasalah apa saya juga nggak jelas. Ian Antono, salah satu kontributor keberhasilan album 'Semut Hitam', undur pamit. Namun, GodBless segera melakukan audisi kepada gitaris jebolan murid Eddie Van Halen yang sedang sibuk dengan Fariz RM, Cynomadeus, dan cikal kelompok Edane. Gitaris muda anak gubernur itu bernama Eet Syachrany.
 
Bareng Eet Syachrany, seingat saya setahun kemudian (ya, hanya setahun kemudian) GodBless melepas album terdahsyat sepanjang karirnya, judulnya 'Raksasa', ada yang menyebutnya dengan album 'Maret 1989'. Jelas ada perubahan mendasar. Ian Antono yang cenderung art rock, halus petikannya, namun senang bermain melodi di jalur 'manis'. Sementara Eet ganas mengaruk gitar, mengobral bunyi ritem, bereksplorasi bunyi seperti gurunya, Eddie Van Halen. Di panggung-pun mereka berbeda, Eet yang masih muda, polah pencilakan berlarian ke sana kemari. Ian cenderung berjaga diam.
 
Album 'Raksasa' memang dahsyat. Bila 'Semut Hitam' menandai come-back-nya GodBless, maka 'Raksasa' menandai puncak kreativitas mereka. Lengkap menu lagunya, dan tentunya penuh semangat. Gak ngerti kenapa, bila disuruh memilih, maka saya lebih menyukai album 'Raksasa' yang di sayat Eet Syachrany. Entah anda.
 
ELP : Emerson, Lake, Powell-1985
Album 'Love beach' dirilis tahun  1978 oleh kelompok art-rock ELP. Mereka kelompok musik dari Inggris beranggotakan Emerson, Lake, Palmer. Sebagai salah satu jagoan musik art-rock, pangkat pendekar ini terlanjur melekat, maka rilis album 'Love Beach' ini dianggap kurang menggigit oleh para kritikus musik progresif. Berkesan jenuh.
 
Beda kasus disini,  setelah merilis album 'In Concert' 1979, Carl Palmer akhirnya keluar.
Sempat vakum cukup lama, posisi drummer digantikan oleh Cozy Powell. Kelompok ini akhirnya sedikit merubah nama menjadi 'Emerson, Lake, Powell'. Siapa Powell ? Dia salah satu drummer  ter-'sibuk' yang pernah ada. Namun, Powell dari kutub yang agak berbeda, Hard Rock. Powell muncul dari gangsternya Rainbow, Whitesnake, Gary Moore, dan sebangsanya. Agak lain dengan jejak telusur teman - temannya yang berkubu di art- rock : King Crimson, Nice, Asia. Tak ayal. Resep bermusik ELP agak sedikit bergeser menjadi lebih cadas. Gebukan Powell yang khas dengan keliaran dan kecepatannya, membawa album yang rilis tujuh tahun setelah 'Love Beach' ini jadi nggak tau arahnya kemana.
 
Kejutan, dunia persilatan musik rock merespon single 'Touch and Go' sebagai salah satu kesuksesan ELP. Sekali lagi, racikannya sangat berbeda dengan mainstream semula, beda dengan pakem aslinya, tapi album ELP tahun 1985 ini (judulnya sih nggak jelas, yang jelas tertera adalah : 'Emerson, lake, Powell') menurut saya pribadi adalah album yang sangat bagus. Kedewasaan mereka untuk meramu sisi progresif agar bersenyawa dengan gebugan Powell yang cenderung heavy metal sungguh patut diacungi jempol.
 
Europe, GodBless, ELP. Mereka pernah berbeda rasa. Sisanya silakan icip sendiri. [] haris fauzi - 28 April 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Friday, April 18, 2008

kenisah : seakan Tuhan tersenyum

SEAKAN TUHAN TERSENYUM
 
Kebetulan karena saya memeluk agama islam sejak kecil, maka saya melakukan sholat sudah sejak kecil. Sering bertanya - tanya, baik dalam hati ataupun kepada orang lain, "mengapa sholat sebaiknya tepat waktu ?". Sudah sekian juta kata meluncur menganjurkan saya melakukan hal itu. Sholat tepat waktu, artinya sholat ketika azan selesai berkumandang. Hanya selang beberapa menit. Di-bombardir berjuta anjuran, saya masihlah klesetan bermalas - malas. Bukannya tidak melakukan sholat, tetapi saya menjalankan sholat itu, tetapi saya melakukannya di penghujung waktu, seringnya seperti itu. Sholat ketika waktunya hampir habis. Injury Time, kalau istilah di sepak bola.
 
Ya. Bila kita janjian dengan seseorang, lantas kita 'mblenjani', --bukannya mengingkari-- tetapi mengulur - ulur janji kita, tentu orang itu akan marah kepada kita, minimal cemberut.
Masalah sholat ? Apakah ini janjian dengan Tuhan ? Tuhan bukanlah manusia. Tuhan tidak dirugikan sepucuk kuku-pun bila kita terlambat sholat, termasuk bila kita tidak sholat sekalipun.
 
Dari sisi pelakunya, apa untungnya sholat tepat waktu bagi pelaksananya ? Banyak yang bilang hal itu akan mengajarkan tertib waktu, disiplin, atau apalah. Bagi saya, teoritikal seperti itu kebanyakan juga bisa dipelajari dari metodologi yang lain. Rasanya, hal yang penuh tanda tanya. Saya memang kurang ajeg belajar soal ajaran sholat ini.
 
Terus terang, saya masih mencari - cari jawaban itu hingga kini. Dan lantas apakah saya telah menemukan jawabannya ? Mungkin mudah - mudahan kali ini sudah, tetapi jelas belum semuanya. Ya. belum semuanya saya dapatkan. Mengingat sedemikian luas keilmuan dalam sholat itu sendiri.
 
Hanya mencoba bercermin. Cermin itu ada dalam diri saya sendiri. Saya mencoba memperbandingkan, apa yang saya rasakan ketika sholat tepat waktu, dan sholat di penghujung waktu. Beberapa kali saya mencoba memperbandingkan, dan mencari fakta yang oetentik. Tetapi sulit, saya hanya merasakan adanya perbedaan. Perbedaan itu ada di dalam kalbu. Karena ketika sholat tepat waktu, pada saat itu saya merasa bahwa seakan Tuhan tersenyum kepada saya. Semoga. [] haris fauzi - 18 april 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Thursday, April 10, 2008

kenisah : daralaman

A BRIEF OF DARALAMAN
 
"....maaf, belum ada ruang tamu-nya...",
 
Suatu hari saya bertandang ke rumah seseorang, dan beliau bilang seperti itu, maklum, kediamannya sedang dibangun hampir semuanya. Dalam hati saya tersenyum,"....lha di rumah saya malah kagak pernah ada ruang tamu....hihihihihi......".
Ya, Daralaman, rumah keluarga saya di Bogor, memang seperti itu. Berpagar tinggi hampir dua meter, penuh terisi rambatan tanaman. Hanya pintunya yang relatif merdeka dari serbuan tanaman rambat ini. Pernah suatu hari tanaman rambat itu dibersihkan sebagian. Gak nyana, pikulan itu harus bolak - balik tiga kali untuk membuang hasil pangkasannya.
 
Memasuki pagar, kaki melangkah ke carport ber-atap plastik. Carport ini ngepas dengan ukuran mobil tanggung, plek. Namun carport ini berubah fungsi karena dalam tiga tahun ini sudah di blokir anak saya menjadi ajang permainannya, main pasar - pasaran hingga main bola basket. Mobil parkir diluar saja. Hampir setiap hari kondisinya berantakan. Sepeda parkir malang - melintang, maklumlah, setelah capek bersepeda kelilingan taman - kelilingan blok, maka kedua anak saya biasanya sembarangan saja memarkir sepedanya, kadangkala rubuh juga. Walah.
Selain sepeda, bola juga bececeran berikut daun - daun, tanah bertaburan, atau apa saja yang dianggap sebagai mainan. Belum lagi bila deretan onderdil bekas mobil berantakan setelah kehantam bola. Pokoknya lumayan berantakan dah.
 
Di sebelah carport ada teras, kami menyebutnya pendopo. Kami sebut demikian karena memang atapnya miring dan kayu - kayu penyangga atapnya nampak dari bawah.Pendopo ini agak terlindung dari pandangan luar oleh tanaman rambat tadi. Ada bangku dan meja seadanya disitu. Biasanya saya menemui tamu atau siapapun yang berkunjung ya di pendopo. Bebas merokok. Dan lagi, istri saya nggak perlu repot berkerudung bila mendadak ada tamu pria, ya karena memang pendopo ini lokasinya di luar rumah. Jelaslah ini bukan ruang tamu, karena tidak berdinding maka tidak bisa disebut 'ruang'.
 
Dari pendopo, melalui pintu ganda model kampung, memasuki ke ruang utama. Pandangan pasti tertumpu ke tangga di seberang sana. Ruangan ini hanya berisi lemari kecil berisi buku, satu sofa, meja pendek, kulkas tua, dan perangkat televisi di bawah tangga. Diperangkat inilah saya biasa memanjakan diri menyaksikan rekaman konser musik rock. Sebagian besar dinding tertempel foto, paling gede foto mendiang Bapak saya. Sayangnya dilarang bersepeda di ruang ini, kalo toh tidak, mungkin anak - anak bisa bersepeda di sini. Ruang ini biasanya untuk kami bercengkrama dan bercanda. Kadang anak saya main lompat tali di sini, bila ketahuan pasti saya larang. Bila ada tamu istri, biasanya nyanggong di sofa ini. Ngobrol sampe bosen. Kalo ada tamu sekeluarga maka bisa jadi bapak-bapaknya ketemu saya di pendopo, Ibu-nya ngobrol di sofa, anak - anaknya berantakan di carport.
 
Di kiri ruang utama ada kamar anak saya, sementara di kanannya ada dapur dengan peralatan seadanya. Istri saya masih memakai kompor kado pernikahan, sembilan tahun lalu. Ada rak berwarna kuning hasil kenang - kenangan teman baik saya, hasil kerja tangan dia. Ada juga juga rak hasil saya mem-permak dipan. Sebaris dengan dapur ada ruang makan kecil, berikut meja buatan tangan tanpa taplak, dan empat kursinya tanpa sandaran.
 
Ruang utama ini memiliki dinding pembatas berupa deretan jendela dan pintu dengan ruang sholat di belakangnya. Seharusnya ruangan ini memang dipake untuk sholat, mengaji, dan sebangsanya....., tetapi lebih sering dipake buat anak - anak bermain, atau sebagai arena ketika anak saya menjamu tamunya, gerombolan kecil yang senantiasa berhumbalangan. Berantakan sudah pasti. Tidak ada perabotan di ruang sholat ini, hanya beberapa kardus berisi mainan dan meja setrika. Sudah. Dinding ruang sholat yang menghadap sumur terbuat dari teralis besi berselimut jejaring kawat. Angin leluasa menerobosnya. Ya. Sumur ini merupakan salah satu dari dua tempat terbuka yang berlantai tanah --walau di sumur ini sudah dipasang grass-block--, tempat terbuka satunya adalah hamparan tanah yang berada di depan dapur, tempat pohon belimbing tumbuh menggurita.
 
Sebelah kiri ruang sholat adalah kamar tidur, kamar ini berbatas kamar mandi dengan ruang tidur anak yang berada di depannya, sayap kiri rumah. Kamar tidur utama ini berisi tempat tidur, lemari baju, dan cermin gantung. Nggak ada meja rias. Bagi saya berhias hanya memperlambat aktivitas, dan istri setuju. Ada lagi satu rak yang terbuat dari bekas boks bayi.
Sementara sebelah kanan ruang sholat ya sumur tadi, satu kamar mandi lagi, dan pintu ke lorong samping --yang cukup sempit-- menuju depan lagi. Di lorong inilah kelinci peliharaan anak saya leluasa berlarian dan terpeleset - peleset. Kandangnya sendiri ada di dekat sumur. Nggak ada yang istimewa. Ya. Ciri Daralaman memang itu, nggak ada perabotan yang istimewa, nggak ada komponen yang mahal.
 
Di ruang utama ada tangga menuju lantai dua. Di lantai dua ini ada ruang kerja yang berisi meja baca yang saya gunakan sejak jaman SMP dan perangkat komputer yang diletakkan lesehan. Selebihnya adalah deretan buku, kaset dan koleksi disc. Ada satu kamar di lantai dua, berisi dua ranjang seadanya. Bila perlu kedua ranjang ini bisa disatukan menjadi ranjang yang lebih luas.
Yang boleh disebut istimewa dari lantai dua ini adalah dari ruang kerja ada sebuah pintu panel. Pintu ini menuju teras belakang. Teras ini cukup luas, berukuran sekitar tiga puluh lima meter persegi, separuhnya beratap plastik. Kadangkala kami menengok bintang kemerlip disini, menikmati guyuran cahaya rembulan. Atau ketika pagi kita beberengan senam pagi sekarepe dhewe. Pernah kami menunggu pelangi usai hujan, namun sering nggak kedapatan.
 
......kebayang kan ? [] haris fauzi - 10 April 2008


salam,
haris fauzi
 

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Wednesday, April 02, 2008

kenisah : yang dijanjikan

YANG DIJANJIKAN
 
Masih belum terlalu rapuh untuk terlupa, masih pula tepian kata belum berjumpa. Sepuluh tahun lalu, katanya di mulai masa reformasi untuk bangsa ini. Benar kata Goenawan Mohamad, reformasi kala itu memang merubah, tetapi tidak menjanjikan sesuatupun. "Siapa yang berjanji ?". Kepalang basah. Sekarang sebagian mulut sudah berteriak mengerang menagih janji yang sebenarnya tidak ada itu. Mereka kini menuntut, menuntut, dan membakar. Sejatinya reformasi yang terjadi hanya merubah. Namun perubahan ini sebenarnya memberikan harapan, walau kecil. Mengumpan harapan, bukan menebar janji. Tidak harus tinggal diam. Ini hidup yang terus bergerak, terus berupaya.
 
Dalam tataran yang lebih realistis, ada beberapa bait yang selalu tertuang dalam prasasti dasar  sebuah organisasi atau perusahaan. Harapan dan target organisasi. Apakah itu janji ? Sekali lagi bukan. Dalam konteks ini, saya lebih condong untuk menyebutnya dengan harapan akan perubahan, dan perubahan menuju yang diharapkan. Berubah menuju target yang dicanangkan. Dalam realitas, janji boleh diumbar, tetapi harapan adalah sesuatu yang bisa menjadi  kenyataan, lebih realistis.
 
Selayang pandang, hampir sepuluh tahun lalu saya menikah. Langkah awal menyusun keluarga dengan seorang gadis yang saya pilih dengan keterhati-hatian yang berlebihan, kuatir mengecewakan orang tua dan sesepuh keluarga. Dengan tertatih - tatih, dengan mata tajam, saya menyampaikan niat saya kepada keluarga tentang gadis pilihan saya. Pramida Wardhani, wanita Solo. Saya berusaha agar pilihan saya, pacar saya, satu - satunya dan pertama kali,  mampu menembus opini dan bisa diterima oleh para sesepuh. Apa yang menjadi kehendak saya tidak harus gagal kali ini.
Bingo. Dan saya menikahinya. Apakah menikah berarti mengikat janji ? Apa yang dijanjikan dalam sebuah prosesi pernikahan? Itu adalah istilah orang kebanyakan, itu adalah lagu - lagu cengeng. Bagi saya tidaklah seperti itu. Hanya ada janji formalitas, dan kebetulan saya bukanlah pemuja formalitas. Saya akan menumpukkan formalitas itu dalam sebuah peti yang berdebu. Selebihnya adalah perubahan, seperti reformasi itu sendiri. Perubahan status, dan harapan untuk membentuk keluarga. Janji ? Kau menyingkirlah dari hadapanku. Aku hanya menapak dalam makadam harapan, karena langkah - langkah ini hendak melaju sesuai perubahan kali itu.
 
Sepertinya kali ini saya terlalu antipati dalam menyikapi sebuah janji. Halal dan sah anda berpendapat demikian. Memang saya berusaha untuk mensinisi janji, karena janji itu membelenggu. Bila sudah dijanjikan, sepertinya kita akan meletakkan seluruh hidup kita pada janji tersebut. Lantas nenanti, dan menanti. Dengan wajah bodoh. Sebuah budaya yang mungkin tidak kita sadari.
 
Seluruh pusaran derai janji adalah lipstik, yang selalu hendak dinampakkan di depan, namun seringkali diingkari di belakang. Itulah nisbat janji kebanyakan. Bertebaran, namun suatu saat akan terpenggal. Etalase toko kosong. Etalase yang selalu dibersihkan hingga berkilau, namun kehampaan di baliknya. Semakin berkilau, semakin hampa sejatinya.
Seperti pernikahan, seperti reformasi, janji adalah secuil formalitas. Namun, hidup bukan hanya itu. Hidup laksana tenda dengan berjumlah pasak, yang senantiasa hendak tegar, bila tergoyah oleh badai, maka pasaknya bolehlah ditambah. Tak layak bila pasak itu hanya ditancapkan pada sebuah fenomena janji, fenomena lipstik. Yang naifnya, seringkali berkilauan dan menyilaukan mata, menjadikan kita rabun terhadap percik asa yang semakin menjauh tertiup angin.
Suatu kali, seuntai janji memberikan secercah harapan. Bagi saya, yang layak untuk dipandang bukanlah janji, tetapi harapan itu. Harapan laksana cahaya, walau terpantik kecil, namun dia bisa memompa jiwa agar terbangkit. Tidak seperti janji yang malah membodohi.
 
Hidup adalah suatu perjalanan, harus menempuh badai bila memang ada. Berusaha bertahan dengan tapak kaki yang mencengkeram seperti kaki kelinci yang hendak melompat, tercakar tajam ke tanah. Bila kau terjungkal, setidaknya masih ada goresan di tanah yang menjadi saksi. Perjalanannya menempuh jarak yang mungkin panjang, mungkin pula pendek. Menuju lentera asa, lentera harapan.
Seorang Aulia berpesan kepada saya,".....Dalam perjalanan ini, jangan kau tapakkan kakimu kepada mozaik janji yang rapuh, yang hendak retak. Janji itu mozaik kaca yang licin, tak bisa kau jejakkan pesan disana, dan suatu kali akan membuatmu terpeleset dan terluka. Tapakkan saja pada tanah bumi yang dingin, kasar, namun berwujud dan meninggalkan pesan. Tatapkan matamu kepada lentera harapan yang ada.... walau kecil. Jangan kau silaukan matamu dengan kemilau janji - janji yang bertebaran namun membodohi". Aku meminta maaf kepada pengembara itu, aku masih terlalu bodoh. [] haris fauzi - 2 april 2008


salam,
haris fauzi
 


You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost.

Tuesday, April 01, 2008

kenisah : lupa entah yang keberapa

LUPA, ENTAH YANG KEBERAPA
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Malang adalah kota kelahiranku. Dan, menjadi kota masa kecil. Rightplaced Childhood. Disengaja atau tidak.
Saya tidak terlalu ingat, bagaimana awalnya, mengapa Bapak ditugaskan ke kota Malang, yang dulu cukup dingin sehingga saya sejak kecil menderita sakit pilek. Sakit pilek kronis, dan saya baru merasa sembuh setelah di-gurah oleh seorang dukun, tentunya saya  sambil terpekik meronta dan tersedu menangis.
Bapak dan Ibu memutuskan tinggal di Malang semenjak tahun 1968-an, ya karena Bapak ditugaskan ke situ. Masih mengontrak rumah --tepatnya sih sepetak kamar-- di Jalan Hamid Rusdi,  di rumah Eyang Sumo. Pas saya berumur dua tahunan, barulah Bapak kebagian rumah dinas tipe H di jalan kavaleri, lantas beberapa tahun kemudian pindah ke jalan Kesatrian Terusan. Bapak dapat fasilitas rumah dinas dan kendaraan dinas. Sopirnya berturut - turut adalah Pak Bei, Mas Yasmin, dan Oom Badar. Mobilnya adalah jeep willys dan berganti Gaz.
Sempat beberapa kali kami mengunjungi Eyang Sumo setelah itu, termasuk ketika saya SMP, karena teman saya ternyata tinggal di situ. Saat itu Kota Malang tanpa saya sadari mulai menggeliat.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Jalan Kesatrian dimana rumah dinas ketentaraan berada, pastilah disekitar barak. Tepat di depan ada batalion kavaleri. Setiap malam kami mendengar tiupan terompet pergantian jaga. Selebihnya asrama Corps Polisi Militer, Hub Dam, Lintas Udara, Detasemen Keuangan, dan lain - lain. Bejibun. Hampir setiap hari pasti ada barisan tentara lewat, sehingga saya hafal lagu mereka ketika berbaris,".....sol do iwak kebo, re mi fa sol iwak tongkol....mi re....mi re..... tahu tempe enak dhewe....".
Kadangkala ditengah malam buta, rombongan panser 'bedol desa' melintas membuat gaduh dan mengusik ketenteraman. Laksana guruh tak putus. Semisal jaman perang saja. Itu sekitar  tiga puluh tahun lalu. Kali ini rupanya sudah beda kegaduhannya. Angkutan Umum mulai sering melintas depan rumah, dan banyak asrama dan barak yang sudah dipindahkan ke tepi kota. Ketika tahun - tahun lalu berkesempatan mudik, saya sia - sia merindukan derap prajurit berlari. Sia - sia.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Ketika masih kecil, saya sering diajak berjalan - jalan ke sawah, di daerah Sawojajar hingga Nggribig. Lokasinya sekarang dipake untuk perumahan. Makin hari kota Malang makin padat, makin banyak orangnya. Namun lucu, di rumah kami tinggal, orangnya makin sedikit. Tetangga juga begitu. Maklum, di komplek rumah dinas itu sekarang tinggal para janda tentara yang sudah ditinggal wafat suaminya, dan di tinggal anak-anaknya merantau. Ibu-ku juga sendirian tinggal di rumah dinas tersebut. Karang taruna RT kami sudah lenyap, terkubur jaman. Entah disimpan dimana tropi juara basket 'anggur-cup'. Tropi kebanggan anak - anak Saladin, kampung kami.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Pernah pula kota Malang menetapkan daerah Dinoyo sebagai situs penting, karena disitulah diperkirakan letak kerajaan Kanjuruhan jaman dulu kala, cikal bakal komunitas kota Malang. Akhirnya lewat beberapa studi, ditetapkanlah baju Kanjuruhan sebagai pakaian adat kota Malang, lengkap dengan hontokusumonya.
Yang saya ingat nggak terlalu banyak, karena saya lebih tertarik dengan perkembangan kesebelasan Arema. Yang lantas diikuti membesarnya perserikatan Persema. Sempat punya dua kaos supporternya : Persema dan Arema. Sempat ingat juga ketika Bapak ditimpuk orang gara - gara menjadi supporter tim sepak bola tersebut. Ditimpuk supporter kesebelasan lawan.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Sejak ceprot lahir, trus TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah saya mendekam di kota sejuk yang makin ke sini makin gerah. Tahun 1980-an, setiap berangkat sekolah, maka saya beradu membuat uap dengan meniup embun pagi. Kami berombongan bercanda  melintasi lapangan Rampal, lantas menghilang ke dalam kabut yang turun setiap pagi hari. Lapangan itu memang ditimbun kabut pagi, hingga kami kadang tak kuasa memandang jauh. Konon, sekarang kabut itu sudah enggan singgah di lapangan yang biasa kami jadikan arena sholat Ied itu.
Juga bagaimana jalan - jalan rindang berganti dengan rindangnya mall. Kejutan pertama adalah ketika di tahun 1980-an berdiri tiga plaza berjejer, Malang Plaza, Mitra, dan Gajahmada Plaza. Setelah itu, mereka menggurita tak tertahankan. Mengubur masa lalu dimana kami kecil diajak Bapak jalan - jalan di sepanjang pertokoan Kayutangan, menyisir toko buku 'Lengkap', toko buku 'Paling Lengkap', toko buku 'Riang', dan berakhir di ujung toko buku 'Siswa' yang termenung di bawah tinggi menara gereja. Ya. Setiap ber-ulang tahun, Bapak memberi kado satu buah buku, dan kami memilihnya dipandu Bapak. Yang hingga kini masih saya suka baca adalah buku berjudul 'Taman Firdaus Terakhir' tulisan Slamet Suseno.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Setiap kembali mudik, saya tersilap beberapa perubahan. Ya, semuanya selalu berubah. Memang tidak se-drastis Ibukota, tetapi tetap saja saya terbawa melankoli kenangan, dan terkejut dengan perubahan. Bagaimana alun - alun diperbaharui, dan secara sistematis dilingkupi banyaknya pertokoan. Masih nampak jelas pertokoan lama : Sarinah. Saya lupa, apakah tipografi tulisannya masih tulisan tangan Pak Karno, ataukah sudah berganti. Juga bagaimana kemacetan sudah terjadi di sana - sini, termasuk di kawasan alun - alun yang dulu lengang itu. Makin lama makin terbatuk - batuk leher saya tercekat asap knalpot. Saya ingat, awal pergeseran menuju gaya hidup kosmo, alun - alun itu sering dijadikan arena tawuran. Bercak darah kadang masih tersisa. Saya hanya mengingat - ingat seraya selalu kebingungan mencari dimana para penjual kaset loak dan buku bekas langganan saya dulu. Oh, rupanya mereka kini terjajar sepanjang jalan rel, deket klenteng.
 
Seingatku hari ini kota Malang berulang tahun. Lupa, entah yang keberapa. [] haris fauzi - 1 april 2008


salam,
haris fauzi
 


No Cost - Get a month of Blockbuster Total Access now. Sweet deal for Yahoo! users and friends.