Sunday, December 31, 2017

Tiga Tempat

Alhamdulillah pada bulan Agustus lalu saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Tentunya haji pergi ke negeri Arab sana. Bagi saya, ini perjalanan paling mengesankan dari segala perjalanan yang pernah saya tempuh. Saya yakin Istri-pun berpikiran seperti itu. Mengapa mengesankan ? banyak hal, banyak tempat, banyak situasi yang menambah kekayaan pribadi dan jiwa. Umur sekian ini, maksud saya, umur kepala empat seperti ini, ada baiknya menimbun kekayaan ruhani. Dan perjalanan haji merupakan sumur yang tak akan habis ditimba demi menambah kekayaan ruhani. Banyak sekali momen yang bisa termanfaatkan untuk hal tersebut. Tentu sebanyak itu tidaklah bisa saya tuliskan disini semuanya. Namun setidaknya saya akan berceritera ihwal tiga tempat dan tiga momen yang sungguh gamblang menggambarkan hal tersebut.

Yang pertama adalah ceritera tentang pengalaman di Masjidil Haram, kota Makkah. Ini masjid nomer satu di jagad raya. Konon, dan sudah banyak yang membuktikan, merupakan tempat yang mustajab bin makbul untuk berdoa. Ya wajar, namanya juga Baitullah, rumah Allah. Tercatat lokasi Hajar Aswad, Hijr Ismail, Maqom Ibrahim, Multazzam, Talang Ka’bah, sudah terkenal sebagai tempat – tempat yang mujarab untuk berdoa. Sudah banyak yang membahas itu, bukan ?

Hari itu Jum’at 8 Agustus 2017. Saya lagi mengalami ‘anyang-anyangen’. Yakni merasa selalu ingin buang air kecil, dan ketika kencing berasa sakit dan keluarnya sedikit – sedikit. Hari itu kami berombongan dari hotel berangkat menuju Masjidil Haram. Ibu – ibu dianjurkan ber-sholat jum’at juga. Setelah naik bis Shalawat dan berhenti di terminal Syieb Amir, kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki kurang lebih sekitar 500 meter. Saat itu sekitar pukul sembilan pagi waktu Makkah. 

Menjelang memasuki gerbang Masjidil Haram, anyang-anyangen saya kambuh. Saya memisahkan diri dari rombongan untuk ke toilet dan lanjut berwudlu. Lantas usai itu saya masuk Masjidil Haram, naik lantai tiga. Sampai di sana, tak lama kemudian anyang – anyangen ini berasa lagi. Saya turun lagi menuju toilet yang jaraknya sekitar 300 meter dari shaf. Memang toilet di Masjidil Haram jaraknya cukup jauh dari lokasi sholat. Setelah itu saya naik lagi, cari lokasi di sekitar situ juga. Gak lama kemudian berasa lagi anyang-anyangen itu. Saya lagi – lagi berlarian turun menuju toilet. Bolak – balik ke toilet membuat saya kepayahan. Dari situ lantas saya berdo’a,” Ya Allah, sulit bagi saya beribadah bila anyang-anyangen ini masih saya derita. Mohon sembuhkanlah supaya ibadahku lancar”. Saya berdoa ketika masih kesakitan di toilet. Menurut saya cukup ajaib. Anyang – anyangen saya lenyap. Setelah sakit mereda saya beranjak wudlu kemudian naik lagi ke lantai tiga Masjidil Haram. Mencari shaf lagi.

Setiba di shaf dalam Masjidil Haram, anyang – anyangen saya tidaklah kambuh lagi. Bayangkan. Di toilet pun do’a itu bisa terkabul secara kontan. Bagaimana bila kita berdo’a di tempat – tempat mustajab di lokasi Masjidil Haram seperti Hajar Aswad, Multazzam, dan sebagainya itu ?

Cerita kedua adalah tentang kejadian di Mina. Sebelum ber-wukuf di padang Arafah, jamaah haji melakukan mabit –menginap— di bumi perkemahan Mina. Hari itu Kamis, tanggal 31 Agustus 2017, dini hari dimana kami bersiap menuju Arafah. Semua jamaah bersiap – siap. Suasana malam itu hidup seperti kesibukan siang hari. Diawali dengan melakukan sholat malam di Mina dan lantas berkemas. Wukuf adalah kegiatan paling kolosal dari rangkaian ibadah haji, karena semua jamaah berkumpul jadi satu di padang Arafah. Pada saat berbaris hendak memasuki bis, saya tidak menemukan istri saya. Maklum, tenda pria dan wanita terpisah. Saat itu, entah mengapa, walau tau saya mencarinya, istri saya malah bercanda ngumpet. Saya tau maksudnya bercanda. Tapi lihatlah akibatnya. Istri akhirnya terpisah dari saya selama perjalanan dari Mina menuju Arafah. Pisah bis. Ketika saya masuk bis, didorong – dorong terbawa arus jamaah, saya tidak berbarengan dengan istri. Ketika di dalam bis-pun saya tidak melihatnya. Kami baru berjumpa di pintu maktab Arafah. Gara – gara terpisah dalam antrian berangkat, Istri ikut rombongan dua bis setelah saya. Insight-nya, jangan sembrono di tanah haram.

Cerita ketiga adalah tentang Masjid Nabawi di Madinah. Adalah masjid Rasulullah, bahasa keren-nya Prophet Mosque. Ada area Raudhah yang merupakan duplikat surga, ada lokasi makam Rasulullah dan Abubakar as Shiddiq serta Umar bin Khattab, ada pemakaman Baqi. Ini masjid dengan area yang cukup luas juga. Subhanallah luar biasa masjid ini, menjadi juru kunci posisi penting peradaban kota Madinah.

Ceritanya ihwal makam Rasulullah SAW. Adalah disunnahkan untuk sesering mungkin menziarahi-nya. Memang dalam sholat lima waktu, rangkaian kegiatan arbain, tentu kita selalu menunaikan sholat lima waktu di masjid Nabawi. Tetapi apakah kita juga senantiasa menziarahi makam Rasulullah SAW ? Belum tentu kan ?

Banyak jamaah yang usai sholat lantas pulang ke hotel masing – masing. Kebanyakan merasa cukup sekali saja menziarahi makam Rasulullah. Namun jangan lupa, ada hadits yang menganjurkan ummat Islam menziarahi makam Rasulullah. “Beliau hidup” ketika di-ziarah-i. Semula saya membaca hadits ini dengan cara membaca biasa saja. Demikian juga dengan cara saya berziarah.

Dalam rangkaian Arbain Nabawi, setidaknya saya berziarah total insyaa Allah sebanyak sembilan kali. Beberapa kali –di masa – masa awal--  saya hanya berziarah dengan berucap salam sambil lewat –karena memang harus berjalan, tidak bisa diam berhenti dikarenakan arus manusia yang berziarah selalu sangat banyak. Lantas saya membaca lagi tentang hadits tersebut. “Rasulullah hidup” ketika di-ziarah-i. Saya belum faham apa maksud “hidup” dalam dalil tersebut, karena tentunya bukan hidup sebagaimana kita sekarang. Dengan lebih mendalam saya baca ulang. Akhirnya suatu saat saya berziarah lagi, berucap salam, dan keajaiban itu muncul. Saya merasa salam saya terjawab. Kita tentu bisa membedakan apakah salam itu terjawab atau tidak. Laksana memasuki rumah kosong dan berucap salam –dimana tidak ada yang menjawab salam kita, tentu berbeda dengan memasuki rumah yang ada penghuninya dimana mereka menjawab ketika kita mengucapkan salam. Saat merasa salam terjawab saya nyaris saja menangis “gero-gero”, suara saya terbata-bata, air mata mengucur.  Saya lupa –dan tidak mencatat— kejadian ini terjadi pada ziarah keberapa dan tanggal berapa.


Saat itu memang saya tidak melihat kanjeng Rasul, di mata saya yang “blur” ini hanya ada sekumpulan besar jamaah yang antri berjalan berombongan sambil  berucap salam dan mendengungkan shalawat. Terlihat juga askar – askar yang menjaga ketertiban. Tapi itu semua abai. Saat itu, ketika saya berucap “Assalamualaika ya Rasulullah”, saya tercekat. Serasa ada yang menyambut salam tersebut. Ini halusinasi, atau apa ? Saya tidak mau ambil pusing dengan teori – teori psikologi. Yang jelas, saya merasakan sepertinya ada yang membalas salam saya. Dan ini episode perjalanan spiritual yang sangat sensasional bagi saya. Kejadiannya mirip saat melakukan tawaf Wada’, tawaf perpisahan kepada Ka’bah. Benar tidaknya ya Wallahualam. [haris fauzi, 31 desember 2017].

Sunday, February 05, 2017

Ini Hanya Soal Waktu, tentang NU


Saya termasuk orang yang percaya bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memiliki mekanisme tersendiri, berbeda dengan organisasi Islam lainnya. Tentunya berbeda itu boleh, dan tidak salah. Misalnya dalam penentuan jatuhnya Hari Raya, NU cenderung lebih sabar, menunggu hilal. Berbeda dengan Muhammadiyah yang jauh-jauh hari sudah mengumumkan kapan jatuhnya Hari Raya, lewat metode hisab.

Berbeda boleh saja, ujung-ujungnya sama. Hal ini terulang kembali di banyak hal, termasuk dalam kasus penistaan al-Qur'an yang mencuat di semester akhir tahun 2016. Adanya pidato ahok yang menistakan al-Qur'an, direspon cepat oleh Majelis Ulama Indonesia. MUI merilis fatwa ihwal penistaan al-Qur'an. Tercatat organisasi FPI merespon paling cepat, bahkan mungkin lebih cepat dari MUI sendiri.

Setelah fatwa MUI keluar, Muhammadiyah dengan cepat meresponnya juga, mendukung fatwa tersebut. Muhammadiyah selalu cepat merespon ihwal fatwa MUI, tidak selalu ketika MUI diketuai kader Muhammadiyah. Buktinya ya kasus ini, fatwa tersebut dikeluarkan ketika MUI dipimpin KH Ma'ruf Amin, ulama senior NU. Dan Muhammadiyah dengan cepat mendukung MUI. Gerakan cepat juga ditunjukkan dengan terbentuknya organisasi GNPF-MUI.

Lepas dari itu, adalah politikus senior asal PKB, Mas Lukman Edy yang memberi pemahaman kepada saya. Beliau kakak kelas saya, senior aktivis kampus saya, dan beliau adalah mantan menteri, kader NU tentunya. Ketika akhir tahun 2016, banyak yang berpikiran bahwa NU tidak mendukung MUI dalam kasus fatwa penistaan agama, saya malah berpikiran bahwa NU pasti mendukung fatwa MUI tersebut. Hal ini karena saya lumayan intens mengikuti chat Mas Lukman Edy, dan saya faham chat beliau mengarah ke dukungan fatwa MUI.

Hal kedua yang meyakinkan saya bahwa NU pasti mendukung MUI tentunya karena ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, adalah ulama senior NU. Mana ada NU tidak mendukung ulama kharismatik-nya ? Ini hanya soal waktu.

Saya bukanlah anggota NU, juga bukan mendadak NU. Tentang NU, saya hanya umat yang seringkali sholat di masjid NU. Tetapi dari​ awal saya yakin NU pasti mendukung MUI. Sepanjang waktu. Begitu. []Haris Fauzi, 5 Februari 2017