Friday, November 29, 2013

dakwah

Dakwah, secara intisari artinya adalah 'menyampaikan'. Menyampaikan kebenaran. Dalam term normatif, idealnya ada hal - hal yang dibedakan secara bahasa untuk hal - hal positif dan negatif. Contohnya "belajar" tentunya untuk mempelajari hal - hal positif, apabila untuk mempelajari hal - hal negatif, seharusnya tidak menggunakan kata belajar. Sempat terjadi perang opini ketika membicarakan nilai seni dalam sebuah keris. "Seni" adalah istilah yang digunakan untuk hal - hal positif, kecuali 'air seni'. Seni berguna untuk menjadikan hidup lebih indah. Namun, keris adalah alat pembunuh, tentunya tidak berhak dilekatkan kata 'seni', demikian juga dengan tank, meriam, dan sebagainya, bukan merupakan karya seni. Karena keris tidak membuat lebih indah, malah membuat hidup itu hilang / terbunuh.
Hal yang sama sering terjadi dalam dalam membicarakan ihwal "bid'ah" dalam term syariat ibadah. "Bid'ah" adalah hal - hal yang tak dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam ritual ibadah. Konotasinya adalah negatif. Tetapi masalahnya adalah "membukukan" mushaf juga tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW. Apakah ini bid'ah ? Akhirnya ada sebagian ulama yang menyatakan ada bid'ah baik dan bid'ah buruk. Sebagian lain menyatakan bahwa bid'ah selalu bersisi negatif, artinya, kasus mus'af bukan kategori bid'ah, melainkan inprovement. Biarlah. Semuanya benar.

Dakwah itu menyampaikan. Bila telah tersampaikan, ada dua tujuan, -seperti halnya pabrik-, yakni tujuan kuantitas dan tujuan kualitas. Tujuan kuantitas artinya bertambahnya ummat. Tujuan kualitas artinya meningkatnya kualitas hidup sesuai nilai - nilai yang didakwahkan. Jadi, dakwah adalah proses. Parameter-nya secara duniawi dinilai dari dua hal tadi, kualitas dan kuantitas.
Bila anda berdakwah tentang nilai - nilai Islam di suatu daerah, kemudian di wilayah tersebut jumlah kemalingan semakin sedikit, perekonomian naik (secara halal) dan sebagainya, maka secara kualitas sudah terjadi peningkatan. Dakwah anda berhasil. Namun perubahan sosial dari hasil dakwah tentunya tidak selalu mudah. Lihatlah sering kita jumpai walau di suatu daerah sudah banyak masjid dengan sejumlah jadwal kajian ta'lim yang dimotori oleh puluhan ustadz pendakwah, toh tak jarang kondisi sosial masyarakat stagnan. Maling masih ada dan tak kunjung hilang.

Juga bila anda berdakwah kemudian jumlah peserta / jamaahnya naik, maka dakwah anda sukses secara kuantitas. Secara jelas, keberhasilan kuantitatif ini bisa diukur dari jumlah orang. Jumlah jamaah ini bisa dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya jumlah keluarga yang diajak oleh rekan - rekan jamaah yang lain. Seperti halnya jaman Rasulullah SAW, parameter ekstrim-nya adalah bertambahnya jumlah muslimin atau masuknya orang non-muslim menjadi muslim. Jaman sekarang, keberhasilan pendakwah secara kualitatif bisa diukur dari banyaknya pengikutnya dan jumlah mu'alaf yang telah di-islam-kan. Parameter jumlah mualaf ini lebih nyata. Karena jelas - jelas ummat akan bertambah bila ada rekruitmen mu'alaf.

Bila kita hendak berdakwah namun secara kualitatif susah diukur, sementara dari sisi kuantitatif kita tidak mampu mengumpulkan jamaah, apalagi merekrut mu'alaf, bagaimana kita harus berdakwah ? Ada dua hal. Setidaknya kita memperbaiki kualitas diri dan keluarga. Ini secara kualitatif. Lantas, bila kita tidak bisa mengajak orang lain, maka cara untuk memperbanyak ummat adalah dengan memperbanyak anak keturunan. Sebagaimana pesan seorang ulama,"...perbanyaklah ummat islam dari keluarga dan kerabatmu...". [] haris fauzi - 29 nopember 2013

Tuesday, November 26, 2013

umur belajar

umur 10 : belajar merdeka

Yang saya ingat, pada umur 10 tahun saya kelas 5 SD. Sekolah saya sekolah tangsi, sekolah asrama. Didominasi oleh kenakalan anak kolong. Jaman dulu belum mengenal istilah 'bully'. Tapi 'job' itu ada. Istilah yang populer saat itu adalah "garap" atau "target". Jadi korban peng-garap-an dan korban "target-targetan". "Digarap" artinya dikerjain, dijadikan bulan - bulanan seperti pinsilnya dipatahkan, kepalanya dijitak, bukunya disembunyikan, dijadikan obyek lemparan air selokan, dan sebagainya. "Ditarget" artinya dimintain duit atau bekal, istilah sekarang "di-kompas" atau "di-palak".
Siapa yang melakukan ? Yang paling kerap melakukan tindak kejahatan ini adalah komplotan penguasa kelas dipimpin satu orang raja kelas. Kejadian "garap dan target' ini sudah ada semenjak kelas 3 SD, dan saya termasuk korbannya, hingga pada kelas 4 saya sempat mengadakan perlawanan kecil - kecilan. Menginjak kelas 5 SD saya mendeklarasikan sebagai siswa yang tidak mau di-target tidak mau digarap. Belajar merdeka. Dan bersiap untuk 'pertempuran' itu. Untuk itu mungkin sekitar seminggu sekali saya harus rutin berkelahi, baik di kelas, di lapangan, atau di jalanan, walhasil menjelang kelas 6 saya sudah tidak menjadi target lagi. Usaha itu telah berbuah.

umur 20 : belajar organisasi

Lepas dari tindak kejahatan 'bully" memang menyenangkan. Tingkat SMP hal itu tidak ada lagi, demikian juga SMA. Masa SMA malah masa sekolah sambil enjoy. Kebanyakan bercanda dibanding sekolahnya. Hingga akhirnya tahun 1990 masuk kuliah, dan mulai belajar mengenai kehidupan kampus. Umur 20 tahun saya kuliah semester 4. Pelajaran tentang idealisme mahasiswa makin mengakar seiring dengan masa aktivitas kemahasiswaan. Tidak hanya di kampus, di kampung-pun pelajaran organisasi sosial juga menjadi penyeimbang kegiatan kampus. Hingga nyaris lulus tiga tahun kemudian, rasanya saya lebih banyak belajar organisasi dibandingkan dengan belajar materi akademik. Namun hal itu tidak jadi mengapa, saya lulus tahun kelima kuliah dan langsung bekerja di perusahaan otomotif terkemuka. Di perusahaan tersebut -rasanya- saya juga lebih banyak belajar ketimbang bekerja. Sebuah perusahaan otomotif yang sudah demikian mapan, hal terbaik adalah mempelajari organisasi dan sistem yang bekerja disitu. Apalagi ?

umur 30 : belajar kepemimpinan

Rupanya memang belajar selalu tidak menjadikan cukup. Saya mendapat kesempatan untuk menerapkan hal tersebut, di perusahaan lain. Perusahaan baru yang bergerak di bidang manufaktur menjanjikan banyak tantangan. Lahan baru ini sungguh menyenangkan untuk eksperimen dan mempraktekkan ilmu yang sudah didapat sebelumnya. Ada satu hal utama yang saya pelajari disitu. Sebagai karyawan umur 30 tahun, saya termasuk generasi 'young guns' yang beruntung secara berangsur - angsur mencecap bangku jajaran manajemen. Saat itu ternyata masih harus belajar banyak lagi, yakni belajar menjadi pemimpin. Ilmu organisasi dari kampung dan kampus, sejatinya bekal yang bagus, tetapi tidak semuanya aplikatif di lingkungan pabrik. Hingga perjalanan waktu berkisar 10 tahun, anak tangga demi anak tangga manajemen naik perlahan tapi pasti, hingga jabatan terakhir sebagai kepala divisi. Generasi 'young guns' yang berhasil duduk diatas saya ada dua orang, yang satu menjadi general manager, yang satunya menjadi direktur. Saya tidak kesampaian menembus jajaran atas manajemen.

umur 40 : belajar menghadapi kegagalan

Memimpin anak buah di perusahaan yang berjalan mapan dan memiliki banyak pekerjaan produksi, ternyata jauh lebih mudah dibandingkan ketika perusahaan tersebut tidak ada pekerjaan produksi. Sesibuk-sibuknya mengatur produksi, masih lebih baik daripada ketika pabrik lengang. Anak buah yang tidak ada pekerjaan sangat riskan konflik, apalagi ketika perusahaan mulai seret keuangan. Teror dari karyawan hingga cekcok di level pemimpin dan manajemen perusahaan menjadi hal yang umum terjadi. Konsistensi menjadi hal penting dalam hal kepemimpinan , utamanya dalam keadaan genting. Seseorang tidak akan percaya kepada pimpinan yang gamang. Dan ketika 'trust' itu hilang, maka kemungkinan akan terjadi chaos.

Setelah terjadi defisit keuangan yang sangat parah, disertai beban hutang yang besar, akhirnya badai kebangkrutan itu tiba. PHK mulai bergulir. Disinilah saatnya belajar tentang kegagalan. Dalam keadaan gagal, banyak pengecut-pengecut bermunculan. Bila dalam keadaan sukses maka akan banyak oportunis mencari peluang menggaruk, maka dalam keadaan gagal akan muncul para oportunis mencari keselamatan diri - sendiri.

Ada yang lucu ketika pimpinan saya, seorang direktur utama, berceramah di ruang sidang manajemen. Dia berkeluh-kesah," ... dalam keadaan perusahaan susah, saya itu kerja sendiri. Karyawan hanya menuntut ... Sementara ketika saya telpon ke pemodal, panggilan saya tidak diangkat... pun ketika saya SMS tidak dibalas...".
Mengapa saya bilang lucu ? Itu sebuah keluhan yang kekanak-kanakan. Karena dia-pun berlaku demikian, ketika saya telpon maka sang direktur tadi tidak pernah mengangkat panggilan saya. Pun ketika saya SMS beliau tidak pernah membalas. Kegagalan tidak selamanya bisa dihadapi dengan mudah, bahkan oleh seorang direktur utama sekalipun. [] haris fauzi - 26 nopember 2013

gambar : kompasiana

Monday, November 25, 2013

dilema whatsapp

Mengapa BlackBerry cocok di masyarakat Indonesia ? Karena --salah satunya-- adalah kemudahan bila bertukar kartu SIM. Karena smartphone BB menggunakan nomer PIN-BB, --bukan nomer kartu SIM--, maka bagi orang yang sering gonta - ganti kartu SIM, masih eksis bertahan bisa menggunakan PIN BB yang ada. Ini menjadi cocok karena kultur sebagian orang adalah kartu SIM lebih sering berganti ketimbang pesawat smartphone. Ini ada benarnya, karena smartphone lebih banyak fungsi browsing atau chat, maka bila tidak aktif, tidaklah menjadi masalah, jadi mati ataupun ganti kartu bukan masalah utama dalam pengunaan smartphone, --seharusnya. Namun jadinya adalah problem ketika melakukan instalasi WhatsApp. Aplikasi chatting WhatsApp menggunakan nomer kartu SIM, dan apabila berubah kartu SIM-nya, tentu identitas WhatsApp ikutan berubah, tidak seperti PIN BB.

Jadi begini,  masalahnya adalah WhatsApp merupakan aplikasi chat di smartphone. Smartphone adalah sejatinya sejenis perangkat yang menggantikan sejumlah fungsi laptop, juga sebagian fungsi handphone. Fungsi laptop yang diambil alih adalah dokumentasi, foto, lagu, email, chat, browsing, dan beberapa lagi. Smartphone akhirnya lebih cenderung ke komputer ketimbang telepon. Smartphone merupakan personal komputer yang dimensinya diperkecil menjadi laptop, diperkecil lagi menjadi notebook, lantas diperkecil lagi menjadi smartphone.... dan kemudian diperbesar lagi menjadi tablet.

Beda utama fungsi varian laptop dengan fungsi handphone adalah fungsi handphone mengharap respon cepat. Mungkin dalam kisaran detik untuk panggilan, dan kisaran jam untuk pesan pendek / SMS. Jadi, ketika ditelpon, dalam hitungan sekitar sepuluh detik maka panggilan itu harus diangkat. Sementara kiriman SMS bisa direspon dalam 2-3 jam kemudian. Ini tentu berbeda dengan fungsi email yang biasanya berbalas dalam hitungan 1-2 hari. Atau paling cepat 2-3 jam. Harus diingat bahwa email menggantikan fungsi surat pos. Surat pos baru sampai kepada tertuju dalam hitungan -misal- 5 hari, dan berbalas 5 hari kemudian. Jadi, email memperpendek durasi tersebut menjadi hitungan detik, namun responnya masih umum dalam hitungan 1-2 hari. Artinya, jarak pengiriman email dan balasan bisa berkisar 1-2 hari. Tentu ini sudah kemajuan super mengingat surat pos biasanya 5-10 hari.

Chat sejatinya merupakan fungsi dari laptop, karena tidak seharusnya stand-by 24 jam sehari. Chat barulah dimulai ketika login tersebut online. Bila tidak online, maka jangan salahkan pihak penerima bila dia tidak merespon. Bila chat tidak direspon, seseorang akan maklum, dan untuk urusan ungent biasanya akan berkirim SMS atau melakukan panggilan. Kenapa maklum ? Karena memang chat itu biasanya dilakukan di perangkat komputer. Jadi chat merupakan fungsi low respon dari sisi login yang bisa harian. Hari ini tidak online, mungkin besok. Kalo dari sisi berbalasnya sih hitungan menit bahkan detik. Ciri dari low-respon function ini salah satunya adalah nomer ID yang berbeda dengan nomer kartu SIM. Contohnya akun email seperti googletalk atau YM, BBM, login blog, dll yang tidak memanfaatkan kartu SIM. Untuk mempercepat respon fungsi chat, biasanya disediakan menu kejutan seperti 'buzz', 'ping!', dan semacamnya.

Tren gadget sekarang adalah adanya smartphone yang mewakili fungsi laptop, dan seseorang tetap harus mempertahankan penggunaan handphone untuk melayani panggilan dan SMS. Mengapa harus dipisahkan ? Karena smartphone memiliki keterbatasan daya. Boros batere. Jadi, belum tentu seharian penuh bisa menyala. Namun ini tidak jadi masalah untuk fungsi-fungsi email, browsing, dan chat. Ini baru bermasalah untuk fungsi panggilan dan SMS, sementara kondisi batere sedang habis. Maka untuk hal ini, seperti sudah ditulis di depan, biasanya dipisahkan, sehingga seseorang memiliki satu smartphone atau tablet, plus satu handphone. Ketika smartphone koit habis batere, panggilan tetap bisa menggunakan handphone biasa. Masalah - masalah penting bisa teratasi.

Bagaimana dengan fungsi WhatsApp ? WhatsApp merupakan fungsi dari smartphone merujuk kepada kemampuan chat laptop. Masalahnya adalah WhatsApp menggunakan nomer kartu SIM, yang notabene digunakan untuk panggilan. Sementara untuk panggilan, seseorang seharusnya lebih menggunakan handphone biasa karena batere yang tahan lama. Solusi untuk hal ini, biasanya --akhirnya-- seseorang menggunakan WhatsApp dengan memanfaatkan nomer kartu SIM sekunder. Yang kemudian nomer sekunder ini dipublikasi agar rekan - rekannya faham bahwa ada nomer sekunder, persis ketika mengenalkan nomer PIN BB, alamat email baru, dan sebagainya. Sebagian lain menyiasati dengan menggunakan satu smartphone saja, dengan menampung semua fungsi termasuk fungsi panggilan di smartphone dan apabila batere habis maka telah disiapkan sepucuk powerbank atau batere cadangan. Karena -tentu saja- fungsi panggilan kurang mentolerir apabila terjadi masalah batere koit. Dengan dua cara absurd ini akhirnya dilema WhatsApp tersebut bisa diselesaikan. Namun untuk yang menggunakan satu perangkat smartphone saja, dilema bakal muncul lagi ketika terjadi pergeseran dari smartphone ke tablet. Bisa anda bayangkan bukan, apabila ada seseorang melakukan panggilan telpon menggunakan tablet ? Sangat mirip dengan seseorang yang sedang melakukan adzan. Sebuah dilema yang sama sekali tidak penting, bukan ? [] haris fauzi - 25 nopember 2013