Monday, May 09, 2011

kenisah : between two verses

BETWEEN TWO VERSES

In our ordinary lives, moslem knowing about al Fatihah as Ummul Qur'an, 'mother' of Holy Qur'an. Not only Fatihah as a first surah of Qur'an. Al Fatihah consist of seven verses that very special, one of the reason is because Al Fatihah opened by Basmalah as first verse. As we know Basmalah always used as opening by majority surah from Qur'an, but Basmalah as verse only at Al Fatihah. Basmalah mean 'By the name of God'. And every step of moslem daily activity must be started by read Basmalah.  

When we back at the statement that Al Fatihah is 'mother' of Qur'an, it means that Al Fatihah containing the insight from all of Qur'an verses. Seven verses wrapping all of verses from Qur'an. Amazing.

In this sheet, I will write my paradigm about two verses of Al Fatihah, verse number one and five. Verse number one is Basmalah. The meaning from this first verse is "In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful". Verse number five said that "Only to You we worship, and only to You we ask for help".

People need hope. It's that's a very normal, because every person in addition to having the hope also of course has limited ability. Actually, people usually try to reach the hopes more than ability from himself. And when stuck in cul-de-sac, we need someone who can bring miracle result. Every people live between effort and result, also need a miracle for best result. After doing all of efforts, we need to pray for  the best result. And in this stage, we talk about God. We pray to God to bless us with best result.

One time, I talk with my friend about 'hope'. Some people are always praying to God, pray for something, pray for their hope. They talk with their God only when they talk about hope. Not bad, but if we only pray for our hope, it means we remembering God only when we need the best result. Give us, please, My God. In this case, it means that only at the ending of activities we just remember Him.

I explain to my friend that God is in everything, not just at result. When we only talk to God about hope and result, it means just give the position of our God to the end of activity, only. Because result is ending of something. And we know, the end of everything is depend on God. From this basic statement, we know that the result depend on God. That's meaning of verses number five. At the end, we hope that God gives us the best from our achievement. A simple connectivity between our hope and God.

But not as simple as that. Once again, every people live between effort and result. We just talk about fifth verse, about hope and result. How about effort ? Maybe this line will connecting the first verse to fifth verse. The first verse from Al Fatihah talk about the name of God. Bismillah. Every activity must started with this. In our lives, maybe we forget to start something with God's name. We only remembering God in the end of activity, result only, not at all of our activity, not in our effort, not in first.

In the first verse of Al Fatihah, God warn to put God in everything that we do. In this first verse –as I know—we must take the God as reason for every step. When we go to office, caused by God, when we eat our breakfast, by God, when we fall asleep, by God. Everything doing by the name of God.

Talk about connectivity of two verses, it's clear that we must start something with God, till the end of what we started. These verses teach us to understand that we all just only creation from God, and everything depend on God.  When we start the day with God, it means we will end the day with hope from God.

When we understand about first verse, we must know that only God as the fundamental reason from all of our activity. God is the reason to act. And when we understand about fifth verse, we know that everything depend on Allah. How about this ? Agree ? [] haris fauzi – 08 May 2011.

thanks to izmi & niken. this article written caused by your conversation. sorry, i'm a broken english.

Wednesday, May 04, 2011

kenisah : lelah

LELAH

 

Seminggu ini terasa lelah. Bukan hendak menyalahkan rutinitas sehari – hari. Tiga hari lalu memang sempat sakit, tapi itu bukan sebab utama. Itu adalah akibat bahwa kelelahan sudah mendera hingga titik batas elastis dan plastis. Memang saya terbiasa sudah sepuluh tahun bepergian menempuh jalanan tol Jagorawi. Namun selama seminggu ini tidak. Dikarenakan kemacetan menggila di rute tersebut, maka sudah seminggu ini saya pergi ke kantor melalui Jalan Raya Bogor. Perubahan rutinitas ini memang menjadi tertuduh utama mengapa saya kelelahan.

 

Berkendara melalui tol memang lebih dimanja. Belokan tidak radikal. Tidak ada tikungan sama sekali. Semua berjalan lurus, dan rata. Aspal bolong ? Nil boleh dikata. Pada saat macet-pun, gangguan utama adalah terletak pada sengatan sinar matahari. Penyerobot kelas kambing hanya satu dua. Mungkin fore-rider yang berlaku seperti itu. Dalam keadaan macet di jalan tol, masalah utama adalah keresahan akan keterlambatan. Jadi sering melirik ke display jam digital di dasbor.

 

Alangkah terkejutnya ketika dua – tiga kali saya memulai untuk menempuh jalanan non-tol. Beberapa tahun lalu saya juga pernah mengalami hal serupa, dalam ladang yang berbeda. Kala itu jalan tol Jakarta – Cikampek sedang dalam perbaikan. Mangkanya, daripada terjebak macet di jalan tol yang nggak karuan juntrungannya, mending bertarung di Jalan Raya Bekasi. Amboi. Jalan Raya Bekasi ganas memang. Kontainer, truk, bis, angkot, sepeda motor, menjadi petarung kelas bebas dijalanan ini. Beradu pacu dengan gaya tidak peduli.

 

Apa yang saya rasakan ketika melalui Jalan Raya Bogor, tidaklah se-dahsyat Jalan Raya Bekasi. Menurut saya jalan Raya Bogor lebih 'kalem' ketimbang Bekasi. Pepohonan yang merindangi sisi kanan – kiri sepanjang Cibinong hingga Simpang Depok tentunya tidak kita jumpai di Jalan Raya Bekasi. Seingat saya jalur Setu-lah yang memiliki keteduhan semacam ini.

 

Memacu kendaraan pada kisaran 40 kilometer per-jam tentunya bukan kebiasaan. Namun seminggu ini tidaklah menjadi masalah pada akhirnya. Itu semua perbedaan yang bisa diatasi, walau ada kesulitan di sana – sini. Perjumpaan dengan persimpangan, padatnya pengendara bermotor yang menyelinap dan kadangkala tanpa aturan, antri di lampu setopan, tentunya beberapa fenomena yang tidak dijumpai ketika melaju di jalan tol. Itu semua pada akhirnya bisa dimaklumi.

 

Lantas apa yang membuat lelah ? Ada faktor jasmani, ada juga faktor rohani. Ini serius. Apa yang saya utarakan tadi kebanyakan adalah faktor jasmani. Beberapa faktor rohani, terbukti cukup menyita energi ketika kita tidak berkendara di jalan tol. Salah satunya adalah adanya kecelakaan. Di jalan tol kita bisa menjumpai kecelakaan, demikian juga di jalan biasa. Menyaksikan hal seperti ini, membuat nyali ciut dan menguras energi. Membuat kita lelah. Semakin parah kejadian kecelakaan yang kita saksikan, semakin membuat lelah. Walau memang jarang terjadi kecelakaan, namun menyaksikan 'hal – hal yang nyaris menjadi kecelakaan' tentunya juga melelahkan rohani. Dan hal ini lebih sering nampak oleh pengemudi yang tengah melaju di jalan raya antar kota. Bagaimana angkutan kota beradu sudut dengan pengendara motor, bagaimana kendaraan mendadak memutar. Bagaimana penyeberang jalan dengan setengah berputus asa nyelonong tanpa beban. Bagaimana seorang nenek tersandera di tengah jalan tanpa bisa berbuat apa - apa. Kejadian – kejadian ini kerap muncul di jalanan non-tol.

 

Ribuan sepeda motor yang berkerumun laksana lebah membuat pikiran kalut. Kamu tidak akan bisa dalam waktu yang sama melihat spion kanan – spion kiri – spion tengah dan tiga jendela. Namun dari semua sisi itulah sang lebah berdatangan dan terbang. Sementara mata berkeliaran membagi perhatian dengan rambu dan marka, dengan jendela dan spion, telinga juga tidak mungkin beristirahat. Klakson berteriak – teriak disana - sini. Saya terbawa serta secara naluri untuk ikutan sering menekan klakson. Apa lagi ? Mungkin masih ada bumbu sedikit untuk menambah keriuhan jalanan, seperti adanya angkutan kota yang mendadak berhenti tanpa peduli bahwa apa yang dilakukannya itu menghalangi orang lain, bahkan membahayakan, karena praktis kendaraan di belakangnya cenderung akan membuang kemudi ke kanan dan menjadi ancaman bagi kendaraan yang melaju di lajur kanan. Dan beberapa bumbu lagi yang ditulis bisa jadi memperpanjang paragraf.

 

Jalanan reguler menjanjikan hal lain dibanding jalan tol. Sekitar pasar tidak bisa kita jumpai sepanjang toll-road. Ketika melintas pasar, betapa gelandangan tergolek di pinggir trotoar bermandi asap knalpot, menyantap sampah. Ketika membuka jendela untuk bisa menyaksikan lebih jelas, dia seakan berkata, "Apa yang hendak kamu katakan ?". Juga ketika menyaksikan sepeda motor yang melaju menguntit bis kota, dengan bayi dipangkuan boncengan, sementara asap solar menggila menyelimutinya. Bayi itu tercekik racun. Contoh lain adalah ketika tertahan lampu merah di persimpangan Pasar Rebo misalkan, selain bertebaran pengamen, gelandangan, dan penjaja asongan, seringkali nampak kaki – kecil berusaha dengan susah payah naik turun bis kota. Kaki kecil ini kaki pengamen balita. Mereka kesulitan untuk menjejakkan kakinya di tangga bis. Ketika menyaksikan mereka tertatih turun dari tangga bis, membuat jantung ini seakan berhenti berdegup. Pemandangan ini membuat nanar. Kita bisa kelelahan menyaksikan hal – hal seperti ini. Apakah jasmani kita yang lelah ? Mungkin lebih tepatnya, jiwa kita yang lelah. [] haris fauzi – 4 Mei 2011




 
salam,
haris fauzi
kolomkenisah