Thursday, April 12, 2012

kenisah : mengukur wewenang

MENGUKUR WEWENANG

Suatu ketika saya berkenalan dengan seseorang. Dia mengaku sebagai Asisten Manajer sebuah perusahaan yang hendak menyewa tenaga rakayasawan. Saya memanggil Asisten Manajer itu dengan Pak Asmen. Pak Asmen tersebut menyatakan bahwa ada pekerjaan yang ditawarkan kepada saya dan dia sanggup memutuskan segala hal mengenai hubungan kerja antara perusahaan tersebut dengan calon rekayasawan yang hendak dia sewa. Saya rekayasawan. Dan saya mengajukan diri. Dan terjadilah pertemuan itu.

Seperti apa yang Pak Asmen nyatakan, beliau memutuskan segala sesuatu dengan cepat. Pertemuan itu berjalan sangat singkat. Semua keputusan bisa diselesaikan saat itu, deskripsi pekerjaan, kesepakatan honor, seragam kerja, hingga urusan jatah makan siang bagi tenaga kontrak seperti saya. Kesepakatan itu bisa berjalan cepat juga karena saya termasuk orang yang tidak ribet, sehingga segala yang menyangkut diri saya menjadi mudah.

Singkat cerita, pada bulan kedua permasalahan mulai muncul. Ini mutlak kesalahan saya yang menganggap enteng masalah administrasi. Saya sudah memulai pekerjaan walau kesepakatan belum tertulis.Hingga bulan kedua, kesepakatan kerja belum ada wujud kertasnya, dan celakanya lagi ternyata honornya tidak sesuai hitungan dalam kesepakatan dengan Pak Asmen.

Pada bulan ketiga, masalah itu masih berulang. Saya berinisiatif melayangkan surat komplain. Akhirnya surat kesepakatan kerja itu terbit, namun problem honor belum ada perbaikan. Kejelasan sudah ada, pihak administrasi melalui seorang staf mengakui adanya kesalahan pembayaran, dan berjanji akan menambahkan kompensasi penuh di bulan ke empat.

Pekerjaan itu usai di akhir bulan keempat. Inilah pembayaran honor terakhir, berikut kompensasi kesalahan pembayaran tiga bulan sebelumnya. Idealnya begitu. Namun kenyataannya tidak sesuai harapan, pembayaran honor bulan keempat masih minus,... dan kompensasi juga tidak disertakan. Saya berinisiatif menelepon, berkirim sms, berkirim email, namun belum ada jawaban. Sayangnya telepon Pak Asmen tidak menjawab setiap saya kontak. Mungkin sibuk.

Suatu kebetulan, dua bulan setelah itu saya berjumpa dengan staf administrasi. Yakin sekali dia salah tingkah.Namun dia berinisiatif membicarakan problema tersebut. Dia meminta saya ngobrol sebentar di halte dimana kami kebetulan berjumpa. Pada dasarnya staf tersebut menyampaikan tiga hal. Pertama dia mengakui perusahaannya melakukan kesalahan yakni kekurangan pembayaran. Kedua dia mengakui tidak kuasa merealisasi kompensasi mengingat dia hanya staf biasa. Ketiga dia mengakui kesalahan dari pak Asmen yang merupakan pimpinan kerjanya dimana pak Asmen tidak bisa memenuhi sesuai kesepakatan.

Saya cuma manggut - manggut. Dari ceritera beberapa kawan ternyata memang banyak kejadian pekerjaan yang tidak terbayar. Dan kasus ini cuma kekurangan pembayaran dan saya berusaha membiarkannya. Dalam pembicaraan tersebut, kemudian saya sedikit jahil menambahkan guyonan kepada staf tadi," Setidaknya Pak Asmen merealisasi jatah makan siang saya walau dalam empat bulan cuma saya ambil satu kali...". Dan dia tersenyum kecut. Apalagi saya. Saya bayangkan apabila suatu ketika saya berjumpa dengan Pak Asmen entah dimana, pasti dia akan ngibrit menghindar.

Jaman sekarang pangkat bisa menjadi barang jor - joran dan menjadi barang pameran. Namun disayangkan seringkali esensinya minus. Tidak jarang kita jumpai kartu nama seseorang berjajar pangkat menggambarkan betapa tinggi jabatan yang menyertai namanya. namun belum tentu berbanding lurus dengan wewenangnya, apalagi profesionalismenya. [] haris fauzi - 12 april 2012