Saturday, December 19, 2009

kenisah : beckham

BECKHAM

"It has been an honour and privilege to captain my country but, having been captain for 58 of my 95 games, I feel the time is right to pass on the armband as we enter a new era ... ", ( Beckham as England Captain, Wikipedia ).

Tidak banyak yang tidak mengenal sosok yang satu ini. Namanya David Beckham. Profesinya penendang bola. Prestasi terbaiknya adalah bersama kesebelasan alot dari divisi utama Inggris, Manchester United, menjadi juara tiga gelar di akhir tahun sembilan puluhan -tepatnya tahun 1999. Prestasi gemilangnya dimulai dari awal, ketika bersama sahabatnya di sekolah sepak bola Manchester United --Gary Neville-- ikut dipromosikan untuk bermain di liga profesional di tahun sembilan puluhan, saat itu usianya masih belasan tahun.

Dengan cepat sosok Gary Neville menjadi seorang wing-back pertahanan yang semakin lama semakin tangguh. Dan bahkan Neville adalah pemain bertahan yang kerap mampu mencetak gol. Demikian juga dengan Beckham yang daya jelajahnya sebagai gelandang semakin hari semakin jauh. Gemintang Beckham makin bersinar ketika ternyata Beckham memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki pemain bola biasanya, yakni Beckham sangat fasih menendang jarak jauh. Baik menendang sebagai pengumpan yang akurat, atau berfungsi sebagai penendang eksekusi jarak jauh. Tak jarang umpan lambungnya begitu mudah di-'patuk' dan dieksekusi oleh rekannya sehingga berbuah gol. Kerap pula kita melihat bagaimana tendangan jarak jauhnya yang demikian keras mampu membobol barisan pertahanan lawan dan berbuah gol spektakuler.

Berbeda dengan Neville --pemain yang lihai menggiring bola-- yang lebih memilih berkonsentrasi penuh dengan dunia sepakbolanya, David Beckham yang tidak istimewa dalam menggiring bola ini ternyata mempunyai wawasan lain. Sebagai seorang bintang, Beckham memutuskan juga berkiprah di dunia entertainment, menjadi model iklan, dan setelah model rambutnya menjadi perhatian dunia, akhirnya Beckham memantabkan diri sebagai selebritis dengan menikahi seorang penyanyi ternama, Victoria Adams Spice Girl.

Kejutan demi kejutan, prestasi demi prestasi, penghargaan demi penghargaan, gol demi gol dituai oleh Beckham, hingga Beckham menjadi pemain utama langganan Tim nasional Inggris. Ketika Beckham memasuki lapangan, tak jarang gemuruh tepuk tangan penonton menyertai langkahnya. Sebagai pemain nasional, Beckham ikut meningkahi Tim Piala Dunia Inggris di Piala Dunia tahun 1998, dimana seluruh dunia tak bakal melupakan kericuhannya dengan pemain Argentina, Diego Simeone. Kasus yang mematangkan jiwa sportivitas Beckham.

Setelah itu bukannya usai. Karir David Beckham makin melejit, baik sebagai pesepakbola tendangannya dikagumi maupun sebagai selebritis yang rambutnya banyak diikuti oleh kepala manusia di jagad ini. Hingga pada tahun 2003 kesebelasan kaya raya Real Madrid meminangnya. Di Real Madrid, profesi pesepakbola dan sebagai selebritis melengkapi kehidupannya. Di Madrid kaki Beckham yang dahsyat dan rambut yang stylish dipuja banyak orang.

Karirnya yang penuh kejutan dan prestasi, baik di kompetisi Inggris Raya maupun Eropa, membawa Beckham pada tahun 2000-an mencapai jabatan tertinggi di persepakbolaan Inggris. Di antara persaingan gemilang pemain nasional Inggris seperti Michael Owen, John Tery, Gary Neville, dan bejibun pemain hebat lainnya, ternyata manager tim memilih David -si nomer tujuh- Beckham untuk diangkat sebagai kapten kesebelasan nasional Inggris.

Sebagai kapten tim kesebelasan yang demikian disegani, Beckham membawa pasukan tim nasional Inggris dalam dua kali kejuaraan piala dunia, yakni tahun 2002 dan 2006.
Dengan sepasukan anak muda yang penuh tenaga, ternyata -mungkin- optimisme publik terlalu berlebihan dengan meletakkan target untuk menjadi juara dunia. Tugas meraih gelar juara dunia itu ada di pundak Beckham.

Seperti lazimnya, terjadi kejutan - kejutan dalam dua kejuaraan paling heboh di muka dunia itu. Tidak banyak yang menyangka bahwa Beckham dan tim Inggris ternyata tidak berbuah kilau. Dalam dua piala dunia tersebut Beckham gagal memenuhi ambisinya, ambisi tim-nya, ambisi negaranya. Kesebelasan Inggris gagal di dua kejuaraan piala dunia tersebut.

Atas kegagalan tersebut, --utamanya tahun 2006-- Beckham merasa bersalah. Apa yang dirasakan galau dalam hati Beckham tidaklah semua orang bakal mengetahuinya. Yang jelas, kepulangan tim Inggris tanpa piala dalam piala dunia 2006 sungguh memukul perasaan Beckham. Di tengah elu pendukung yang memujanya --walau gagal meraih piala publik Inggris tetap memuja tim kebanggaannya-- ternyata Beckham memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai kapten kesebelasan Inggris.

Sejatinya tidak ada undang - undang yang memaksanya untuk meletakkan jabatan. Tidak ada dewan khusus yang menghimbaunya meletakkan jabatan. Tidak ada pula desakan dari publik dan media massa yang memaksanya untuk meletakkan jabatan sebagai kapten kesebelasan. Tidak juga atas kegagalan, naik turunnya kapten kesebelasan lazimnya hanya dilandasi oleh pilihan manager tim.

Namun Beckham bertindak laksana seorang gentleman yang sesungguhnya. Sepulang dari kejuaraan yang sangat menggetarkan jiwanya itu, Beckham membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai kapten tim. Jabatan jumawa yang dikejar banyak orang itu dia letakkan dengan satu alasan. Alasan moral.
Beckham adalah Beckham. Ayah tiga anak yang memang berusaha untuk menjadi seorang gentleman dengan meletakkan jabatannya ketika dirinya memang merasa hal itu adalah kewajibannya. Karena Beckham merasa hal itu adalah sebaiknya seperti itu. [] haris fauzi - 20 desember 2009



salam,

haris fauzi

Tuesday, December 15, 2009

kenisah : ihwal memukul anak

IHWAL MEMUKUL ANAK

Konon, pada suatu hari penantian di alam kubur, terjadilah percakapan antara malaikat dengan seorang  jasad manusia,
Malaikat; " Apakah engkau menjalankan sholat ?".
Manusia; " Kadang...".
Malaikat; " Mengapa engkau lalai ?".
Manusia; " Karena aku tidak terbiasa....".
Malaikat; " Apakah orang-tuamu tidak mengajarkan sholat semestinya seperti apa ?".
Manusia; " Orang-tuaku mengajarkan sholat semenjak aku kecil hingga akil-baliq".
Malaikat; " Apakah kau dipukul oleh orang-tuamu ketika orangtuamu mengetahui bahwa kau tidak mendirikan sholat padahal telah sampai usia akil-baliq ?"
Manusia; " Tidak. Sesekali tidak pernah orang-tuaku memukulku karena lalaiku. Karena mereka adalah orang-tua yang menyayangiku..."
Malaikat; " Ketahuilah. Sesungguhnya orang-tuamu tidak menyayangimu. Mereka lalai karena dia tidak memukulmu atas kelalaianmu tidak mendirikan sholat, maka kini tugas-ku lah menyiksamu karena kelalaian orang-tuamu. Dan orang-tuamu juga akan menyesali kelalaiannya ini..."
---------
Itu hanya sebutir kisah. Saya mendengar kisah tersebut dari guru ngaji, ketika saya masih kecil. Kira - kira sekitar tiga puluh tahun yang lampau. Dengan tingkat akurasi ingatan yang tidak baik, kisah itu saya tuliskan kembali disini. Walhasil maka tentunya tak bisa dihindari beberapa detil-nya kelupaan.
Ringkas cerita, inti kisah tersebut adalah penekanan ihwal pentingnya kewajiban mendirikan sholat. Dimana kewajiban tersebut merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi ketika seseorang mencapai usia akil baliq. Sekitar usia belasan tahun. Usia remaja. Dimana ketika seorang anak berusia remaja tidak kunjung mengerjakan kewajiban tersebut, maka sang orang tua dianjurkan --diperbolehkan-- untuk memukulnya.

Cerita itu bisa jadi hanya merupakan kisah tentang edukasi anak ihwal sholat yang demikian subyektif dari seorang guru ngaji, mengingat guru ngaji saya dulu itu cukup keras juga wataknya. Dan juga kisah itu bukan merupakan 'teori edukasi' karena tidak ada landasan teori yang disertakan atau dikutip, apalagi bukti empiris juga tidak disertakan. Maka, boleh jadi biarlah kisah itu menjadi kisah sahaja, bukan teori. Bagi saya pribadi, makna dan hikmah bisa diambil dari mana saja, termasuk dari dalam sebutir kisah.

Yang menjadi perkara pro-kontra mungkin adalah bahwa kisah tersebut menjadi legitimasi untuk pemukulan terhadap anak. Istilah kerennya adalah 'kekerasan terhadap anak'. Dalam era kekinian, tentunya legitimasi semacam ini akan menimbulkan kontroversi dan ketidak-setujuan dari beberapa pihak. Mungkin masih lumrah kalo jaman dahulu seorang Ayah memukul anaknya, seorang ibu menghardik anaknya, atau segala bentuk 'kekerasan' seperti itu. Bisa jadi seorang anak yang nyelonong tanpa pamit keluar rumah, sore harinya akan di-setrap oleh Ibunya. Seorang anak yang mencuri buah mangga tetangga tak bisa lolos dari hukuman Bapaknya. Apalagi seorang anak yang nekad mencopet, tentunya hal ini bisa saja membuat orang tua-nya membara. Itu semua cerita jaman dulu. Dan seiring berjalannya waktu, setelah tiga puluh tahun kemudian hal ini bisa jadi kini sudah berbeda.

Kenapa berbeda ? Sekarang jaman telah modern, ilmu juga sudah berkembang sedemikian pesat --terutama kiriman dari Eropa--, karena kini telah banyak sekali metode pengajaran anak, pendidikan usia dini, hingga teori psikologi bocah, bahkan demikian majunya sains urusan anak ini hingga sudah ada undang - undang perlindungan hak anak segala. Tentunya segala kemajuan tersebut bisa memper-'cantik' urusan pendidikan anak oleh orang-tuanya. Apalagi sekolah sudah demikian maju fasilitas dan dengan harga yang relatif mahal, tentunya sangat mumpuni untuk mengajarkan dan mendidik anak. Wacana pendidikan anak sudah sangat berkembang kini.

Bila urusan pendidikan anak mengerucut seperti tema kisah di atas, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana dengan pendidikan sholat anak dalam jaman modern ini ? Dari beragamnya teori yang berkembang, entah kenapa saya masih mempercayai hikmah di balik cerita guru ngaji saya itu. Bahwa bila seorang anak yang telah akil-baliq tidak kunjung menjalankan sholat, maka orang-tua boleh memukulnya. Dianjurkan malah. Lepas dari segala teori tentang pendidikan anak yang kini berkembang, bagi saya teori 'memukul supaya segera mendirikan sholat' itu masih relevan. Itu bagi saya. [] haris fauzi - 14 Desember 2009


salam,

haris fauzi

Sunday, November 29, 2009

kenisah : ratiban haji negeri jenaka

RATIBAN HAJI NEGERI JENAKA

"…Ismail ! Aku bermimpi. Di dalam mimpi itu engkau ku korbankan !", kata – kata ini diucapkannya dengan cepat agar tidak terdengar oleh telinganya sendiri. Setelah itu ia membisu. ('Haji' – Ali Syariati)

Saya belum menunaikan ibadah haji. Namun, rasanya hingga kini belum ada peraturan yang melarang seseorang yang belum ber-haji untuk menulis tentang ibadah yang sakral ini. Sedemikian halnya dengan beberapa halaman koran yang seringkali memuat panjang lebar tulisan ihwal sepakbola. Yang mana ternyata para penulisnya bahkan --bisa jadi-- belum pernah bermain sepak bola. Dalam kelakar, kalau diadu dengan para pengamat sepakbola itu, saya  mungkin memiliki 'jam terbang' sepakbola yang lebih tinggi karena se-masa di bangku Sekolah Dasar hampir setiap minggu saya bermain sepak bola.
Telusur punya telusur, ternyata sebagian para penulis dalam koran itu menulis ihwal sepakbola bukan berdasar pengalamannya menendang bola, namun berdasarkan pengamatan dan referensi. Oleh-mangkanya itulah kali ini saya mencoba menulis secuil tentang ibadah haji. Tentunya berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca.

Tidak. Bukan ibadah hajinya yang sebenarnya hendak saya tulis disini. Saya cuma hendak menulis tentang kegiatan ratiban. Ratiban ini kegiatan yang sering diadakan untuk melepas calon haji. Sebangsa syukuran gitu-lah. Ratiban ini tidak menjadi bagian ritual ibadah haji, hanya merupakan cuilan kegiatannya, seperti halnya kegiatan pelajaran manasik, pemondokan lokal, tes kesehatan, atau pembayaran ongkos naik haji. Hanya seperti itu. Tidak ada instruksi kewajiban yang mengikat tentang ratiban. Tidak menyelenggarakan ratiban tidak menggugurkan ibadah haji itu sendiri.

Yup. Yang jelas ada semacam kelaziman di negeri ini, bila seseorang hendak berangkat menunaikan ibadah haji biasanya menyelenggarakan ratiban. Walau tidak semua calon haji melakukan hal ini. Ratiban ini adalah pelepasan calon haji oleh keluarga dan masyarakat. Dari perspektif seperti ini bisa muncul pandangan negatif dan atau positif. Sudut negatif-nya adalah dengan menyelenggarakan ratiban, maka memang tidak bisa dipungkiri akan muncul kesan pamer, karena seperti pameran hendak naik haji.
Tapi tidak harus seperti itu. Dalam perspektif positif, ratiban adalah bermakna pelepasan, atau bahkan perpisahan. Karena memang, bila hendak ber-haji, maka anggota keluarga yang lain harus meng-ikhlas-kan mereka yang berangkat, saling menyampaikan permohonan maaf, dan saling mendoakan. Karena bisa jadi, Tuhan tidak mempertemukan mereka kembali. Tak tertutup kemungkinan mereka akan berpisah selamanya. Sang calon haji akan bersua dengan Tuhannya dan akan berpisah dengan para kerabatnya, berpisah dengan para harta bendanya, berpisah dengan para posisi dan jabatannya.

Dalam ratiban, pesan utama adalah kesiapan mental para calon haji dan para keluarga terdekatnya untuk saling meng-ikhlas-kan, memaafkan, dan mengerti kondisi masing - masing. Dalam ratiban, calon haji dituntut untuk mulai berkonsentrasi kepada ibadah haji. Seperti dalam sepak bola, ratiban ini adalah 'pemanasan' atau 'warming-up'. Latihan untuk berkonsentrasi. Dan yang harus segera dilakukan oleh para calon haji adalah mencoba sekuatnya untuk secara mutlak segera melupakan posisi, jabatan, rumah, mobil, bahkan handai tolan dan anak - anak kandungnya. Mereka menyayangi anak - anaknya, karena itu memang hak-nya sebagai orang tua. Di sisi lain,  perjalanan spiritual menuju Tuhan yang bernama 'ibadah haji' ini menuntut para calonnya untuk mengikhlaskan itu semua, sebagaimana Ibrahim meng-ikhlas-kan anak tercintanya Ismail demi Tuhan-nya.

Ringkas cerita, seperti dalam khutbah - khutbah ratiban yang sering kita dengar, maka pelajaran pertama dalam ratiban bagi para calon haji sebelum berangkat yakni 'meninggalkan yang merupakan hak dunia-nya' sebagaimana yang di contohkan nabi Ibrahim. Demi perjalanan spiritual menuju Tuhan, maka segala-nya harus ditinggalkan. Bila direnungkan, maka sungguh dahsyat pelajaran ini. Ibadah haji memang tidak bisa dilepaskan dari tauladan nabi Ibrahim. Bagaimana Ibrahim menyembelih Ismail adalah kejadian luar biasa. Ibrahim meninggalkan semuanya --termasuk anak tercintanya-- demi perintah Tuhan.

Sebagaimana ibadah puasa, dimana kita tidak diperbolehkan makan makanan yang halal tidak pula diperbolehkan tidur dengan muhrim sah, semua itu demi terjalaninya ibadah puasa. Demikian pula dengan haji. Anak, rumah, mobil, jabatan, keluarga, dan segalanya itu adalah hak dunia yang sah dari setiap orang, --bila memang mendapatkannya caranya halal. Namun itu semua harus ditinggalkan ketika sebuah perjalanan 'hijrah' bernama 'haji' akan di mulai.

Pelajaran ini di mulai ketika ratiban, dan konon makin menguat ketika pesawat yang membawa para jamaah haji mulai mendarat di gurun, dan begitu makin menguat ketika satu persatu ritual haji dilakoni. Mulai Miqat, Thawaf, Sya'i, Taqsir, Wukuf, melempar Jumrah, Qurban, hingga menjelang perpisahan --dimana filosof Iran modern Ali Syariati menyebutnya dengan konferensi ummat Islam terbesar dan ter-ajeg se-dunia--, dimana semua jamaah di seluruh dunia bisa berkumpul, bertukar - pikiran, dan mempertajam visi kesatuan ummat di acara tersebut.

Logikanya, bila seseorang telah melewati kegiatan ratiban ini, maka setidaknya dia mampu meng-ikhlas-kan hak dunia mereka. Namun di sebuah negeri jenaka logika tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di sana sudah jutaan manusia berulang kali menunaikan ibadah haji, namun boro - boro meng-ikhlas-kan hak yang dimilikinya. Beberapa dari mereka malah berlomba - lomba untuk mengeruk apa yang bukan hak-nya. Tanpa sungkan merebut hak orang miskin, menggaruk harta negara, dan merampok kekayaan bangsa.

Sebuah negeri jenaka yang menyumbangkan banyak sekali jamaah haji setiap tahunnya, bahkan mungkin termasuk yang terbanyak di bandingkan negara - negara yang ada di kulit bumi ini. Jutaan calon haji dari negeri jenaka sudah hilir mudik berangkat dan kembali, yang-mana mereka 'mengasah ilmu'  akan ihwal pesan ratiban tersebut. Namun, usai kepulangan para 'alumni padang arafah' ini, --tahun demi tahun,-- hal pelajaran dalam ratiban itu seakan menjadi bahan tertawaan sahaja. Ketika banyaknya jumlah 'alumni padang arafah' yang tiba kembali ke negeri jenaka seakan tidak kuasa membendung penyimpangan - penyimpangan yang terjadi di negerinya. Jutaan jamaah haji pergi dan pulang kembali, namun trilyunan perkara korupsi merajalela. Jutaan mulut rakus memangsa yang bukan seharusnya. Itu fakta yang terjadi.

Bisa jadi saya yang salah dalam menulis hal ini. Itu sangat mungkin. Untuk itu mohon saya dimaafkan. Namun setidaknya dengan menuliskan hal ini saya jadi teringat sepenggal syair karya Nasher Khosrow,
.....
Wahai sahabat,
sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji,
sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah.
Memang engkau telah pergi ke Makkah
untuk mengunjungi Ka'bah.
Memang engkau telah menghamburkan uang
untuk membeli kekerasan padang pasir....


[] haris fauzi - 28 nopember 2009



 


Thursday, November 19, 2009

kenisah : handsball dan aparat pengadil

Sudahlah, ini cuma sekedar tulisan iseng. Gara - gara mengikuti berita ihwal per-cicak-an, dan pagi tadi nonton sepakbola, saya jadi teringat gol 'Tangan Tuhan'. Cerita tentang Tangan Tuhan merebak ketika di Meksiko seorang pesepak-bola bernama Diego Maradona membobol gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Kejadian yang sungguh fantastis. Maradona yang pendek badannya beradu rebutan bola yang tengah melayang di atas dengan Peter Shilton, kiper Inggris yang jangkung.

Maradona --yang seharusnya hanya diperkenankan mengandalkan kepalanya-- ternyata memenangkan duel udara melawan kiper yang jelas - jelas lihai menggunakan kedua tangannya. Hasil yang ajaib. Lha wong berdiri saja Maradona kalah tinggi, kok ini si Peter Shilton menggunakan tangannya diangkat. Tapi kenyataannya Maradona unggul dan mampu mencetak gol. Dan gol itu di-sah-kan oleh wasit.

Jaman dulu memang belum ada teknologi video yang super canggih sehingga bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apakah bola itu menyentuh tangan, ataukah menyentuh udel-nya. Maka, sah - sah saja kalo gol kontroversial itu disetujui wasit. Walau beberapa tahun kemudian setelah teknologi semakin maju, maka beberapa pengamat sepak bola yang super penasaran --setelah menyaksikan rekamannya-- terbersit rasa yakin bahwa Maradona menggunakan tangannya di kejadian Meksiko yang kemudian kondang dengan "Tangan Tuhan' itu. Yo wis, wong wis kadhung.

Pagi tadi, ada kejadian serupa. Ketika tim sepak bola piala dunia Perancis ketinggalan satu gol melawan Irlandia. Konon ini pertandingan hidup - mati menuju Piala Dunia kelak, surga-nya para pesepak-bola. Kalo kalah ya monggo lengser sahaja.

Cerita singkatnya, Irlandia unggul satu gol hingga pertandingan memasuki babak perpanjangan. Tentunya ini membuat skuad 'mantan juara dunia' Perancis kelabakan. Hingga memasuki menit ke seratus tiga - Perancis mendapat hadiah tendangan bebas dari lapangan tengah. Kaki di ayun dengan kuat. Tak ayal bola terbang melambung memasuki kotak pinalti Irlandia. Tidak sempat menyentuh tanah --seingat saya--, bola segera disundul menuju pinggir mengancam gawang Irlandia. Thierry Henry --striker gaek Perancis-- mencoba mengejar bola, namun rasanya bola terlalu laju hingga bisa jadi bakal terbuang ke samping kanan gawang. Naluri Henry bertindak, cepat dipalangkannya tangannya supaya bola itu tidak nyelonong keluar, dan setelah itu Henry bersicepat mengumpankan bola itu ke tengah muka gawang yang lantas di sambut kawannya, Si Gallas. Gallas memang trengginas.Terjadilah gol.

Berkat gol di babak perpanjangan yang mencekam ini, Irlandia terjungkal dari babak 'play-off' gila-gilaan ini.

Saya menyaksikan pertandingan tersebut di layar televisi sambil menyiapkan sereal bakal sarapan anak. Sekilas menonton, kontan saya menduga terjadi handsball. Hanya menduga. Pun pula sempat terdengar Sang Komentator terpekik,"..handsball...". Dan begitu tayangan ulang --lewat gerakan lambat-- kembali Sang Komentator terpekik,"..clear handsball...".

Tentu saja --tayangan berikutnya adalah tanpa bisa dibendung beberapa pemain Irlandia memrotes keras terjadinya gol yang sulapan ini. Siapa pula yang mau kebobolan dengan cara yang nggak ada enak - enaknya sama sekali seperti itu. Huh. Apalagi --dari televisi nampak jelas, bahwa tangan Henry menyentuh bola, mirip pemain voli.

Protes para pemain Irlandia terbentur karang. Aparat keadilan -- sang juri dan sang hakim-- tetap bersikukuh bahwa gol itu benar sah adanya. Untungnya tidak terjadi tawuran.

Versi saya, versi pemain Irlandia, dan versi komentator rupanya berbeda drastis dengan versi pengadil. Wasit dan hakim garis yang bertugas sebagai aparat penegak keadilan ini berpendapat dengan kukuh gagah perkasa bahwa gol tersebut sah. Tidak terjadi handsball. Mungkin sedang berkedip sehingga hal itu tidak nampak. Okelah, apapun alasan bisa saja dibuat, toh tidak perlu kulak. Hingga pagi hari di berita - berita dalam jaringan internet hampir semua memberitakan ihwal 'handsball' yang menjadi Tangan Tuhan versi Thierry Henry ini.

Tentang sepakbola, ada aktor yang berlaga saling serang seperti dua pesaing. Dan tentunya dengan Wasit dan hakim garis yang berfungsi sebagai penengah, aparat keadilan. Hal ini seperti terdapat dalam berbagai pertandingan, bisa pertandingan tinju, bisa pertandingan karambol, bisa juga pertandingan bocah, bisa juga politik, atau apapun. Bisa juga pertandingan adu jangkrik, atau adu binatang ternak, ataupun perseteruan binatang melata. Bila itu semua adalah konfrontasi, maka bisa jadi itu adalah pertandingan. Dan pertandingan sejatinya menuntut adanya sportivitas. Baik sportivitas yang bertanding, juga sportivitas aparat pengadil. Bahkan juga sportivitas penonton dan para penjual asongan yang sering kita jumpai di dekat stadion sepak bola. Mengapa pihak aparat pengadil harus ikutan sportif ? Ya. mereka juga mutlak menjunjung sportivitas karena bila di satu fihak yang bertanding berbuat curang, tentunya aparat keadilan inilah yang 'membereskan'. Begitulah teorinya.

Ya. Itu semua adalah teori tentang sportivitas. Alangkah gampangnya ngomong ihwal sportivitas. Dalam prakteknya, ternyata sulit. Seringkali dalam sebuah pertandingan kita jumpai ada pihak yang berbuat curang. Dan kejadiannya makin jadi tidak menentu ketika aparat pengadil ternyata malah berpihak dan secara sengaja melindungi yang salah. Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika seluruh penonton, pemerhati, dan berita - berita yang beredar semua ber-opini tentang pihak yang salah, namun, aparat keadilan ini tetap saja bersikukuh membela yang salah. Bahkan aparat pengadil ini bisa saja membela dengan sumpah segala. Sumpah di tengah sumpah-serapah orang lain yang geregetan. Bila memang hal seperti itu terjadi, maka, siapakah yang salah ? [] haris fauzi - 19 november 2009

Wednesday, November 18, 2009

kenisah : hati yang bersih

HATI YANG BERSIH

"... orang - orang datang kepada Tuhan dengan hati yang selamat (bersih) ". (QS 26:89)

Kitab suci mencatat bahwa orang - orang yang datang kepada Tuhan adalah orang yang memiliki hati yang bersih. Maksud dari 'orang yang datang kepada Tuhan' bisa didefinisikan sebagai orang - orang yang 'selamat' dari problematika dunia semasa hidupnya, yang mampu mengurai dan memilah segala persoalan hidup sehingga mampu menemukan jalan yang benar dan lurus menuju Tuhan.

Dalam menjalani roda hidup, dalam memandang persoalan - persoalan yang ada tak jarang kita dihadapkan pada ihwal yang sulit, tak nampak, atau bahkan kelam. Persoalan - persoalan yang kusut masai, yang menumpuk laksana kabut pekat nan membutakan. Yang demikian sulit ditembus oleh indera mata sehingga kita tidak tau apa lagi yang harus dikerjakan, tak tau lagi hendak berjalan kemana.

Hal ini mungkin saja terjadi karena kita tidak mampu memandang dengan jernih persoalan dan fenomena - fenomena yang terjadi. Ada semacam tabir yang tidak tembus pandang, yang menghalangi pengelihatan sehingga kita kesulitan menemukan ujung-pangkalnya.

Percaya atau tidak, sebagian orang 'sepuh' menggunakan 'mata-hati' untuk 'melihat'. Konon, mata-hati ini akan jelas melihat bila hati-nya bersih. Saya jadi ingat obrolan dengan mendiang Ayahanda. Pada suatu hari Ayahanda pernah berkata:" Hati yang bersih membuat seseorang bisa melihat dengan jelas". Begitu kurang lebih pendapatnya.

Muhammad Sang Rasul adalah contoh manusia yang demikian bersih hatinya. Konon hati-nya pernah dicuci oleh malaikat dengan air surga sehingga bersih dari segala kotoran termasuk debu dengki. Dengan hati yang bersih, Muhammad mampu dengan optimal menggunakan mata-hatinya, mampu melihat hal - hal yang tidak terlihat oleh orang biasa. Mata hati yang benar - benar luar biasa.

Seorang teman pernah bertanya tentang bagaimana membedakan antara pengemis tulen dengan pengemis gadungan, yang bila diperempatan jalan nampaknya sama saja belel penampilannya. Saya tidak punya pendapat selain menyarankan untuk menggunakan 'mata-hati'-nya. Bila memang masih kesulitan, maka 'jendela-hati'-nya harus dibersihkan dahulu.

Lantas, menurut cendekia muslim Jalaluddin Rakhmat, kotoran hati yang umum terjadi adalah rasa dengki. Dengki akan segala hal, sehingga memudarkan rasa persaudaraan dan memupuk dendam permusuhan. Kedengkian ini tak bisa disepelekan karena begitu kotornya sehingga apabila seseorang mampu berdiri di setiap tengah malam untuk sholat, belumlah tentu dia mampu menghapuskan rasa dengki dihatinya.

Konon, di jaman Rasulullah Muhammad ada sepenggal cerita tentang seseorang yang demikian 'ordinary people'. Begitu biasa. Kehidupan orang itu biasa. Hartanya juga biasa saja. Dan ibadahnya juga biasa - biasa saja. Namun, yang membuat orang ini luar biasa adalah gelarnya. Orang ini digelari 'Si Penghuni Surga', dan gelar itu disematkan oleh Rasulullah sendiri. Keruan saja para sahabat menjadi penasaran, apakah istimewanya orang ini sehingga mendapat gelar terhormat tersebut. Tentulah gelar ini menunjukkan kedudukan yang tinggi. Siapakah yang tidak ingin mendampingi Muhammad di surga kelak ?. Tak seorang sahabatpun yang menolak posisi ini.

Telusur punya telusur ternyata memang Si Penghuni Surga itu tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali satu hal. Dia memiliki hati yang bersih yang tidak ternoda rasa dengki barang setitik. [] haris fauzi - 18 Nopember 2009

terinspirasi dari artikel di buku 'Renungan Sufistik' karya Jalaluddin Rakhmat




Monday, November 16, 2009

kenisah : catatan tentang warung

CATATAN TENTANG WARUNG

Bisa jadi cuma di hari libur saya punya kesempatan rutin mendorong kereta Dea, --yang sekarang berumur 7 bulan,-- kelilingan kampung. Di hari Minggu biasanya dua kakak-nya ikutan mengiring sambil mengayuh sepeda dan berisik membunyikan lonceng sepeda masing – masing. Si Sulung rupanya cukup punya 'kharisma' di kalangan teman - temannya. Ketika sedang bermain sepeda, maka dia cukup memanggil – manggil anak tetangga, maka tanpa perlu repot – repot beberapa temannya berbondong – bondong memenuhi ajakan Si Sulung ikutan bermain sepeda. Jadilah karnaval pagi, dan kebanyakan belum pada mandi termasuk saya. Sementara bila tidak repot membersihkan rumah, Istri saya juga ikutan. Sedikit berbeda di hari Sabtu, karena Si Sulung harus masuk sekolah, maka tidak sehingar – bingar hari Minggu.

Seperti biasa, dialun goyang roda kereta dorong yang bergetar ritmis melewati jalanan konblok, Dea terkantuk – kantuk. Apalagi hawa memang segar karena hampir setiap hari hujan turun di waktu sore. Tak pelak, udara pagi cukup sejuk. Dingin malah. Kadang saya berhenti di suatu tempat agar Dea mendapat terpaan cahaya mentari. Kadangpula berhenti di bawah pohon besar karena beragam burung beradu kicau di atas dahan. Dan kadangpula saya berhenti karena bersua dengan para tetangga dan kenalan. Saya menyempatkan mengobrol se-asik – asiknya. Mereka toh juga lagi bersantai juga, walau mereka tak sambil mendorong – dorong kereta orok. Beberapa mereka sebenernya juga memiliki anak yang seusia dengan Dea, atau Si Sulung Salma, atau Si Tengah Norma. Namun kebanyakan mereka memercayakan kepada pengasuh.

Dua hari itu saya menempuh rute yang sama, melintas taman, menuju pos satpam, dan hendak berputar di pangkalan ojek. Bolak - balik beberapa kali. Di pos satpam bersapaan dengan Satpam, di pos ojek ngobrol dengan tukang ojek. Di seberang nampak jelas ada rumah yang tengah direnovasi cukup dahsyat. Kayu bekisting berjajar seperti prajurit romawi kuno yang hendak maju bertempur. Rapi, seragam, sebangun, rapat. Bisa jadi sudah sebulan rumah itu direnovasi. Saya ingat, di ujung rumah itu, dulu adalah tempat jualan bakso. Ada kedai atau warung bakso namanya 'bakso Pak Eko'. Mungkin sudah sekitar lima tahun –bahkan lebih—kedai itu selalu berkibar di malam hari, menawarkan bakso panasnya.

Entah, kemana beliau berjualan sekarang. Menurut Pak Ucok, tukang ojek yang biasa mangkal, Pak Eko memang sudah tidak tinggal disitu lagi, karena yang punya rumah sudah ganti. Pak Eko yang sudah sekian tahun berjualan itu sekarang raib. Dia tidak lagi berjualan di pojok rumah yang memang semula tak berpenghuni itu. Pak Eko cuma menggunakan se-pojok pekarangannya sahaja, dan dia harus 'legowo' ketika rumah itu berganti pemilik. Karena pemilik yang baru ingin merombak keseluruhan rumahnya, mangkanya warung Pak Eko harus direlokasi.

Pak Eko pastilah –entah dimana kini-- berjuang kembali untuk mendapatkan pelanggan, yang bagaimanapun, waktu sekian tahun sudah berjalan dengan beberapa pelanggan tetapnya. Pelanggan yang –walau tidak banyak—setia mengunjungi warungnya, untuk mendapatkan bakso jualannya.


Menurut lidah saya, bakso yang ditawarkan di warung pak Eko tidaklah terlalu istimewa. Lebih lima tahun beliau berjualan, saya tidak rutin membeli barang sekali dalam setiap minggu. Walaupun tidak istimewa dari segi rasa, namun rasa bakso racikan Pak Eko tersebut tidaklah mengecewakan, sedang –sedang saja rasanya. Harganya-pun cukup bersahabat, kisaran lima ribu rupiah seporsinya. Pembeli yang datang tidak berjubel, tidak pula kosong melompong. Namun selalu ada setiap kami sambang kesana.

Yang saya catat dalam benak, Pak Eko memang konsisten membuka warungnya. Kita tidak perlu was – was khawatir Pak Eko tidak berjualan. Pak Eko selalu membuka warungnya setiap malam. Masuknya saat maghrib setiap menjelang malam, seakan menjadi kepastian Pak Eko menyalakan lampu warungnya. Bila bukan dari segi rasa, maka inilah kelebihan warung Pak Eko. Ketika saya membutuhkan, warung baksonya selalu kedapatan tengah buka. Cahaya lampu warungnya membuat kami lega, yang berarti kami nggak perlu cari makanan di warung atau kedai yang lain. Dalam keadaan seperti ini, soal selera rasa jadi nomer dua.

Rupanya Dea sudah terlelap di kereta, ketika saya tengah asik ngobrol soal warung. Segera pamit kepada para tukang ojek, hendak melanjutkan mendorong kereta lagi. Sebelum jauh melangkah, seorang tukang ojek sempat berkomentar,"…. Pak,..yang punya rumah itu kabarnya hendak berjualan bakso juga. Kebetulan juga namanya sama, pak Eko juga…". Saya terhenyak. Dalam hati terlintas pikiran bahwa betapa beruntungnya pemilik rumah itu, karena mendapatkan 'trade-mark' positif dari tukang bakso yang dulu mangkal di pojok rumahnya. Yang kini entah dimana harus memulai segalanya dari awal. [] haris fauzi – 16 Nopember 2009



salam,

haris fauzi

Wednesday, November 04, 2009

kenisah : negeri prahara

NEGERI PRAHARA

Dalam kitab suci terdapat beberapa kisah ihwal hancurnya sebuah negeri. Negeri yang menyimpang dari ajaran Tuhan sehingga dikutuk oleh Tuhan, dilaknat dengan petaka mematikan sehingga membuat semuanya hancur lebur. Setelah musnah punah segalanya, Tuhan menggantikan dengan kelompok masyarakat yang lain.

Namun tidak hanya itu, sebuah negeri bisa saja menjadi ladang petaka ketika sekelompok manusia dari negeri lain melabraknya. Bagaimana di benua Eropa pra-peradaban demikian intens terjadi saling caplok kekuasaan antar bangsa nomaden. Peristiwa yang tak terlalu berbeda juga pernah terjadi ketika suku nomaden mongol di bawah komando Hulagu Khan menggusur peradaban Irak dinasti Abasyah yang digdaya selama kurang lebih empat ratus tahun semenjak tahun 800-an.

Intervensi bangsa asing kepada sebuah negeri memang bisa menimbulkan berbagai dampak, termasuk prahara. Istilah orang adalah 'penjajahan', 'penguasaan', 'kolonialisme', 'pendudukan', 'invasi', dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sejarah mencatat penaklukan seperti ini memang bisa memporak-porandakan sebuah bangsa atau negeri. Setidaknya tak bisa dilupakan fakta kejadian Perang Dunia bagaimana bangsa Jerman setidaknya dua kali mengobrak - abrik Eropa sehingga bangsa - bangsa di Eropa menderita nestapa berkepanjangan. Perang Pasifik juga berceritera tak terlalu berbeda ketika Jepang dengan membabi - buta hendak menaklukkan Asia sehingga menyisakan derita yang demikian mendalam kepada penduduk dari negeri yang hendak ditaklukkannya. Mungkin dampaknya masih terasa hingga kini.

Perang fisik dan perang dagang mungkin tak jauh bedanya. Jaman modern, dengan pasar ekonomi yang terbuka membuat ranah ekonomi dan peran politis menjadi ladang baru perwujudan penaklukan. Sebuah negeri bisa saja menjadi korban penaklukan bangsa lain dari medan ekonomi dan politis. Yang jelas, model penaklukan seperti ini tak bisa dipungkiri juga bisa mengakibatkan sebuah negeri dilanda prahara. Apalah artinya kemerdekaan sebuah negeri bila perekonomiannya diatur oleh bangsa lain ?

Antara Tuhan dan penaklukan tidak terpisah begitu saja. Dalam kisah kitab suci, Tuhan tidak mengirimkan kutukan dan laknat-Nya bila memang tidak ada sebabnya. Tuhan tidak gegabah menghancurkan sebuah negeri, kecuali negeri tersebut memang bermasalah dengan hukum - hukum Tuhan. Kisah kitab suci selalu menceritakan ihwal pelanggaran hukum Tuhan sehingga sebuah negeri dilaknat oleh-Nya.

Penaklukan-pun demikian. Sebuah negeri, sebuah bangsa yang kuat tentu tidak mudah untuk ditaklukkan. Seperti pendapat Ayatullah Khomeini, bahwa penjajahan merupakan dosa besar, namun jiwa yang mau dijajah adalah dosa yang lebih besar. Sebab terbesar terjadinya penaklukan bisa jadi berasal dari dalam negeri itu sendiri ketika tidak kuasa menolak invasi, ketika tidak memiliki keberanian untuk melawan kolonialisme yang mengancam negerinya.

Antara laknat Tuhan dan penaklukan, maka kondisi internal-lah yang bisa memicu laknat Tuhan, dan juga berkontribusi kepada terjadinya penjajahan. Mungkin singkat cerita seperti itu.

Namun, di luar faktor Tuhan dan penaklukan asing, bisa jadi sebuah negeri menjadi penuh prahara bila kondisi di dalam negeri itu sendiri penuh masalah. Ketidak adanya kepercayaan antara sesama penyelenggara negara, ketidak-percayaan rakyat kepada para pemimpin, bisa jadi menjadi faktor dominan terpicunya prahara sebuah negeri. Kondisi seperti ini biasanya timbul dari kasus ketika tidak adanya kejelasan mana yang benar dan mana yang salah. Terjadi kesimpang-siuran tentang kebenaran publik. Hukum terombang - ambing yang membuat setiap orang bebas menafsirkan kebenaran menurut kepentingan masing - masing, dan lantas memanfaatkan kondisi semrawut ini. Di tataran rakyat kecil, preman berkeliaran di jalanan mengancam penduduk sipil, sementara di kalangan penguasa telah terbiasa melecehkan dan memelintir hukum demi ketamakan pribadi.

Bila sebuah negeri dihuni oleh penguasa - penguasa yang rakus dan tamak, bisa jadi laksana rumah yang digerogoti gerombolan rayap ganas. Kekayaan milik bangsa berupa sumber daya alam yang dengan mudah digadaikan, kas negara yang ditilep secara 'gotong-royong', korupsi yang merajalela bisa membuat sebuah negara bangkrut, sehingga mempersulit kondisi ekonomi. Dan setelah negeri itu tidak memiliki apapun, maka rakyat-lah yang menderita tercekik resesi ekonomi.

Tak bisa dilupakan juga, bagaimana carut - marutnya sebuah negeri bila dikalangan tokoh masyarakat berlomba - lomba memenuhi hawa nafsunya akan kekuasaan dan jabatan. Ambisi hendak menjadi raja, presiden, adipati, menteri, panglima atau apalah ihwal jabatan yang memegang komando kuasa tinggi. Setidaknya kita bisa belajar dari petaka yang timbul di kerajaan Singhasari, sebuah kerajaan besar nan berwibawa, dengan raja yang terpandang bernama Maharaja Kertanegara. Namun dibalik segala kebesarannya, ternyata kerajaan itu menyimpan percik petaka yang sewaktu - waktu bisa membara laksana neraka. Pemicu itu bernama ambisi akan kekuasaan. Para penyelenggara pemerintahan begitu terobsesi akan kekuasaan, sehingga di akhir - akhir masa kerajaan Singhasari timbul begitu banyak konflik perebutan kekuasaan, perpecahan pemerintahan, dan dendam antar dinasti, sehingga membuat Kertanegara sendiri terjungkal, dan mati berkalang tanah. Itu semua karena sebab perebutan kekuasaan.

Sebuah negeri juga potensial dilanda prahara ketika kaum mudanya lemah. Sebuah negara sejatinya harus ditopang oleh generasi muda yang kuat, pintar, bertaqwa, dan memiliki semangat juang yang tinggi. Tokoh seperti Ir. Soekarno pernah berujar," Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku bakar dunia dengan revolusi". Artinya apa ? Sepuluh pemuda ideal bisa merubah wajah dunia. Begitu dahsyat peran generasi muda, sehingga tak heran apabila bangsa seperti Amerika-pun begitu khawatir bila generasi mudanya tercemar narkotika.

Peran generasi muda selain sebagai agen intelektual --seperti fitrahnya anak muda yang selalu berpikiran maju-- juga sebagai kekuatan untuk mengadakan perubahan. Revolusi ada di tangan pemuda, kata Soekarno. Psikologis yang taktis dan idealisme yang tinggi ada pada jiwa kaum muda, dan ini bekal untuk menjaga ibu pertiwi. Maka tak heran bila tokoh revolusi Iran Ali Syariati senantiasa menggerakkan mahasiswa untuk menggelindingkan roda revolusi lebih cepat.

Apabila hukum Tuhan sudah dilanggar, apabila bangsa lain sudah menguasai urat jantung negeri, apabila keserakahan pengusa merajalela, apabila negeri carut - marut oleh perebutan kuasa dan jabatan, dan apabila generasi muda tidak berdaya, apalah arti sebuah negeri prahara ? [] haris fauzi - 3 nopember 2009

----------

untuk ulang tahun adik bungsu, MAR

salam,

haris fauzi

single baru Fariz RM cs

Just share,

single baru hasil kerja bareng para musisi beken tanah air :

Fariz RM

Once Dewa

Kadri Jimmo KJP

Efek Rumah Kaca

Netral

judulnya : "KPK di Dadaku"

bisa di donlot gratis di :

http://www.kapanlagi.com/download_lagu_kpk_di_dadaku.html


salam,

haris fauzi

Tuesday, November 03, 2009

GENERASI MUDA, FUSION dan KARIMATA

Fusion adalah nama yang terlanjur disematkan kepada salah satu genre dari musik jazz yang mulai merebak di era tahun tujuh puluhan. Salah satu pelopornya adalah Miles Davis. Sementara hingga kini tercatat tak kurang dari David Benoit, Lee Ritenour, SpyroGyra, Mezzoforte, FourPlay adalah beberapa bintang jawaranya. Fusion memiliki format yang menguntungkan, karena dia adalah percabangan dari mainstream jazz yang bersentuhan dengan dua hal, irama pop dan kemajuan teknologi instrumen. Oleh karena inilah fusion segera mendunia karena blantika pop terus berkembang, dan pula, alat musik mengiringi tren kemajuan teknologi. Dalam format fusion, jazz menjelma menjadi easylistening sekaligus ‘canggih’.

Menurut pengamat musik Surjorimba Suroto, memperbincangkan musik itu bisa tiga hal: apresiasi, pernyataan sikap, dan atau ungkapan hati. Sementara dalam teori komunikasi, karya itu serupa dua sisi, sisi pertama sebagai cermin kondisi sosial, sementara sisi yang lain adalah sebagai agen propaganda. Inilah mengapa musik bisa ditinjau secara terkait dengan kehidupan sekitar, dalam beberapa dimensi kehidupan manusia baik kaya – miskin, tua – muda, atau dari perspektif yang lain.

Semesta musik sejauh ini lebih sering dikupas dalam paradigma kaum muda. Seakan kaum muda lebih dominan dalam berkiprah di semesta musik, setidaknya demikianlah wujud musik dalam penjelmaan usia. Bahkan ketika ‘orang tua’ berbicara tentang musik, mereka seakan tak bisa menghindar untuk memperbincangkan musik – musik yang berkeliaran di masa muda mereka. Dan bila memang demikian, musik apa sajakah yang di-apresiasi dan menjadi pernyataan sikap kaum muda ?
Jawabnya paling gampang adalah musik pop yang bertebaran di mana – mana. Pop benar – benar popular di kalangan muda, orang tua, dan bocah sekaligus. Mungkin sejauh ini, genre yang melekat sebagai identitas kaum muda adalah musik rock dan heavy metal. Musik yang menyentak keras adrenalin ini memang sangat kongruen dengan pola bangun psikologis anak muda yang menuntut petualangan, menabrak hukum, bentuk idealisme, dan pencarian jati diri. Atau bila ada alternatif lain untuk anak muda, maka bisa jadi musik disko menjadi tawaran. Rap, disko, dan house music cukup identik dengan kerlip diskotik dan pergaulan anak muda.

Bila kita mengingat, era delapan puluhan pernah juga kaum muda dilanda demam fusion. Seiring pasang naik musik pop, di tengah kencang genderang musik rock, genre fusion ikut berpacu merebak di dunia, dan berdampak hingga ke tanah air. Generasi remaja Indonesia-pun merespon degup indah ritmis fusion. Salah satu sebabnya adalah musik fusion memiliki ciri mengikuti tren teknologi, sehingga mampu menjadi kesatuan dengan jiwa muda yang mengedepankan teknologi sebagai mode. Kaum muda tak canggung untuk mengapresiasi musik fusion dan bahkan tak sungkan memproklamasikan fusion sebagai ikon mereka.

Deru kencang genre fusion di tanah air tak bisa dilepaskan dari kiprah kelompok ‘Karimata’. Karimata cukup stabil mengawal fusion di Indonesia. Dengan sesekali sentuhan etnik, karya – karya Karimata mencoba menembus dominasi musik rock menyapa telinga kaum muda. Dan Karimata berhasil. Dari lima album yang diluncurkan, setidaknya ada tiga album Karimata yang menjulang menjadi ikon generasi muda kala itu. Racikan bermusik Karimata di album perdana, ‘Pasti’ (1985), sungguh berhasil membuat kaum muda kepincut. Walau tak bisa dipungkiri begitu saja persinggungannya dengan genre musik pop Indonesia dengan mengetengahkan vokalis kaliber festival jelas – jelas mengangkat performa album ‘Pasti’. Perlu diingat persinggungan ini tidaklah seperti apa yang dilakukan oleh Yovie & the Nuno di tahun dua ribuan ini. Yovie & the Nuno lebih intens bermain di blantika pop, sementara Karimata lebih mengedepankan porsi fusion.

Karimata merilis album kedua tahun 1987, berjudul ‘Lima’. Album ini semakin mengukuhkan posisi fusion di tahta terhormat blantika musik anak muda Indonesia. Salah satunya karena prestasi lagu instrumentalia ‘Lima’ yang menjadi demikian populer. Tentunya fakta ini menjadi jawaban pasti, bahwa generasi muda kala itu cukup antusias merespon genre ini.
Kiprah Karimata dilanjutkan dengan merilis album ketiga ‘Biting’ di tahun 1989. Album ini cukup berkilau namun tidak sepopuler ‘Lima’. Salah satunya karena suasana pasar musik nusantara sudah kurang kondusif untuk genre fusion. Musik pop mulai mengalami kejenuhan, dan kawula muda melirik mainan baru, musik digital dan disko. Serbuan musik digital ini cukup dahsyat seperti halnya play-station yang demikian populer. Bahkan di percaturan musik dunia, musik digital berhasil meng-influensi genre rock dan jazz. Pada akhirnya terdapat paradigma bahwa perangkat digital adalah definisi fisik perangkat itu sendiri, sebagai elemen yang merekayasa musik dan bisa berdiri di genre musik apapun. Di kubu musik joget, diskotik juga merebak deras merespon pasar muda yang gandrung joget diiringi musik disc-jockey.

Para pendekar fusion bukannya tidak berasimilasi dengan kemajuan ini. Cukup banyak yang 'survive' terutama dengan pendekatan terhadap akselerasi pesat perangkat digital, namun kasus di Indonesia agak spesifik. Pasar di tanah air punya sikap latah sehingga banyak duplikasi lagu yang laku pasar sehingga membuat pekat dan terjadi semacam kebablasan. Hukum pasar yang seakan memaksakan dengan memopulerkan musik yang laku akhirnya melatahkan para pemusik dengan membuat karya – karya yang seragam. Dan hasilnya, pasar musik nasional yang pekat dan jenuh. Kondisi ini berkontribusi terhadap arah pergeseran ‘selera’ generasi muda. Bagaimana duplikasi lagu disko dangdut, misalnya, demikian merajalela diekspos besar – besaran sebagai komoditi yang menggiurkan produser pada ujungnya membuat kawula muda seakan kehilangan alternatif pilihan musik yang hendak mereka apresiasi.

Di tahun 1990, dimana kondisi semakin kurang berpihak kepada genre fusion, Karimata merilis album ‘self tittle’ bersama Dave Valentin. Setahun kemudian Karimata merilis album kelima berjudul ‘JEZZ’. Di dua album ini Karimata menyajikan musik yang 'mature', musik dewasa yang seakan menjadi salam perpisahan kepada generasi muda. Generasi muda Indonesia khususnya, karena album --terutama 'JEZZ'-- yang berkonsep 'mature' ini bermaksud go-internasional dengan kartu truf menggandeng musisi ternama seperti Lee Ritenour dan vokalis Phil Perry.
Tahun 90-an menjadi titik awal bagaimana di tengah bahana musik rock yang masih kencang, di tengah menjamurnya musik disko dangdut, generasi muda tanah air mulai merespon bentuk musik alternatif pop romantis. Dan Karimata bersama fusion-nya bergerak ke pinggir mengikuti usia pendengarnya yang juga menua setelah hampir satu dekade menjadi idola kawula muda.

Album 'JEZZ' bisa jadi menjadi penutup karir kilau Karimata di dunia musik. Namun setidaknya dalam rentang waktu itu album – album Karimata bisa menjadi salah satu bukti bahwa generasi muda pernah meng-akrab-i, mengapresiasi, dan menyatakan bahwa musik fusion menjadi musik generasi muda. Fusion pernah mencengkeram kuat dalam kehidupan mereka. Dan mungkin akan terulang entah pada generasi kapan. [] haris fauzi

Thursday, October 22, 2009

kenisah : bruce

BRUCE

"one man's coffee is another man's tea, one man's whiskey..." (Bruce Springsteen, 'Essential")

Saya mulai menyimak lagu - lagu Bruce Springsteen sekitar tahun 1986, ketika saya duduk di bangku SMP, dipicu oleh vokal seraknya di lagu 'Dancing In The Dark' dan 'Born in the USA' yang beberapakali diputar di radio gelombang AM. Lantas, ritual biasa masa puber, saya membeli kasetnya dan memasang poster Bruce yang sedang melompat sambil memegang gitar seperti di pose album "Born in the USA". Namun, saya bukanlah penggemar fanatiknya karena musik Bruce bukan berada dalam genre mainstream favorit saya di progresif yang identik dengan Yes, genesis, ELP, atau PinkFloyd. Bagi saya, genre Bruce Springsteen adalah rock. Rock saja. Tidak terlalu nge-blues seperti Gary Moore atau Jimi Hendrix. Tidak juga folk, tidak juga hard rock seperti Van Halen, apalagi heavy metal. Bila saya identikkan, musik Bruce mirip dengan lagu - lagu DIRE Straits, walau Bruce sudah eksis duluan ketimbang DIRE Straits ini.

Semenjak karir tahun 70-an, Bruce menghasilkan sekitar 'likuran' (dua puluh-an sekian) album, mungkin mencapai tigapuluhan, menjadikan Bruce sebagai salah satu musisi yang eksis selama beberapa dekade. Setidaknya dalam pengamatan saya banyak album - albumnya yang 'moncer' seperti 'The River' (1980), 'Born to Run' (1975), 'Born in the USA' (1984), 'Tunnel of Love' (1987), 'Devil & Dust' (2005), 'The Ghost of Tom Joad' (2005). Dan salah satu yang edan adalah album kumpulan konsernya bersama kelompok 'The E Street Band' bertajuk 'Live 75-85' yang bermasa putar lebih 200 menit dan berisi sekitar 40 lagu. Dan, pada tahun rilisnya 1986, album ini memuncaki tangga lagu dunia. Sungguh saya gembira memiliki dua dari lima kaset album ini. Lagu idola saya adalah 'Independence Day'.

Kaset lain yang saya miliki adalah album 'Tunnel of Love' yang menurut saya album rilis 1987 inilah titik peralihan genre musik Bruce, dari semula keras --pure-rock-- yang penuh semangat berubah menjadi didominasi unsur balada. Dari vokal serak yang berteriak menjadi gumam. Dari hobi ritem gitar menjadi keseringan ber-akustik. Perubahan genre ini tidak menyurutkan popularitas Bruce. Seperti grup kondang U2, Bruce merupakan langganan peraih penghargaan termasuk Grammy. Album berjumlah 'likuran' itu juga menghasilkan penghargaan sejumlah 'likuran' juga.

Musikalitas Bruce dibangun sejak tahun 70-an dengan kemampuannya mencipta lagu, mencipta lirik, dan komposisi yang harmonis. Sehingga lagu – lagunya-pun kadangkala dibawakan oleh musisi lain, diantaranya oleh kelompok progresif 'Manfred Mann's Earth Band'. 
Bagi saya, Bruce Springsteen adalah reinkarnasi sisi jujur benua Amerika. Bruce berkulit putih namun sering menyuarakan keberpihakan terhadap kulit berwarna, juga bagaimana dia menentang perang Vietnam seperti dalam lagu 'Born in the USA'. Konon beberapa kritikus dan politisi menyebut bahwa spirit Bob Dylan menjelma dalam tubuh Bruce menjadi lebih keras, lantang, dan modern.
Bisa jadi memang tidak banyak musisi yang bisa menjadi representasi sebuah benua, atau sebuah bangsa. Seperti Iwan Fals yang begitu menjadi ikon 'Orang Indonesia', Bruce Springsteen-pun demikian untuk sebuah benua besar bernama Amerika yang demikian heterogen. Ya. Bruce Springsteen adalah sisi jujur benua Amerika, seperti dalam lagunya:

....Badlands, you gotta live it everyday,
let the broken hearts stand,
as the price you've gotta pay,
we'll keep pushin' till it's understood,
and these badlands start treating us good.
Workin' in the fields till you get your back burned,
workin' 'neath the wheel till you get your facts learned.
Baby i got my facts,
learned real good right now.
You better get it straight darling.
Poor man wanna be rich, rich man wanna be king,
and a king ain't satisfied till he rules everything...
(Badlands - 1978)


[]haris fauzi – 22 oktober 2009







Wednesday, October 14, 2009

kenisah : jedi

JEDI


Pak Guru yang cukup kesohor karena ke-galak-annya memasuki kelas. Menutup pintu dengan berwibawa sehingga membuat semuanya terdiam dan lantas meletakkan map di meja sambil mengucap salam. Murid - murid membalas salamnya dibawah sorot mata Pak Guru yang tajam. Para murid mempersiapkan buku yang diperlukan dengan berhati - hati, khawatir terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Setelah itu Pak Guru memalingkan wajahnya menuju papan tulis. Seakan detik berhenti berdetak ketika Pak Guru menghentikan geraknya. Dengan raut muka kecewa Pak Guru berkata dengan berwibawa," Siapa yang piket hari ini ?".

Seluruh kelas tertunduk. Saat itu papan tulis masih kotor penuh coret - moret, sisa pelajaran sebelumnya. Hari itu ada lima orang yang bertugas piket menjaga kebersihan kelas termasuk juga bertugas menghapus papan agar selalu siap untuk digunakan. Dengan kondisi mencekam seperti itu, petugas piket tidak kuasa hendak maju untuk menjalankan tugasnya. Nyalinya menciut dan terbang entah kemana. Mereka hanya bisa saling menyalahkan dengan saling memandang penuh curiga.

Murka Pak Guru yang terkenal disiplin dan galak tanpa kompromi itu terbayang sudah. Menit awal dari dua jam pelajarannya sudah membara, tentunya dua jam sisanya akan berupa neraka. Hal ini karena kealpaan kelas semata. Sang petugas piket lalai, dan rekan - rekannya keasikan bercanda kala jeda pergantian jam pelajaran sehingga tidak mengingatkan petugas piket.

Dinding tembok yang dingin, atap yang tinggi, kayu kuda atap yang menyeringai, dan pintu berwarna kusam membekukan suasana. Tidak ada yang bersuara. hanya angin menebus jendela yang lirih seakan tercekam.

Beberapa detik hening sehingga bila rayap berkata - kata mungkin akan terdengar. Dan tetap hening ketika terdengar langkah ragu sepatu seorang siswa yang melaju ke depan kelas, menuju papan tulis. Langkah yang diberani - beranikan. Hampir seluruh kelas menahan nafas. Siswa tadi-pun dengan gemetaran berusaha menghapus papan tulis dengan baik, walau dalam kondisi penuh tekanan seperti itu segalanya tidaklah berjalan sempurna.

Seusai papan itu terhapus, Pak Guru berkata kepada penghapus papan tadi,"...kamu, sini... jangan langsung duduk...".

Siswa tadi yang hendak bersicepat menuju bangkunya lagi kontan menghentikan langkahnya. Merubah haluan menuju meja guru, dengan bergelayut berjuta ketakutan. Di muka sidang sorot tajam Pak Guru, Sang Siswa pasrah, namun, dalam hatinya berharap supaya ada malaikat yang bersedia menolongnya. Kelas sunyi senyap menunggu reaksi Pak Guru. Apapun bisa terjadi saat itu. Entah penggaris yang melayang, entah semprotan yang membabi buta, atau...entah hukuman apalagi.

Pak Guru berkata setengah murka dengan beberapa metraliyurnya,

"Mengapa kamu lalai tugas ?"

"Mengapa harus menunggu guru datang baru papan tulis dihapus ?"

"Saya tidak mau kejadian ini terulang lagi. Kamu mengerti ?"

"Kamu akan menanggung resikonya bila hal ini terjadi lagi. kamu faham ?"

Sang siswa tertunduk, dan setelah mengatur nadinya sekian lama baru menjawab singkat," Baik Pak".

Malaikat yang diharapkan ternyata menyempatkan singgah. Dan hatinya yang terbelenggu ketakutan seakan terbebas ketika Pak Guru mempersilakan siswa tadi untuk kembali menuju bangkunya.

Hari itu hari Rabu, dan Sang Siswa adalah petugas piket untuk hari Jum'at, tidak bertugas hari itu. Dan, itulah kenyataan. Bahwa seorang jedi kadangkala menjadi korban, dan sebaiknya memang harus bersiap untuk menjadi korban. Sementara bisa jadi orang lain akan dianggap menjadi pahlawan. Karena jedi memang bukan pahlawan yang musti kesohor. Karena jedi adalah jedi. [] haris fauzi - 14 oktober 2009

salam,

haris fauzi

Tuesday, October 13, 2009

kenisah : berniat

BERNIAT

Berniat adalah 'melakukan niat', bukan hendak membahas 'mewujudkan sebuah niat'. Namun adalah 'bagaimana kita berniat'. Melakukan niat yang saya maksud bukan berarti "bagaimana melaksanakan" atau "merealisasikan suatu niatan". Tetapi adalah bagaimana sis-dur untuk menjalankan niat.
Berniat menjadi suatu hal yang penting, karena disitu termaktub apa yang akan kita lakukan, demi apa kita lakukan, dan untuk siapa kita melakukan hal tersebut. Ada baiknya bila segala sesuatu yang dilakukan dilandasi oleh niat yang baik. Niat untuk bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, niat ke kantor adalah untuk menafkahi keluarga, dan lain sebagainya.

Tentunya niat itu bisa jadi tidak terangkai hanya dengan satu ihwal. Misalnya niat ke kantor, tentunya adalah untuk mencari nafkah. Bila dirangkaikan dengan ingin melaksanakan perintah Tuhan, maka ihwal kedua ini akan mengerucutkan niatan menjadi lebih spesifik. Dan ini bisa membatasi diri untuk menjauhi hal - hal yang tidak berguna dan mudharat. Ini sebuah contoh sahaja.

Niat sejatinya ada dalam hati, dan tak jarang niatan itu terlontarkan melalui ucapan. Sebagian ulama berpendapat bahwa niat itu diutarakan dalam hati. Sebagian ulama lainnya mengajarkan untuk mengucapkan sebuah niat. Mangkanya tak jarang dalam sholat berjamaah kadang kita mendengar makmum sebelah mengucapkan niat sehingga terdengar oleh kita. Namun ada juga yang berniat di dalam hati. Demikian juga dengan niat ke kantor, ada yang dilafadzkan dalam bentuk gumaman mulut dan ada juga yang dinyatakan dalam hati. Namun bisa jadi kebanyakan orang yang memiliki rutinitas pasti dalam kegiatan berangkat mencari nafkah –ke kantor misalnya-- malah tidak mengucapkan niat baik di hati ataupun di mulut.

Pernah juga kita jumpai niatan yang disampaikan sebagai usulan, atau sekaligus pernyataan permintaan izin atau perkenan. Memang permintaan perkenan dan niat itu suatu hal yang berbeda, namun dalam kasus tertentu kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Misalnya bila seseorang berniat menolong tetangganya, tentunya niat ini disampaikan kepada suami atau istrinya terlebih dahulu. Sehingga menjadi niat bersama dan tentunya sekaligus meminta izin. Dalam kasus ini, tak bias dihindari bahwa niat harus diucapkan.

Begitulah ragam niat itu, ada yang terlontar di mulut, ada yang terucap dalam hati, namun tak jarang ada juga yang lalai dalam berniat. Niat apa saja, bisa niat sholat, niat sekolah, niat mandi, niat menolong tetangga atau apapun.

Pada malam – malam bulan ramadhan, sering kita jumpai anak - anak belajar me-lafadz-kan niat puasa di surau - surau. Dengan dilagukan. Anak - anak itu memang diajarkan untuk 'berniat puasa'. Demikian penting adanya niat, sehingga diharapkan sebuah tindakan, amalan, ibadah, atau apapun sedapat mungkin dimulai dengan niat. Untuk inilah hendaknya jangan disepelekan fenomena 'berniat' ini. Karena tak jarang beberapa kegiatan amal ibadah tidak disertai niat, mungkin gara - gara terjebak 'rutinitas' semata seperti contoh dalam paragraf atas tadi.
Sebagai contoh lain; karena terbiasa berpuasa, maka suatu kali niat tidak dinyatakan sehingga akhirnya puasa itu hanya menjadi kegiatan rutin tanpa tujuan. Bila ini yang terjadi maka makna puasa itu akan berkurang karena tidak ada pernyataan demi apa berpuasa dan untuk siapa berpuasa.

Contoh lain yang gampang adalah niat untuk ber-wudlu. Sebagian besar orang ketika selesai mandi pagi atau sore akan melakukan wudlu. Demikian sering melakukan hal itu, sehingga wudlu seakan menjadi rangkaian otomatis dari kegiatan mandi. Karena otomatisasi inilah, maka tak jarang 'niat' berwudlu terlewatkan. Sehingga dalam pelaksanaannya wudlu itu tidak memiliki niat. Demikian juga dengan aktivitas mencari nafkah, berangkat ke kantor, berangkat sekolah, belanja ke pasar, atau apapun banyak yang menjadi kegiatan rutin sehingga tak jarang yang lupa mengutarakan niatnya. Begitulah, alasan mengapa sebagian ulama menganjurkan untuk melafadzkan niat.

Walhasil, memang tidak mudah untuk memulai segala sesuatu dengan prosedur berniat, karena tidak sedikit hal – hal yang bisa dilakukan dalam dua puluh empat jam sehari. Tentu sulit bila semua harus seperti itu, namun, sebaiknya mencoba untuk memaksimalkan prosedur 'berniat' untuk memulai segala aktivitas. Karena Tuhan memperhatikan itu semua, termasuk bila tidak ada niat. Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat dalam buku "Renungan Sufistik" mengingatkan bahwa niat yang baik dan niat yang buruk tidaklah pernah luput dari perhatian Tuhan. Tentunya Tuhan juga akan memperhatikan apabila ada kegiatan yang tidak disertai niat. Untuk itu, sudah seharusnyalah kita mengutamakan kesempurnaan niat, karena Tuhan memperhatikan itu semua. Maka, sebaiknya lakukanlah segala sesuatu dengan niat semaksimal mungkin, dan tentunya berniatlah yang baik – baik saja. [] haris fauzi – 13 oktober 2009



Thursday, September 17, 2009

kenisah [featuring Mr Aji Surya] : Puasa Merana

PUASA MERANA ALA INDONESIA *)

Puasa merupakan salah satu ibadah dalam agama Islam yang beranjak dari kosakata Bahasa Arab 'shaum' atau "menahan". Sebagai ibadah yang amat populer, puasa memiliki tingkatan berdasar kondisi pelaksanaannya. Beberapa teori ahli fiqih sempat muncul, tapi tampaknya menjadi kurang membumi karena perkembangan zaman. Benarkan puasa orang Indonesia lebih tinggi dari semua teori puasa Imam Ghazali?

Sebagaimana sering dikhotbahkan di masjid dan surau, melalui buku 'Ihya Ulumuddin', ulama tersohor Imam Ghazali mengklasifikasi tingkatan puasa menjagi tiga; yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan bersebadan. Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah.

Puasa tangga paling puncak adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Sedangkan puasa medium level adalah puasanya orang-orang salih - yang mana puasa tingkat ini yang seharusnya kita tuju untuk mencapainya. Sementara puasa “kelas permukaan” adalah puasa amatiran. Untuk mencapai level di atasnya, seseorang harus meningkatkan kesempurnaan dan kualitas puasanya

Selanjutnya Imam Al Ghazali menjelaskan beberapa hal untuk mencapai kesempurnaan puasa yang belum berkualitas. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.

Kedua menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya.

Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Dan kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan.

Puasa sangat Khusus ala Indonesia

Kalau dikaji secara lebih mendalam, aneka tingkatan yang diteorikan oleh Imam Ghazali dibatasi pada hal-hal yang bersifat umum dan hanya teraplikasikan pada kondisi masyarakat yang sangat normal. Ia belum memperhitungan hukum pasar dan fakta - fakta kekinian yang terjadi dalam sebuah masyarakat dimana bisa jadi suatu ritual saat puasa akan menjadi demikian spesifik, atau bahkan kondisi masyarakat dapat menyebabkan puasa semakin tinggi tingkatannya. Karenanya pula, puasa di Indonesia, dalam batas-batas tertentu, bisa lebih tinggi dari semua level yang tertera dalam buku 'Ihya Ulumuddin' tadi.

Mengapa kondisi pasar dan masyarakat bisa mempengaruhi tingkatan puasa? Tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan buku legendaris 'Ihya Ulumuddin". Mungkin korelasi inilah yang belum sempat terpikirkan oleh Imam Ghazali. Dalam kelakar seorang teman, bila Imam Ghazali sekarang masih hidup dan berkesempatan menjelajah Indonesia --baik secara nyata ataupun melalui dunia maya--, sang Imam pastilah merumuskan tingkatan puasa yang sangat khusus bagi umat islam di Indonesia, atau mungkin puasa yang lebih khusus lagi, semacam puasa wabil khusus ala Indonesia.

Sebagai ilustrasi, kita sedikit banyak harus melakukan arus balik kepada krisis ekonomi yang tengah melanda dunia semenjak ‘Black Friday’ Nopember tahun lalu. Dan, walau kini para ekonom dunia telah bersepakat mengeluarkan fatwa bahwa resesi ekonomi global sudah lewat, ternyata badai krisis ekonomi itu masih krasan di negeri muslim Indonesia dan beberapa negara lainnya. Entah diakui atau tidak, di tengah fatwa ulama yang menyatakan tanggal 1 Ramadhan sebagai awal dimulainya puasa, fenomena pasar lokal di Indonesia masih menunjukkan gejala krisis ekonomi.

Bu Gito asal Lamongan yang sudah bertahun – tahun setiap malam membuka tenda berjualan menu makan malam ala Jawa-Timur-an (nasi dengan lauk pecel lele – ayam goreng dan soto ayam) misalnya, merasa puasa ini adalah masa paceklik. Sambil asik mengulek sambel, ibu itu mengeluh bahwa menjelang puasa harga ayam potong mencapai duapuluh ribu rupiah perkilo. “Padahal dua hari yang lalu cuma tujuh-belas ribu rupiah per-kilo,” imbuhnya.

Hal ini dikuatkan lagi ketika seorang tukang jual daging ayam keliling,--yang biasa menjajakan dagangannya di komplek perumahan. Memasuki bulan puasa dia membandrol dagangannya seharga dua puluh delapan ribu per-kilo. Artinya, dalam menyambut bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia bersiap - siap untuk 'puasa' menyantap ayam goreng, atau mengurangi kualitas hidup. Harga yang berkaraokeria dan riang gembira itu juga terjadi pada cabe keriting hingga tiket pesawat terbang.

Sialnya, awal bulan puasa pas jatuh pada minggu ketiga bulan Agustus 2009. Menyerempet masa pendaftaran murid baru yang bermain di tenggang bulan Juli. Biaya sekolah di republik yang barusan ber-ulang tahun ke-64 ini memang cukup melangit dalam sepuluh tahun terakhir. Warga banyak yang mengeluhkan tentang besarnya biaya sekolah dan kuliah meskipun pemerintah telah merespon dengan meng-gratis-kan beberapa level dan jenis sekolah.

Maka tak ayal lagi, paska masa pendaftaran sekolah, beberapa kelompok masyarakat Indonesia memasuki bulan puasa dengan kantong kempes, atau bahkan ada yang berbekal hutang yang menumpuk. Dengan keadaan demikian untuk kelompok masyarakat tertentu, alih - alih berpikir membeli ayam, selama bulan puasa ini bila makan sahur kenyang saja sudah alhamdulillah.

Lihatlah betapa hebatnya puasa orang Indonesia, bahkan di saat - saat setelah berbuka-pun mereka masih setengah ber-'puasa'. Benar - benar puasa dalam arti fisik. Ketemu nasi di saat berbuka puasa, artinya bersahur seteguk air. Mengharap bersahur kenyang, berarti berbuka alakadarnya. Mungkin seperti ini yang di-kelakar-kan seorang sobat dengan "Puasa Merana".

Ada juga teori fiqih menjadi kurang valid dengan keadaan Indonesia. Para kaum ulama menyarankan agar orang yang berpuasa melengkapi ibadahnya dengan ritual sosial dan memakmurkan mesjid. Orang yang berpuasa diharapkan mengurangi porsi kegiatan yang berurusan dengan mengumpulkan nafkah. Harus memperajin ber-tafakur dan ber-tadarus.

Di bulan - bulan normal ketika seseorang bisa melakukan lembur banting – tulang sehari semalam saja, tidak sedikit yang 'nafas kantongnya' masih kembang - kempis. Entah bagaimana ceritanya bila porsi kegiatan mengais rejeki ini dikurangi. Ketika mencari nafkah dapat sejengkal, harga - harga melonjak sepuluh langkah. Mungkin ini salah satu tantangan terberat puasa ala Indonesia.

Di tengah-tengah itu semua, pemerintah merencanakan beberapa kenaikan yang berefek domino, diantaranya adalah kenaikan gaji Pegawai negeri Sipil dan harga gas elpiji dua-belas kilo. Tak bisa dipungkiri bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil dan gas adalah salah satu parameter ekonomi tanah air yang diyakini cukup akurat oleh masyarakat sehingga harga barang saling lari berkejaran. Itulah sebabnya harga cabe, beras, telur, hingga sapu ijuk bisa jadi akan ikutan naik. Apalagi menjelang lebaran seperti ini.

Dalam teori sosial, ditengah situasi puasa "perut-lapar-leher-tercekik-kantong-bolong" akan sulit sekali menghindari puasa dua hal: memaki dan berbuat kriminal. Seperti lazimnya teori Brooklyn bahwa semakin sulit kondisi ekonomi, maka para penyanyi rap jalanan semakin sering mencaci, dan semakin tinggi pula tingkat kejahatan. Leher yang tercekik akan dengan mudah memuntahkan cacian, sementara perut yang lapar akan menggelapkan mata orang bertindak nekad.

Dua elemen itulah yang bisa membuat 'puasa merana' ala Indonesia turun kualitasnya. Mau lebih "merana" lagi ? Tolong saksikan bagaimana kaum hedonis dan para pejabat (walau tidak semua) melakukan acara - acara buka bersama dengan seringkali memboroskan menu makanan, berfoya - foya, malah bisa jadi berupa pesta mewah. Sangat ikonik, sangat njomplang. Kontras dengan kondisi ketercekikan rakyat kecil, namun di-"lumrah-lumrah"-kan. namanya juga orang kaya.
Di sisi lain, tantangan – tantangan dalam krisis seperti ini bila bisa diatasi maka bakal meningkatkan prestise puasa khusus ala Indonesia. Dalam kondisi pasar dan masyarakat yang spesifik seperti itu, ada baiknya para ulama melakukan ijtihad untuk menemukan teori baru tentang tingkatan puasa sangat khusus orang Indonesia pada Ramadhan tahun ini. []

*) Dimuat di harian Surabaya Post : http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=cd2641acda3609cf9eeb2ca8b8fd50a7&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0

-------

M. Aji Surya adalah pengamat sosial senior alumni Pondok Gontor yang bermukim di Moskow sehingga dijuluki 'Mbah Modin Ajimoscovic'. "Lihatlah dari sudut pandang yang berbeda", demikian kiatnya.

[]

Surabaya Post adalah koran regional Jawa Timur. Mendiang Bapak pernah berlangganan surat kabar ini di era tahun 80-an. "Sebagai orang Malang, sebaiknya mengerti berita - berita aktual Jawa Timur", demikian alasan beliau.

[]

Paragraf terakhir di edit Juni 2016 atas inspirasi dari Yudhidayak Ariadi. Thx
-------

Friday, September 11, 2009

kenisah : membaca dunia

MEMBACA DUNIA
 
"Kita membaca dunia secara keliru dan mengatakan bahwa dunia menipu kita"
(Rabindranath Tagore-"Burung-Burung Nyasar-75")
 
Menurut beberapa pakar motivasi, cara memandang atau membaca dunia ini terdapat dalam sebuah perspektif bernama paradigma. Ringkas ceritera, paradigma yang salah, membuat pondasi pikir kita bermasalah. Sehingga seringkali menganggap sesuatu yang seharusnya benar, malahan salah kaprah. Kata orang, dijaman edan kalo ga edan gak akan kebagian. Jadinya yang pada edan malahan kelihatan normal.
 
Saya ingat ketika di tahun delapan-puluhan saya gemar mengunjungi toko kaset. Kala itu kaset musisi luar negeri --istilahnya adalah 'kaset barat', walau sebenarnya kadangkala berasal dari negeri timur seperti Jepang misalnya, tetap saja dijuluk 'lagu barat'--- bertaburan direkam di negeri kita. Sak-ombyok pokoknya. Memang kala itu belum jamannya royalti. Tentunya hal ini terjadi sebelum musisi kenamaan Si rambut Kusut Bob Geldof ngamuk - ngamuk meng-kusut-kan beberapa kaset 'LiveAid" bajakan yang beredar dengan riang gembira di negeri kita.
 
Ya. Jaman itu kaset seharga kira - kira dua ribu lima ratus rupiah. Karena belum kena ongkos royalti, disebutlah sebagai barang bajakan. Dan syahdan siapapun boleh membajak dan mendistribusikan ke toko kaset dengan sakkarepe dhewe. Tercatat beberapa label rekaman yang cukup kondang adalah Aquarius, Team, Atlantic, atau Billboard.
Saya sendiri menyukai rekaman Aquarius karena pas dengan selera kuping saya, sementara kakak saya menyukai rilisan team karena bunyi treble yang bening.
 
Istimewanya jaman kaset bajakan adalah bila ada satu musisi menelurkan album, maka keempat 'pengganda' itu juga membuat rekamannya, jadi sebagai konsumen kita bebas memilih enaknya membeli yang rilisan label mana.
Tentunya hal tersebut tidak terjadi untuk album karya musisi lokal yang jelas - jelas dilindungi hak cipta. Jaman itu memang masih kayak gitu, rekaman musisi lokal dilindungi hak ciptanya, musisi luar negeri belum. Walau kaset musisi lokal menerapkan banderol yang sama, sekitar dua ribu lima ratus rupiah, mereka mendistribusikan rekamannya berdasar hak cipta, jadi tidak semua label rekaman bisa menggandakan. Dan praktis, cuma satu label yang lazim merilisnya. Seperti album 'Semut Hitam'-nya GodBless, hanya dicetak oleh Billboard, tidak oleh Aquarius.
 
Berhubung paradigma saya adalah kaset barat yang kala itu masih dibajak oleh banyak perusahaan rekaman dan tersedia banyak pilihan label, maka pas hendak membeli kaset musisi lokal jadi bias. Menurut saya, yang lazim ya kayak kaset barat gitu, tersedia dalam berbagai pilihan rekaman. Tak ayal, kesalahan pola pikir saya ini berakibat perbincangan konyol. Kala itu, saya dan adik ingin membeli album baru GodBless. Musisi lokal tentunya. "Mbak, GodBless yang keluaran Aquarius ada ga ?", gitu tanya saya. Tentu saja jawaban penjaga adalah "Tidak".
 
Itulah. Kesalahan yang jamak oleh Jayasuprana diistilahkan sebagai 'kelirumologi'. Dan ini tidak hanya mendera saya pribadi. Tentunya banyak yang mengalami, dan mungkin juga Anda. Dan dalam kasus yang berbeda tentunya.
Setidaknya urusan 'keliru-keliru-an' seperti ini ada dua hal. 'Keliru' yang disengaja, ataukah 'keliru' karena memang keliru.
 
Jangan dikira sedikit kekeliruan yang di sengaja. Mungkin malah lebih banyak. Dan bisa jadi hasilnya akan konyol. Mungkin salah satunya terjadi di Amerika. Konon para ilmuwan di benua tersebut sangat mengkhawatirkan isu 'global warming'. Secara singkat, global warming adalah kejadian yang mengakibatkan dan berakibat timbal balik karena rusaknya ozon. Ada sebab lain yang bisa berkontribusi terhadap global warming ini, namun untuk tulisan kali ini cuekin saja. Konon, penyebab utama kerusakan ozon adalah gas karbondioksida yang berlebihan. Tentunya gas ini diakibatkan oleh banyak sumber, dan yang paling dominan sebagai terdakwa adalah knalpot kendaraan bermotor dan cerobong pabrik.
 
Yang saya identifikasi sebagai kekeliruan para ilmuwan itu mungkin adalah kejadian di pertengahan tahun ini. Para ilmuwan Amerika merilis hasil temuan terkini bahwa ada gas lain yang menyebabkan ozon bertambah buruk, yakni gas metana. Dan, gas metana yang paling merusak ozon adalah gas metana hasil sendawa sapi. Ya, sapi hewan berkaki empat. Fantastik. Saya semula menganggap sapi bisa saja menjadi terdakwa bila dia menjadi komisaris puluhan pabrik penghambur polutan.
 
Namun ternyata bukan seperti itu. Bukan hanya sapi jutawan pemilik pabrik yang dituduh menjadi biang kerok, bahkan sapi kere yang setelah dewasa bakal dipotong-pun termasuk terdakwa utama kasus perusakan ozon. Karena semua sapi --baik kaya ataupun miskin-- bersendawa dan mengeluarkan gas metana.
Inilah yang membuat saya untuk sementara ini menganggap para ilmuwan ini keliru. Karena seingat saya, sapi - sapi itu sudah hidup semenjak dulu, sementara kasus 'global warming' baru marak sepuluh tahun terakhir. Alangkah kasihannya para sapi, karena semasa hidup mereka menjadi tertuduh, dan setelah itu disembelih.
 
"Badut, anak - anak, dan musisi berbicara sebenarnya", begitu kata Bono, vokalis band U2 yang sering mengkritik para pejabat, politisi, dan kaum ningrat lainnya. Menurutnya, mereka sering melakukan kekeliruan yang sering disengaja, mungkin seperti kasus 'pengkambing-hitam-an' para sapi tersebut. Tentunya pendapat Bono ini tidak terkait dengan dakwaan yang dijatuhkan para ilmuwan terhadap para sapi. Pendapat Bono itu disampaikan jauh hari sebelum kejadian mengenaskan yang menimpa para sapi - sapi. Kala itu Bono mungkin kesal dengan segala kekeliruan yang banyak bertebaran.
 
Singkat cerita. hendaknya kita jangan lupa, bahwa manusia memang tempatnya khilaf. Biangnya salah. Namun, tentunya tidak harus berlarut - larut dan berakibat konyol. Hal itu tak boleh terjadi, karena manusia sejatinya adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Manusia adalah khalifah yang bertahta untuk mengemban misi Tuhan mengelola bumi. Bayangkan, apa jadinya kalo sang khalifah salah melulu dalam memandang / membaca dunia sehingga pola pikirnya salah. Tentunya ini bisa mengakibatkan kesalahan dalam bertindak, entah salah yang tidak disengaja; apalagi kesalahan 'njarag' (disengaja). Dan, bukankah sebuah lelucon apabila dalam suatu bencana malah menyalahkan pihak lain yang mungkin hanya bisa 'nrimo' sambil 'melenguh' ? Mooooooo................[] haris fauzi - 11 September 2009


salam,

haris fauzi

Wednesday, September 09, 2009

kenisah : ijtihad bagi pemula

IJTIHAD BAGI PEMULA

Aturan atau hukum dalam agama Islam pada dasarnya dibuat untuk mempermudah pelaksanaannya. Agar segalanya lancar, tidak berantakan, dan bermanfaat. Kata "agama" seingat saya berasal dari bahasa sansekerta yang artinya "tanpa kekacauan". "A" artinya 'tanpa' seperti a-nonim yang berarti 'tanpa nonim', dan "gama" artinya 'kekacauan'. Begitu menurut guru SMP saya.

Namun, dalam menyikapi pedoman – pedoman dalam agama Islam, seringkali secara awam kita akan melihat sebagai sesuatu yang saling bertentangan yang akan mempersulit pelaksanaannya. Sehingga tak jarang timbullah silang pendapat bersengketa tak keruan ujung - pangkal.

Sekali lagi, pendapat seperti ini seharusnya diluruskan, karena aturan dibuat bukan untuk mempersulit sebuah perkara. Dan, apabila memang pada akhirnya melahirkan sebuah kesulitan, maka bisa jadi sumber kesulitan itu adalah diri kita sendiri, bukan bermuasal dari hukum yang ada.


Taruhlah contoh dalam keutamaan sholat. Dalam Islam ada beberapa pedoman keutamaan pelaksanaan sholat. Yang sangat umum adalah bahwa sholat diutamakan dilaksanakan pada awal waktu. Di sisi hukum yang lain sholat dianjurkan untuk dilaksanakan berjamaah. Ada pula, pendapat yang menyampaikan bahwa seorang ibu diperkenankan menunda sholatnya apabila anak bayinya merengek minta disusui.

Nah, kejadiannya adalah seperti berikut. Adalah tiba waktunya azan dan saya sudah bersiap untuk mengambil air wudlu. Istri-pun demikian juga. Dan tiba – tiba anak bungsu kami yang masih bayi terjaga dari tidurnya dan minta disusui.

Tengoklah, dalam kasus ini, ketiga konstrain di atas akan saling bersilangan. Andai saya menjalankan sholat duluan, maka saya tidak akan berjamaah. Andai saya buru - buru berangkat ke mesjid, maka istri saya tidak akan bisa melaksanakan sholat jamaah karena di rumah kemungkinan berjamaah adalah dengan saya.

Namun, apabila saya dan istri nekad menjalankan sholat saat itu juga dengan berjamaah, maka 'hukum yang ketiga' dimana bayi harus disusui akan terlantar.


Untuk menyikapi hal diatas, kita perlu berpikir. Inilah gunanya otak. Maka setelah berpikir sejenak saya memutuskan untuk menunggu di ruang sholat, sementara istri harus mengenyangkan bayi dahulu sehingga bayi tersebut tenang dan bisa ditinggalkan sejenak untuk kemudian istri melaksanakan sholat berjamaah dengan saya. 

Waktu pelaksanaan sholatnya memang sedikit tertunda barang sekitar lima belas menit. Tetapi inilah yang saya putuskan untuk dikerjakan setelah menimbang – nimbang dan memaknai semua hukum yang ada. Sholat tersebut akhirnya memang tertunda, dan saya 'menunggu'. Dalam keadaan seperti ini, --menunggu orang lain untuk pelaksanaan sholat,-- pahalanya sama dengan sholat itu sendiri. Begitu ujaran guru spiritual, bukan pendapat saya pribadi.

Memahami sebuah hukum dalam konteks kekinian dan aplikasi keseharian memang bisa jadi mutlak diperlukan. Untuk itulah Tuhan meng-anugerah-kan otak kepada manusia. Pemahaman seperti ini mungkin yang biasa disebut sebagai 'ijtihad'.

Tentunya 'ijtihad' yang dijalankan oleh para alim-ulama tidaklah sesederhana apa yang saya lakukan di atas. Ijtihad, menurut kamus besar bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta artinya kurang lebih adalah "memahami dan menafsirkan menurut pendapat pribadi". Sementara menurut pakar Islam Profesor Abubakar Atjeh dalam bukunya "Salaf" sekilas arti 'ijtihad' adalah "mengambil pengertian dan memahami sumber hukum yang akan dijalankan".

Menurut ulama besar, berijtihad dengan otak ini berpahala ganda. Pahala yang pertama adalah telah menjalankan ijtihad itu sendiri dengan mendayagunakan otak secara optimum sebagai karunia Tuhan. Dan bila keputusan 'ijtihad'-nya benar, maka dia mendapat pahala kedua. Inilah pahala ganda itu.
Namun bila keputusannya salah ? Dia cuma mendapat satu pahala dari hasil 'panen' ber-ijtihad, Sementara kesalahan yang terjadi adalah akibat ketidak-tahuannya.

Kekurangan terbesar dalam urusan pemahaman pribadi seperti ini adalah adanya subyektivitas yang kadang – kadang menjurus kepada pembelaan sepihak. Dijalankan untuk mencari pembenaran. "Dipelintir", gitu istilah orang sekarang. Ini yang salah dan bakal menimbulkan masalah besar. Bila kita merujuk pada paragraf awal tulisan ini, maka, tengoklah, bahwa permasalahan terbesar adalah berasal dari kita karena 'mengulik' hukum yang ada untuk mencari keuntungan pribadi secara sepihak. Mencari pembenaran yang sejatinya adalah kesalahan.

Untuk mengantisipasi ini, sejatinya jangkar manusia dalam bertindak adalah pada nurani. Hati nurani seseorang secara fitrah memiliki kemampuan mengatakan 'benar' untuk hal yang benar, dan mengatakan 'salah' bila memang hal itu salah.

Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Muhammad tentang bagaimana caranya mengetahui bahwa sesuatu tindakan itu 'benar' atau 'salah'. Muhammad hanya berujar," Jawaban pertanyaanmu itu tidak ada dalam diriku. Jawabannya ada dalam dadamu. Apabila dadamu menolak tindakan tersebut sehingga bergejolak dan membuatmu tidak tenang, maka tindakan itu adalah kesalahan…". [] haris fauzi – 9 september 2009




salam,

haris fauzi

Wednesday, August 26, 2009

kenisah : tarawih memiliki jeda

TARAWIH MEMILIKI JEDA

Inilah 'kisah petualangan' saya dalam melaksanakan sholat tarawih. Jaman SD sampai SMP saya berkesempatan mengikuti shalat tarawih di mesjid - mesjid. Sebagian besar karena mengikuti kemana Bapak pergi menjadi imam. Maklumlah, Bapak saya tentara, tetapi musuhnya setan. Begitu istilah rekan - rekannya. Hal ini adalah karena Bapak infanteri 'jurusan' kerohanian, bukan ngurusin perang semacam operasi Timor - Timur yang kala saya SD sangat marak yang mana kebanyakan relasi Bapak seringkali ditugaskan ke wilayah konflik dengan Fritilin tersebut. Dan karena jurusan kerohanian, maka Bapak lebih sering berurusan dengan sejumlah mesjid ketimbang dengan tangsi dan barak. Mungkin ada sekitar dua - puluhan mesjid yang musti dia satroni dalam sebulan Ramadhan.

Pada masa itu, sekitar tahun 80-an, seingat saya Bapak menerapkan dua ragam sholat tarawih. Yang pertama adalah delapan rakaat yakni empat kali sholat dengan masing - masing dua rakaat. Dan satunya lagi adalah --delapan rakaat juga-- namun terdiri dari dua sholat yang masing - masing terdiri dari empat rakaat.

Saya ingat betul, bagaimana Bapak musti mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjadi imam di sebuah mesjid. Beliau sering datang lebih awal untuk sekedar bertemu dengan para pengurus mesjid dan lantas menanyakan,"..disini tarawih seperti apa ? ...dua rakaat salam, atau empat rakaat salam ?".

Pertanyaan yang lain yang diutarakan Bapak kepada para pengurus mesjid diantaranya adalah bagaimana urutannya, apakah isya - tarawih - khutbah- baru witir, ataukah witir dulu baru khutbah. Ataukah khutbah dilakukan setelah sholat isya. Ini semua tergantung kultur mesjid masing - masing. Mau empat - empat, mau dua - dua, atau mau khutbah dulu, what-ever-lah. Dan Bapak saya biasanya mengikuti kehendak mereka.

Ketika Bapak berdialog dengan pengurus mesjid, saya biasanya bercengkrama dengan sesama anak - anak biang ribut di mesjid, berlarian kesana kemari melecut - lecutkan sarung dan melempar kopiah. Kadang membikin heboh dengan menyalakan mercon di teras mesjid dan berebut memukul bedug. Kadang pula saya minta diajari puji-pujian atau bacaan niat puasa yang dilagukan,"Nawaitu...shauma...", yang seperti itu. Yah, namanya juga anak - anak, maunya bersenang -senang walau di mesjid sekalipun.

Sayangnya saya belum pernah tau persis bagaimana komentar Bapak bila atau ketika diminta menjadi imam tarawih yang belasan (atau dua puluh  ya ?) jumlah rakaatnya. Memang ada lagi macam tarawih yang konon dipopulerkan oleh Umar bin Khaththab, yakni yang jumlahnya --kalo nggak salah-- dua puluh rakaat. Setau saya Bapak belum pernah melakukannya,  namun dia membiarkan ketika mengetahui saya pernah melakukannya. "Silakan saja.... Asal jangan terburu - buru...musti tetep dijaga kekhusyukannya...dan ada jarak antar sholat, ....", hanya begitu komentarnya ketika saya suatu kali melakukan paket sholat tarawih yang 'likuran' itu.

Semenjak masa SMA yang mana jarak jangkau saya makin melebar kemana - mana, maka makin beragam-lah sholat tarawih yang saya jalani. Maklum, kadang saya menjadi makmum dari Bapak, kadang saya kluyuran ke mesjid lain bareng teman, termasuk dimana saya beberapa kali mengikuti sholat tarawih di mesjid yang menerapkan banyak rakaat. Dan tentunya pula tak jarang sholat tarawih sendirian. Ternyata sholat tarawih sendirian semacam inilah yang bikin males dan sableng. Kalo kala itu lagi kumat malesnya, saya sholat tarawih delapan rakaat sekali hajar, sekali salam. Trus, sholat witirnya cuma satu rakaat. Maklum, saya berpegangan bahwa witir adalah ganjil penutup. Maka saya pakai angka satu rakaat.

Itu kalo sableng. Kalo pas lagi otaknya bener, saya menunaikan tarawih di mesjid, namun menunda witir, dengan harapan sebelum sahur saya masih bisa mengerjakan dua kali shalat tahajjud dan lantas di tutup tarawih tiga rakaat. Kayaknya ritual yang inilah yang paling menggembirakan Bapak saya. Kelihatan alim gitu. Hahahahaha. Gimana enggak ? Habis berbuka, langsung tancap ke mesjid. Pas mau sahur, berwudlu dan sholat dulu. Habis gitu ditambah sholat fajar sebelum subuh. Alim kan ?...hihihihihi....

Tentang ritual sholat tarawih di mesjid, saya juga ingat bagaimana Bapak tetap 'menjaga' agar bisa beberapa hari melaksanakan sholat tarawih di rumah. Maksudnya, dalam sebulan Ramadhan tidak semua tarawih dikerjakan di mesjid - mesjid.

Memang, karena dalam beberapa referensi menyatakan bahwa Nabi Muhammad melakukan sholat tarawih kebanyakan di rumah. Sementara Umar bin Khaththab mempopulerkan sholat tarawih di mesjid. Untuk ihwal ini beberapa kali Bapak dilanda dilema, ketika banyak permintaan untuk menjadi imam di suatu Ramadhan, sehingga hal ini mungkin tidak menyisakan satu hari-pun untuk tarawih di rumah. Menolak menjadi imam adalah kemustahilan, bukan ? Akhirnya biasanya Bapak menghendaki sekitar tiga sampai lima hari guna sholat tarawih di rumah, terutama pada tanggal satu Ramadhan.

Tarawih adalah sholat malam yang dilaksanakan di bulan Ramadhan. Kita semua tau itulah. Dari makna bahasa kurang lebih arti kata 'tarawih' adalah 'jeda' atau 'rehat'. Itulah kenapa ritualnya tidak bisa dilakukan dengan terburu - buru. Karena banyak rakaatnya, maka diperlukan jeda waktu diantara sholat-sholatnya. Istirahat untuk menarik nafas panjang. Gitu istilahnya. Mangkanya beberapa mesjid mengumandangkan do'a diantara sholat tarawih. Kurang lebih isi do'anya begini :"Subhanna malikil kudus, robbuna wa robbulmalaikatiwaruuuh...". Salah satu manfaat do'a ini adalah memberikan waktu jeda antara pelaksanaan sholat - sholat tarawih.

Karena berarti 'jeda', maka Bapak --yang menerapkan delapan rakaat tarawih-- favoritnya adalah melaksanakan sebanyak dua rakaat kali empat sholat. Artinya, makin banyak pula jedanya. Memang, Bapak selalu tidak terburu - buru dalam melaksanakan tarawih. Ketika selesai salam, beliau duduk sebentar, komat - kamit sebentar --membaca do'a tadi--, baru berdiri lagi untuk menegakkan sholat tarawih berikutnya. Ya karena berlandaskan definisi di atas bahwa sholat tarawih sebaiknya memiliki jeda antar sholatnya. Secara awam, jeda ini bermanfaat untuk mengurangi perasaan 'kebut-kebutan' yang mengganggu kekhusyukan.

Dan karena sholat tarawih itu terbilang cukup banyak rakaatnya, maka pula, konon Umar bin Khaththab menginginkan dilaksanakan berjamaah di mesjid. Selain untuk memakmurkan dan meramaikan mesjid sekaligus merapatkan barisan ummat, dengan sholat tarawih berjamaah, semuanya jadi lebih ringan. Kalo nggak percaya silakan ukur sendiri. Ringan mana antara sholat tarawih sendirian dibanding berjamaah. Suer. Sholat tarawih sendirian bakal lebih capek.

Dalam sebuah alasan, mengapa Rasul Muhammad tidak melaksanakan tarawih di mesjid, maka Muhammad menyampaikan bahwa dia khawatir tarawih akan dijadikan sebagai sholat wajib,"...karena tidak semua ummat-ku mampu melaksanakan sholat sebanyak itu...". Nah, begitulah kurang - lebihnya mohon maklum. [] haris fauzi - 26 agustus 2009

salam,

haris fauzi


Monday, August 24, 2009

kenisah : pasar sebelah

PASAR SEBELAH

Semenjak kecil saya tinggal di kampung Kesatrian. Rumah kami berbatasan dengan kampung sebelah, --hanya berselisih tiga rumah-- terpisahkan oleh jalan raya yang mana di sebelah timur adalah kampung bernama Bunulrejo. Kampung kami sendiri bernama Kesatrian. Disebut kesatrian karena memang tempatnya tentara --'satria'--. Banyak tangsi militer, mulai dari kavaleri yang hampir setiap seminggu sekali menggiring tank dan panzer melintas depan rumah, ada juga batalion infanteri yang hampir setiap pagi serdadunya berlarian sambil bernyanyi. dan tak lupa juga, Di kampung kami berdiam sepasukan penyandang nama serem, Korps Polisi Militer. Loreng putih istilah teman – teman. Ketika berombonan tentara itu silih berganti lewat di muka hidung kami laksana karnaval, maka pertunjukan paling eksotis adalah rombongan tank dan masa perploncoan calon serdadu yang jadi tontonan gratis masyarakat sekitar tangsi. Sementara hal yang paling terngiang adalah bunyi terompet pergantian regu jaga. yang bisa kami dengar sebelum kami memejamkan mata.

Bila kampung kami lebih bersifat 'tentara', maka kampung sebelah lebih bersifat 'publik', karena Bunulrejo memang memiliki kekuatan infrastruktur kebutuhan masyarakat, mulai dari pasar, tempat ibadah berupa sejumlah mesjid dan mushola, sekolahan dasar negeri, pemukiman, hingga pekuburan Ngujil yang cukup kondang.

Bila bicara tentang pasar, maka pasar Bunul jawabnya–demikian kami memanggilnya. Hampir setiap pulang sekolah saya lewati. Blusukan di pasar nan becek untuk mencari sabut kelapa bakal prakarya, misalnya. Atau sekedar mampir lewat mengantar teman pulang sekolah, karena kebetulan beberapa teman bermukim di sepanjang jalan belakang pasar itu.

Bapak tidak terlalu suka andai saya keseringan melintas pasar, konon, pasar banyak setannya. Memang kumuh sih. Becek, karena air tergenang di sana – sini, bau anyir daging. Dan warna tiang hijau lumutnya yang kusam itu berikut pagar kawat berduri yang sudah tidak lurus lagi yang membatasinya dengan area parkiran yang semrawut penuh becak membuat makin pekat.

 

Ada beberapa ikon yang saya ingat ihwal pasar Bunul tempo lalu. Ada penjual tempe yang berada di tengah pasar. Habis subuhan, sering saya disuruh ibu untuk membeli tempe di pagi buta. Saya sendiri masih ngantuk sehingga sering tersaruk kubangan membuat kaki ini berlumpur di sela jemari kaki. Mungkin saya termasuk pembeli pertama kala itu, soalnya Sang Penjual tempe sering kedapatan melecut – lecutkan uang dari saya ke dagangannya sambil berujar,"…laris….laris…".

Tidak jauh dari situ ada penjual kue lupis, namun dia berdagang lebih siang di banding tukang jual tempe . Sementara penjual daging dengan timbangan kuningan yang entah bagaimana peneraannya, asyik membanting – banting hewan potong lantas menghajarnya dengan pisau besarnya, yang menghunjam ke tatakan kayu tebal menghasilkan suara yang khas.

Area tengah pasar merupakan pusat perdagangan sayur – mayur. Ada bedak – bedak yang terbagi – bagi berdasar blok, namun tak sedikit yang berdagang di jalanan antar blok bedak. Aturan blok mungkin sudah tidak ditepati lagi. Rasanya tidak dikelompokkan. Asal bedak aja. Contoh menyolok yang anomali salah satunya adalah seorang keturunan Arab, kami memanggilnya 'Pak Bakar', yang berdagang buku pelajaran diantara penjual sayuran. Letaknya memang di pinggir, tetapi tetap saja berbaur. Hanya dia sedikit 'lebih elit' karena bersebelahan dengan warung kopi sehingga lahan depannya tidak becek. Selain berjualan buku pelajaran sekolah, juga berjualan kitab turutan (juz-amma), yasiin, buku tulis, dan kaos oblong.

 

Blok – blok pasar Bunul dikelilingi oleh semacam deretan toko. Di deretan toko yang hampir belakang, ada saudagar kulakan yang cukup sukses, namanya Pak Hadi. Kami sering memanggilnya "Lek Di". Tokonya terkenal dengan julukan pemiliknya;  toko 'Pak Hadi'. Anaknya adalah teman sekolah adik bungsu saya. Anaknya bernama Hadi juga. Memang beberapa pedagang pasar itu menyekolahkan anaknya di mana saya juga bersekolah. Seperti juga hal-nya seorang Bapak yang berjualan pinsil, benang, dan layangan yang seingat saya membuka toko bernama "Restu". Anak pemilik toko Restu itu bernama Pur, kawan sekelas adik perempuan saya. Kami sering menyebutnya toko-nya "Pur".

 

Dalam paradigma kekinian, tenda penjual es campur berada di luar kompleks pasar, di dekat pangkalan becak. Namun, kala jaman dulu, siapa peduli dengan teritorial pasar ? Dia berjualan di depan sebuah kios. Saya memanggilnya kios "Anyong". Yang punya kios orang Tionghoa bernama panggilan Anyong. Saya beberapakali diajak Ibu berbelanja jajanan kering di Anyong. Dan bila sore hari menyengat panasnya, Bapak sering menyuruh kami berangkat membawa rantang untuk membeli es campur di depannya.

 

Seingat saya ketika kelas enam SD, --sekitar tahun 1980-- rupanya diadakan 'peremajaan' pasar. Kami mendengar beberapa dinamit yang diledakkan untuk membongkar pondasi tiang pasar. Konon, pasar ini semula bikinan belanda, dengan kualitas bangunan kolonial yang lumayan kokoh sehingga dibutuhkan beberapa dinamit untuk merobohkannya.

Dipugar, itu istilah orang – orang sembari menjelaskan lokasi baru para pedagang pasar Bunul. Paska pemugaran, pasar Bunul menjadi keren –berwarna krem--, tidak becek lagi. Cuma atapnya relatif lebih rendah. Memang beda, ketinggian badan standar kolonial dengan standar bangsa kita yang lebih pendek

 

Tidak berbeda jauh. Kenyamanan pasar baru itu tidak bertahan lama. Pasar itu kembali ke keadaan semula, walaupun tidak sejorok dulu, namun tetap saja berubah menjadi gelap, entah kenapa. Mungkin karena atapnya sudah banyak ditimpa atap - atap tambahan yang kebanyakan berupa terpal plastik. Atau lampu - lampu yang mulai ada yang putus bohlamnya.

Perkembangan jaman membawa pengaruh juga. Sekitar tahun 90-an, melintas-lah angkutan kota di jalan raya yang memisahkan kampung kami. Suasana menjadi bertambah ramai, pasar menjadi hidup hingga larut malam pasih ada pengunjung, walau cuma berbelanja di deretan toko depan. Banyak orang yang bisa meng-akses pasar Bunul menjadikannya lebih metropolis. Bahkan tahun dua ribuan entah sudah berapa jalur angkutan kota melintasnya sehingga perlu dibuat terminal di samping pasar itu. Wah. Sungguh hiruk pikuk.

Jaman kuliah, tahun sembilan puluhan, saya dan teman – teman kampung beberapa kali nongkrong di bedak tukang wedang jahe. Kadang hingga larut malam. Nongrong bareng dengan para tukang becak. Namun semenjak banyak angkutan kota, maka tak ayal lagi disitu ada terminal, maka yang dominan disitu adalah para sopir angkutan kota .

 

Awal tahun kemarin saya sempat pulang ke Malang . Ada apa lagikah yang berubah dengan pasar Bunul ? Banyak. Angkutan kota semakin banyak. Bahkan akses ke kuburan juga ada. Praktis lahan terminal semakin berjubel. Sementara pasar sudah tidak saya kenali dengan baik siapa yang bercokol disitu. Toko kulakan milik Lek Di konon sudah tidak sesukses dulu lagi. Mungkin kalah bersaing dengan darah segar, semacam toko Tulik yang kompetitif harganya, walaupun toko Tulik tidak berada di dalam pasar. Atau juga bisa jadi karena munculnya beberapa toko waralaba disitu. Tukang es campur sudah tidak ada. Tapi toko Anyong masih berjualan, anaknya yang meneruskan. Mungkin ada beberapa lagi.

 

Ada yang berubah, ada pula yang tetap. Dan saya juga tidak terlalu faham. Mengapa saya 'menjadi' tidak faham ? Tak lain karena saya juga berubah. Saya semakin jarang melintas pasar itu, yang otomatis menyingkat memori pikiran saya. Dan saya kira, Anda-pun juga berubah, walau bisa jadi Anda kurang faham ihwal pasar itu. Buat apa memahami fenomena pasar itu ? hahahaha....Bagi saya hal itu banyak gunanya. Maka dari itu, tulisan ini saya buat.

Adakah pasar di dekat tempat tinggal 'masa kecil' Anda ? Bila ada, cobalah untuk menuliskannya, atau setidaknya mengingat - ingatnya. [] haris fauzi - 24 Agustus 2009



salam,

haris fauzi