Friday, June 29, 2007

kenisah : dalil

DALIL



Dalil itu bisa diartikan menjadi semacam pedoman, kalo Mas Jalil itu tetangga saya di Malang sono, dulu. Dia seangkatan maen dengan Mas Budi Bachtiar. Mas Budi ini orang hebat di kampung saya, soalnya dia ini yang menciptakan lagu 'Sesaat Kau Hadir' dan melambungkan penyanyinya jadi penyanyi top : Utha Likumahuwa. Nah, kalo nggak salah Mas Jalil jadi tentara, tetapi kumisnya tetep aja dipelihara mirip Freddie Mercury, vokalis Queen.



Entah disebut dalil, ... entah disebut azas, ... entah disebut slogan atau semboyan....entah apa saya juga kurang ngerti istilahnya yang tepat. Mungkin bagi sebagian orang malah bisa jadi disebut'mantera', macam alakazam sahaja. Padahal istilah mantera jelas - jelas nggak cocok untuk bahasan ini. Soalnya saya hendak menulis sedikit yang saya tau tentang 'AmarMa'ruf - NahyMunkar', dan 'Ikhlas Bermanfaat'. Baiklah, dengan segala keterbatasan saya, maka saya nisbatkan untuk memakai istilah 'dalil'. Bukannya alasan kenapa, tetapi kata ini lebih menarik, apalagi untuk menjadi judul tulisan pendek.



Saya pernah dengar kutbah tentang hal 'AmarMa'ruf - NahyMunkar'. Beberapa kali malah. Salah satunya dibawakan oleh H.Amien Rais. Uniknya, tidak seperti pakem penceramah biasanya, orang yang cukup revolusioner ini sedikit melakukan improvisasi dengan menjadikan sebaris kalimat sebagai berikut :' Amar Ma'ruf dan NahyMunkar', atau seringkali menyampaikan sebagai 'AmarMa'ruf melalui NahyMunkar', begitu kalo saya nggak salah dengar .

Arti sebenarnya dari 'AmarMa'ruf' setau saya adalah 'mengajak ihwal kebajikan', sementara 'NahyMunkar' artinya adalah'mencegah atau menjauhi keburukan'.



Oleh karena mengapa Pak Amien menambah kata 'dan' seperti itu ? .... Atau kadangkali beliau menambahkan dengan kata 'lewat atau melalui', dimana kalimat itu akhirnya menjadi 'mengajak kebajikan' melalui 'mencegah keburukan'. Jawabannya mungkin setiap orang bisa menebak masing - masing. Tetapi menurut saya, mungkin karena beliau gemas. Ini baru dugaan saya saja. Gemasnya gini, kebanyakan kaum muslim lebih suka menggunakan dalil 'AmarMa'ruf' saja, namun tidak punya nyali ketika harus ber-'NahyMunkar'. Karena nggak berani, maka nggak dijalankan. "Pengajian banyak digelar, tetapi korupsi dan prostitusi dibiarkan saja lalu lalang didepan mata", begitu kata Pak Amien.

Memilih yang gampang, itu sih sudah manusiawi. Saya juga kalo pas ujian pasti berusaha mengerjakan soal yang lebih mudah dahulu. Tetapi dalam hal ini mungkin konteks-nya berbeda.



Mungkin memang lebih gampang untuk mengajak pengajian atau berbuat baik - amal kebajikan. Dan memang sudah kebayang betapa sulitnya untuk melawan kebobrokan. Saya memaklumi laku manusiawi memilih yang gampang. Di lain sisi saya juga membenarkan apa yang dikemukakan Pak Amien. Bahkan saya sangat setuju. Pada dasarnya Pak Amien menyatakan sebuah kesempurnaan dalam berprinsip. Dan seperti yang saya baca dan dengar dari bermacam - macam dongeng, biasanya memang kebaikan sendiri tidak akan berwibawa selagi wajah keburukan tetap merajalela. Sisi terang tidak akan mencapai kesempurnaan ketika masih ada sisi gelap, gitu istilah filsafatnya. Atas dasar inilah pak Amien berpendapat kalimat AmarMa'ruf harus dan mutlak disertai dengan NahyMunkar. Dalilnya gitu menurut beliau. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya Anda menghubungi penasehat spiritual masing - masing.



Ikhlas ? Nama adik saya Akhlis, artinya ya itu tadi; ikhlas. Lantas apa artinya ? Hampir orang mengerti apa arti ikhlas ;-- tanpa pamrih, tanpa ngedumel, tanpa minta imbalan. Pemberian dengan ikhlas artinya pemberian tanpa mengharap imbalan. Seperti angin lalu. Sampai - sampai ada istilah yang berbunyi ;'....Nyumbang sedikit yang penting ikhlas...'. Dimana akhirnya berkembang menjadi sinisme ; '...Ngapain nyumbang kalo ternyata tidak ikhlas ?'. 'Mendingan gue dong, ikhlas tidak menyumbang...'. Waduh.

Istilah - istilah ini sebenernya malahan melemahkan semangat dalam menyumbang. Secara langsung mencerminkan sikap 'pelit'. Seakan - akan lebih baik tidak menyumbang ketimbang nyumbang tapi ngedumel. Mungkin ada benarnya juga. Tapi lebih banyak salahnya. Soalnya para pengemis dan yatim piatu itu butuh donasinya -- butuh materinya, semantara faktor ikhlasnya ya buat sang penyumbang. Ikhlas itu bakal mendapat pahala. Pahalanya buat sang penyumbang. Bingung kan ? Saya juga rada bingung, mangkanya menuliskan hal ini. Dugaan kuat saya adalah, nyumbang itu tidak ada artinya bagi sang penyumbang apabila dia tidak ikhlas -- dia tidak menuai pahala menyumbang. Lha sementara donasinya --biar ikhlas atau nggak ikhlas-- ya tetep aja bisa mengenyangkan perut orang lain. Tapi pahala itu bisa diganti dengan doa. Maksud saya gini, bila yang saya beri donasi itu satisfied lantas mendoakan kebaikan buat saya, tentunya itu keuntungan buat saya. Walau sebenernya saya nyumbangnya gak ikhlas dan lantas gak dapat pahala atas keikhlasan tadi. Ruwet memang sih.



Saya teringat apa yang pernah disampaikan oleh Kakek saya. Sungguh tertarik saya dengan hal itu, yakni bahwa kata ikhlas itu harus diikuti dengan azas manfaat. Mungkin tidak ada artinya sama sekali bila kita dengan ikhlas menyumbangkan seluruh sampah kita kepada seseorang. Asli ikhlas, tetapi yang diberikan tidaklah mengandung unsur manfaat sama sekali.

Atau ada contoh hal lain, yakni menyumbang segalon khamar (minuman memabukkan), misalnya. Biarpun ikhlas sampai dasar hati, tapi rupa wujud yangdiberikan mengandung kemaksiatan. Mungkin yang menerima bisa menjualnya dan mendapat duit lantas bisa dibelikan telor asin untuk anak bungsunya, ..... atau galon maksiat itu dia nikmati sekalian bercengkrama dan memupuk persaudaraan dengan para tetangga seper-mabuk-an. Walaupun telor asin itu menyehatkan, walaupun bersaudara itu anjuran Islam, namun tetap saja pada prinsipnya minuman khamar dalam Islam adalah haram. Selain haram (dilarang) diminum, juga haram untuk diperjual-belikan. Tidak bermanfaat babar-pisan.



Dua contoh dalil diatas, yakni dalil AmarMa'ruf NahyMunkar' dan dalil 'Ikhlas Bermanfaat' ini ternyata menemui rintangan dalam penerapannya. Dan, akhirnya sedikit dipelintir atau dikerjalan yang gampang dulu. Mungkin ini cerminan kualitas manusia Indonesia, tetapi hal itu tidak lantas dibiarkan begitu saja, musti diperbaiki. Yang susah memang metode memperbaikinya gimana dan pake apa ? Mungkin hal ini adalah episode kebingungan berikutnya yang membingungkan. Soalnya saya juga bingung, mangkanya menghentikan tulisan ini. Atau...sepatutnya Anda melanjutkan tulisan ini ? [] haris fauzi - 29 Juni 2007



salam,
haris fauzi




majalah solid

situs keluarga

kolom kenisah




Finding fabulous fares is fun.

Monday, June 25, 2007

kenisah : nyontek & ngerepek

NYONTEK DAN NGEREPEK
 
Jaman kuliah dulu, ketika ujian umum menjelang, saya sering berharap ujian yang dilakukan adalah 'open book', sifatnya 'buka buku'. Saya memang lebih senang seperti ini, yang penting tau referensinya--lantas bisa jawab. Soalnya kalo hafalan saya suka puyeng. Saya bisa menghafal banyak hal, tetapi rentang waktunya cuma sebentar. Seringkali ilang begitu saja. Mangkanya kesana kemari saya sejak kecil sudah biasa membawa buku dan bolpen buat mencatat sesuatu yang saya anggap penting.
 
Apabila memang harus ujian closed book, yang saya lakukan menjelang ujian adalah pagi hari menghafal materi ujian sebanyak - banyaknya. Dengan keyword atau hints tertentu. Nah, begitu soal dibagikan,  yang saya lakukan pertama kali adalah menumpahkan segala yang saya hafal tadi di halaman belakang lembar soal. Kalau sempat kasak - kusuk dulu, musti langsung ditulis ke lembar soal. Kalau ada contekan rumus dari kalkulator, langsung dipindah dulu, lantas memori yang di kalkulator dihapus dengan segera.
Ditulis di lembar soal tidak menimbulkan masalah. Kalo ditanya oleh pengawas, ya memang saya yang membuat, tapi hal itu bukan kesalahan. Toh lembar soal itu dibagikan barusan. Kata teman saya, kelakuan ini namanya 'ngerepek setengah - setengah'. 'Ngerepek' itu bahasa jawa, artinya membuka catatan illegal untuk menjawab soal ujian. Diam - diam. Saya terus terang jarang ngerepek langsung, soalnya saya juga takut ketahuan bila ada razia. Lha kalo ketahuan ngerepek atau nyontek resikonya adalah digugurkan seluruh SKS semester  tersebut --kontan, kan bikin grogi. Ngerepek ada buktinya, sementara menyontoh / menyontek  tidak ada buktinya kecuali tertangkap basah dan sang partner nggak loyal.
 
Kalo jaman SMA saya sering menyontek teman. Yang penting menjaga relasi. Biasanya teman itu mau memberikan jawaban cenderung berprinsip barter. Nah, ini yang saya seringkali kerepotan. Saya pengennya dapet contekan dari teman yang pintar, sehingga jawabannya benar - benar 'benar'. Repotnya adalah ketika sang teman pintar itu bertanya jawaban satu soal misalnya, saya bisa jadi gak bisa menyelesaikan soal itu juga. Soalnya 'kan saya lebih goblog.  Jadi nggak ada yang bisa dibarterkan. Solusinya ya itu tadi, yang penting menjaga hubungan baik saja. Entah sebelumnya dipinjemin kaset, atau ngobrol baek - baek, apa ajalah... Soalnya dalam ujian saya tidak terlalu berani 'ngerepek' , saya lebih memilih menyontek teman. Lebih aman. Apabila ulangan harian, saya lebih berani untuk meminta contek jawaban atau ngerepek sekalian.
 
Jaman SMP saya jarang sekali menyontek  dan ngerepek karena memang takut, sementara jaman SD saya tidak pernah menyontek karena tanpa menyontek saya sudah menjadi juara kelas. Idem dengan jaman SMA, ketika SMP saya lebih berani melakukan kecurangan saat ulangan harian, bukan ujian. Selain ngerepek dan nyontek, sebelum ulangan harian saya sering berburu kisi - kisi soal. Kadangkala para guru memberikan ulangan harian dengan soal yang sama di kelas dan hari yang berbeda. Sukur - sukur bisa dapet jawabannya sekalian. Ini bukan kesalahan fatal murid, selama dia bisa menjawab tanpa nyontek dan tanpa ngerepek. Lain perkara bila bocoran jawaban yang ditulis di paha lantas dibuka saat ulangan.
 
Suatu hari, pagi 'umun - umun' pernah sudah saya kumpulkan semua rekan satu kelas, lantas saya memaparkan 'bocoran jawaban' ulangan yang bakal turun hari itu. Paparan jawaban itu saya tulis dipapan tulis dan direspon teman sekelas. Ada yang menuliskan di meja, di tangan, di paha, dan ada yang menghafalkannya. Padahal apa yang saya sampaikan itu saya bikin ngawur. Saya hanya tau bahwa ulangan yang bakal ada nanti soalnya 30 butir dan sifatnya pilihan berganda,... tanpa ada bocoran soal, tanpa ada bocoran jawaban. Jadi saya bikin bocoran palsu  untuk 30 soal a-b-c-d ngawur sengawur - ngawurnya saja. Hasilnya, jam pulang siang saya disumpah - serapah oleh teman - teman satu kelas. 'Bocoran gombal !", kata mereka.
 
Apa bedanya dengan jaman sekarang ? Kabarnya, dalam ujian - ujian sekolah sekarang, nyontek dan ngerepek itu sudah sistematik. Maksudnya gini, seringkali sang murid mendapat contekan malahan dari gurunya. Bisa jadi gurunya mengirimkan SMS jawaban ke anak didik yang dikehendaki. Padahal menurut sistem ujian,  'kan seharusnya guru adalah pengawas ujian. Biasanya hal ini bisa terjadi karena orang tua murid punya kuasa duit, sementara guru punya kuasa materi ujian. Sang orang tua murid menawarkan upah, lantas sang guru memberi jaminan dan dengan sekuat tenaga memberikan jawaban sebayak - banyaknya agar nilai sang bocah bisa bagus. Kadangkala transaksi penawaran dan permintaannya adalah bocoran soal. Namun saya pernah dengar juga transaksinya adalah jual beli nilai tanpa pandang soal dan jawabannya. Hal ini kabarnya terjadi di banyak tempat dan di banyak kesempatan.
 
Ada yang bilang itu kegiatan segelintir oknum, tetapi gosipnya --ya itu tadi-- praktek seperti ini sudah dijalankan secara sistematik. Maksudnya gosip itu mungkin seperti gini; bocoran soal dan jawabannya sudah dikoordinir oleh beberapa guru --mungkin malah melibatkan kepala sekolahnya sekalian--  untuk banyak siswa. Melibatkan kegiatan yang sistematik seperti ini tentunya sudah bukan pekerjaan oknum. Apalagi ada badan pengawas ujian yang --katanya-- hendak menegakkan wibawa pemerintah selaku penyelenggara pendidikan nasional. Harusnya gak mungkin hal ini terjadi. Harusnya. Karena bila hal tersebut memang terjadi, dampaknya sangat mengerikan.
Terus terang saya tidak tau kebenaran gosip tersebut --tetapi bolehlah saya mengungkapkan rasa prihatin berkaitan dengan hal tersebut. Dan saya berdoa semoga hal itu tidak menjadi kenyataan......[] haris fauzi - 26 Juni 2007


salam,
haris fauzi
 


Finding fabulous fares is fun.
Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel bargains.

Friday, June 22, 2007

kenisah : akustik

AKUSTIK

Oh - thinkin' about all our younger years
There was only you and me
We were young and wild and free
Now nothin' can take you away from me
We've been down that road before
But that's over now
You keep me comin' back for more


.....

( Heaven - B. Adams & J. Vallance )



Entah kenapa dan entah salah siapa. Seringkali --terutama akhir - akhir ini-- saya merasa seneng banget mendengarkan musik akustik. Walau ternyata dalam komposisi itu masih ada beberapa suara yang 'nggak akustik' lho ya. Bagi saya, prinsip akustik lebih kepada kesederhanaan. Ini bisa jadi kontradiksi. Karena sebenernya saya menyukai musik yang kompleks, full band. Kalao perlu ada dua gitaris, dua keyboardis, dua drummer seperti konser Yes UNION. Lebih asyik lagi bila diimbuhi dengan orkestrasi dan bunyi - bunyian etnik ala bikinan Peter Gabriel. Dan, biasanya ... saya menyukai lagu kompleks yang panjang durasinya.... mungkin bisa mencapai tiga puluh menit seperti lagu 'Supper's Ready' karya Genesis. Itu kalau lagi menggilai musik kompleks yang lazim disebut progresif rock.



Tetapi lagu akustik yang cuma tiga menitan itu ternyata bisa membuat saya kepincut juga. Album Bryan Adams 'Unplugged', memaksa saya ikut bersenandung, terutama di dua lagu : 'Heaven' dan 'Summer 69'. Video pertunjukan Eric Clapton Unplugged membuat saya terbengong - bengong akan kelembutan jemarinya. Cepat namun lembut. Nyaris nggak ada bunyi yang 'slendro'. Saya yakinkan bahwa pasti anda semua akan terkesima dengan performa Clapton. Lantas album karya jagoan mabok Nirvana 'MTV Unplugged', mendorong saya untuk mengenang almarhum Bapak saya. Dulu suatu kali kami berdua sempat nonton saat disiarkan oleh salah satu TV swasta. Beliau menyukai gaya pukul drummer-nya yang memakai gagang pukul kayak kuas itu.



Memang kadangkala tren musik itu berputar ke masa lalu. Dan demikian juga dengan selera bermusik hampir semua orang. Saya ingat benar ketika rilis album Fariz RM yang berjudul 'Livin' In The Western World', yang menjadi pemicu penggunaan perangkat digital di musik pertiwi. Dahsyat. Saat itu saya duduk di bangku SMA. Hampir semua band teman saya berlomba - lomba menjadi aplikator perangkat MIDI. Kalo nggak salah singkatan dari Music Instrument Digital Interface.



Namun, di awal milenium, --yang katanya menjadi tonggak abad teknologi nano-- tren musik malah kembali ke jaman kuno : Akustik dan...Konserto. Yang akustik pakai gitar bolong, yang konserto pake konduktor dan ensambel komplit kayak mbawa rombongan satu kampung. Mungkin orang memang mulai rindu dengan konser - konser orkestra jaman pra-Beatles, dan tentunya juga gandrung dengan akustik era 60-an.



Itu zona 'persawahan' musik dalam pandangan saya. Demikian juga dengan dunia pendidikan. Barusan teman kantor mengenang dan merindukan sekaligus memuja pola pendidikan jaman dulu, ...Bahwa jaman dia sekolah dulu, prioritas kurikulum sekolah ada di unsur budi pekerti. Matematika itu cuma berhitung, bahasa itu cuma diajari menulis. Yang penting anak atau siswa dulu punya karakter yang kini langka, yakni prilaku yang sopan banget ke orang tua. Lha anak sekarang, pelajarannya jagoan fisika tetapi ada orang tua tiduran malahan di langkahi.



Bagi saya itu adalah tuntutan jaman. Nggak bisa disalahkan juga kalo anak sekarang kurang cespleng budi pekertinya, lha karena bisa jadi memang di sekolah nggak punya SKS lebih untuk mengajarinya. Toh, katanya sekolahan harus bisa mendidik siswanya agar lebih mantab memasuki dunia profesional alias dunia kerja kelak. Toh, suatu hari banyak usulan setengah protes dari para orang tua agar anaknya bisa jagoan matematika. Maka, tak salah bila sekolah memforsir dengan hebat untuk urusan 'pengetahuan'. Akibatnya adalah unsur 'pendidikan' seakan tersingkirkan. Lha memang mau pilih yang mana ? Baiknya sih memang dijalankan keduanya, Ilmu Pengetahuan Alam bisa beriringan dengan Pendidikan Moral, misalnya. Tetapi, bila ternyata harus memilih, gimana hayoooo ?



Oh, ya. Jaman saya sekolah dulu, hampir semua mata pelajaran digolongkan menjadi dua : Pendidikan dan Pengetahuan. Pendidikan itu misalnya adalah Pendidikan Moral, Pendidikan Agama, Pendidikan Keluarga, Pendidikan Jasmani. Sementara IPA dan IPS mewakili kutub Pengetahuan. Saya rasa penggolongan ini masih valid.



Walhasil. Atas desakan duniawi yang materialistis, bisa jadi sekolahan meletakkan pilihan bahwa konsep pengetahuan lebih dominan ketimbang pendidikan. Berarti, bila memang ada dua term: Pendidikan dan Pengetahuan, maka sekarang sekolah bukan tempat untuk mendidik anak, ... melainkan tepat untuk menambah pengetahuan siswa.



Hal ini jadi lebih runyam ketika ternyata di rumah-pun seorang anak gagal mendapatkan pendidikan budi pekerti dari lingkungan keluarganya masing - masing. Sebagian besar orang tua disinyalir memang menyerahkan hampir seratus persen muatan pendidikan buat anaknya kepada sekolah... atau kursus - kursus berhitung, bahasa Inggris, dan lainnya.... Padahal yang didapat sang bocah adalah pengetahuan. Pendidikannya nol besar.



Ya itu sih nggak salah juga. Kan orang tuanya memang sibuk mencari nafkah. Wah, ini jawaban repot. Kata orang - orang jaman dulu --dan saya masih menganutnya hingga kini--, yakni bahwa rumah adalah sekolahan utama buat sang bocah. Repotnya, hal ini yang sekarang nggak tren lagi. Apalagi bila orang tua sudah berkilah bahwa sekolah adalah segala - galanya. Sekolah dituntut setinggi langit, padahal banyak langit - langit sekolahan yang kini sudah pada ambrol. Lha kalo orang tua sudah lepas tangan, sementara sekolahan kuwalahan terhadap pilihan untuk mengejar profesionalisme buat siswa, ...... maka kasihanlah sang bocah. Bisa jadi dia pinter secara pengetahuan, namun ya itu tadi, nol besar untuk budi pekeri. Seharusnya dia berhak mendapatkan pendidikan, tetapi orang tua dan sekolahan ternyata tidak mampu menyajikan. Mungkin di akherat kelak para bocah - bocah ini akan menuntut para orang tua dan gurunya. Kelak. [] haris fauzi - 22 Juni 2007



salam,
haris fauzi




majalah solid

situs keluarga

kolom kenisah




Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today!

Tuesday, June 12, 2007

kenisah : multi persepsi

MULTI PERSEPSI



Jadi, rupanya di muka bumi ini hampir semuanya berpikiran seakan - akan pada satu fenomena terdapat hanya satu fakta yang menyertainya. Kali ini, terus - terang saya agak kesulitan untuk menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya sekarang ini. Jadi mohon maaf, lah.



Gampangnya begini; bila ada satu kejadian, taruhlah Ibu pulang dari pasar. Maka dalam pikiran kita kebanyakan menyatakan bahwa Ibu pulang dari pasar membawa sayur-mayur. Hal ini benar. Tetapi sebenarnya fakta yang terkait kan tidak hanya itu. Memang apabila diurutkan, maka yang dominan 'diusahakan' hanya satu fakta. Namanya juga dominan. Seperti halnya bila Si Badu tidak naik kelas, maka fakta yang menyertainya adalah Si Badu tidak bisa mengerjakan soal ujian. Itu hasilnya bila diurutkan nominasinya secara subyektif, tetapi bisa jadi ada ribuan alasan tentang kenapa Badu tidak naik kelas. Orang lain bisa punya subyektivitas yang berbeda.Bisa punya prioritas yang berbeda.



Fakta - fakta dari fenomena memang bisa saja terkait urut secara seri seperti rangkaian gerbong kereta api. Contohnya adalah Si Badu tidak naik kelas karena tidak bisa mengerjakan soal ujian. Badu tidak bisa mengerjakan ya karena dia tidak belajar, hal ini terjadi karena seharian dia berjualan gorengan. Badu harus jualan gorengan karena memang dia yatim - piatu, karena ... karena... karena... terus saja begitu...



Atau suatu saat mereka duduk paralel. Di samping tidak belajar, faktanya dia juga datang terlambat, juga pinsilnya ketinggalan, dan juga semua teman kelasnya membencinya sehingga tidak ada yang meminjami pinsil. Dan antara seri dan paralel tidak tertutup kemungkinan mereka bisa terkait bersilangan.



Saya tidak hendak mencoba membahas keterkaitan dan urutan fakta fenomena tersebut. Namun saya hendak mencoba menguraikan, bahwa kebanyakan kita hanya menjejak satu fakta, lantas tidak memperhatikan fakta - fakta yang lain. Seringkali kita terlalu subyektif. Hal ini sangat kentara dikebanyakan kita, kebanyakan dari kita cuma memperhatikan satu fakta dan satu keterkaitan. Sudah. Padahal kalo diingat orang di seluruh dunia ini ada milyaran orang, dengan keragaman budaya, dan milyaran makanan yang masuk mulut mereka masing - masing sehingga bisa jadi mereka memiliki latar belakang pemikiran, budaya, dan kebiasaan yang sangat beragam. Saya yang tinggal di kampung Ciparigi - Bogor dengan tetangga kampung sebelah pastilah punya beda pemikiran. Saya sebagai lulusan teknik, bisa dipastikan memiliki perbedaan pemikiran dengan orang penjualan. Apalagi saya dengan orang eskimo, misalnya.Ya. Hal ini menjadikan kita semua adalah multi pemikiran, bisa jadi salah satu mengatakan bahwa prioritas dan fakta dominan dari Badu tidak naik kelas adalah ketiadaan pinsil, bisa jadi orang lain mengatakan masalah dominannya adalah kekurangan waktu belajar. Beda. Wajar.



Yang jadi perkara besar adalah bila terjadi komunikasi antar 'orang' yang berbeda persepsi tadi. Parahnya, begitu kita 'cuma' meng-konfrontir'-kan satu item ini --dan ternyata berbeda - beda setiap kepala--, maka tak jarang yang terjadi adalah pertentangan dan adu mulut. Adu mulut terjadi karena masing - masing mempertahankan 'kartu-kebenaran' fenomenanya, --tanpa berusaha menguraikan sebanyak - banyaknya kartunya. Seperti kita bermain kartu gaple, bila kita tidak menguraikannya, maka kartu kita akan bentrok dengan kartu lawan, tidak bisa terangkai.



Dalam uji konfrontir seperti ini, yang sebaiknya dilakukan adalah menguraikannya, bukan mengkonfrontir masing - masing satu kartu saja, karena bisa jadi keduanya mengemukakan hal yang berbeda tetapi sebenarnya keduanya adalah benar. Tentunya dari sudut pandang dan kacamata yang berbeda. Bisa jadi demikian karena memang subyektivitas itu sulit sekali dihindari. Walau tidak selalu, namun tidak ada pula yang menjamin, kan ?



Benar sekali. Dalam satu hal peristiwa, patut disadari bahwa hal tersebut mengandung multi - persepsi, --apalagi bila sampe multi subyektivitas-- seperti halnya kartu - kartu yang menunggu untuk dipasangkan, bukan dipertentangkan. Dalam kasus lain, terus terang saya sempat pernah berprasangka buruk kepada para rekan Resimen Mahasiswa. Maklum, saya jaman kuliah dulu terbawa - bawa teman - teman dari kalangan Pers Mahasiswa. Namun, belakangan saya sempat membaca buku karya Abdul.H.Nasution, --ya, jendral TNI yang berwibawa itu-- dan menemukan suatu hal yang menarik. Dalam buku itu disebutkan bahwa Resimen Mahasiswa diproposalkan dan dibentuk oleh Pak Nas agar supaya Pak Karno merasa aman dan tidak perlu lagi membentuk angkatan ke-lima : yakni kaum buruh dan tani yang dipersenjatai. Dari kasus persepsi MenWa inilah saya jadi berpikir ulang, karena ternyata di dalam MenWa itu ada beberapa persepsi. Banyak lagi contoh yang memaksa saya untuk lebih berusaha berpikir multi persepsi. Model multi persepsi ini ada dibanyak kehidupan; di kantor, di kampus, dipasar, di kasur, di jalanan, di sawah, dimanapun.



Ada catatan kecil namun penting. Dalam kasus multi persepsi dan multi subyektivitas ini, kadangkala dikehendaki sikap legowo dari salah satu pihak. Kadangkala diurai sepanjang apa-pun, masih banyak mengandung ketidak-cocokan. Selalu ada bantahan dari sebuah uraian. Istilahnya : kartunya belum cocok. Namun, kartu itu akan menjadi cocok bila ada unsur legowo. Legowo itu salah satu bentuk aplikasi dari sifat mulia ikhlas. Jaman dulu, seringkali nabi mendapat pertentangan dari kaumnya, pertentangan yang susah dicari titik temunya. Apa yang dilakukan oleh nabi ? Dia menahan kartunya sejenak. Legowo dengan Ikhlas. Kalau dalam bermain kartu, ada istilah 'pass', atau 'lewat'. Artinya satu pemain tidak mendapat giliran sekali, supaya kartu gaple bisa terangkai terus.



Ya. Inisiatif 'peran' nabi seperti ini, sangat dibutuhkan agar kita bisa menguraikan persepsi yang berbeda - beda agar lebih baik. Bukankah kadangkala kita juga mengendurkan dan menarik balik suatu simpul bila kita ingin mengurai benang kusut? Ini bisa dimisalkan seperti itu. Mengulur sejenak demi mendapatkan komunikasi yang lebih baik. Artinya ; mengalah dengan ikhlas, barang sekali dua kali.



Namun, di jaman yang serba materialistis ini, di jaman yang penuh tekanan ini, di jaman yang menuhankan egoisme ini, ... siapa yang bersedia menjadi nabi ? Siapa yang punya inisiatif untuk sedikit saja mengambil peran nabi ini ? [] haris fauzi - 12 Juni 2007


***) ilustrasi adalah sampul album ABWH karya Roger Dean


salam,
haris fauzi




majalah solid

situs keluarga

kolom kenisah




You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck
in the all-new Yahoo! Mail Beta.